Bintang 'Arasy_2017.pdf - PDFCOFFEE.COM (2025)

Tafsir Filosofis-Gnostik Tujuan HMI

LEADERSHIP & CHARACTER BUILDING

Tafsir Filosofis-Gnostik Tujuan HMI

Penulis Said Muniruddin

Pengantar Prof. DR. Moh. Mahfud MD

www.saidmuniruddin.com “The Zawiyah fo Spiritual Leadership”

BINTANG ‘ARASY Tafsir filosofis-Gnostik Tujuan HMI Penulis: Said Muniruddin Hak Cipta © 2014, Said Muniruddin All rights reserved Editor: Ampuh Devayan & Muhammad Dayyan Proofreader: Safwan Nurdin, Mahyaruddin, Zulhaini Sartika Disain Cover dan ilustrasi: Addint dan dari berbagai sumber Cetakan 1, Rabi’ul Awwal 1435 H/ Februari 2014 M Cetakan 2, Syawwal 1438 H/ Juli 2017 M Diterbitkan oleh www.saidmuniruddin.com “The Zawiyah for Spiritual Leadership”

Majelis Wilayah Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (MW-KAHMI Aceh)

Perum Polayasa Blok J No.65, Dusun Lamseunong Desa Kajhu - Aceh Besar 23373 www.saidmuniruddin.com Dicetak oleh Syiah Kuala University Press Darussalam – Banda Aceh 23111 Kritik dan Saran [emailprotected] Perpustakaan Nasional RI: Katalog dalam Terbitan (KDT) Said Muniruddin Bintang ‘Arasy: Tafsir Folosofis-Gnostik Tujuan HMI xxx + 453 hlm. 15,5 x 23 cm ISBN 978-602-1270-03-5 Sesungguhnya ilmu itu milik Allah SWT. Oleh sebab itu, penulis mengizinkan reproduksi, foto copy, serta memperbanyak publikasi ini untuk tujuan-tujuan edukatif.

Ucapan Terima Kasih Alhamdulillah, sholatan wasalaman ‘ala Rasulillah wa ‘ala Aaleh. Atas izin-Nya buku ini saya selesaikan. Karya ini lahir semata-mata karena kecintaan kepada Rasulsaw dan Keluarganya. Jika alQuran menjadi sumber motivasi dan lembaran suci tentang nilai, tentunya mereka yang lahir dalam baitunnubuwwah menjadi “profil hidup” dari nilai-nilai atau tauladan organisasi:

“Dan sesungguhnya, kami telah menurunkan kepada kamu, ayat-ayat yang menerangkan dan menjelaskan, dan contoh (tauladan) orang-orang yang telah lalu sebelum kamu, serta nasihat pengajaran bagi orang-orang yang bertaqwa” (QS. anNur -24: 34). Keluarga. Kepada ayahanda dan ibunda, Sayyid Ali Abdullah dan Cut Wan Khadijah (alm); terima kasih atas cintanya. Rahmat Allahswt semoga selalu tercurah kepada anda berdua. Juga kepada anak-anak beliau, saudara-saudara saya, yang selalu mendukung untuk menulis tentang kebaikan: Kawsarina (alm), Rabadian (alm), Bahlena (alm), Akram, Munira, Zulfikar, Nargis, Fadhilah, dan Husain. HMI. Eksistensi saya di HMI dan KAHMI tidak terlepas dari “pertalian nasab” kepada sejumlah Master of Training (MoT) yang secara simultan melahirkan “anak”, yang pada akhirnya muncul saya. Saya dilahirkan oleh (bermaster kepada) Fadhlullah TM. Daud, untuk seterusnya beliau bermaster kepada Samsuar Basyariah, seterusnya kepada Akhyar Ibrahim Saira, seterusnya kepada Lorensius Mahmudi Humala, dan seterusnya. Mereka ini para mursyid insan cita pada jalur kekaderan saya. Jalur “penasaban” seperti ini sering dilupakan. Akibatnya kita gagal mengapresiasi “orang tua”, dan putus tali silaturahmi dengan “wali-wali” pada era sebelumnya. Kita patut mengingat peran-peran para pendahulu. Karena pada hakikatnya, HMI adalah sebuah manhaj atau thariqah ke-ilmuan. Bagaimanapun, apa yang kita ketahui hari ini, sedikit banyaknya merupakan pengetahuan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Mendo’akan dan memuliakan para mursyid menjadi kewajiban kita para “mahasiswa penempuh jalan” (salik). Supporter Penulisan “Bintang ‘Arasy”. Terima kasih kepada Muhammad Ridha Ramli yang menjadi partner diskusi, Akhyar Rasyidi sebagai guide dalam pencarian referensi, Andi Mahdi sebagai verificator beberapa kosakata filosofis-keirfanan, serta Dedi Wahyudi dan Lazuardi sebagai driver ketika meneliti. Apresiasi selanjutnya kepada reviewer (akademisi, senior alumni, dan para mantan ketua umum BADKO HMI Aceh) yang memberi pandangan kritis atas isi, kepada rekan-rekan editor (Ampuh Devayan dan Muhammad Dayyan) dan proofreader (Safwan Nurdin, Mahyaruddin, dan Zulhaini Sartika), illustrator (Jalaluddin Ismail), serta pengurus Majelis Wilayah KAHMI Aceh periode 2009-2014 yang men-support publikasi. Saya juga berterima kasih kepada Majelis Nasional KAHMI (2012-2017) atas dukungan untuk menerbitkan buku ini. Terutama Bang Ismet Djafar, dan Prof. Dr. Mahfud, MD yang memberi komentar atas naskah buku ini. Juga kepada Ketua Umum PB HMI (2013-2015) adinda Muh. Arief Rosyid Hasan, yang memberi apresiasi pentingnya buku ini bagi kader-kader HMI. Untuk selanjutnya buku ini menjadi “hadiah”, tepatnya penyegaran kembali pesan-pesan taqwa bagi kader/anggota/alumni HMI, yang hidup dan pengabdian saudara semua merefleksikan hakikat dari ibadah yang dijalani melalui rasa syukur dan ikhlas. Dengan do’a dan ikrar pada akhirnya kita secara bersama-sama akan memenangi masa depan Indonesia. Ridha Allahswt semoga tercurah bagi kakanda, yunda, dan adinda semua (SAID MUNIRUDDIN).

Pengantar Majelis Nasional KAHMI Prof. DR. Moh. Mahfud MD Koordinator Presidium MN KAHMI Bismillahirrahmanirrahim. Tujuan HMI. “Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allahswt”; merupakan wujud tekstual (eksoteris) dari tujuan HMI, yang kemudian teringkas dalam “Lima Kualitas Insan Cita (5KIC)”: akademis, pencipta, pengabdi, bernafaskan Islam, dan bertanggungjawab. Pada rumusan teks ini -sebagaimana diurai oleh Said Muniruddin- secara filosofis terkandung dua substansi tujuan: (1) terbinanya “Insan Cita”, dan alat perjuangan untuk (2) terwujudnya “Masyarakat Cita”. Pada rumusan tujuan ini pula terdapat sisi irfan atau gnosis (esoteris), yang merupakan esensi atau hakikat dari tujuan HMI, yaitu: (3) “Cita-Cita”, “ridha-Nya”, atau “Allahswt.” Dengan demikian, secara filosofis-gnostik, HMI memiliki konsep arah tujuan yang sangat jelas -dalam bahasa lainnya digambarkan dengan:

“Katakan; sesungguhnya sholatku, perjuanganku, hidup dan matiku hanya untuk [mencapai Ridha] Allah, Tuhan semesta alam”. Qul Inna sholati wa nusuki wa mahyaya wa mamati lillahi rabbil ‘alamin (QS. alAn’am -6: 162).

Totalitas hidup seperti ini membentuk “sosok bintang” yang tertera pada lambang HMI: “insan cita”, “insan pejuang paripurna”, “manusia sejati”, “manusia sempurna”, atau “insan kamil”. Inilah yang dalam tafsir yang ada ditangan saudara ini disebut: “Bintang ‘Arasy”, manusia-manusia vii

yang memancarkan cahaya bagi kehidupan, pelita bagi pergerakan dan perubahan. Manusia Sempurna. Siapakah “insan pejuang paripurna” itu? Apakah seseorang yang tinggi besar? Jubahnya lebar? Jenggotnya panjang? Dahinya hitam? Retorikanya bagus? Mobilnya mewah? Rumahnya besar? Bukan semua itu. Kesempurnaan kita terbangun dengan sikap zuhud. Yaitu “kesadaran” dan “konsistensi” untuk terus hidup dan berjuang di atas nilai-nilai yang sangat sederhana, seperti teresumè dalam buku ini: tauhied, ikhlas, adil, ihsan dan tanggungjawab. Orang-orang seperti ini boleh jadi badannya kecil, tubuhnya kurus, suaranya lemah, atau hartanya sedikit. Tetapi ia memiliki keagungan jiwa karena cintanya kepada Tuhan melebihi manusia lainnya -ini terkandung dalam dimensi akidah dan terlihat pada bentuk akhlak dan ibadah: Sewaktu Nabi Ibrahim as dilemparkan ke tengah-tengah api yang sedang membara, seekor burung Bulbul terbang mendekati tempat Nabi Ibrahim as dibakar. Burung tersebut memenuhi paruhnya dengan air dan kemudian ditumpahkannya di atas kobaran api yang tengah menjilat tubuh Nabi Ibrahim as. Bolak-balik ia melakukan itu. Melihat tindakan burung tersebut, Nabi Ibrahim as bertanya dengan penuh rasa heran: “Wahai burung kecil! Apakah air yang kamu tumpahkan dari paruh kecilmu berguna untuk memadamkan api yang besar ini?”. Burung Bulbul itu menjawab: “Dengan cara ini saya ingin memperlihatkan akidah, iman, dan hubungan saya dengan engkau wahai Ibrahim” (M. Muthahhari. 2001. “Neraca Kebenaran dan Kebatilan”, hal. 88. Penerbit Cahaya: Bogor).

Letak kesempurnaan seorang kader Islam bukan pada keberhasilan “memadamkan” kejahatan (korupsi, eksploitasi, penjajahan, dan sebagainya). Jikapun menang, itu hanya kehendak Tuhan sebagai ujung dari sebuah ikhtiar. Karena boleh jadi ia “dikalahkan”. Banyak kader pejuang yang tewas ditebas ketika sujud di masjid, diracun di rumah, ataupun dipancung di medan perang. Namun perlu diingat, kesempurnaan tidak didapat dari “panjangnya umur” atau “kehidupan yang mapan” ditengah kemerosotan nilai-nilai yang kita sendiri menutup mata terhadapnya. Kebahagiaan abadi sebagai insan terletak pada keberanian dan keteguhan untuk berjihad melawan kebatilan dan menegakkan keadilan (adil) serta konsistensi untuk berbuat kebaikan (ihsan). Hanya melalui perilaku amar ma’ruf nahi munkar terlihat siapa yang ideologis, siapa yang tidak. Pada burung Bulbul yang kecil kita menemukan keyakinan dan kecintaan yang besar terhadap Tuhan. Air dalam paruh kecilnya dipastikan mustahil mampu memadamkan api yang membara. Ia mengetahui itu. Tetapi ia viii

lebih sadar bahwa Tuhan sedang mengawasinya. Sehingga ia punya dua pilihan: apakah “diam saja” melihat sang Nabi dilalap api, atau “melakukan sesuatu” dengan segenap power yang dipunyainya. Akhirnya ia memilih berbuat. Secara sustainable ia berjuang -dengan dua pilihan: sampai api itu padam, atau sampai dirinya mati. Inilah contoh makhluk kecil nan agung. Hal terpenting baginya adalah bagaimana merasakan penderitaan orang lain dan memiliki keterikatan batin dengan mereka. Ini yang kita sebut sebagai spirit perjuangan membela kelompok marjinal (mustad’afin). Pada prinsipnya, amaliah ini merupakan wujud dari pengetahuan tentang kebenaran (ilmu) dan kecintaan kepada Tuhan (iman). Beriman, Berilmu, dan Bertindak. Seringkali kita pesimis terhadap kondisi bangsa yang despotis. Misalnya, sudah lebih dari 60 tahun Indonesia merdeka, tetapi jalanan di republik ini masih berlubang. Rakyat masih tidur di kolong-kolong jembatan. Baju mereka sobek dan lusuh. Banyak yang menghabiskan pagi, siang dan malam dengan makanan basi; dan lainnya dalam keadaan busung lapar. Kemiskinan begitu tinggi. Pengangguran dimana-mana. Inflasi tidak terkendali. Disaat rakyat sedang kelaparan dan kesusahan, para pejabat dan pengelola negara hidup mewah di istananya. Korupsi merajalela. Pemimpin-pemimpinnya banyak yang tidak punya kesucian jiwa. Indonesia seperti benang kusut. Tidak hanya “perekonomian” yang dibuat terpuruk, “hukum” juga dipermainkan, oleh penegak hukum sendiri. Bukan hanya peradilan yang termasuk lembaga terkotor di republik ini, sistem demokrasi juga dijadikan kesempatan untuk jual-beli kekuasaan. Semua kenyataan ini membuat kita pesimis. Kita menjadi ragu bahwa segala carut marut ini dapat diselesaikan. Sebagian kita putus asa. Sebagian lagi justru menjadi bagian dari kejahatan itu sendiri. Di kantor-kantor pemerintah dengan mudah dapat didengar: “Ayo, jangan sok suci. Mari korupsi. Semua orang mengambilnya. Nikmati apa yang ada. Mumpung masih bisa. Ambil sedikit saja tidak apa-apa. Kalau tidak sekarang kapan lagi. Yang ditangkap saja belum diperiksa. Yang diperiksa sudah bebas. Kalupun dihukum paling cuma sebentar. Kalupun lama, nanti juga bisa disogok untuk lari. Negara ini memang sudah seperti ini adanya, tidak bisa diperbaiki lagi”. Bukannya menjadi “Bulbul” yang dengan paruh kecilnya berusaha menumpahkan “air” ke dalam api yang membara, sebagian kita malah menjadi “api” itu sendiri, yang berkontribusi membakar sendi-sendi kehidupan agama, bangsa dan negara. Kita bukannya menempuh jalan Nabi saw yang berusaha memperbaiki akhlak masyarakatnya. Kita justru menjadi bagian dari kegelapan jahiliah. Disetiap periode sejarah, hanya ix

pada “Bulbul kecil” dapat ditemukan kesucian jiwa, bukan pada tokohtokoh besar yang korup dan tiranik. Pada tindakan-tindakan kebaikan yang kecil terkandung keagungan nilainilai tauhied. Akumulasi tindakan-tindakan ma’ruf inilah yang membentuk kebesaran bangunan iman. Keagungan akidah dan pengetahuan seseorang menyempurna dalam tindakan. Maka mulailah dengan hal-hal kecil. Revolusi besar sekalipun, seperti islamisasi Arab oleh Muhammadsaw, dimulai dengan dakwah-dakwah kecil. Maka mulailah dengan hal-hal sederhana (walau sesungguhnya nilainya itu sangat besar). Misalnya, jika ada yang mengalami musibah, sumbangi. Jika menemukan ada yang kelaparan, beri makanan. Jika melihat ada yang kedinginan, beri pakaian. Jika ada yang sakit, kunjungi. Jika diundang, penuhi. Jika ada yang sedang berusaha, doakan. Jika ada yang lupa, tegur. Jika ada yang berbuat curang, luruskan. Jika ada yang melanggar, ingatkan. Jika ada yang sewenangwenang, hukum. Jika ada yang dhalim, lawan. Jika ada yang berbuat baik, dukung. Inilah bentuk lain dari menumpahkan “air” ke dalam “api” dengan segenap pengaruh dan daya. Inilah leadership. Siapapun punya potensi ini, dan dapat mengaktualisasikannya. Konsistensi tindakan-tindakan inilah yang membentuk kesempurnaan wujud hakiki manusia. Seperti inilah Muhammad saw, Ahlul Bait, dan sahabat-sahabat yang setia. Mereka bukan manusia-manusia raksasa. Mereka semua manusia biasa, persis seperti kita. Namun “paruh kecil” mereka tidak pernah berhenti “menumpahkan air” dalam “kobaran api jahiliah”. “Sayap” mereka tidak pernah berhenti berkepak, terbang kesana kemari untuk menebarkan pesan-pesan damai, keadilan dan kebaikan dari Tuhan. Mereka semua manusia biasa. Tapi dalam kerangka tubuh yang sederhana mengalir “darah suci”, darah pemimpin sejati. Banyak yang ketika muda menjalani hidup sebagai aktifis yang idealis. Tetapi tidak banyak yang sustainable. Begitu memasuki dunia nyata, perlahan mulai berkolaborasi dengan pragmatisme, opportunisme dan beragam isme materialisme lainnya. Walaupun banyak yang berbadan besar, tetapi mentalitasnya amoral. Tanpa ragu mereka korbankan aspek ukhrawi yang bernilai masa depan, guna menenggelamkan diri dalam nafsu jangka pendek duniawi. Tidak mudah menemukan jenis manusia yang hidup berkelanjutan dengan “cahaya Tuhan”. Tidak semua orang istiqamah dengan nilai-nilai Islam (alQur’an dan asSunnah). Tidak semua bersedia hidup dengan lebih mementingkan nilai-nilai sosial dan kesederhanaan daripada nafsu materi dan ambisi pribadi. Tidak semua orang memiliki “darah biru” yang x

di dalamnya mengalir “visi langit” (akhlakul karimah). Jikapun ada, mereka inilah kader-kader pejuang paripurna, kader umat dan bangsa. Visi HMI adalah menyemai kelahiran orang-orang seperti ini. Untuk tujuan seperti inilah HMI pada 5 Februari 1947 didirikan oleh sosok zuhud Lafran, dan diproyeksikan Himpunan ini tetap “ada” (being) dan terus “mengada” (becoming). Karena tujuan himpunan ini tidak untuk dicapai pada satu masa kepengurusan atau periode sejarah tertentu saja, melainkan bernilai abadi. Apresiasi dari MN-KAHMI. Kita patut bersyukur dan berterima kasih atas hadirnya “Bintang ‘Arasy: Tafsir Filosofis-Gnostik Tujuan HMI”. Buku ini telah menjabarkan secara elegan makna “lahir” dan “batin” dari konsepsi tujuan HMI. Melalui berbagai pendekatan, Said Muniruddin telah memperlihatkan kepada kita sisi esensial dari tujuan himpunan. Mulai dari dimensi “rasional” (filosofis), “spiritual” (gnostis), “ideologis” (NDP), “profil ketauladanan” (insan kamil), “peta operasional” (aplikasi tujuan), sampai kepada filosofi dasar organisasi islami (manajemen dan leadership). Tajam sekali kupasannya. Kaya sekali kandungan “nilai”-nya. Serta kental sekali bobot “ke-Islam-an” dan “ke-Indonesia-an” nya. Sehingga tidak berlebihan jika saya katakan, ini tafsir yang cukup komprehensif tentang tujuan HMI. Majelis Nasional KAHMI menyambut baik terbitnya buku karya intelektual muda, yang juga Sekjen KAHMI Aceh periode 2009-2014 ini. Mudahmudahan pengetahuan yang tercatat dalam buku ini menjadi “cahaya” bagi himpunan dan bangsa ini, untuk semakin menerangi gerak “perkaderan” dan “perjuangan”. Yakin usaha sampai.***** Billahi taufiq walhidayah. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Prof. DR. Moh. Mahfud MD Koordinator Presidium MN KAHMI (2012-2017)

PRESIDIUM MAJELIS NASIONAL KAHMI (2012-2017): Prof. Dr. Moh. Mahfud MD – Viva Yoga Mauladi, M.Si – Anas Urbaningrum, MA – Dr. Muhammad Marwan, M.Si – Dr. Anis Baswedan – Bambang Soesatyo, SE, MBA – Dr. Reni Marlinawati – Dr. M.S Kaban, SE, M.Si – Drs. Taufiq Hidayat, M.Si.

xi

xii

Sambutan Majelis Wilayah KAHMI Aceh “Diantara mereka yang paling banyak dosanya adalah ulama, intelektual dan akademisi yang tidak menulis. Mereka patut ditangisi, ketika mati tanpa karya. Karena tahukah kalian, warisan terbesar untuk peradaban adalah pengetahuan, namun sebagian kita terkubur mati bersama ilmu” (anonim)

Bismillahirrahmanirrahim Teriring salam dan doa semoga Allahswt senantiasa mencurahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita dalam menjalankan aktifitas seharihari. Dokumentasi Pemikiran. Kader dan alumni HMI punya banyak pemikiran cemerlang. Namun tidak semuanya terkompilasi dalam catatan. Kecerdasan “oral-diskursif” kita cukup tinggi, sayangnya tidak begitu “dokumentatif”. Padahal sebuah organisasi menjadi besar, layaknya sebuah bangsa menjadi berperadaban, ketika memiliki khazanah intelektual yang tertulis, dan dapat diakses oleh masyarakat pada masanya dan generasi setelahnya. Kami kira, perkumpulan muslim intelektual profesional seperti HMI dan KAHMI mesti melahirkan karya-karya, melakukan publikasi-publikasi yang dapat mencerahkan diri dan bangsanya. Referensi untuk Perkaderan dan Perjuangan. Kita bersyukur atas terbitnya “Bintang ‘Arasy: Tafsir Filosofis-Gnostik Tujuan HMI”, sebuah naskah akademik yang mengingatkan kembali urgensi militansi spiritual bagi perkaderan dan perjuangan dalam pencapaian cita-cita HMI. Kita perlu mengapresiasi berbagai abstraksi akal dan spiritual saudara Said Muniruddin yang teraktualisasi dalam wujud tulisan ini. Dalam pengabdian sebagai Sekjen MW-KAHMI Aceh periode 2009-2014, Habib Munir telah meluangkan sedikit waktu untuk menuangkan beberapa pandangan yang bernilai “filosofis-irfani” tentang tujuan Himpunan.

xiii

Sangat menarik, ketika dipaparkan tidak dalam perspektif “biasa”. Ia berusaha menggali sesuatu yang “tersembunyi”, sehingga peta perkaderan dan perjuangan HMI dengan segala doktrin manajemen, leadership, keislam-an dan ke-Indonesia-an tersingkap secara integratif dalam perspektif yang “luar biasa”. Apresiasi MW-KAHMI Aceh. Bacaan ini bernilai “ideologis-praktis”, sehingga tepat untuk dijadikan bahan kajian dan referensi elementer terutama bagi kader HMI. Majelis Wilayah KAHMI Aceh sangat apresiatif atas kehadiran Bintang ‘Arasy ini. Karena sebagaimana diamanahkan, salah satu tugas KAHMI adalah terus membina dan memantapkan visi keIslaman, kebangsaan, dan kecendekiaan anggota-anggotanya. Tidak kalah pentingnya adalah bagaimana secara kritis-akademis, melalui naskahnaskah seperti ini, KAHMI dapat berinteraksi dengan kader-kader HMI dalam usaha transfer of knowledge. Semoga Allah SWT meridhai usaha baik penerbitan buku ini.***** Billahi taufiq walhidayah, Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Dr. A. Humam Hamid, MA Koordinator Presidium MW KAHMI Aceh (2009-2014)

PRESIDIUM MAJELIS WILAYAH KAHMI ACEH (2009-2014): Dr. A. Humam Hamid, MA - Ir. Helvizar Ibrahim, M.Si - Drs. M.Ridha Ramli Syarifah Rahmatillah, SH - Drs. M. Tanwier Mahdi - DR. Gunawan Adnan, MA Nazir Adam, SE.

xiv

Sambutan Pengurus Besar HMI Bismillahirrahmanirrahim Segala puja dan puji bagi Ilahi Sang Pemilik Kesempurnaan, muara segala cinta bagi insan yang senantiasa merindukan-Nya. Tak lupa salam dan taslim kepada junjungan alam Rasulullah SAW, semoga kita diberi syafaat untuk tetap istiqamah memegang wasiatnya yaitu Al-Quran dan Al-Hadist sehingga senan-tiasa berada dalam barisannya hingga akhir zaman nanti, amin. Aspek Spiritual di Jantung Kekaderan. Refleksi panjang akan eksistensi HMI dalam sirkulasi diskursus ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an beberapa waktu ini membuat banyak kalangan resah. Degradasi intelektualitas dan progresifitas organisasi tampak mulai mengkhawatirkan. Rumitnya permasalahan yang sedang HMI alami mengharuskan kita lebih sabar untuk mengurainya sedikit demi sedikit. Mulai dari rendahnya animo mahasiswa Islam dalam ber-HMI, rendahnya respon kader-kader HMI terhadap permasalahan kebangsaaan, sampai konflik internal yang tak kunjung padam telah menghabiskan banyak energi organisasi sehingga tidaklah naif jika kita kembali bertanya masihkah kita berada di jalur yang tepat dalam memperjuangkan tujuan HMI? Buku yang ditulis oleh kakanda Said Muniruddin ini sekali lagi membesarkan hati kita sebagai kader HMI. Ulasan mendalam dari kakanda Said Muniruddin akan tujuan HMI membuka pandangan kita akan kekurangan landasan teologis kita, yang selama ini lebih menitik beratkan pada hal yang sifatnya falsafati; pendekatan yang serba rasional dalam menangkap segala hakikat. Kita mungkin terlalu larut dalam gagasan yang “jalaliah” tanpa melihat pentingnya kesatuannya dengan “jamaliah”. Aspek spiritual (gnostic) yang dipaparkan luput untuk kita kaji dan amalkan dalam kehidupan xv

praktis sehari hari. Mungkin sekilas kita menganggap bahwa kemauan keras untuk hidup zuhud, latihan menghindarkan diri dari segala kotoran dan dosa, serta mengarahkan visi pada hal yang baik, terdengar retoris. Tetapi jika kita meyakini bahwa konsep ketauhidan menempatkan eksistensi kemanusiaan kita untuk terus meng-“ada” dan terus “menyempurna” maka hal tersebut menjadi applicable untuk dijalankan. Konsistensi akan arah perjuangan seperti ini yang akan menghantarkan kita pada kualitas insan cita yang kita idam-idamkan. Penghargaan dari PB-HMI. Saya mewakili Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB-HMI) mengapresiasi sebesar-besarnya tulisan dari kakanda Said Muniruddin. Buku ini telah memunculkan corak baru yang dapat menjadi salah satu pegangan dalam proses perkaderan yang ada dalam tubuh organisasi. Semoga buku ini dapat bermanfaat bagi himpunan dan kehidupan bangsa dan umat secara keseluruhan.***** Billahi taufik walhidayah, Wassalamu Alaikum Wr. Wb. drg. Muh. Arief Rosyid Hasan Ketua Umum PB HMI (2013-2015)

xvi

Prakata dari Penulis “BINTANG DAN BULAN” Said Muniruddin “Bintang Bulan”. Pada tahun 1994, sebuah naskah kuno, tanpa sengaja ditemukan oleh seorang jurnalis Italia bernama Enza Massa di perpustakaan Biblioteca Nationale Centrale Roma. Pada lembaran naskah terdapat sejumlah ramalan, yang salah satunya setelah diterjemahkan dimengerti, “Pada akhir masa, bintang bulan akan menguasai dunia”. Manuskrip yang tertanggal 1629 dan berjudul “Nostradamus Vatinicia Code” itu kemudian diketahui ditulis oleh Michel de Notredame, seorang futurolog kenamaan Eropa abad-14. Tidak seperti karya-karyanya yang lain, kitab ini tidak pernah ia publikasikan. Nostradamus mewariskan manuskrip tersebut kepada anaknya. Anaknya yang kemudian menyerahkan kepada Pope Urban VIII untuk disembunyikan, dan baru ditemukan kembali hampir 400 tahun kemudian. “The Lost Book of Nostradami”, demikian judul yang diberikan The History Channel pada siaran resmi tanggal 28 Oktober 2007 silam. Bertahun-tahun sebelumnya, pakar prophecy dari berbagai universitas terkemuka dunia telah duduk bersama meneliti isi buku yang sudah lama menjadi rahasia kekristenan ini. Buku ini sendiri berisi 80 ilustrasi berwarna, diantaranya terdapat imej “pasukan” bulan bintang dengan kekuatan dan keberanian yang tidak terhentikan pada akhirnya disebutkan, “menguasai puncak bukit masa depan dan berada pada posisi teratas dari roda akhir kehidupan”. Dipercayai, Nostradamus sang mistikus besar berusaha tidak menampakkan ramalan-ramalannya kepada institusi kepausan Roma. Karena apa yang ia prediksikan adalah kehancuran keimanan gereja. Konon lagi, sebuah sketsa bertulisan latin menyebutkan nama pemimpin penaklukan dunia sebagai “The Hidden One”, bermiripan dengan “sosok gaib” dalam konsep al-Mahdi dalam beberapa petunjuk Nabisaw. Yang membuat heran sejumlah pakar sejarah dari Barat adalah, bagaimana mungkin seorang seperti Nostradamus yang anti Islam itu justru secara jujur meramalkan bahwa orang-orang yang sekarang dilabeli teroris, tertindas, bodoh, dan terbelakang, akan mewarisi peradaban masa depan. xvii

Banyak ramalan Nostradamus yang disebut-sebut jadi kenyataan, walaupun sebagiannya tidak pernah diketahui kebenarannya. Anda boleh percaya boleh tidak kepada ramalan-ramalan seperti itu. Namun kita telah cukup menyaksikan bagaimana akhir-akhir ini dunia barat mengidap syndrom islamofobia, merasa was-was dengan eksistensi “Bintang Bulan”. Berbagai serangan yang diarahkan ke dunia muslim, ada yang meyakini karena berlatar pada ramalan-ramalan kuno para intelektual-mistik mereka. Usaha membumi hanguskan Afghanistan, Irak, mungkin juga Iran; selain penguasaan minyak dan sumber-sumber alam, juga diyakini sebagai bagian untuk menjadikan ramalan bahwa “Islam sebagai pemilik masa depan” tidak pernah terjadi. Tetapi dunia tidak bisa menutup mata. Hari demi hari justru menunjukan realitas sebaliknya. Bukti-bukti revivalisme Islam semakin nyata, tidak pada kekuatan bersenjata, tetapi pada sisi etika pengetahuan dan kebenaran. Tidak hanya jumlah orang yang berbondong-bondong menganut Islam sebagai agama formal, ide-ide islami dalam ranah bisnis dan ekonomi juga tumbuh pesat di berbagai titik perdagangan dunia. Betapapun kerasnya komunis menekan, bagaimanapun jahatnya kapitalis menyerang; yakinlah, masa depan milik orang-orang ber-Tuhan. Suatu ketika seorang jurnalis sebuah media di Amerika mengatakan, “Barat punya uang, sementara Islam punya Tuhan. Barat punya NGO untuk menjalankan program, sedangkan Islam punya Masjid untuk dijadikan pusat pergerakan. Masa depan kelihatannya akan dimenangkan oleh mereka yang memiliki iman. Dalam peta pertarungan seperti ini, hanya Islam yang mampu bertahan.”

“Dan Kami menghendaki untuk memberikan pertolongan kepada kaum tertindas di muka bumi, untuk Kami jadikan mereka itu pemimpin-pemimpin dan Kami jadikan pula mereka itu pewarispewaris” (QS. alQashash -28 :5)

Saat ini umat Islam memang masih didera beragam persoalan; mulai dari lemahnya penghayatan nilai-nilai agama, pertikaian ummat akibat fanatisme mazhab, sampai kepada buruknya kinerja tata kelola negara. Namun kita harus optimis terhadap masa depan. Kita akan maju dan mampu membenah itu. Namun majunya kita bukan karena ramalan orang kita akan maju. Kita maju juga bukan karena para pesaing sudah lemah. xviii

Kita maju hanya karena kita benar-benar menginginkan untuk maju, dan berjuang mati-matian untuk itu. Inilah mentalitas jihad yang diwariskan Nabisaw, bersungguh-sungguh dalam berjuang. Inilah mental yang memerdekakan kita dari sifat malas dan apatis. Diawali dari sistem keyakinan tauhied yang mendorong kita untuk memiliki jiwa kesatria: ikhlas, adil, ihsan dan bertanggungjawab. Inilah sekumpulan sikap yang akan mengawali kita untuk semakin hari semakin baik dan semakin sempurna (kamil). Pada akhirnya menjadikan kita sebagai bangsa “bercahaya”, bintang yang akan menerangi dunia. Organisasi dan Simbol-Simbol. Manusia hidup dengan simbol-simbol. Dalam kehidupan ini, ada sesuatu yang lebih dalam yang tidak kasat substansinya. Bahasa dan kata-kata yang kita gunakan setiap hari sebenarnya juga simbol-simbol untuk menjelaskan sesuatu. Bahkan alam dengan segala fenomena yang berlaku di dalamnya juga merupakan “simbol” atau “tanda-tanda” (ayat) yang menjelaskan esensi Wujud yang ada dibelakangnya, yaitu Tuhan. Begitu berperannya simbol, sehingga setiap orang dan organisasi punya lambang dan atribut-atribut yang digunakan untuk menyederhanakan keseluruhan tentang diri mereka. Simbol merupakan substansi tentang sesuatu yang diyakini atau ingin dituju. Dari banyak simbol, “bintang” menjadi sesuatu yang cukup populer. Berbagai organisasi mengadopsi lambang ini. Negara komunis besar seperti China misalnya, sejak 1949 telah mengadopsi “lima bintang” sebagai “cita-cita sosialnya”. Pun negara liberal terbesar seperti Amerika terpaut hatinya dengan “bintang-bintang” sebagai identitas untuk negaranegara bagiannya. Bagi mereka berdua, walaupun sama-sama skeptis (agnostik dan sekuler) terhadap transendensi nilai-nilai, tetap saja memiliki “kesakralan” terhadap simbol-simbol. Tidak hanya diadopsi isme sosialis dan kapitalis, bintang sudah lama terkenal sebagai identitas dunia Islam. Pun HMI, penjelasan keseluruhan idealismenya terdapat pada bintang dan bulan. Karena bagi Himpunan Mahasiswa Islam, sebagaimana tersebut dalam tafsir lambangnya adalah, bintang bulan “lambang kejayaan umat Islam seluruh dunia” (Tafsir Lambang, Pedoman Organisasi HMI). “Bintang Bulan” secara Maknawi. Dalam perspektif filosofis-spiritual, pada elemen bintang bulan tersirat wujud ideal bagaimana seorang muslim harus menjalani hidup. Bintang termaknai sebagai personifikasi “individu” yang dinamis, karena terus-menerus memancarkan cahaya. Sementara bulan merupakan wujud “masyarakat” yang ikut bersinar karena mendapat cahaya dari sang bintang. Secara kasat mata, bintang xix

terlihat sangat kecil dibandingkan bulan. Tetapi substansinya sangat besar. Selain menjadi “matahari” yang “dekat dengan rakyatnya”, bintang adalah “pemilik otonom cahaya” yang menerangi benda langit lainnya. Demikian perumpamaan seorang “kader”. Sebagaimana didefinisikan, kader adalah orang-orang terlatih yang terbatas jumlahnya. Tetapi, sebuah organisasi, masyarakat, dan negara menjadi bersinar karena kehadiran mereka. Ibarat Muhammadsaw yang eksistensi personalnya mampu “menerangi” kegelapan jazirah, kemunculan seorang kader dapat menumbuh kembangkan dunia yang kering spiritual menjadi bangsa yang kaya mata air tauhied dan keadilan. Bintang, atau matahari, tidak pernah sejenakpun beristirahat dari aktifitas “melontarkan energi”. Pengabdiannya mampu menghidupkan makhluk-makhluk yang ada dalam orbit pancarannya. Cahayanya memiliki kekuatan untuk mencairkan bumi yang beku, menghangatkan dunia yang dingin, menghidupkan sel kulit yang mati, melancarkan peredaran darah, membunuh kuman, serta menyembuhkan berbagai penyakit. Dengan “energi cahaya” ia melakukan semuanya. Kehidupan yang sempurna dari hewan, tumbuhan, dan manusia tergantung pada kehadiran “matahari” mereka. Itulah perlunya kader, sebagai “energi” yang “menghidupkan” segenap alam masyarakatnya. Menjadi cahaya rahmat bagi semesta alam, rahmatallil ‘alamin. Untuk menjadi cahaya, seorang muslim harus menjalani hidup melebihi tapal batas ego ke-aku-an. Menjadi “bintang” bagi dunia bukan menjadi muslim yang hidup dengan slogan-slogan Islam. Menjadi “cahaya” adalah proses mujahadah menjadi “muslim otentik”. Sebuah proses transformasi diri dari basyar sampai menjadi insan kamil harus terus diupayakan, sehingga berpengetahuan luas dan senantiasa bekerja keras. Tidak hanya menjalani hidup sebagai manusia yang shalih secara individu, tetapi juga menjadi mujahid sosial yang tidak mengenal semangat musiman. Puncak “bangunan ibadah” setiap muslim adalah menjadi bintang yang menerangi dan menghidupkan. Dalam bahasa yang sederhana: menjadi “mukmin” yang “intelek”, dan ber-“amal” secara maksimal bagi komunitasnya. Inilah wujud hakiki seorang kader muslim. Seseorang dikatakan sebagai bintang ketika menjadi “matahari terdekat” dengan masyarakat dalam tata suryanya. Seorang bintang adalah “matahari” yang menjadi pusat orbit komunitasnya. Ia pelita yang dicari dan selalu dikelilingi, dijadikan suri tauladan. Inilah leader, penentu arah perubahan dan kemajuan, trendsetter; bukan follower. Ia penggerak, inspirator, pencetus ide-ide brillian, inovator. Sebagaimana Tuhan yang xx

‘butuh’ makhluk sebagai tempat aplikasi perbendaharaan Kebaikan-Nya; Bintang ‘Arasy juga demikian. Ia butuh orang-orang dan organisasi sebagai wadah bagi aktualisasi “cahayanya”. HMI: Thariqah menuju “Bintang”, menjadi “Cahaya”. Rumusan tujuan HMI, “Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allahswt”, merupakan kalimat pengantar (introduction) menuju “cahaya”. Konsepsi ini menjadi mukaddimah dalam meraih maqom tertinggi dari kebenaran, kesucian, dan kesempurnaan. Ber-HMI adalah “proses perkaderan” untuk mengenal diri dan menggali cahaya yang ada dalam setiap jiwa anggotanya. Sedangkan menjadi alumninya adalah “proses perjuangan” untuk menerangi dan menghidupkan masyarakat. Seperti perkataan Musa as:

“… sesungguhnya aku melihat api, mudah-mudahan aku dapat membawa sedikit daripadanya kepadamu atau aku akan mendapat petunjuk di tempat api itu". (QS. Thaha -20: 10).

Proses pengambilan “api” adalah perjalanan (suluk) menuju “cahaya”; proses melepaskan “sandal” (segala kekotoran) untuk masuk ke dalam “masjid” (cinta Ilahi). Ketika seorang kader telah berhasil melakukan pengembaraan intelektual dan spiritual sampai kepada tingkatan segala kekotoran ide dan perilaku koruptif (kapitalis, pragmatis, dan hedonis) telah jauh tertinggal dibelakangnya, maka sampailah ia pada “martabat cahaya”. Sebuah derajat yang pada gerak-geriknya tidak menyisakan apapun kecuali sifat zuhud, yaitu kehidupan sederhana berupa kecenderungan alami kepada Tuhan. Karena baginya, proses “menuju api” adalah proses mengenal Tuhan (ma’rifatullah). Sedangkan proses “membawa pulang api” adalah proses berkhitmad untuk melayani manusia. 

Zuhud menurut bahasa bermakna “meninggalkan sesuatu” atau “berpaling” tanpa kecenderungan dan keinginan kepadanya. Makna lainnya “meremehkan” atau “merendahkan”. Zuhud merupakan sikap jiwa untuk meninggalkan ‘dunia’ untuk fokus hanya kepada Allahswt, guna memperoleh kebahagiaan akhirat. ‘Dunia’ disini termasuk syahwat syaithaniyah dan syahwat hayawaniyah yang dalam bahasa modern disebut hedonisme, konsumerisme, pragmatisme, kapitalisme (korupsi) dan isme-isme lain yang mengabaikan nilai-nilai ruhaniyah dan menjadi akar kerusakan di muka bumi.

xxi

Mereka yang hidupnya konsisten dengan dua “bisnis” ini, yaitu menggali dan mendistribusikan “cahaya”, disebut sebagai orang-orang yang berada pada maqom penjagaan Tuhan, maqom para wakil (khalifah), sahabat dekat (awliya) atau kekasih (habib) Tuhan. Meskipun sehari-hari hidup dan bersosialisasi di tengah keramaian manusia dan secara “fisikmaterial” terlihat biasa-biasa saja; tetapi “isi dalam”-nya (pengetahuan dan perilakunya) merupakan “partikel cahaya”; sesuatu yang membuatnya menjadi luar biasa. Inilah hakikat dari tujuan HMI, menjadi Bintang ‘Arasy, “cahaya Tuhan” bagi kemanusiaan. Rumusan Kajian. Demikian sekilas tujuan HMI. Bahwa pada kalimat sederhana tujuan organisasi mahasiswa tertua dan terbesar di Republik ini, terkandung konsepsi “perjalanan menuju cahaya”, sebuah hakikat hidup sebagaimana dijalani para nabi dan orang-orang mulia setelahnya. Statement tujuan merupakan “ruh” bagi sebuah organisasi. Namun rumusan tujuan menjadi tidak berguna ketika hanya dilihat sebagai teks mati. Untuk itulah kajian ini dilakukan, berusaha meniup ulang dimensi “ruh” dalam tujuan himpunan, memperkuat basis ideologis kader. Karena pada akhirnya, kebesaran organisasi bukan lagi pada simbol dan atribut yang ditempel dimana-mana. Juga bukan pada nama besar “bapak kita” (alumni). Kita harus dikenali karena diri kita sendiri, yaitu dari “cahaya” (akhlak) yang kita pancarkan: dari karakter, ilmu, dan output pengabdian. Ditengah perubahan zaman dan kegersangan jiwa yang melanda dunia modern, HMI harus kembali me-reposisi diri sebagai organisasi “intelektual” serta terus menginjeksi diri dengan ketinggian nilai-nilai “spiritual”. Inilah basis saudara untuk melayani student needs and interests. Maka untuk mempertajam berbagai doktrin ke-HMI-an dan keIslam-an, ada beberapa hal yang hendak digali kembali melalui tafsir Bintang ‘Arasy ini: 1. Apa sebenarnya yang ingin dicapai oleh HMI (makna “filosofis” dan “irfani” dari tujuan HMI); 2. Bagaimana tujuan tersebut dapat dicapai (penjabaran tujuan, bentuk ideologi, tauladan nilai, langkah-langkah praktis untuk mencapai tujuan, model manajemen, dan gaya kepemimpinan yang diperlukan untuk mewujudkan cita-cita).

Tujuan dan Manfaat Penulisan. Penulis berharap karya ini bermanfaat bagi berbagai lapisan pembaca. Pertama, bagi warga HMI yang tersebar di seluruh Indonesia, tulisan ini menjadi suplemen tentang tujuan organisasi, yang tafsir tujuannya sudah xxii

lebih dari 40 tahun tidak mengalami pengayaan. Kajian ini bermaksud memperdalam, menggali, dan menyegarkan kembali makna tujuan himpunan. Penulis tidak meng-klaim ini sebagai tafsir absolute tentang kebenaran. Namun melalui perspektif filosofis (rasional) dan gnostis (irfan), kiranya naskah ini menjadi bahan bagi HMI untuk mempertajam kembali orientasi tujuan dan prinsip-prinsip yang menyertainya. Sebab, jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas membentuk sebuah konsepsi yang memperjelas manhaj atau paradigma gerakan. Kedua, walaupun yang dibahas adalah HMI, buku ini layak dibaca oleh masyarakat Indonesia lainnya. HMI itu bagian dari bangsa, kiprahnya sudah lama, serta kontribusinya juga luar biasa. Sehingga hakikat keberadaannya di hampir semua perguruan tinggi yang sudah lebih dari setengah abad ini perlu diketahui oleh semua. Disamping banyak nilainilai universal yang terdapat dalam buku ini yang layak dikonsumsi oleh siapa pun juga. Terutama bagi mahasiswa, naskah ini dapat digunakan sebagai literatur untuk leadership and character building.***** Billahi taufiq walhidayah. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Banda Aceh, 01 Muharram 1435 H 05 November 2013 M Penulis, Said Muniruddin

xxiii

xxiv

Daftar Isi

Ungkapan Terima Kasih —— v Pengantar Majelis Nasional KAHMI —— vii Sambutan Majelis Wilayah KAHMI Aceh —— viii Sambutan Pengurus Besar HMI —— xv Prakata dari Penulis: “Bintang dan Bulan” —— xvii Daftar Isi —— xxv Daftar Tabel dan Gambar —— xxvii BAB 1 Pendahuluan: “Kampus dan Masa Depan Bangsa” —— 1 BAB 2 HMI: “Sejarah Perjuangan dan Formulasi Tujuan” —— 25 BAB 3 Tujuan HMI: “Pendekatan Rasional-Tekstual” —— 39 BAB 4 Tujuan HMI: “Pendekatan Filosofis-Sufistik” —— 71 BAB 5 HMI dan Ideologi: “Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP)” —— 127 BAB 6 Aktualisasi Nilai-Nilai: “Profil Insan Pejuang Paripurna” —— 213 BAB 7 Visioning dan Operasionalisasi Tujuan: “Peta Hidup Bintang ‘Arasy” —— 261 BAB 8 Manajemen Berbasis Spiritual: “Tasbih Fatimah” —— 309 BAB 9 Leadership: “The Power of Jamal and Jalal” —— 335 Lampiran  Lagu: “Dzikir HMI” —— 410  Doa: “Doa agar Berakhlak Mulia” —— 411 Daftar Bacaan —— 427 Indeks —— 435

xxv

xxvi

Daftar Tabel Tabel 1.1: Tabel 1.2: Tabel 2.1: Tabel 2.2: Tabel 3.1: Tabel 3.2: Tabel 3.3: Tabel 4.1: Tabel 4.2: Tabel 5.1: Tabel 5.2: Tabel 8.1: Tabel 8.2: Tabel 8.3: Tabel 9.1: Tabel 9.2: Tabel 9.3:

Organisasi Mahasiswa di Indonesia, Tanggal Berdiri dan Tujuan ― 18 Pendekatan dan Metode Pemahaman Tujuan HMI ― 23 Sejarah Perjuangan dan Kebutuhan Bangsa ― 34 Evolusi Formulasi Tujuan (Visi) HMI ― 35 Analisis Tekstual Tujuan HMI ― 43 Indikator “Lima Kualitas Insan Cita” (5KIC) ― 48 Indikator “Masyarakat Cita” (Ummah)” ― 63 Tiga Bentuk Takhalli ― 78 Akhlakul Karimah: Totalitas Iman, Islam dan Ihsan ― 109 Kerangka Filosofis Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP-HMI) ― 187 “Bintang ‘Arasy”, Lima Nilai Dasar Perjuangan HMI ― 192 Fungsi-Fungsi Manajemen Klasik ― 314 Fungsi-Fungsi Manajemen Modern ― 316 14 Prinsip Manajemen Fayol ― 320 Pemimpin vs. Manajer ― 341 Aktivitas Pemimpin vs. Manajer ― 341 Gaya Kepemimpinan berdasarkan Tingkah Laku ― 396

Daftar Gambar Gambar 2.1: Gambar 3.1: Gambar 3.2: Gambar 3.3: Gambar 3.4: Gambar 3.5: Gambar 4.1: Gambar 4.2: Gambar 4.3: Gambar 5.1: Gambar 5.2: Gambar 5.3: Gambar 7.1: Gambar 7.2: Gambar 7.3: Gambar 8.1: Gambar 8.2: Gambar 9.1:

Sejarah Perjalanan HMI ― 27 Anatomi ‘Masjid’ Tujuan HMI ― 42 Orientasi HMI ― 46 Profil Ideal Kader HMI ― 52 Dari Transformasi Diri ke Transformasi Sosial ― 55 Totalitas Tujuan HMI: “Insan”, “Masyarakat” dan “Cita-Cita” ― 69 Tujuan HMI, Perspektif Filosofis-Sufistik ― 72 “HMI” adalah “ALLAH” ― 124 Perjalanan Hidup, Proses ber-HMI dan setelahnya ― 125 Hubungan “Islam” dan “Ideologi” ― 160 Kaitan Islam, NDP, Mission, dan Tujuan HMI ― 191 Insan Kamil (Bintang ‘Arasy), Man of values ― 211 Misi HMI, “ke-Islam-an” dan “ke-Indonesia-an” ― 270 “Visioning 5KIC: Peta Hidup Bintang ‘Arasy” ― 273 Logical Framework Tujuan Hidup Kader Pejuang ― 275 Manajemen Berbasis Tuhan ― 319 Tasbih Fatimah: Manajemen Berbasis Spiritual ― 330 Tipologi Kepemimpinan: Jamaliyah dan Jalaliyah ― 402

xxvii

Jangan Membaca! Said Muniruddin Iqra’ adalah pahami! Pahami apa yang kau baca Bukan membaca untuk tidak kau pahami Cerdas itu memahami, bukan membaca Untuk membaca engkau perlu buku Sementara memahami hanya butuh akal murni Cukup dengan melihat engkau bisa membaca Tetapi dengan pandanganlah engkau memahami Orang buta membaca yang tertulis Sedangkan orang arif memahami yang tersembunyi Orang awam sibuk membaca Sementara orang cerdas sibuk meneliti Orang bodoh mengulang-ulang kata orang Sedangkan orang cerdas mengungkap isi hati Tukang nyontek mengutip apa yang telah ada Sementara ahli hikmah menyibak rahasia Ilahi Betapa banyak yang sekolah Tapi terjebak dalam referensi Mereka sibuk mencari kebenaran Padahal itu semua tersimpan dalam nurani Semua negara telah kita kunjungi Tapi tabir pengetahuan masih terkunci Kita sibuk belajar di sana sini Padahal dalam lembaran jiwa lah bersemayam semua teori Ya Allah, di universitas inilah kami belajar Belajar lepas dari penjara diri Belajar membebaskan rasio dari kegelapan taqlid Belajar memurnikan hati dari ilusi klenik Ya Allah, di fakultas inilah kami terus menjadi Menjadi mahasiswa yang tahu aturan Menjadi sarjana penempuh jalan Menjadi doktor yang hakiki Menjadi profesor yang mengenal Diri Menjadi cahaya yang menerangi Jangan dibaca, tapi pahami Jangan dibantah, tapi renungi! xxviii

“CAHAYA DIATAS CAHAYA”

“Allah cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca, kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak disebelah timur (sesuatu) dan tidak pula disebelah barat (nya) , yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya, Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaanperumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS. anNur -24: 35). QS. anNur -24: 35 , Kaligrafi karya Mothana Al-Obaydi

xxix

xxx

BAB

1

Pendahuluan: “Kampus dan Masa Depan Bangsa” Apa yang membuat Sebuah Bangsa Maju dan Sejahtera? Kemajuan suatu bangsa bukan pada luas wilayah atau jumlah penduduknya. Singapura hanya memiliki luas 710 km2 dan berpenduduk 5 juta jiwa, tetapi sangat maju. Cina yang areanya mencapai 9.7 juta km 2 dan berpenduduk lebih dari 1.3 milyar, juga tumbuh pesat. Kemajuan suatu bangsa juga bukan karena lokasi geografisnya. Norwegia, Swedia, Denmark dan Finlandia yang dingin membeku di kutub utara, tetapi menjadi sekumpulan negara skandinavia sejahtera. Pun secara geologis, Jepang yang berada pada area gempa dan tsunami tercatat sebagai negara yang mampu mengelola diri menjadi salah satu yang termakmur di Asia. Sistem politik dan pemerintahan juga bukan faktor paling menentukan. Apapun sistemnya; demokratis, otoriter, kerajaan, republik, sosialis, komunis, atau liberal; bukan faktor penentu. Rusia yang komunis adalah negara berpengaruh. Amerika yang liberal merupakan adidaya. Malaysia dan Brunai Darussalam yang hak-hak politik rakyatnya tidak begitu mendapat ruang, adalah kerajaan sejahtera. Sementara Indonesia yang dibelah khatulistiwa, negara ke-15 terluas dan berpenduduk ke-4

2

SAID MUNIRUDDIN

terbanyak di dunia, yang sudah lebih dari setengah abad mempraktikkan demokrasi pancasilanya, namun keadilan masih sebatas angan-angan di pembukaan UUD 1945. Kemakmuran hanya milik para pemimpin dan politisinya saja. Formalisasi agama dalam sistem negara, meski tidak ada larangan, juga tidak menjamin kemajuan dan kesejahteraan. Menempelkan slogan “syari’ah”, “khilafah”, dan “negara Islam” pada papan nama sebuah negara tidak serta merta menjadi solusi keterbelakangan bangsa. Republik Islam Pakistan misalnya, sudah berdiri sejak 1947, tapi masih berada pada rangking teratas negara-negara terkorup.1 Pertikaian internal Sunni-Syiah di sana juga tidak jauh berbeda dengan realitas konflik sukusuku masa jahiliah. Arab Saudi yang berkonstitusi Islam juga sama. Meski kaya minyak, namun kestabilan ekonomi dan politiknya sedang diuji. Kekerasan pemerintah terhadap sebagian warganya, serta penghambaan diri pemimpin-pemimpin mereka kepada kepentingan kapitalisme dan sekutu-sekutunya, cepat atau lambat akan mendapat murka dari Tuhan Pemilik Ka’bah. Jika kondisi “geografis”, “demografis”, “geologis”, dan “sistem pemerintahan” tidak menjadi determinant factor bagi kemajuan dan kemakmuran, lalu apa? Apakah karena sumberdaya alam-nya? Ternyata, kecukupan sumberdaya alam juga tidak menjamin kesejahteraan, jika rakyatnya bodoh dan pemimpinnya dhalim. Negaranegara di Afrika menjadi contoh bagaimana mereka lapar dan miskin ditengah kandungan alam yang berlebih. Mereka punya emas dan intan; namun dikuasai “qarun-qarun” (korporasi) asing yang berkolaborasi dengan “firaun-firaun” (penguasa) lokal. Hal serupa terjadi di negara kita. Hasil bumi Indonesia melimpah. Kandungan gas alamnya termasuk yang terbesar di dunia. Emasnya memiliki kualitas terbaik. Hutan tropisnya terbesar di dunia, dengan keanekaragaman hayati dan plasma nutfah paling lengkap di dunia. Lautnya sangat luas, dengan jutaan spesies ikan yang tidak dipunyai negara lain. Tanahnya juga sangat subur, bahkan dengan potensi gunung apinya menyebabkan berbagai tanaman hidup sempurna. Demikan juga

1

Data korupsi tahun 2012 menunjukkan Pakistan menduduki peringkat 139 dari 176 negara, masuk kategori “sangat tinggi” tingkat korupsi. Sementara menurut release tahunan lembaga Transparency International yang berpusat di Berlin-German tentang Corruption Perceptions Index (CPI), Indonesia masih berada pada ranking di atas seratus, atau “tinggi” tingkat korupsinya.

BAB 1 Pendahuluan: “Kampus dan Masa Depan Bangsa”

3

halnya dengan pesona alam. Panorama terindah dapat dinikmati mulai dari puncak gunung sampai ke dasar laut. diseluruh nusantara. Tetapi apa yang terjadi? Aset bangsa dieksploitasi segelintir perampok. Kayu, minyak, gas, pasir, emas; diangkut ke luar. Sementara rakyatnya tidak terdidik dan mengalami busung lapar. Kemiskinan penduduk diseputar blok gas Arun Exxon Mobil di ujung barat Indonesia, sampai ketelanjangan warga di sekeliling blok emas Freeport di ujung timur Indonesia, adalah potret marginalisasi keterjajahan bangsa. Dari Sabang sampai Merauke, berjajar penguras kekayaan alam. Banyak negara yang terbatas sumberdaya alamnya, tetapi karena pemimpinnya handal, berhasil mencapai kemakmuran. Sebaliknya, banyak negara yang kaya kandungan alam, tetapi pemimpinnya ‘idiot’, maka selamanya stagnant. Rakyatnya dibiarkan hidup dalam keterbelakangan. Sehingga sebagian penduduknya merasa bahwa inilah model kehidupan yang normal, karena seumur hidup mereka tidak pernah mengetahui dan tidak pernah diberitau akan hak-haknya. Pemimpin yang jahil dan rakyat yang terbodohkan menyebabkan sebuah bangsa tidak pernah melihat masa depan. Kualitas Pemimpin dan Rakyat. Adalah “sumberdaya insani”, kualitas pemimpin dan rakyatnya, yang menjadi kunci kemajuan sebuah bangsa. Sebuah negara akan maju; apapun kondisi geografis, geologis, demografis dan sistem pemerintahannya, selama memiliki dua hal. Pertama, pemimpinnya harus “visioner” (memiliki pengetahuan), memiliki “kepedulian” dan “keberanian mental” untuk membawa perubahan mendasar bagi bangsanya. Keberadaan pemimpin seperti ini sangat sentral bagi sebuah bangsa. Ali bin Abi Thalib mengatakan: “Pemimpin yang adil meskipun kafir, lebih baik daripada pemimpin yang beragama Islam tapi dhalim.” Adil merupakan salah satu nilai universal yang menjadi penentu kemajuan dan kesejahteraan sebuah bangsa. Pada konsepsi adil ini terkandung visi, rasa peduli dan mentalitas untuk semakin hari semakin baik (ihsan). Praktik-praktik pemerintahan dan kemasyarakatan yang berlandaskan prinsip-prinsip keadilan menjadi salah satu ukuran islami tidaknya sebuah negara. Disebutkan:

4

SAID MUNIRUDDIN

“… Bersikap Adil-lah, karena itu lebih dekat kepada Taqwa…” (QS. alMaidah -5: 8). Kedua, rakyat harus berkualitas. Manusia-manusia berkualitas memiliki perencanaan hidup, disiplin diri yang tinggi, serta punya strategi dan taktik perjuangan untuk memajukan diri dan bangsanya. Rakyat yang cerdas akan mampu menguasai, mengatur dan memanfaatkan alam secara ekonomis, efisien dan efektif. Bukan sebaliknya; boros, dikuasai dan diperbudak oleh alam dan penjajah. Warga yang kritis mampu bertindak adil, memberikan kontrol yang baik (check and balances) terhadap negara dan pemerintahnya. Rakyat yang cerdas dan berkarakter akan melakukan perubahan, inovasi, dan perbaikan masyarakatnya (ihsan) sehingga berdampak besar terhadap meningkatnya daya saing (competitiveness), produktifitas (productivity), dan kemuliaan (muruwah) bangsanya. Maka adil dan ihsan menjadi “ketetapan Tuhan”, atau faktor yang menentukan kemajuan, kesejahteraan, dan kemuliaan sebuah bangsa. Sebuah hadist menyebutkan, seluruh makna taqwa yang menjadi derajat kemuliaan seseorang disimpulkan dalam ayat 2:

“Sesungguhnya Allah memerintahkan akan Keadilan dan Ihsan…” (QS. anNahl -16: 90). Kapitalisme, Musuh Terbesar Kemanusiaan. Sejak dulu, tantangan terbesar kemanusiaan adalah ketidakadilan; yang hadir dalam wajah kedhaliman, kebatilan, keburukan, korupsi, eksploitasi, dan berbagai bentuk kejahatan yang membuat masyarakat bodoh dan miskin. Semua jenis syirik ini, dalam konsep modern disebut kapitalisme (akumulasi

2

M. Reyshahri. 1996. Mizan alHikmah, 1st ed. Dar al-Hadist: Qom.

BAB 1 Pendahuluan: “Kampus dan Masa Depan Bangsa”

5

kekayaan, penuhanan materi dan diri sendiri dengan cara menindas atau mengambil hak orang lain). Sepanjang zaman, syirik (kapitalisme) muncul dalam berbagai bentuk. Wujud paling dasar adalah “kapitalisme murni” (individualism). Keserakahan ini terdapat pada tingkatan individu. Secara personal, setiap orang punya potensi untuk bersikap riba’ dan rakus. Kapitalisme individual ini kemudian mewujud dalam struktur kekuasaan sehingga menjadi “kapitalisme birokrasi” (patrimonialistic capitalism). Dalam paham sosialisme sekalipun, watak rakus kapitalistik-materialistik dapat tumbuh subur. Louis XVI di Perancis (1799), Mussolini di Italia (1945), Reza Pahlavi di Iran (1979), Marcos di Filipina (1986), Suharto di Indonesia (1998), Ben Ali di Tunisia (2011), Husni Mubarak di Mesir (2011), termasuk sosialisme Rusia (1991), Yugoslavia (1992), merupakan wujud dari beberapa tirani kapitalis atau birokrat penguasa yang tersapu gelombang protes. Wajah tercanggih lainnya dari keserakahan ini adalah “kapitalisme berjaring” (booty capitalism)3. Sebuah persekongkolan berbagai elemen dalam suatu negara. Pemerintah, politisi, birokrat, hakim, jaksa, polisi, militer, pedagang, LSM, pers, dan akademisi (sebagian atau keseluruhan mereka) berkolaborasi untuk merampok negara. Secara rapi dan sistematis para priyayi ini menggerogoti hak-hak masyarakatnya. Tawar menawar anggaran diatur mulai dari level nasional sampai ke tingkat lokal. Setoran dan bagi-bagi fee antara pemerintah, politisi, birokrat, dan pengusaha menjadi model “distribusi” dan “pemerataan” pembangunan. Partai politik yang semestinya menjadi tempat kristalisasi idealisme perjuangan (political institution) diubah menjadi arena jual beli uang dan jabatan (political enterprise). Pada masa VOC, Kapitalisme semacam ini terbentuk dalam jaringan “3G”: Gospel, Gold, and Glory (injil, emas, dan kejayaan). Yaitu persekutuan oligarkhi predator antara “politisi, pedagang, dan pendeta” (Fir’aun, Qarun, dan Bal’am). Alhasil, VOC dan berbagai pemerintahan koruptif seperti itu tersapu oleh perilakunya sendiri. Kebenaran vs. Kebatilan. Segala wujud kapitalisme (fasisme, imperialisme, kolonialisme, zionisme, feodalisme, diktatorisme, komunisme, neo dan post-liberalisme) merupakan kejahatan yang muncul ketika manusia meninggalkan fitrah-nya. Kebatilan hadir ketika manusia

3

P.D Hutchcroft. 1998. Booty Capitalism, 1st Ed. Cornell University Press: New York.

6

SAID MUNIRUDDIN

mengabaikan kesucian diri (hati nurani). Keburukan muncul ketika manusia absen dari kebaikan. Kemungkaran eksis ketika manusia meninggalkan Tuhan dengan mengikuti hawa nafsu dan setan. Potensi “gelap” hanya akan aktual ketika tiadanya “cahaya”:

“Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya. Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan. Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. alBaqarah -2: 257).4 Cahaya (kebenaran, kebajikan, kesempurnaan, kesucian, dan keindahan) merupakan wujud yang “otonom”. Maka hidup dengan cahaya adalah kehidupan yang fitri, berkualitas, sempurna dan bahagia. Sebaliknya, kegelapan (kebatilan, kejahatan, ketidaksempurnaan, dan keburukan) merupakan wujud yang tidak otentik. Maka hidup dengannya merupakan hidup yang membawa kepada penderitaan. Kejahatan itu seperti “buih” yang menutupi air kebenaran, atau seperti “benalu” yang melilit pohon kebajikan. Mereka ada, tapi wujudnya seperti parasit. Eksistensinya tidak mandiri, melainkan menempel atau menumpang hidup pada pokok kebenaran dan kebajikan. Wujud mereka itu, walaupun terlihat ramai dan banyak, sebenarnya sangat lemah. Oleh

4

Banyak ayat lainnya yang berbicara tentang ‘gelap’ sebagai ‘kejahatan’ dan ‘cahaya’ sebagai ‘kebenaran’: [1] “Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekalikali tidak dapat keluar daripadanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. alAn’am -6: 122); [2] “Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al Kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. ”Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (QS. alMaidah -5: 15-16); [3] “Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barang siapa yang tiada diberi cahaya oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun.“ (QS. anNur -24: 40).

BAB 1 Pendahuluan: “Kampus dan Masa Depan Bangsa”

7

sebab itu, kebenaran yang tertutup dibelakang buih dan bayang-bayang benalu, eksistensi dan substansinya lebih kuat.5 Melalui perjuangan membersihkan “benalu” dan “buih-buih” kebatilan ini, pada akhirnya kebenaran dan keadilan kembali nyata. Yang salah akan hanyut tersapu dan yang tinggal hanya kebenaran:

“Ia menurunkan air dari langit, lalu membanjiri tanah-tanah lembah menurut kadarnya yang ditetapkan Tuhan untuk faedah makhluknya, kemudian banjir itu membawa buih yang terapung-apung. Dan dari benda-benda yang dibakar di dalam api untuk dijadikan barang perhiasan atau perkakas yang diperlukan, juga timbul buih seperti itu. Demikianlah Allah memberi misal perbandingan tentang perkara yang benar dan yang salah. Adapun buih itu maka akan hilang lenyaplah ia hanyut terbuang, manakala benda-benda yang berfaedah kepada manusia maka ia tetap tinggal di bumi. Demikianlah Allah menerangkan misal-misal perbandingan” (QS. arRa’d -13: 17). Tugas terpenting adalah, melahirkan orang-orang yang sadar untuk berjuang. “Kejahatan”, walaupun eksistensinya semu, namun sering terorganisir sehingga terlihat kuat. Sedangkan “kebaikan” yang substantif dan otonom itu, sering tidak terkelola sehingga dipersepsikan lemah. Kegelapan muncul bukan karena kita tidak punya orang cerdas. Seringkali kita mengalami set-back justru ketika orang-orang bodoh, fundamentalis, dan jumud mau secara bersama-sama merongrong kebenaran. Sementara orang-orang cerdas, moderat dan mengetahui kebenaran; diam saja. Kita sudah punya cukup banyak orang cerdas. Yang kita perlukan adalah orang-orang berpengetahuan yang mau membangun gerakan. Melahirkan Manusia dan Pemimpin Berkualitas. Banyak negara dan bangsa dalam sejarah yang mengalami kemajuan panjang, lalu runtuh secara perlahan karena pemimpin dan masyarakatnya mulai mengabaikan nilai adil dan ihsan. Seperti telah terjelaskan, korupsi (kapitalisme) dan arogansi (taghut), keduanya adalah jenis dari “syirik”,

5

M. Muthahhari. 2001. “Neraca Kebenaran dan Kebatilan: Menjelajah Alam Pikiran Islam”. Penerbit Cahaya: Bogor.

8

SAID MUNIRUDDIN

menjadi penyebab utama hancurnya banyak organisasi. Masyarakat cenderung menonton saja ketika kebatilan berjalan di depan mata. Semua mengetahui itu salah, tetapi “tutup mulut”. Jangankan bersuara, konon lagi melawannya, berdo’a juga tidak. Oleh sebab itu, lahirnya manusia-manusia berkualitas, yang “nilai-nilai dan pengetahuan kebenaran terintegrasi dalam diri” serta punya “syaraf yang aktif untuk bergerak”, menjadi keniscayaan bagi sebuah bangsa untuk keluar dari gelap (dhulumat) menuju cahaya (nur). Maka jelaslah, pembangunan manusia yang ber-karakter dan ter-organized menjadi titik sentral kemajuan, kesejahteraan, dan kemuliaan sebuah bangsa. Inilah spirit Islam, mendorong umatnya untuk “sadar”, “cerdas” dan “aktif” (kemudian dibahasakan dengan “iman”, “ilmu” dan “amal”). Inilah pesan inti Islam sebagai kunci kemajuan ummat. Jika Indonesia yang luas dan kaya sumberdaya alam ini dapat berbenah menjadi bangsa yang sadar diri, berpengetahuan, dan inovatif; maka dengan 240 juta penduduknya akan menjadikan Republik ini sebagai negara berpengaruh di dunia. Karena di satu sisi, Islam merupakan agama mayoritas di Indonesia, dianut sekitar 210 juta orang. Namun ajaran ini belum dihayati dan dipahami secara benar oleh masyarakat dan pemimpinnya. Kualitas manusia Indonesia masih rendah.6 Seharusnya, ketinggian ajaran Islam tidak menjadikan kita sebagai bangsa inferior, marginal, bermental inlanders, dan takut kepada opressors. “Innallaha ya’muru bil ‘adli wal ihsan” (QS. anNahl -16: 90) adalah ayat yang terus menerus mengingatkan kita bahwa Islam “agama perjuangan dan pembangunan”. Islam adalah “agama perlawanan dan perbaikan”. “Perlawanan” terhadap segala hal yang mengangkangi keadilan, serta “perbaikan” segala kondisi untuk memperindah peradaban. Jika sungguh-sungguh dipahami, khutbah Jum’at dalam Islam memiliki spirit politik dan perjuangan yang sangat tinggi. Karena dipenghujungnya selalu diakhiri dengan pesan untuk menegakkan keadilan dan ihsan, sebuah pesan keummatan dan kebangsaan yang bernilai tinggi. Pesanpesan untuk menjadi bangsa superior.

6

Lembaga dunia United Nation Development Program (UNDP) mengukur kualitas pembangunan manusia dengan Human Development Index (HDI), sebuah metode yang pertama kali diperkenalkan oleh ekonom Pakistan Mahbubul Haq tahun 1990. Melalui ukuran ini, sampai tahun 2013 misalnya, kualitas pembangunan manusia Indonesia berada pada peringkat di atas seratus dari lebih 180 negara. Rangking ini menempatkan kita jauh di bawah negara-negara tetangga sekawasan seperti Australia, Singapore, Brunai Darussalam, Malaysia, Thailand, dan Filipina (Sumber: UNDP. 2013. Human Development Report 2013: The Raise of the South, Human Progress in a Diverse World. Human Development Report Office: New York).

BAB 1 Pendahuluan: “Kampus dan Masa Depan Bangsa”

9

Karena Islam adalah “organisasi perjuangan” (jihad), dengan demikian tanpa kecuali, seluruh umat Islam diperintahkan Tuhan menjadi pejuang (mujahid). Setiap kita wajib memiliki kesadaran personal dan kolektif untuk menegakkan keadilan, melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Agama menuntut kita “Jihad” dengan segala resources yang kita punyai (waktu, uang, fikiran, dan tenaga) untuk “aktif mendukung hal-hal baik”, serta “pro-aktif melawan hal-hal buruk”. Islam tidaknya kita, diukur pada dua aktifitas ini. Karena inilah pekerjaan para nabi. Menjadi Pewaris Para Nabi. Dalam sejarah, nabi dikenal sebagai sekelompok manusia yang datang mengajak masyarakatnya keluar dari “bayang kegelapan”, dari “parasit pengganggu” dan “buih kekotoran” menuju Cahaya.7 Para nabi hadir membawa berita gembira bagi kaumnya tentang hakikat Cahaya yang merupakan sumber kebenaran dan kebahagiaan.8 Sedangkan Cahaya dari segala cahaya itu adalah

Banyak ayat yang menjelaskan tentang fungsi para nabi untuk membawa manusia dari gelap kepada cahaya: [1] “Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.” (QS. Ibrahim -14: 1); [2]“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Musa dengan membawa ayat-ayat Kami, (dan Kami perintahkan kepadanya): ”Keluarkanlah kaummu dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah”. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang penyabar dan banyak bersyukur.” (QS. Ibrahim -14: 5); [2] “Dialah yang menurunkan kepada hamba-Nya ayat-ayat yang terang supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Penyantun lagi Maha Penyayang terhadapmu.” (QS. alHadid -57: 9); [3] “(Dan mengutus) seorang Rasul yang membacakan kepadamu ayat-ayat Allah yang menerangkan (bermacam-macam hukum) supaya Dia mengeluarkan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang shaleh dari kegelapan kepada cahaya. ….” (QS. atThalaq -65: 11); [4] “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” (QS. alHadid -57: 28);[2] “Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya, supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya. Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.” (QS. alAhzab -33: 43); 8 “Sesungguhnya Kami mengutus kamu dengan membawa kebenaran sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Dan tidak ada satu ummatpun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan” (QS. alFathir -35: 24). 7

10

SAID MUNIRUDDIN

Allahswt.9 Hanya dengan Cahaya-Nya manusia mencapai kemajuan dan kebahagian hakiki. Meski kenabian telah berakhir10, dunia tidak pernah sepi dari kehadiran penyuara kebenaran dan keadilan. Termasuk diantara mereka adalah para imam, ulama, mahasiswa, negarawan, politisi, birokrat, profesional, dan orang-orang hanief yang bekerja siang malam untuk membangun dunia yang lebih beradab. Semua ini intelektual dan aktifis pelanjut misi kenabian. “Harga” mereka tinggi sekali. Nabisaw mengatakan: “Ulama dari umatku lebih tinggi derajatnya daripada nabi-nabi Bani Israil”.11 Tentu tidak pernah kita harapkan jika komunitas pejuang ini kumpulan takfiri12 yang ekstrim dan bodoh. Mereka ini spesies unggul: khaira ummatin13, orang-orang terbaik yang diutus Tuhan untuk menjadi “bintang” yang menerangi dunia:

“Dan untuk jadi penyeru kepada Agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi pelita yang menerangi.” (QS. alAhzab -33: 46)

Setidaknya ada tiga kualitas yang ditemukan pada diri “Bintang ‘Arasy” mereka: (1) Mempunyai spiritualitas dan mentalitas yang kuat –beriman; (2) Memiliki rasionalitas yang tinggi –berilmu pengetahuan; (3) berjuang secara bersama-sama secara rapi dan terorganisir, melalui kerangka ideologi yang jelas, dan didukung keahlian strategis, taktis, teknis, dan teknologis –beramal. Inilah konsep sederhana manusia sempurna atau insan pejuang paripurna (insan kamil atau insan cita). Tiga kualitas dasar inilah yang diharapkan tumbuh dalam setiap diri kita sebagai kader umat untuk “… Cahaya diatas cahaya. Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki…. (QS. anNur -24: 35). 10 “Muhammad bukanlah bapak dari salah seorang laki-lakimu, akan tetapi ia adalah Rasul Allah dan penutup para nabi [khataman nabiyyin]. Dan Allah mengetahui segala sesuatu” (QS. alAhzah -33: 40) 11 A. Syariati. 1970. Religion vs. Religion, Lectures at Husainiyah Irsyad, Iran. 12 Takfiri adalah orang-orang yang suka menyatakan “sesat” dan “kafir” kepada orang lain. Mereka ini benih-benih ekstrimis dan teroris. Bukan hanya menyerang agama lain, tetapi juga saudara-saudara seagama yang berbeda mazhab atau paham dengannya. 13 “Kamu adalah sebaik-baik ummat yang diutus, untuk menyuruh berbuat yang baik dan mencegah segala yang buruk dan beriman kepada Allah….” (QS. Ali ‘Imran -3: 110). 9

BAB 1 Pendahuluan: “Kampus dan Masa Depan Bangsa”

11

membangun bangsa. Tuhan menyebutkan, pada setiap masyarakat selalu ada manusia-manusia seperti ini. Disepanjang zaman akan selalu muncul “the voice of justice” seperti ini.14 Sebesar apapun “buih-buih” kebobrokan mengotori sebuah bangsa, dibelakang itu selalu ada sekumpulan insan yang sadar dan terus melakukan pembersihan. Dan pada akhirnya, “kebenaran akan menang”15; dengan usaha, biaya dan pengorbanan tentunya. Pertanyaannya, dimanakah di Republik ini, manusia-manusia sejati pewaris para nabi ini lahir dan dapat ditemukan? Peran Kampus. Manusia-manusia berkualitas dapat muncul dari mana saja. Bisa di desa dari kelompok petani dan pengembala; atau di kota dari keluarga aristokrat dan pengusaha. Siapapun mereka, tentunya lahir dari “bibit” serta “proses” penempaan (aktualisasi potensi) berkesinambungan. Disamping peran keluarga, negara juga bertanggungjawab mendidik warganya. Tidak hanya agar berpengetahuan luas, tapi juga untuk memiliki seperangkat mentalitas ilahiyah dalam kerja dan pengabdian. Yaitu terintegrasinya “99 Asma Tuhan” dalam dalam tindak keseharian. Proses ini disebut “pendidikan”, baik formal atau informal. Karakter bangsa mesti dibangun sejak dini sampai ke jenjang tertinggi. Level formal pengajaran terakhir ada di perguruan tinggi. Pada saat inilah anak didik mengalami dinamika personal yang tinggi. Periode mahasiswa merupakan masa pembentukan profesionalisme keilmuan serta pencarian jati diri. Disini dapat terbentuk watak independensi (hanief), bahkan juga jiwa pragmatis. Perguruan tinggi menjadi pintu gerbang bagi warga terdidik untuk memasuki dunia nyata. Maka melalui tiga Tridharma-nya (Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian) perguruan tinggi diamanahkan melahirkan enlightened intellectuals, kaum intelek yang tercerahkan.

“Sesungguhnya kami mengutus kamu dengan membawa kebenaran sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan”. Dan tidak ada suatu umatpun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan” (QS. alFathir -35: 24). 15 “Katakanlah (Ya Muhammad): Telah datang kebenaran dan telah runtuh kebatilan. Sesungguhnya kebatilan pasti akan lenyap.” (QS. alIsra -17: 81); 14

12

SAID MUNIRUDDIN

“Tridharma Perguruan Tinggi”

Dari tiga dimensi tridharma tersebut diharapkan lahir pemimpinpemimpin yang berkarakter, cerdas, kreatif-inovatif dan mampu memenej berbagai sektor kehidupan bangsa. Idealnya, pemimpinpemimpin ini merupakan tajalli Tuhan di alam semesta, perwujudan dari “Karakter-Karakter Terindah-Nya” (Asmaul Husna). Oleh sebab itu, kampus merupakan tempat yang paling diharapkan untuk melahirkan “manusia-manusia sempurna” (insan kamil). Kelemahan Kampus. Namun kenyataannya tidak selalu demikian. Yang lahir di kampus justru intelektual yang mengalami disorientasi hidup. Lulusan perguruan tinggi sering tidak berkualitas. Pengetahuan dan skill-nya rendah. Kemampuan leadership dan moralitasnya lemah. Disinyalir, ini akibat ketidak mampuan kampus mengelola dirinya, sehingga kualitas anak didiknya terabaikan.16 Kegagalan kampus untuk memperkaya jiwa mahasiswanya bukan cerita baru. Ali Shariati dalam “Tugas Cendekiawan Muslim”17, secara lugas menguraikan sisi lemah intelektual. Jenis manusia yang seharusnya lahir di kampus adalah mereka yang tidak hanya sekedar memiliki ilmu, tetapi juga punya kemampuan membangun kesadaran masyarakat, sekaligus terlibat dalam gerakan sosial. Sayangnya, sejumlah perguruan tinggi memainkan perannya secara sempit. Kampus hanya beroperasi sebagai industri penghasil sarjana secara masal. Ego anak didik

S. Abbas. 2008. Manajemen Perguruan Tinggi, hal. xi. Canadian International Development Agency, DEPAG RI, McGill University Montreal Canada, IAIN Ar-Raniry: Banda Aceh. 17 A. Syariati. 1994. Man and Islam, terjemahan Amin Rais “Tugas Cendekiawan Muslim”. PT Raja Grafika Persada: Jakarta. 16

BAB 1 Pendahuluan: “Kampus dan Masa Depan Bangsa”

13

dibangun hanya sebatas untuk mampu menyelamatkan diri sendiri, dengan mengabaikan persoalan lingkungan. Sepakat dengan hal ini, Muhammad Yunus peraih Hadiah Nobel Perdamaian 2006 mengatakan, “Kampus terlalu arogan dengan teoriteorinya”. Kaum akademisi ibarat menara gading, menjulang ke langit dan terbuai dengan ilusi-ilusi teoritis. Sangat sedikit dari intelektualnya yang mau turun ke grass root untuk hidup di realitas sosial masyarakatnya.18 Mahasiswa Dosen

: :

Mahasiswa Dosen

:

Mahasiswa Dosen

: :

“Tujuan kuliah apa pak?”. “Mendidik kalian jadi kuli: kuli pemerintah, kuli atasan dan kuli-kuli lainnya”. “Kok bisa begitu pak?”. “Itulah tujuan belajar dalam ruangan, mengurung kalian untuk mendengar kami berbicara”. “Jadi bagaimana biar kami tidak jadi kuli pak?” “Merdekakan diri kalian dengan hidup aktif, kreatif dan inovatif. Organisir diri dan masyarakatmu. Berorganisasilah!”

Kegagalan melahirkan “intelektual-ideolog” dicurigai bermula dari pola pengajaran yang terlalu “theoritical-oriented”. Sukses secara sempit diukur melaui “IPK” saja. Akibatnya, potensi mahasiswa sebagai makhluk multi-inteligence terabaikan. Bakat minat termatikan. Potensi intellectual quotient (IQ), emotional quotient (EQ), dan spiritual quotient (SQ) tidak tumbuh dengan baik. Mahasiswa dipenjara dari teori ke teori lain, dari satu ruang kuliah ke ruang kuliah lain, tanpa merasakan realitas sosial yang sesungguhnya. Mahasiswa diajari budaya instan. Bukannya diajari memahami secara utuh tujuan pendidikan dan hakikat keberadaan dirinya di muka bumi, mahasiswa justru didorong cepatcepat selesai kuliah. Mahasiswa diarahkan menjadi “mesin” bagi tuannya, memenuhi pasar-pasar tenaga kerja, dengan berbagai pilihan rating gaji. Akibatnya, jauh di bawah alam sadar mahasiswa, secara berlahan tertanam, bahwa uang (materi) menjadi satu-satunya tujuan. 18

M. Yunus. 2005. Creating World without Property, diterjemahkan oleh R.R. Moediarta “Menciptakan Dunia tanpa Kemiskinan”. Gramedia: Jakarta.

14

SAID MUNIRUDDIN

Pragmatisme dan hedonisme tumbuh menjadi mentalitas mereka. Akhirnya, makna transenden dari hidup menjadi sirna. Tanpa disadari, kampus menjadi supplier utama koruptor untuk negeri ini. Sebagian dosen juga mengidap penyakit serupa. Tidak semua mereka layak disebut “guru”, karena hanya larut dengan personal interests. Dalam pikirannya hanya ada pragmatisme, cara cepat menjadi profesor, memperoleh jabatan, serta pendapatan yang besar. Fokus mereka hanya pada diri dan keluarganya, dengan menafikan perbaikan kondisi mahasiswa dan masyarakat di luar pagar kampusnya. Ada juga dosen yang peduli terhadap mahasiswa. Sayangnya, sebagian mereka malah menganggap dirinya sebagai satu-satunya pusat kebenaran bagi mahasiswa. Mereka menganggap anak didiknya akan cerdas cukup dengan duduk mendengar semua ceritanya, lalu disuruh pulang untuk mengerjakan semua tugas yang diberikannya. Mahasiswa tidak diberikan arahan dimana lagi harus duduk dan bersosialisasi untuk memperoleh berbagai pengetahuan untuk pengembangan dirinya. Adakah yang lebih sesat dari “ideologi” pendidikan seperti ini? Tujuan Pendidikan. Setidaknya ada tiga tujuan pendidikan: (1) to know; (2) to do; (3) to love each other. Tujuan pertama mengharuskan setiap lembaga pendidikan memfasilitasi mahasiswa untuk “memahami” bidang ilmunya. Sementara yang kedua bertujuan memperdalam “kompetensi” bidang ilmu. Tujuan ketiga adalah hakikat dari pendidikan itu sendiri, dan ini sering terlupakan oleh perguruan tinggi, yaitu “keahlian interpersonal”. Dengan pengetahuan (know) dan keahlian (do), mahasiswa diharapkan peduli dengan realitas masyarakat serta terlibat dalam transformasi sosial (live together and love each other). Dalam bahasa alQuran, tujuan terakhir merupakan “fungsi kekhalifahan” untuk menciptakan dunia yang lebih baik, sebagai bentuk aplikasi dari keimanan dan keilmuan.19 Dalam filosofi pendidikan Islam, otak (rasionalitas) dan hati (spiritualitas) merupakan dimensi utama kemanusiaan. Dua potensi ini membedakan manusia dengan binatang. Dua hal ini yang membuat

19

“Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebaikan; maka mereka akan mendapat pahala yang tiada putus-putusnya” (QS. atTin -95: 6).

BAB 1 Pendahuluan: “Kampus dan Masa Depan Bangsa”

15

manusia menjadi makhluk sadar (conscious), sehingga terus maju dan secara kreatif membangun peradaban (becoming). Oleh sebab itu, tanpa mengabaikan dimensi fisik, pendidikan dalam Islam bertujuan membangun kepribadian melalui maksimalisasi dua potensi ini. Melalui pendidikan dihasilkan muslim ideal atau manusia sempurna.20 Dalam berbagai nama disebut sebagai manusia yang baik (beradab)21, memiliki kepribadian yang seimbang22, pribadi yang taqwa23, tenaga profesional24, pribadi yang sempurna fisik (sehat dan kuat), akal (cerdas) dan hatinya (taqwa)25, warga negara yang baik dengan kesiapan hidup di dunia dan akhirat, serta memahami keterkaitannya dengan masyarakat, alam dan Tuhan.26 “Pendidikan dikatakan berhasil jika menghasilkan insan ilahiyah”, kata Imam Khoemaini. Karena apapun yang diajari, dipelajari, dan dilakukan; pada hakikatnya hanya untuk mengenal Tuhan (ma’rifatullah).27 Dengan mengenal Tuhan, manusia akan memahami relasi dirinya dengan Tuhannya. Sehingga muncul kesadaran bahwa eksistensi kita adalah untuk menjadi hamba (‘abdullah)28 dan wakil-Nya (khalifah).29 Oleh sebab itu, seluruh potensi keilmuan dan keahlian harus diaplikasikan untuk tujuan itu. Ini yang disebut fungsi “kehambaan” dan fungsi “ kekhalifahan” manusia. Beribadah kepada Tuhan, dan bekerja untuk kemakmuran.30 Maksimalisasi kedua fungsi ini dapat dicapai melalui pendidikan kesadaran, optimalisasi otak dan hati, pengembangan watak kepribadian, dan moral etika. Bukan hanya dengan cara mengupas text book, tetapi juga melalui beragam aktifitas personal dan sosial. Namun kampus tidak memiliki cukup energi untuk memaksimalkan seluruh

M. Muthahhari. 2005. Konsep Pendidikan Islami, hal. 16, terjemahan M. Bahruddin. Iqra’ Kurnia Gemilang: Depok. 21 S.M.N. al-Attas. 1990. Konsep Pendidikan Islam. hal. 63, terjemahan Haidar Bagir. Mizan: Bandung. 22 S.A. Ashraf. 1994. Horizon Baru Pendidikan Islam. hal. 2, terjemahan Sori Siregar. Firdaus: Jakarta. 23 M. Quthb. 1993. Sistem Pendidikan Islam, hal. 21, terjemahan oleh Salman Harun. Bandung: Al-Ma’arif. 24 M.A. Al-Abrasyi. 2003. Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan Islam, hal. 13-16, terjemahan A.Z. al-Kaff. Pusaka Setia: Bandung. 25 A. Tafsir. 1992. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, hal. 50-51. Remaja Rosdakarya: Bandung. 26 O.M. Al-Syaibani. 1979. Falsafah Pendidikan Islam, hal. 406-410, terjemahan H. Langgulung. Bulan Bintang: Jakarta. 27 Khoemaini. 2004. Insan Ilahiyah: Menjadi Manusia Sempurna dengan Sifat-Sifat Ketuhanan, Puncak Penyingkapan Hijab-Hijab Duniawi, hal. 265, Pustaka Zahra: Jakarta. 28 “Aku tidak menciptkan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku” (QS. azDzariyat -51: 56). 29 “Dan Dialah yangmenjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di bumi dan Dia mengangkat sebagian kamu di atas yang lain....” (QS. alAn’am -6: 165). 30 “....Dia telah menciptakan kamu dari bumi dan menjadikanmu pemakmurnya....” (QS. Hud -11: 61) 20

16

SAID MUNIRUDDIN

potensi anak didiknya. Sehingga dibutuhkan perangkat keorganisasian lainnya. Menutupi Kelemahan Kampus. Karena kampus tidak sepenuhnya mampu memboboti kebutuhan intrinsik mahasiswa, muncul kelompokkelompok yang membangun gerakan-gerakan intelektual (intellectual nomadism).31 Sejumlah mahasiswa berusaha untuk tidak membatasi diri pada sebatas wacana di ruang kuliah. Mereka berinisiatif terlibat lebih luas dalam forum dialog, kajian, diskusi, dan aktifitas sosial dan keorganisasian lainnya. Disini mereka menemukan jati diri dan kesadaran peran sosialnya sebagai agen perubahan sosial (agent of change). Di luar ruang kuliah seperti ini sejumlah mahasiswa memboboti kualitas intelektual, spiritual, dan kepemimpinan yang perguruan tinggi “gagal” memenuhinya. Terbukti, di berbagai belahan dunia, pada berbagai rentang waktu, mahasiswa menjadi motor dan martir penggerak perubahan. Di Indonesia, rezim Orde Lama Sukarno runtuh oleh gerakan mahasiswa tahun 1966. Lalu penggantinya rezim Orde Baru Suharto, juga tumbang karena gerakan massif mahasiswa pada 1998. Pun Gus Dur harus meninggalkan istana disebut-sebut sebagai akibat gerakan intelektual-politik “HMI Connection” 2001.

“Gerakan Reformasi 2008”

Kampus patut berterima kasih atas kemunculan berbagai organisasi dan pergerakan mahasiswa. Dengan kehadiran mereka, negara dan kampus 31

M. Foucault. 1969. The Archeology of Knowledge. Routledge: London and New York.

BAB 1 Pendahuluan: “Kampus dan Masa Depan Bangsa”

17

menjadi dinamis. Mereka ini adalah organisasi kemahasiswaan, intra dan ektra universiter. Sejumlah kampus sangat apresiatif terhadap eksistensi organisasi-organisasi ini. Ada yang memberikan asistensi untuk kemajuannya, karena dinilai sebagai pendukung tridharma perguruan tinggi. Sebagian malah berfikir curiga, karena takut di kritisi oleh mereka atau karena afiliasi sejumlah organisasi mahasiswa tersebut dengan kekuasaan dan ideologi “sesat” tertentu. Sejulah kampus berusaha membungkam keberadaan organisasi-organisasi ini. Organisasi Mahasiswa: Intra dan Ekstra Kampus. Organisasi kemahasiswaan secara umum terbagi dua, intra kampus dan ekstra kampus. Organisasi kemahasiswaan intra kampus adalah organisasi yang memiliki tujuan tertentu, serta memiliki keterkaitan langsung dengan pengelola kampus. Mereka punya hubungan otoritatif atau administratif dengan rektorat, dekanan, maupun ketua program studi masing-masing. Organisasi ini disahkan, dan terkadang mendapat pendanaan resmi dari manajemen kampus. Termasuk dalam kelompok ini, dengan berbagai nama adalah: Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Dewan Per“HMI on the Road” wakilan Mahasiswa (DPM), organisasi profesi dan keilmuan yang berbentuk Himpunan Jurusan, serta organisasi bakat minat yang terdiri dari unit-unit kegiatan mahasiswa atau UKM.32 Sementara itu, organisasi kemahasiswaan ekstra kampus umumnya terkait dengan tujuan-tujuan ideologis, serta memiliki jaringan dan struktur secara nasional. Mereka ini tidak berafiliasi dengan manajemen kampus. Namun memiliki anggota, wilayah kerja, dan pengaruh yang besar dalam dinamika kampus. Diantara organisasi ektern ini adalah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia 32

S. Muniruddin. 2010. Modul Latihan Kepemimpinan Manajemen Mahasiswa (LKMM), Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala: Banda Aceh.

18

SAID MUNIRUDDIN

(KAMMI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Mapancas, Gema Pembebasan, dan lain-lain. Sebagian organisasi ektra kampus tersebut bersifat independen, dan sebagian lain, baik secara terbuka maupun tertutup, berafiliasi dengan ormas maupun partai politik tertentu.33 Disamping itu, ada juga organisasi-organisasi ektra kampus yang didasari pada asal daerah (provinsi, kabupaten, kecamatan, suku, dan sebagainya). Organisasi ini biasanya memiliki sekretariat pada masing asrama mahasiswa asal daerah masing-masing. Tujuan mereka pada umumnya untuk membangun silaturahmi kedaerahan. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Adalah HMI yang akan kita dedah. Penting untuk dibahas, karena disamping keberadaannya sebagai organisasi mahasiswa tertua dan berlingkup nasional, HMI juga organisasi mahasiswa terbesar di Indonesia.34 Tabel berikut memperlihatkan keberadaan organisasi mahasiswa di Indonesia, tanggal berdiri dan tujuannya. Tabel 1.1: Organisasi Mahasiswa, Tanggal Berdiri dan Tujuan.35 No. 1.

Nama Organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)

Berdiri 5 Februari 1947, Jogyakarta

2.

Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI)

25 Mei 1947, Jogyakarta

3.

Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI)

9 Februari 1950, Jakarta

4.

Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)

22 Maret 1954, Surabaya

Pernyataan Tujuan (Visi) “Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allahswt” (Tujuan HMI, Pasal 4 AD HMI) "Ikut serta dengan penuh tanggung jawab untuk menebus amanat penderitaan rakyat demi tercapainya masyarakat yang adil makmur berdasarkan pancasila” (Tujuan PMKRI, Pasal 5 AD PMKRI) “Terwujudnya kedamaian, kesejahteraan, keadilan, kebenaran, keutuhan ciptaan dan demokrasi di Indonesia berdasarkan kasih” (Visi GMKI, Pasal 3 ayat 1 AD GMKI) “Mendidik kader bangsa dalam mewujudkan masyarakat Sosialis Indonesia berdasarkan Pancasila 1 Juni 1945 dan UUD 1945” (Tujuan GMNI, Pasal 3 AD GMNI)

Ibid. V. Tanja. 1982. HMI, Sejarah dan Kedudukannya di Tengah Gerakan-Gerakan Muslim Pembaharu Indonesia. Sinar Harapan: Jakarta. 35 Disari dari web masing organisasi. 33 34

BAB 1 Pendahuluan: “Kampus dan Masa Depan Bangsa” 5.

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)

17 April 1960, Surabaya

6.

Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)

14 Maret 1964, Yogyakarta

7.

Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)

29 Maret 1998, Malang

19

“Terbentuknya pribadi muslim Indonesia yang bertaqwa kepada Allahswt, berbudi luhur, berilmu, cakap dan bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmunya dan komitmen memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Indonesia.” (Tujuan PMII, Pasal 4 AD PMII) "Mengusahakan terbentuknya akademisi Islam yang berakhlak mulia dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah" (Tujuan IMM, Pasal 7 AD IMM). “Wadah perjuangan permanen yang akan melahirkan kader-kader pemimpin dalam upaya mewujudkan bangsa dan negara Indonesia yang Islami” (Visi KAMMI, Pasal 6 AD KAMMI).

Dilihat dari tanggal kelahiran, HMI lebih senior dari organisasi mahasiswa Islam lainnya seperti Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMMI), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Organisasi ini juga terlebih dulu ada daripada organisasi kemahasiswaan yang berideologi lainnya, baik yang berbasis keagamaan seperti Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI); ataupun yang berbasis nasionalisme seperti Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Dengan 20 unit Badan Koordinasi (BADKO) dan 188 cabang yang tersebar di seluruh Indonesia36, HMI menjadi organisasi yang hari ini mewarnai berbagai perguruan tinggi dihampir seluruh kabupaten/kota dan provinsi. Namun dinamika keorganisasian bervariasi. Banyak komisariat, cabang, dan BADKO yang aktif dan sangat progresif dalam melakukan perkaderan dan pengabdian. Sementara ada juga yang stagnant atau “mati suri”, bahkan benar-benar mati. Tergantung kemampuan mereka mengorganisir dan memotivasi diri.

36

Data jumlah cabang sampai dengan Kongres HMI XXVII, Depok, 05-10 November 2010.

20

SAID MUNIRUDDIN

Namun secara nasional, sistem perkaderannya masih berjalan reguler. Rekrutmen kader pada tingkat fakultas atau komisariat dilakukan ratarata dua kali dalam setahun. Jalur formal perkaderan atau Latihan Kader (LK) dilakukan dalam tiga jenjang: Basic Training (LK-I), Intermediate Training (LK-II), dan Advanced Training (LK-III). Disamping itu ada berbagai training informal seperti Training of Trainer (Senior Course), Latihan Khusus Korps HMI-wati (LKK), Entrepreneurship Training, Journalistic Training, dan sebagainya. Berbagai lembaga kekaryaan juga memungkinkan anggota-anggotanya terlatih untuk profesional dalam bakat dan bidang ilmunya. Fakta keorganisasian ini menjadikan HMI sebagai organisasi yang paling produktif melahirkan dan membina skill anggota, serta memiliki puluhan ribu alumni yang terdistribusi di berbagai lapisan masyarakat Indonesia.37 Kajian tentang HMI. Kajian dan penelitian tentang HMI banyak dilakukan oleh akademisi, aktifis dan budayawan. Dalam berbagai bentuk buku, tercatat beberapa penulis seperti A. Sitompul38, N. Madjid39, A.D. Ranuwiharjo40, V. Tanja41, R. Saidi42, F. Ali43, H.A Fauzi HMI telah melahirkan banyak tokoh bangsa seperti Dahlan Ranuwiharjo, Deliar Noer, Nurcholish Madjid, Ahmad Syafi Maarif, Kuntowijoyo, Endang Syaifuddin Anshori, Chumaidy Syarif Romas, Agussalim Sitompul, Dawam Rahardjo, Immaduddin Abdurrahim, Ahmad Wahib, Djohan Effendi, Ichlasul Amal, Azyumardi Azra, Fachry Ali, Bahtiar Effendy, Mahfud MD, Anies Baswedan, dan lain sebagainya. Terdapat juga tokoh-tokoh sosial-ekonomi-politik seperti HMS Mintaredja, M. Sanusi, Bintoro Cokro Aminoto, Ahmad Tirtosudiro, Amir Radjab Batubara, Mar’ie Muhammad, Sulastomo, Ismail Hasan Metareum, Hamzah Haz, Bachtiar Hamzah, Ridwan Saidi, Jusuf Kalla, Amien Rais, Akbar Tanjung, Fahmi Idris, Adi Sasono, Ferry Mursyidan Baldan, Hidayat Nur Wahid, Marwah Daud Ibrahim, Munir SH, Adyaksa Dault, Abdullah Hemahua, Yusril Ihza Mahendra, Syaifullah Yusuf, Bursah Jarnubi, Hamid Awwaluddin, Jimlie Asshiddiqi, dan masih banyak lagi. Demikian juga pada level provinsi dan lokal, banyak sekali nama-nama kader dan alumni HMI baik akademisi, politisi, birokrat, dan pekerja profesional yang telah berkontribusi terhadap umat dan bangsa. 38 [1] A. Sitompul. HMI dan Pembangunan, Skripsi, IAIN Sunan Kalijaga: Jogyakarta. 1976; [2] Sejarah Perjuangan HMI (1947-1975), Bina Ilmu: Surabaya. 1976; [3] HMI dalam Pandangan Seorang Pendeta, Antara Impian dan Kenyataan, PT Gunung Agung: Jakarta. 1982; [4] Kapita Selekta Aktifitas dan Pemikiran HMI, Sumbangsih Offset: Yogyakarta. 1990; [5] Historiografi HMI tahun 1947-1993, Intermasa: Jakarta. 1995; [6] Korps HMI-Wati dalam Sejarah, 1966-1994, editor, KOHATI PB-HMI: Jakarta. 1995; [7] Pemikiran HMI dan Relevansinya dengan Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia, edisi 3, Aditya Media: Yogyakarta. 1997; [8] Citra HMI, Penerbit Aditya Media: Yogyakarta. 1997; [9] HMI, Mengayuh diantara Cita dan Kritik, editor, Aditya Media: Yogyakarta. 1997; [10] Menyatu dengan Ummat Menyatu dengan Bangsa: Pemikiran Keislaman-Keindonesiaan HMI, 1947-1997, Disertasi, LOGOS: Jakarta. 2002; [11] KAHMI Memadukan Langkah menuju Persatuan Membangun Indonesia Baru, Aditya Media: Yogyakarta. 2005; [12] 44 Indikator Kemunduran HMI: Suatu Kritik dan Koreksi untuk Kebangkitan kembali HMI, CV Misaka Galiza: Jakarta. 2005; [13] Usaha-Usaha Mendirikan Negara Islam dan Pelaksanaan Syariat Islam di Indonesia, CV Misaka Galiza: Jakarta. 2008. 39 [1] N. Madjid. Keislaman dan Keindonesiaan Menatap Masa Depan. Paramadina: Jakarta. 1986; [2] Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Mizan: Bandung. 1988; [3] Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan. Paramadina: 37

BAB 1 Pendahuluan: “Kampus dan Masa Depan Bangsa”

21

dkk44, H.M Saleh45, A.H Mubin46, N.Razak dkk47, M.S. Wasahua48, A.A Tarigan49, dan lainnya. Dalam bentuk disertasi pernah diteliti oleh S.A Saifullah.50 Dalam tesis dikaji oleh M.R. Karim51. Dalam skripsi dibahas oleh A.Sitompol52, M. Mansur 53, A. Mulyana54, A.S Bustami55, M.N.H Ibrahim56, dan sejumlah mahasiswa lain di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Dalam bentuk modul dan handout pelatihan juga banyak dipublikasikan.57 Sementara itu ada ribuan artikel tentang HMI dalam bentuk makalah, laporan, surat edaran, hasil-hasil kongres, paper orasi ilmiah, jurnal, majalah, buletin, tulisan di media massa, dan sebagainya. Terlebih setelah lahirnya media online seperti internet, jumlah tulisan semakin tidak terhitung banyaknya. Jakarta. 1992; [4] Islam, Kerakyatan dan Keindonesiaan. Mizan: Bandung. 1993; [5] Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia. Paramadina: Jakarta. 1995; [6] Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam. Paramadina: Jakarta. 1995; [7] Tradisi Islam, Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia. Paramadina: Jakarta. 1997; [8] Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi. Paramadina: Jakarta. 1999. 40 A.D. Ranuwiharjo. 2000. Menuju Pejuang Paripurna, Aspek Ideologi dari Islam menuju Terbinanya Insan Pejuang Paripurna: Leadership, Strategi dan taktik dalam Perjuangan Politik, (ed. Anjas Taher), KAHMI Wilayah Maluku Utara: Ternate. 41 V. Tanja. 1982. HMI, Sejarah dan Kedudukannya di Tengah Gerakan-Gerakan Muslim Pembaharu Indonesia, Sinar Harapan: Jakarta. 42 R. Saidi (ed). 1995. Biografi, Pemikiran dan Perjuangan A. Dahlan Ranuwihardja: Sosok Pejuang Muslim Nasionalis dan Pendidik Kader-Kader HMI, Lembaga Studi Informasi Pembangunan: Jakarta. 43 F. Ali. 1997 (pengantar). HMI dan KAHMI Menyongsong Perubahan Menghadapi Pergantian Zaman. Majelis Nasional KAHMI: Jakarta. 44 A.H. Fauzi, Muchriji dan A.K Mochammad. 1996. HMI Menjawab Tantangan Zaman. PB HMI: Jakarta. 45 H.M. Saleh. 1996. HMI dan Rekayasa Asas Tunggal Pancasila. Kelompok Studi Lingkaran: Jogyakarta. 46 A.H. Mubin. 1970. Fragmen Lintasan Sejarah Perjuangan HMI Periode Yogyakarta. HMI BADKO Intim: Makassar. 47 N. Razak, dkk. 1966. Sejarah Perjuangan HMI. Departemen Penerangan HMI Cabang Yogyakarta. 48 M.S. Wasahua. 2010. Menggugat Perilaku Etis Kader HMI, Alifuru Institute: Jakarta. 49 A.A. Tarigan. 2003. Islam Universal: Kontekstualisasi NDP HMI dalam Kehidupan Beragama di Indonesia. Cita Pustaka Media: Bandung. 50 S.A. Saifullah. 1994. Konsep Nasionalisme HMI sebagaimana Tercermin dalam Pidato Dies dan Penerapannya dalam Gerakan ’66 (Disertasi), IAIN Syarif Hidayatullah: Jakarta. 51 M.R. Karim. 1995. Modernisasi Politik di Indonesia: Satu Kajian mengenai Peranan Islam dan HMI MPO (Tesis S2), University Kebangsaan Malaysia: Kuala Lumpur. 52 A. Sitompul. 1976. HMI dan Pembangunan (Skripsi), IAIN Sunan Kalijaga: Jogyakarta. 53 M. Mansur. 1981. HMI: Azas dan Sikap Perjuangannya (Skripsi), IAIN Sunan Kalijaga: Jogyakarta. 54 A. Mulyana. 1990. Peranan HMI dalam Menghadapi Kekuatan PKI di Indonesia, 1947-1966 (Skripsi), IKIP Bandung: Bandung. 55 A.S. Bustami.1975. Partisipasi dalam Organisasi: Suatu Studi terhadap HMI Cabang Yogyakarta (Skripsi), Fakultas Sospol UGM: Yogyakarta. 56 M.N.H. Ibrahim. 1992. Himpunan Mahasiswa Islam dalam Perspektif Sejarah Indonesia 1947-1965 (Skripsi), Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga: Yogyakarta. 57 [1] S. Muniruddin. Kitab LK-I HMI, BPL HMI Cabang Banda Aceh: Banda Aceh. 2009; [2] Kitab LK-III HMI, BADKO HMI Aceh: Banda Aceh. 2010; [3] Kitab SC HMI, BPL HMI Cabang Banda Aceh: Banda Aceh. 2010; [4] Laporan dan Evaluasi International Leadership Basic Training (HMI-ILBT): We Want You to be the Next Nation Leaders! HMI Cabang Banda Aceh: Banda Aceh. 2010; [4] Bintang ‘Arasy: Visualisasi Skematis NDP HMI, BPL HMI Cabang Banda Aceh: Banda Aceh. 2011.

22

SAID MUNIRUDDIN

Aspek kajian tentang HMI dalam berbagai tulisan di atas sangat beragam. Mulai dari sejarah kelahiran dan perjuangan, pertarungan dengan komunisme, azas dan sikap perjuangan, misi, ideologi, strategi dan taktik perjuangan, kemahasiswaan dan kepemudaan, peran dalam pembangunan, independensi, dinamika politik, respon terhadap azas tunggal, corak pemikiran keIslaman dan keindonesiaan, aktifitas himpunan, gerakan pembaharuan, respon terhadap perubahan, citra organisasi, problematika internal, sampai kepada kritik terhadap kemunduran organisasi. Fokus Buku ini: Tujuan HMI “Pendekatan Filosofis-Gnostik”. Tentang visi atau tujuan HMI sudah sering diangkat dalam berbagai tema tulisan. Banyak artikel yang sedikit tidaknya menjabarkan aspek-aspek yang menjadi cita-cita HMI. Tujuan merupakan titik sentral dari setiap gerak dan nafas organisasi. Apapun yang dilakukan, pada intinya untuk mencapai tujuan. Tentu sangat penting bagi sebuah organisasi untuk memiliki tujuan yang jelas. Tapi jelas lebih penting bagi sebuah organisasi untuk mampu menjabarkan makna dari tujuannya. Karena seringkali teks tujuan tidak sepenuhnya dipahami. Ketika itu dianggap sebagai kumpulan kata-kata yang baku dan kaku, tujuan organisasi akan menjadi bahan hafalan semata, dan tidak pernah terinternalisasi dalam jiwa. Sebuah tujuan atau visi tidak akan memiliki banyak arti jika tidak diterjemahkan melalui “pendekatan” atau “metode” pemahaman yang tepat; serta dalam bahasa, aktifitas dan indikator-indikator yang operasional. Oleh sebab itu, penulis melihat penting untuk mengurai kembali tujuan HMI dalam sebuah kajian yang menyentuh dua dimensi besar kemanusiaan: rasionalitas (filosofis) dan spiritualitas (gnostik). Karena ini sifatnya “tafsir”, penulis hanya berusaha menguraikan serta mempertajam sejumlah nilai yang menjadi doktrin HMI. Setidaknya ada delapan (8) pendekatan yang dapat digunakan untuk membahas tujuan HMI, yang melalui ini semua dimensi filosofis dan gnosis HMI terjelaskan. Semuanya penjelasan ini saling melengkapi, dan terbahas dalam bab tersendiri.

BAB 1 Pendahuluan: “Kampus dan Masa Depan Bangsa”

23

Tabel 1.2: Pendekatan Pemahaman Tujuan HMI. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

Pendekatan “Filosofis-Gnosis” Tujuan HMI Analisis sejarah Analisis teks tujuan (rasional) Pendekatan filosofis-sufistik (irfani) Ideologi (Nilai-Nilai Dasar Perjuangan/NDP) Profil insan kamil Visioning dan operasionalisasi tujuan Manajemen berbasis tauhied Kepemimpinan berbasis tauhied

Bab 2 Bab 3 Bab 4 Bab 5 Bab 6 Bab 7 Bab 8 Bab 9

Pertama dan kedua, tujuan HMI dapat dimengerti melalui “analisis sejarah” atau latar belakang historis perjuangan dan evolusi formulasi tujuan HMI (Bab 2). Kemudian, secara rasional-tekstual tujuan HMI dapat lebih dipahami dengan “analisis teks tujuan”, memaknai setiap kata atau konsep yang terdapat dalam pernyataan tujuan (Bab 3). Ketiga, setelah membedah tujuan HMI secara historikal dan tekstual, dilakukan pendekatan “irfan” atau “filosofis-gnostik” guna menggali lebih dalam hakikat tujuan (Bab 4). Metode pemahaman tujuan secara esoterik ini menjadi krusial untuk dilakukan, menyadari orientasi peradaban masa depan yang menuntut dominasi nilai-nilai spiritualitas. Penting untuk memberikan sentuhan sufistik dalam paradigma perkaderan, guna menutupi kegersangan spiritualitas yang melanda mahasiswa. Diyakini, metode tasawuf ini lebih mampu memberikan bobot akhlakul karimah yang menjadi inti tujuan HMI. Keempat, pendekatan “ideologi” (Nilai-Nilai Dasar Perjuangan, NDP). Di sini dibahas Islam sebagai “sistem nilai” yang menjawab pertanyaan mendasar kehidupan. Sebagai organisasi berasaskan Islam, HMI tentu memiliki kerangka dan sistematika nilai yang men-support dan mendrive kadernya kepada tujuan. Nilai merupakan “ruh” yang memberikan pengetahuan dan menghidupkan perjuangan. Sejauh mana seseorang memahami dan mengimplementasi nilai-nilai tersebut, sangat menentukan wujud akhir dari diri dan masyarakatnya. Ideologi, baik dalam makna “umum” sebagai Pandangan Dunia atau worldview (nilai-nilai akidah) maupun dalam arti “khusus” sebagai syariat dan akhlak (nilainilai ibadah mahdhah dan ibadah muamalah), merupakan landasan “teoritis-praktis” yang sangat esensial dalam gerak mencapai tujuan. Semua ini dibahas di Bab 5. Kelima, pendekatan “profil insan kamil”. Melalui proses perkaderan dan perjuangan, HMI bertujuan melahirkan “manusia ideal”, “insan cita”, atau “insan kamil”. Seperti apa wujudnya? Adakah contohnya? Untuk

24

SAID MUNIRUDDIN

menjawab ini kita mesti melihat sejumlah figur sejarah, yang pesona nilai-nilai ke-Tuhan-an dan kemanusiaannya tidak pernah cukup tinta untuk menulisnya. Memahami dan meniru mereka merupakan model belajar yang mengantar kita untuk terus menyempurna. Tauladan kemanusiaan di masa lalu menjadi pelajaran bagi kader untuk membangun masa depan. Ini terbahas di Bab 6. Keenam, metode “visioning” (operasionalisasi tujuan). Setelah berbicara panjang lebar tentang pemahaman tujuan, pada akhirnya, sebuah pandangan futuristik yang bersifat praktis dan taktis harus dibangun. Kader diajak memvisualisasikan satu model masa depan. Melalui langkah-langkah kongkrit, setiap kader harus mampu menyusun program dan kegiatan-kegiatan guna mencapai tujuan tertinggi dari kehidupan, yang bermanfaat bagi “diri” dan “masyarakatnya”. Metode ini tertuang di Bab 7. Ketujuh dan kedelapan, pendekatan “manajemen” dan “kepemimpinan”. Seluruh prinsip atau nilai yang terkandung dalam tujuan HMI tidak akan tercapai tanpa adanya sebuah model manajemen yang kaya akan nilainilai ilahiyah. Demikian juga dengan gaya leadership kader yang akan memimpin masyarakat dan organisasi, mesti sebuah model kepemimpinan manusia-manusia agung dan suci. Oleh sebab itu, menyelami sosok Muhammadsaw dan Keluarganya, juga sahabat-sahabatnya, akan “menyingkap” sejumlah pengetahuan tentang manajemen (Bab 8) dan leadership (Bab 9) yang berbasis tauhied.*****

BAB

2

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI): “Sejarah Perjuangan dan Formulasi Tujuan” SEJARAH HMI Sejarah Kelahiran dan Fase Perjuangan HMI. HMI lahir dalam suasana revolusi, berselang hanya dua tahun setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, 5 Februari 1947, tepatnya Rabu 14 Rabi’ul Awwal 1366 H. Bertempat di Jogyakarta, pendiriannya diprakarsai oleh Lafran Pane (1922-1991). Selain Lafran, terdapat sekitar 20 mahasiswa tingkat I Sekolah Tinggi Islam (STI Yogyakarta) lainnya, sekarang Universitas Islam Indonesia (UII), yang hadir pada rapat pendirian HMI1. Menariknya, tentang sejarah ini, catatan kelahiran HMI justru ditulis oleh peneliti sejarah seperti Agussalim Sitompul (1944-2013), bukan oleh pendirinya sendiri. Lafran Pane sendiri sebagai pendiri tidak pernah bersedia menuliskan, meskipun telah berulangkali, bahkan secara resmi diminta oleh pengurus Besar HMI. Menanggapi permintaan ini Lafran menjawab, “Saya sebagai

Lafran Pane

1

Diantaranya terdapat sejumlah nama seperti: Karnoto, Dahlan Husein, Maisaroh Hilal, Soewali, Yusdi Ghozali, Mansyur, Siti Zainah, M.Anwar, Hasan Basri, Marwan, Zulkarnaen, Tayeb Razak, Toha Mashudi, Bidron Hadi, dan lainnya. Selain itu terdapat sejumlah orang yang sejak awal sudah setuju terhadap pendirian HMI meskipun tidak hadir saat deklarasi, seperti M. Sanusi, Asmin Nasution, dan Anton Timur Jailani (A. Sitompul. 2008. Sejarah Perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam (1947-1975), hal. 16-17. CV Misaka Ghaliza: Jakarta).

26

SAID MUNIRUDDIN

pelaku, saya yang menulis, lantas menceritakan sendiri pribadi saya, ini tentu tidak enak rasanya”.2 Dalam jiwa pendiri HMI ini terdapat sikap irfan. Laiknya ulama-ulama terdahulu, beliau punya sikap tidak mau namanya disebut-sebut atas sebuah karya yang dihasilkan. Beliau tidak mau “namanya” lebih besar dari kawan-kawannya yang juga terlibat dalam membangun HMI. Ia memilih “tidak mau terkenal”. Meskipun demikian, beliau bersedia memberi keterangan tentang kelahiran HMI. Orang lain yang mencatatnya.3 Keluhuran budi pendiri HMI ini juga terlihat pada Kongres HMI ke-11 di Bogor tahun 1974. Di forum tertinggi organisasi ini secara formal diputuskan dan ditetapkan Prof. Drs. Lafran Pane sebagai pemrakarsa lahir atau berdirinya (pendiri) organisasi HMI. Tetapi lagi-lagi, Lafran sebagai alumnus yang diundang memberi pidato penutupan acara, sama sekali tidak mau berkomentar atas pengukuhan dirinya. Ketika ditanya mengapa tidak merespon keputusan itu, beliau kembali mengatakan, “itu terlalu subjektif dan pribadi sekali sifatnya”. Ia khawatir jika namanya dibesar-besarkan, akan ada yang tidak senang, yang nantinya akan membawa efek kurang baik bagi keharuman dan kebesaran organisasi yang telah dipelihara selama ini. 4 Ia lebih senang berbicara masa depan daripada menyebut-nyebut apa yang telah dilakukannya dimasa silam. Ia bahkan mengubah tanggal lahirnya 5 Februari 1922 (yang juga bertepatan dengan “tanggal” kelahiran HMI) menjadi 14 April 1923 agar HMI tidak ditafsirkan dengan keberadaan dirinya. Sikap “rasional-sufistik” ini yang terkadang absen pada diri generasi setelahnya. Berorganisasi, berpolitik, dan mengabdi terkadang kita jadikan alat untuk “mencari nama” atau “popularitas”, yang tidak lain adalah “riya” atau “pamrih” (varian terhalus dari syirik). Sebagai organisasi yang sudah berusia lebih dari setengah abad, banyak periode sejarah yang dilalui HMI. Semua ini menjadi catatan, pengalaman, dan pelajaran yang memperkaya gerak organisasi dalam pengabdiannya terhadap umat dan bangsa, terhadap Tuhan tentunya.

2

3 4

A. Sitompul. 2008. Sejarah Perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam (1947-1975), hal. 18. CV Misaka Ghaliza: Jakarta. Ibid., hal. 18. Ibid, hal., 16.

BAB 2 HMI: “Sejarah Perjuangan dan Formulasi Tujuan”

27

Secara keseluruhan, sejarah perjalanan HMI dapat diceritakan dalam tujuh fase, yang di dalamnya terdapat berbagai even (internal dan eksternal) yang mempengaruhi gerak langkah organisasi: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Fase Pengukuhan (5 Februari - 30 November 1947) Fase Perjuangan Bersenjata (1947-1949) Fase Pertumbuhan dan Pembangunan HMI (1950-1963) Fase Tantangan (1964-1965) Fase Kebangkitan, Orde Baru dan Angkatan ’66 (1966-1968) Fase Pembangunan Nasional dan Reformasi (1969-1998) Fase Reformasi dan Tantangan Global (1998-sekarang)

Gambar 2.1: Sejarah Perjalanan HMI.

@ Said Muniruddin 2013

HMI lahir ditengah zaman dimana energi dan psikologi umat Islam terkuras untuk mempertahankan kemerdekaan. Penjajahan, misionaris, dan pendidikan sekuler ala Belanda telah mendegradasi iman rakyat Indonesia. Kebodohan dan perpecahan kelompok keagamaan juga memperparah kondisi bangsa yang sedang dililit kemiskinan. Paham komunis pun mulai mengakar dan terorganisir sampai ke kampuskampus. Untuk merespon ini HMI dilahirkan: a. Mempertegak dan mengembangkan agama Islam, b. Mempertinggi derajat rakyat dan negara Republik Indonesia.5 Ketika dikukuhkan, organisasi-organisasi mahasiswa beraliran sekuler, sosialis dan komunis menjadi was-was karena merasa HMI akan menjadi lawan.

5

A.D. Ranuwihardjo. 2008. “Misi HMI: Mencetak Hamba-Hamba Allah, Paripurna Kader-Kader Bangsa”, artikel pada Harian Pelita, Jakarta: 5 Februari 1988, dikutip dalam HMI Mengayuh diantara Cita dan Kritik, A. Sitompul (ed.), Misaka Galiza: Jakarta.

28

SAID MUNIRUDDIN

Dua tahun kemudian, pada 20 Juli 1947, Belanda kembali melakukan agresinya setelah menginjak-injak “perjanjian Linggarjati.” Anggotaanggota HMI ikut memanggul senjata. Agresi ini berakhir dengan “Perjanjian Renville” pada 17 Januari 1948. Pada saat yang sama komunis mulai menguasai pemerintahan Mr. Amir Syarifuddin, walaupun kemudian pemerintahan ini dapat berhasil digulingkan sehingga mengecewakan kelompok-kelompok komunis seperti FDR (Front Demokrasi Rakyat). Kemudian mereka kembali menyusun kekuatan, melakukan fitnah, dan provokasi. Kepulangan Muso dan Suripno dari Soviet pada Agustus 1948 memperkuat gerakan PKI. Merasa sudah kuat, mereka melakukan pemberontakan pada 18 September 1948 di Madiun. HMI ikut membentuk Corps Mahasiswa (CM) dan terlibat dalam aksi intelijen dan unit tempur untuk penggayangan PKI. Dalam kondisi lemah ini, Indonesia kembali diserang Belanda melalui agresi II pada 19 Desember 1948. Pada masa ini, anggota-anggota HMI dikerahkan ke gunung-gunung untuk membantu perang gerilya. Akhirnya pada Konferensi Meja Bundar (KMB) November 1949 di Den Haag Belanda benar-benar mengakui kedaulatan Indonesia. Selama revolusi fisik ini sempat terjadi kevakuman di tubuh organisasi kemahasiswaan. Paska perang, sisa-sisa anggota HMI kembali ke kampus, ada juga yang meneruskan karir di kemiliteran seperti Letjen Achmad Tirto Sudiro dan Mayjen Hartono. Sejalan pindahnya Ibukota dari Yogyakarta pada 17 Agustus 1950, PB HMI juga dipindahkan oleh Lafran ke Jakarta. Pada periode ini sampai tahun 1963 HMI kembali menata pertumbuhan dan pembangunan organisasinya. Fase 1964-1965 kembali terjadi ketegangan ideologis dengan komunis. Gagal di “Madiun Affair” pada 1948, PKI kembali menyusun strategi untuk kudeta. Sejak 1960 mereka mulai menyusup ke aparat pemerintahan. PKI mendapat angin segar melalui MANIPOL-USDEK NASAKOM (Manifesto Politik, UUD, Sosialisme, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Soekarno dan Orde Lama Terpimpin, Kepribadian Indonesia; Nasionalis, Agama, Komunis) yang digagas Sukarno pada 1960. Dendam dengan HMI belum selesai. Menyadari Himpunan Mahasiswa Islam sebagai salah satu musuh besarnya, melalui

BAB 2 HMI: “Sejarah Perjuangan dan Formulasi Tujuan”

29

underbouw-nya seperti Consentrasi Gabungan Mahasiswa Indonesia (CGMI), mereka mulai menyerang, memfitnah, dan menuntut pembubaran HMI baik secara tertutup dan terbuka. PKI menyusup ke berbagai organisasi mahasiswa lalu mengarahkan moncongnya ke HMI. Secara sistematis melalui puluhan organisasi massa, surat kabar, dan kantor berita; HMI dituduh PKI sebagai anti Pancasila, anti Sukarno, antek nekolim dan imperialis, antek DI/TII, agen CIA, pro-Malaysia, kelompok perusuh, anti persatuan, PKI setan kota, dan sebagainya. HMI dan anggotaanggotanya coba disingkirkan dari perguruan tinggi dan kegiatankegiatan kampus lainnya. Tujuannya agar kelompok sosialis-komunis tidak terganggu dalam mewarnai lembaga kemahasiswaan. Dosen-dosen berfaham PKI sekalipun ikut “mengusir” HMI, seperti yang dilakukan Prof. Dr. Utrecht, S.H di Fakultas Hukum Unibraw Jember. Namun HMI terus bergerak dan tidak sedikit yang men-support untuk terus berjuang. Semakin ditekan, HMI malah semakin menantang, kuat, dan terkenal. Sampai kemudian meletus Gestapu 30 September 1965, PKI sekali lagi dikalahkan. Paska ini HMI semakin diminati, jumlah anggotanya membludak. Masyarakat mulai mengetahui siapa itu HMI, peran kebangsaan dan keagamaannya. Meletusnya G30S/PKI menimbulkan kesadaran baru ditengah mahasiswa. Gelombang massa menyuarakan agar PKI ditumpas sampai ke akarnya karena sudah berulangkali membahayakan kehidupan bangsa. Pada saat yang sama juga muncul tuntutan untuk stabilisasi pemerintahan yang terkooptasi komunis, serta upaya pemulihan perekonomian melalui penurunan harga. “Tiga Tuntutan Rakyat” (Tritura) ini suarakan pada 10 Januari 1966 oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang ikut dipelopori HMI. Aksi demi aksi terus berlanjut. Sukarno terdesak sampai kemudian harus mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret 1966 kepada Letjen Suharto untuk pembubaran PKI. Tensin politik dan demonstrasi terus memuncak. Sampai kemudian pada Sidang MPRS Maret 1967, Sukarno ditolak pertanggungjawabannya dan digantikan Suharto sebagai pejabat presiden. Pemilu ke-2 pada 3 Juli 1971 menghasilkan GOLKAR sebagai pemenang tunggal, dan demikian seterusnya. Suharto sendiri berturut-

30

SAID MUNIRUDDIN

turut selama enam periode (1968, 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, 1998) dipilih oleh “abdi dalem”-nya di MPR sebagai pemimpin Indonesia. Orde Baru memunculkan banyak harapan untuk stabilnya keamanan dan pembangunan. Memang Indonesia mulai memasuki masa pembangunan. Namun dibelakang itu juga tumbuh “semak belukar”. Kontrol yang berlebihan melahirkan pemerintah yang represif dan otoriter. Islam dicurigai. Organisasiorganisasi keIslaman seperti HMI mengSuharto dan Orde Baru hadapi ancaman bubar oleh Orba ketika dipaksa menerima azas tunggal Pancasila pada melalui UU. No.8 Tahun 1985, yang berakhir pada terbelahnya HMI menjadi dua: DIPO dan MPO. Kekuasaan yang bertumpu pada satu keluarga presiden dan partainya memang menciptakan stabilitas politik. Tetapi karakter rakus militer, politisi dan birokratnya menciptakan “drakula-drakula” pembangunan. Sekilas Indonesia tumbuh pesat. Di balik itu, perilaku koruptif, kolutif dan nepotis mengarahkan Indonesia kepada kehancuran. Kekayaan tertumpu pada segelintir elit. Uang dari daerah disedot semua ke Jakarta dan sedikit sekali yang dikembalikan. Budaya pemerintahan sangat birokratis-sentralistis. Rakyat tidak pernah menikmati wujud hakiki dari pelayanan publik, pendidikan, dan kesehatan. Di banyak daerah muncul protes bahkan pemberontakan atas ketidak adilan, namun dijawab dengan peluru. Sampai kemudian pada 21 Mei 1998, senasib dengan Sukarno yang “komunis”, Suharto yang “kapitalis” juga dilengserkan oleh rakyatnya setelah bertengger selama 32 tahun di istana ‘kerajaannya’. Sejak awal Orde Baru, angkatan 66 yang di dalamnya termasuk Alumni HMI terakomodir dalam pemerintahan. Tahun 1980an semakin banyak terserap dalam birokrasi melalui jaringan partai penguasa. HMI memiliki mimpi tentang Islam dan Indonesia yang modern, maju dan bersih. HMI berharap bahwa kelompok terdidik dan maju yang telah hidup berkecukupan ini memiliki integritas kemusliman yang tulen. Tetapi faktanya lain. Mereka berhenti pada simbol dan atribut. Alumni generasi ini tidak menunjukkan Islam substantif sebagaimana disuarakan. Padahal, kelompok birokrat punya peran besar untuk menentukan model pembangunan. Sayangnya, mereka merasa puas pada orientasi

BAB 2 HMI: “Sejarah Perjuangan dan Formulasi Tujuan”

31

kekuasaan, tidak sampai kepada perubahan. Seperti disampaikan Cak Nur, “Mereka cukup bangga dengan mengatakan bahwa hampir 90% birokrasi di daerah ini telah ‘kita’ ambil alih”.6 Cak Nur sendiri menyadari, generasi yang diayominya tidak menuai harapan. Ia bahkan disebut-sebut meninggal tanpa pernah melihat “anak-anaknya” sukses membangun peradaban. Pendekatan kekuasaan para alumni mengalahkan esensi dari nilai-nilai dedikasi dan keislaman. Mesin birokrasi dan bisnis dijalankan dengan KKN. Struktur dan jaringan HMI memang tumbuh pesat. Namun cita-cita HMI seperti tidak menemukan wujudnya. Namun demikian, di tengah kondisi zaman yang tidak pro-keadilan sosial, banyak lahir “bintang” yang secara tidak langsung ikut mengawal pembangunan dengan kontribusi pemikiran ke-Islam-an dan ke-bangsaan. Banyak kader dan alumni yang berfokus pada ranah akademis, sosial dan kemasyarakatan di luar struktur kekuasaan. Sebagian nyaman menjadi pengusaha dan profesional. Namun secara akumulatif kita ketahui, di hadapan generasi inilah perekonomian dan tata kelola pemerintahan Indonesia menemui kehancuran. Apakah generasi setelahnya, bersama-sama dengan elemen bangsa lainnya, akan menghadapi kegagalan serupa? Reformasi memunculkan harapan baru. Dari 1998 Sampai 2013 telah terjadi pergantian presiden dari B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Agenda reformasi perlahan dilaksanakan. Namun sekali lagi, mental korup yang masih melilit jiwa penyelenggara negara belum menunjukkan kapan akan berakhir. Demikian juga dengan alumni HMI, sejauh mana generasi baru ini mampu menangkap esensi Islam masih dapat dipertanyakan. Sebagian terlihat kritis. Selebihnya seperti tersesat dalam keramaian. Perilaku kader semakin hari juga semakin mengkhawatirkan. Syahwat kekuasaan lebih dominan daripada kecerdasan spiritual dan intelektual. Mampukah kelompok-kelompok kelas menengah terdidik seperti HMI mewarnai Indonesia menjadi negara modern, maju, yang dilandasi prinsip-prinsip Islam? Akankah bangsa ini, pada generasi kita dan setelahnya, survive menghadapi arus informasi, kapitalisasi, dan kompetisi global dengan internal kenegaraan yang semrautan? Tidak 6

L. Marcoes Natsir. “Cak Nur dan Amanah yang Tertinggal”. Majalah Madina, Edisi 6, 2008.

32

SAID MUNIRUDDIN

tertutup kemungkinan kita akan kembali dicatat sebagai orang-orang gagal, jika reformasi spiritual dan intelektual tidak menjadi agenda perkaderan paling mendasar. Untuk itu penting memahami tujuan HMI secara esensial. Karena kemajuan akan direalisasikan oleh kader-kader yang memahami tujuan, serta punya militansi mental dan moral dalam perjuangan. Sebagai mukmin, kita harus berfikir positif dan punya harapan. Kita masih potensial. Mesin perkaderan masih hidup, dan jaringan masih kuat. Di atas itu semua, kita punya idealisme Islam untuk diwujudkan, sebuah “cita-cita kenabian” untuk Indonesia masa depan. Yaitu, cita-cita untuk menumbuhkan kesadaran diri dan saudarasaudara sebangsa untuk menjadi “pejuang paripurna” (insan cita) yang bekerja untuk men-transform Indonesia menjadi “negeri impian” (masyarakat cita). Inilah cita-cita yang membuat setiap kita masih layak hidup, dan menempatkan HMI sebagai organisasi yang masih wajib dijaga.

EVOLUSI RUMUSAN TUJUAN HMI Pentingnya Tujuan (Visi). Dalam strategic management, keberadaan sebuah organisasi tidak terlepas dari sebuah cita-cita yang ingin diwujudkan. Perumusan visi atau tujuan, merupakan fondasi setiap organisasi. Dari visi lahir langkah-langkah strategis untuk mencapainya. Untuk seterusnya visi akan terjabarkan dalam misi, strategi, struktur organisasi, kualifikasi sumberdaya yang dibutuhkan, program kerja, pendanaan, aktifitas-aktifitas, model manajemen, kepemimpinan, sampai kepada nilai-nilai dan budaya yang harus dibangun. Setiap organisasi memerlukan rumusan visi atau tujuan yang jelas, sehingga setiap usaha yang dilakukan menjadi teratur dan terarah.7 Latar Belakang dan Evolusi Rumusan Tujuan HMI. Rumusan tujuan berkaitan erat dengan analisa lingkungan, peluang dan tantangan. HMI juga demikian, tujuan sengaja dirumuskan untuk memenuhi sebuah mimpi besar. Dalam kenyataannya, HMI telah mengalami beberapa kali rekonseptualisasi tujuan, sesuai konteks perjuangan, dinamika zaman

7

H. Macmillan and M. Tampoe. 2000. Strategic Management: Process, Content and Implementation. Oxford University Press: London.

BAB 2 HMI: “Sejarah Perjuangan dan Formulasi Tujuan”

33

dan penekanan cita-cita organisasi.8 Berubahnya rumusan tujuan dari masa ke masa juga menyebabkan perubahan konsepsi model manusia atau pemimpin, sesuai dengan kebutuhan dasar bangsa (basic demand) yang juga terus berubah.9 Tabel di bawah memperlihatkan periode sejarah perjuangan Indonesia, kondisi dan tantangan yang dihadapi, serta model insan (pemimpin) yang diharapkan lahir. Tabel 2.1: Sejarah Perjuangan dan Kebutuhan Bangsa.10 Kondisi Bangsa (Context Analysis)

Kebutuhan Dasar Bangsa (Basic Demand)

Periode (Masa) Penjajahan

Masa perbudakan, kehilangan kemauan dan kemerdekaan sebagai hak asasinya.

Kemerdekaan

Periode (Masa) Revolusi

Masa merebut dan mempertahankan kemerdekaan.

Periode (Masa) Pembangunan

Keinginan untuk mewujudkan/ merealisasikan cita-cita dan idealisme sebagai manusia yang bebas.

Adanya persatuan dan solidaritas dalam bentuk mobilisasi kekuatan fisik guna melawan dan menghancurkan penjajahan.  Terwujudnya masyarakat yang sejahtera, bahagia atau kehidupan yang adil makmur.  Kebutuhan akan ilmu pengetahuan untuk melakukan pembangunan nasional.  Iman/Akhlak dalam kerja-kerja kemanusiaan (amal shaleh).

Model Pemimpin (insan) yang dicita-citakan Pemimpin yang mampu mengorganisir pergerakan nasional, dan mampu menyadarkan rakyat akan hakhak asasi mereka sebagai sebuah bangsa. Solidarity maker.

Negarawan yang “problem solving”, atau tipe “administrator”

A.D. Ranuwihardjo. “Misi HMI: Mencetak Hamba-Hamba Allah, Paripurna Kader-Kader Bangsa”, artikel pada Harian Pelita, Jakarta: 5 Februari 1988, dikutip dalam HMI Mengayuh diantara Cita dan Kritik, A. Sitompul (ed.), Misaka Galiza: Jakarta. 2008. 9 PB HMI. 1971. “Tafsir Tujuan HMI”, dalam Hasil-Hasil Kongres HMI X di Palembang. PB HMI: Jakarta. 10 Ibid. 8

34

SAID MUNIRUDDIN

Berdasarkan kondisi bangsa, tantangan dan harapan inilah HMI merumuskan tujuannya. Kongres I di Yogyakarta pada November 1947, HMI merumuskan tujuan sebagai berikut: (1) Mempertegak dan mengembangkan agam Islam; (2) Mempertinggi derajat dan rakyat dan Negara Republik Indonesia. Dari pernyataan tujuan ini kelihatan, yang dijadikan objek dan fokus adalah agama, rakyat dan negara. Dapat dipahami, karena saat itu republik ini sedang dipengaruhi oleh ajaran Belanda dan kristenisasi, mahasiswa dan rakyat masih terjajah secara ideologis sehingga mengalami kejumudan intelektual. Gempuran sekularisasi juga terjadi dalam kehidupan beragama. Pada saat yang sama, rakyat bersitegang dengan Belanda, yang bahkan satu tahun setelah kelahiran HMI masih melakukan agresi.11 Pada Kongres di Bandung, Oktober 1955, tujuan HMI menjadi: “Ikut mengusahakan terbentuknya manusia akademis, pencipta dan pengabdi yang bernapaskan Islam”. Perubahan ini terjadi karena kesadaran bahwa organisasi seperti HMI yang anggota-anggotanya adalah mahasiswa, calon mahasiswa atau intelektual, tidak tepat jika berfungsi sebagai organisasi massa, apalagi sebagai kekuatan politik (praktis). Maka disepakati untuk memfungsikan HMI sebagai organisasi kader, yang bertujuan membina anggota-anggotanya menjadi kader. Oleh sebab itu, fokus dan objek tujuan HMI adalah pribadi atau individu anggota. Pada perjalanan selanjutnya mulai terasa bahwa rumusan tujuan masih memiliki kekurangan, belum menyebutkan apa fungsi lebih lanjut dari manusia-manusia akademis, pencipta dan pengabdi yang bernafaskan Islam tersebut, serta dibumi apa insan cita ini hidup dan bergerak. Maka pada Kongres HMI di Palembang, Oktober 1971, redaksi tujuan HMI diperbaiki menjadi:

11

A.D. Ranuwihardjo. 2008. “Misi HMI: Mencetak Hamba-Hamba Allah, Paripurna Kader-Kader Bangsa”, artikel pada Harian Pelita, Jakarta: 5 Februari 1988, dikutip dalam HMI Mengayuh diantara Cita dan Kritik, A. Sitompul (ed.), Misaka Galiza: Jakarta.

BAB 2 HMI: “Sejarah Perjuangan dan Formulasi Tujuan”

35

“Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allahswt”.12 Formulasi tujuan yang telah disempurnakan inilah yang seterusnya disahkan dari kongres ke kongres, sampai sekarang. Ringkasan evolusi konsepsi tujuan HMI dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 2.2: Evolusi Formulasi Tujuan (Visi) HMI.13

12 13

Rumusan Tujuan (Vision)

Fokus/ Objek

Latar Perumusan (Analisa Strategis) Tantangan HMI pada Periode Penjajahan dan Revolusi ini adalah: ancaman kritenisasi dan sekularisasi pendidikan barat (Belanda), serta ancaman agresi Belanda terhadap kedaulatan negara.

Konsekuensi bagi Organisasi

Kongres - I HMI, Yogyakarta (November 1947)

(1) Mempertegak dan mengembangka n agama Islam, (2) Mempertinggi derajat rakyat dan Negara Republik Indonesia.

agama, rakyat dan negara.

Kongres - IV, Bandung (Oktobe r 1955)

“Ikut mengusahakan terbentuknya manusia akademis, pencipta dan pengabdi yang bernapaskan Islam”.

Pribadi, individuindividu anggota (insan cita)

Mahasiswa adalah calon sarjana yang akan menjadi pemimpin bangsa, intelektual masa depan.

HMI adalah organisasi mahasiwa, dan organisasi kader (bukan organisasi massa dalam pengertian fisik dan kuantitatif).

Kongres – X, Palembang (Oktobe r 1971)

“Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggungjaw ab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai

Insan Cita (Pribadi, individuindividu anggota).

Mahasiswa adalah generasi muda bangsa, calon sarjana, intelektual dan pemimpin masa depan yang akan mengisi kemerdekaan. Mereka harus memilki mereka harus

HMI adalah:  Berdasarkan Islam (asas/dasar organisasi).  Organisasi Mahasiswa (status).  Organisasi Kader lembaga pengabdian/ pengemban ide/mendidik/

Masyara kat Cita (masyara kat adil makmur).

HMI berstatus sbg organisasi mahasiswa yang bersifat massa, fisik kwantitatif.

PB HMI. 1971. “Tujuan HMI”, dalam Hasil-Hasil Kongres HMI X di Palembang. PB HMI: Jakarta. Disari dari A.D. Ranuwihardjo. 2008, dan Tafsir Tujuan HMI, PB HMI. 1971.

36

SAID MUNIRUDDIN Allahswt”.

Ridha Allahswt.

berkualitas, memiliki keseimbangan hidup duniawiukhrawi, ilmu dan iman, individu dan masyarakat. Tugas mereka di masa mendatang adalah membangun sebuah peradaban yang agung, yang tujuannya semata-mata hanya untuk meraih ridha Tuhan (spiritualitas – sesuai dengan fitrah, adalah basis peradaban masa depan).

organisasi masa tapi kualitatif (fungsi).  Organisasi Perjuangan (peran).  Berwatak Independen (sifat).

Tujuan HMI: Perlukah Penyempurnaan? Seperti tersebut pada Tabel di atas, tujuan HMI telah mengalami 3 kali penyempurnaan; tahun 1947, 1955, dan 1971. Sebagaimana disebutkan A.D Ranuwihardja, rekonseptualisasi tujuan dilakukan dalam rangka merespon tuntutan dan perkembangan zaman.14 HMI bukan sebuah organisasi yang hidup pada ruang hampa. Ia tumbuh dan berkembang di atas dunia, pada sebuah wilayah yang disebut Indonesia. Dunia dan segala sesuatu yang ada diatasnya terus mengalami perkembangan dan perubahan 15, termasuk Indonesia. Tidak ada yang abadi, kecuali Tuhan.16 Maka, hanya organisasi yang mampu merespon perubahan zaman yang akan eksis. Respon terhadap perubahan tentu beragam. Ada yang merasa memadai dengan re-disain program. Ada

A.D. Ranuwihardjo. “Misi HMI: Mencetak Hamba-Hamba Allah, Paripurna Kader-Kader Bangsa”, artikel pada Harian Pelita, Jakarta: 5 Februari 1988, dikutip dalam HMI Mengayuh diantara Cita dan Kritik, A. Sitompul (ed.), Misaka Galiza: Jakarta. 2008. 15 “Katakanlah: ‘Berjalanlah di muka bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” (QS. alAnkabut -29: 20). 16 “Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah, tuhan apapun yang lain. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Bagi-Nyalah segala penentuan, dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan” (QS. alQashash -28: 88). 14

BAB 2 HMI: “Sejarah Perjuangan dan Formulasi Tujuan”

37

yang menganggap cukup dengan penguatan sumberdaya keorganisasian. Bahkan ada yang berani merubah tujuan. Bagaimana dengan HMI? Organisasi ini telah berumur lebih dari 60 tahun. Begitu banyak perubahan global dan nasional yang terjadi dalam kurun waktu tersebut. Sudah lebih dari 40 tahun sejak terakhir diformulasikan, tujuan HMI tidak mengalami perubahan. Apakah dengan demikian tujuan HMI telah out of date sehingga patut di reformulasikan? Tentu tidak haram untuk merekonseptualisasi tujuan, namun perlu kajian mendalam. Terlepas dari itu, kita perlu memberi apresiasi kepada konsep tujuan yang ada sekarang. Konsepsi yang berusia lebih dari 40 tahun tersebut telah dirumuskan dengan sangat baik. Rumusan tujuan ini memiliki cakupan seluruh aspek dari cita-cita kemanusiaan: (1) Membangun kualitas individu yang sempurna, lalu (2) Individu ini diproyeksikan bekerja untuk membangun masyarakat ideal, dan semuanya (3) Bertujuan untuk meraih ridha Allahswt. Ini sebuah formulasi cita-cita yang luar biasa. Dari membenah person, lalu membangun komunitas, sampai kepada meraih ridha Allahswt. Rumusan tujuan seperti ini akan selalu up to date dengan perkembangan zaman. Hanya saja perlu dipertanyakan, sejauh mana kader HMI mampu menerjemahkan tujuan dan melakukan visualisasi terhadap masa depan.*****

38

SAID MUNIRUDDIN

BAB

3

Tujuan HMI: “Pendekatan Rasional-Tekstual” MENEMUKAN TUJUAN HIDUP: SINKRONISASI TUJUAN INDIVIDUAL DAN SOSIAL (ORGANISASIONAL) Apa Tujuan Hidup Saudara? Untuk memahami tujuan HMI secara filosofis (rasional-tekstual), kita mulai dengan menjawab sebuah pertanyaan mendasar dalam hidup. Katakanlah jika sejumlah orang dikumpulkan dalam sebuah ruangan, lalu diajukan pertanyaan: “Apa tujuan hidup anda?”. Akan ada beragam jawaban, diantaranya: Untuk “mencari kebahagiaan”, “beribadah”, “membahagiakan orang tua”, “menjadi penulis terkenal”, “menciptakan teknologi-teknologi canggih”, “berbuat kebaikan”, “melakukan amal “What is the purpose of life?” shaleh”, “membantu orang lain”, “mendapat ilmu”, “menjadi profesor”, “menjadi orang berguna”, “lulus kuliah cumlaude”, “ingin cerdas”, “jadi pengusaha sukses”, “membangun keluarga yang sakinah mawaddah warahmah”, “memperoleh cintaNya”, “menciptakan kemakmuran”, “masuk surga”, “menjadi orang yang bertaqwa”, “memberantas korupsi”, “melawan kedhaliman”, “mendapat kasih sayang Allah”, dan sebagainya.

40

SAID MUNIRUDDIN

Jawaban yang diberikan dapat berupa tujuan-tujuan yang bersifat idealis, sampai kepada yang pragmatis. Dapat juga berbentuk keinginankeinginan jangka pendek ataupun jangka panjang. Jika semua jawaban tersebut dikategorisasikan, akan terbentuk beberapa kelompok tujuan hidup: “Ingin mendapat ilmu”, “ingin cerdas”, “lulus cumlaude”, “jadi profesor” dan yang sejenisnya, dapat dikategorikan sebagai tujuantujuan bersifat AKADEMIS. Sementara “menjadi penulis terkenal”, “menciptakan teknologi canggih”, “jadi pengusaha sukses di bidang tertentu”, menjadi “pendobrak”, “penemu”, “pencetus”, “penggagas” dan seterusnya terkategorikan dalam tujuan-tujuan menjadi manusia PENCIPTA yang kreatif dan inovatif. Sementara, “menjadi orang yang berguna”, “membantu orang lain”, “mengabdi pada orang tua”, “membahagiakan keluarga”, “mendedikasikan ilmu”, dan sejenisnya merupakan tujuan-tujuan PENGABDIAN. Sementara “ingin beribadah kepada Allah”, “mengamalkan AlQuran”, “taat pada perintah Agama”, “menjadi orang yang beriman”, “ingin mendapat kasih sayang Allah”, “menjadi orang yang bertaqwa”, “masuk surga”, “memperoleh cinta-Nya”, “memperoleh kebahagiaan” dan yang serupa lainnya disebut tujuan-tujuan yang memiliki nilai-nilai/spirit/ruh agama atau BERNAFASKAN ISLAM. Sementara “ingin memajukan masyarakat”, “menjaga persatuan ummat”, “berbuat kebaikan”, “menjadi khalifah Tuhan di bumi”, “menciptakan kemakmuran”, “memberantas korupsi”, “melakukan amal shaleh”, “melawan kedhaliman” dan sebagainya disebut tujuantujuan sosial TANGGUNGJAWAB MEMBANGUN MASYARAKAT. Kelima komponen ini [1] akademis, [2] pencipta, [3] pengabdi, [4] bernafaskan Islam, [5] bertanggungjawab mewujudkan masyarakat adil makmur, dan memperoleh ridha Allahswt, adalah tujuan HMI. Dengan demikian, apapun tujuan hidup seorang mahasiswa, semuanya selaras dengan tujuan HMI. Artinya, tujuan sosial organisasional HMI sama dengan tujuan setiap pribadi. Ketika disadari bahwa tujuan hidup personal sama persis dengan tujuan organisasi, maka akan terjadi sinergi. Jika ini terjadi, organisasi akan dicintai dan dijaga oleh setiap anggotanya. Setiap anggota akan bergerak

BAB 3 Tujuan HMI: “Pendekatan Rasional-Tekstual”

41

dinamis bersama organisasinya. Karena, aktif berorganisasi, pada dasarnya adalah aktif meraih tujuan hidup semua anggotanya. Kesamaan dan kesatuan tujuan antara pribadi dengan organisasi disebut dengan “tauhied tujuan”. Maka ber-HMI secara serius dan benar, pada dasarnya adalah proses meraih cita-cita hidup personal. Anatomi Tujuan HMI. Tujuan HMI adalah: “Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allahswt” (Tujuan HMI).1 Proses terbentuknya pernyataan tujuan ini telah dijelaskan pada Bab 2 tentang Evolusi Tujuan HMI. Sistematika Tujuan ini juga dapat dipahami dalam sebuah struktur masjid seperti pada gambar berikut:

1

PB HMI. 1971. “Tujuan HMI”, dalam Hasil-Hasil Keputusan Kongres HMI X di Palembang. PB HMI: Jakarta.

42

SAID MUNIRUDDIN

Gambar 3.1: Anatomi ‘Masjid’ Tujuan HMI.

@ Said Muniruddin 2013

HMI adalah organisasi yang basisnya mahasiswa. Maka maksimalisasi nilai-nilai “akademis” (i.e., berpengetahuan luas, rasional, kritis dan objektif) menjadi keniscayaan. Namun berpengetahuan luas saja tidak cukup. Harus diikuti dengan kemampuan mentransformasi ilmu dalam berbagai “karya cipta” dan “pengabdian”. Oleh sebab itu, (1) insan akademis, (2) pencipta, dan (3) pengabdi menjadi tiga karakter dasar

BAB 3 Tujuan HMI: “Pendekatan Rasional-Tekstual”

43

profil kader. Tiga hal ini yang disebut sebagai ‘dasar bangunan tujuan HMI’. Karena organisasi ini berasaskan Islam, maka ketiga karakter dasar akademis-pencipta-pengabdi harus terbingkai dengan nilai-nilai ke-Islam-an yang bersumber dari alQur’an dan asSunnah. Di HMI, nilai-nilai ini telah dirumuskan Cak Nur tahun 1969 dalam sebuah ideologi yang disebut “Nilai-Nilai Dasar Perjuangan” (NDP-HMI). Dengan kata lain; nilai-nilai akademis, pencipta dan pengabdi harus dilandasi nilai-nilai spiritual ke-Islam-an. Pada tahap ini, manusia yang lahir adalah orangorang yang cerdas, penuh kreativitas, dan berdedikasi pada pengabdian, serta hanief atau cenderung kepada kebenaran. Tujuan himpunan tidak boleh terhenti pada sekedar berhasil memproyeksikan kelahiran insan ilahiyah yang berpengetahuan luas, penuh daya cipta dan pengabdian. Ada tujuan akhir -puncak bangunan tujuan- yang diharapkan tercapai dari pembinaan anggota. Yaitu, setiap kader dan alumni memikul tanggungjawab jangka panjang, berjihad menciptakan masyarakat adil makmur. Sedangkan ujung dari semua proses perkaderan dan perjuangan ini adalah untuk memperoleh ridha Allahswt. Dari anatomi tujuan ini terlihat, HMI memiliki tiga level tujuan: (1) Terbinanya insan ideal “insan cita”, (2) Terwujudnya masyarakat ideal “masyarakat cita”, dan (3) Tercapainya ridha Allahswt “cita-cita”. Masing dari 3 level tujuan di atas akan dijelaskan kemudian. Terlebih dahulu kita bahas rumusan tujuan HMI secara analitis. Analisis Konsep Tujuan HMI. Analisis rasional-tekstual setiap konsep yang terdapat dalam rumusan tujuan HMI terlihat pada tabel berikut. Tabel 3.1: Analisis Tekstual Tujuan HMI. PERNYATAAN TUJUAN “TERBINANYA INSAN....”

ANALISA HMI adalah organisasi yang people-oriented, berfokus pada manusia (insan).

KONSEKWENSI/ KARAKTER ORGANISASI HMI berfungsi sebagai Organisasi Kader (Pasal 8 AD HMI): fokus pada pembinaan, bimbingan dan pengarahan anggota.

44

SAID MUNIRUDDIN

“.... INSAN....”

“TERBINANYA INSAN....”

“.... INSAN AKADEMIS, PENCIPTA, PENGABDI YANG BERNAFASKAN ISLAM DAN BERTANGGUNGJAW AB....”

“…. BERNAFASKAN ISLAM….”

Pilihan katanya adalah “insan”. AlQuran menggunakan beberapa terminologi untuk manusia: basyar, insan, dan annas. ‘Insan’ bermakna ‘manusia dengan kualitas intelektual dan spiritual’. Sementara ‘basyar’ adalah manusia dengan aspek biologis. Sedangkan ‘annas’ adalah ‘insan’ yang telah mengambil peran sosiologis.

HMI adalah organisasi yang berfokus pada dimensi insani – sisi psikologis manusia, yaitu pengembangan intelektualitas dan spiritualitas.

Pilihan kata adalah “terbinanya”, BUKAN “membina”, “menciptakan”, “terciptanya”, “melahirkan ”, atau “membangun”. “Terbinanya” mengandung makna bahwa ada sebuah ‘hasil akhir’ yang lahir dari sebuah ‘proses’. Kata “Terbinanya” adalah bahasa yang lunak untuk membangun manusia/insan.

HMI sebagai organisasi yang menekankan pentingnya proses, setiap anggota diarahkan untuk berproses secara terus menerus dalam mencapai tujuan akhir.

Ada 5 kualitas insan yang diharapkan lahir dari proses perkaderan di HMI. Terminologi HMI untuk ini adalah “5 Kualitas Insan Cita” (5 KIC). Indikator “5 KIC” terjabarkan dalam Tafsir Tujuan HMI (PB HMI, 1974).

Islam (alQur’an dan Sunnah) sebagai motivasi perkaderan dan perjuangan.

 HMI bertugas mewujudkan kesalehan individu para kader (akhlakul karimah).  HMI adalah organisasi yang fokus pada pengembangan kualitas personal (personal transformation), melahirkan man of future, insan pelopor, man of innovation, penyuara idea of progress, muslemintelektual.  HMI berusaha mewujudkan Intellectual community.  HMI berasaskan Islam (Pasal 3 AD HMI)  HMI memiliki seperangkat nilai-nilai ideologis dalam pencapaian tujuan (Nilai-Nilai Dasar Perjuangan: NDP HMI).

BAB 3 Tujuan HMI: “Pendekatan Rasional-Tekstual” Tujuan akhir HMI, yaitu tugas yang hanya mampu diemban oleh insan cita, adalah membangun sebuah masyarakat/negara yang ideal.

“.... DAN BERTANGGUNGJAW AB ATAS TERWUJUDNYA MASYARAKAT ADIL MAKMUR....”

“....YANG DIRIDHAI ALLAHswt”.

“adil makmur” (bukan adil dan makmur) merupakan satu klausa yang mengisyaratkan bahwa jenis masyarakat yang ingin dicapai adalah masyarakat yang adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadialan, dimana ‘adil’ dan ‘makmur’ tidak terpisahkan, sebuah masyarakat bahagia, yang sejahtera material dan spiritual (masyarakat ideologis, atau “ummah”). Semua usaha yang dilakukan semata-mata hanya bertujuan untuk mengabdi kepada-Nya, memperoleh cinta, ridhaNya. Serta semua hasil yang diperjuangkan berupa kebaikan, kebenaran, keindahan dan kesucian yang merupakan manifestasi dari Dia yang Maha Sempurna.

45

 HMI berperan sebagai organisasi perjuangan (Pasal 9 AD HMI).  HMI bertugas mewujudkan kesalehan sosial seorang kader (kualitas social engineering/ social leadership/social transformation/professional).  Penegakan keadilan dan ihsan, jihad, amar ma’ruf nahi munkar, atau membangun ummah adalah mainstream perjuangan HMI.

 Tujuan puncak ber-HMI adalah Allahswt, memperoleh ridha atau cinta-Nya, bukan sesuatu selain Dia.  HMI bersifat independen (Pasal 6): “independensi etis” (tunduk dan patuh hanya pada Kebenaran/Tuhan).

Rumusan Tujuan HMI seperti tertera pada tabel di atas dapat dipahami sebagai berikut. Pertama, “Terbinanya insan....” merupakan pernyataan bahwa HMI adalah organisasi yang people-oriented, berorientasi kepada manusia. Fokus utama organisasi HMI adalah manusianya, bukan uang atau materi lainnya. Hal tersebut diperjelas oleh gambar di berikut:

46

SAID MUNIRUDDIN

Gambar 3.2: Orientasi HMI

@ Said Muniruddin 2013

Pada gambar di atas terlihat, HMI memulai aktifitasnya dari proses rekrutmen anggota. Input ini kemudian dididik secara formal dalam sejumlah jenjang training, mulai dari Basic Training (Latihan Kader - I), Intermediate Training (Latihan Kader - II), sampai kepada Advance Training (Latihan Kader - III). Diluar jenjang training formal tersebut, setiap anggota pada setiap level organisasi (Komisariat, Koordinator Komisariat, Cabang, Badan Koordinasi, dan Pengurus Besar) dibimbing dan diarahkan untuk terlibat dalam berbagai aktifitas dan tugas-tugas yang dapat mengembangkan kualitas pribadi. Perkaderan formal dan informal inilah yang menjadikan mereka sebagai “kader”.

BAB 3 Tujuan HMI: “Pendekatan Rasional-Tekstual”

47

“Cadre is a small group of people who are specially choosen and trained for a particular purpose”.2 “Kader” lebih tinggi kualitasnya daripada seorang “anggota”. Jika anggota hanya sebatas sekelompok orang yang atas persyaratan tertentu telah menjadi bagian formal dari sebuah organisasi, maka kader didefinisikan sebagai sekelompok orang sengaja direkrut, berproses dan dibina secara khusus untuk menjalankan misi suci organisasi. Para kader -terutama yang telah menjadi alumni- diharapkan memasuki dan mewarnai berbagai jalur pengabdian (akademisi, profesi, pemerintahan, organisasi sipil, bisnis, dan politik) sehingga tercapai tujuan HMI. Karena berfokus pada aktualisasi potensi anggota, maka HMI pada Pasal 8 Anggaran Dasarnya (AD) menegaskan fungsinya sebagai organisasi kader.3

TUJUAN HMI: “LIMA KUALITAS INSAN CITA” (5KIC) Insan Cita dan Indikatornya. Dari pembahasan di atas, pada hakikatnya, HMI adalah “organisasi perkaderan”. HMI fokus pada manusia dan bertujuan melakukan pembinaan anggotanya secara terus menerus. Dari proses pembinaan ini diharapkan lahir manusia-manusia berkualitas tinggi, yang dalam bahasa HMI disebut “insan cita”. Seperti terlihat dalam rumusan tujuan HMI, “insan cita” memiliki 5 kualitas: [1] akademis, [2] pencipta, [3] pengabdi [4] yang bernafaskan Islam [5] dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allahswt. Seperti terlihat pada tabel berikut, ada 17 parameter dari 5 kualitas “insan cita”.

2 3

A.S. Hornby. 2005. Oxford Advanced Learner's Dictionary, 7th ed. Oxford University Press: Oxford. PB HMI. 2010. “HMI berfungsi sebagai Organisasi Kader” (AD HMI Pasal 8, Fungsi HMI), Hasil-Hasil Keputusan Kongres HMI XXVII di Bogor. PB HMI: Jakarta).

48

SAID MUNIRUDDIN

Tabel 3.2: Indikator “Lima Kualitas Insan Cita” (5KIC).4 1.

2.

3.

4.

5.

4

Kualitas Insan Akademis a. Berpendidikan tinggi, perpengetahuan luas, mampu berfikir rasional, objektif, dan kritis. b. Memiliki kemampuan teoritis dan mampu memformulasikan apa yang diketahui dan dirasakan. Dia selalu berlaku dan menghadapi suasana sekelilingnya dengan penuh kesadaran. c. Sanggup berdiri sendiri dalam lapangan ilmu pengetahuan sesuai dengan jurusan ilmu yang dipilihnya, baik teoritis maupun keterampilan teknis dan sanggup bekerja secara ilmiah, yaitu secara bertahap, teratur, dan mengarah pada tujuan sesuai dengan prinsip-prinsip perkembangan. Kualitas Insan Pencipta: Insan Akademis, Pencipta a. Sanggup melihat kemungkinan-kemungkinan lain yang lebih daripada apa yang sekedar ada, dan bergairah besar untuk mencipta bentuk-bentuk baru yang lebih baik dan bermanfaat dengan bertolak dari apa yang ada (ciptaan Allah). b. Jiwanya penuh dengan gagasan-gagasan kemajuan, selalu mencari perbaikan dan pembaruan. c. Bersikap independen dan terbuka, tidak isolatif, insan ini menyadari dengan bersikap demikian potensi kreatifnya akan dapat berkembang dan menemukan bentuk yang seindah-indahnya. d. Dengan ditopang kemampuan akademisnya, dia mampu melaksanakan kerja kemanusiaan yang disemangati ajaran Islam. Kualitas Insan Pengabdi: Insan Akademis, Pencipta, Pengabdi a. Ikhlas dan sanggup berkarya untuk kepentingan orang banyak atau untuk sesama manusia. b. Sadar bahwa tugas insan mengabdi bukannya hanya membuat dirinya baik, tetapi juga membuat kondisi sekelilingnya menjadi baik. c. Insan akademis, pencipta, dan pengabdi adalah insan yang pasrah pada citacitanya, ikhlas mengamalkan ilmunya untuk kepentingan sesama. Kualitas Insan yang bernafaskan Islam: Insan Akademis, Pencipta, Pengabdi yang bernafaskan Islam a. Islam telah menjiwai dan memberi pedoman pada setiap gerak lakunya tanpa memakai merek Islam. Insan ini berkarya dan mencipta sejalan dengan misi dan nilai-nilai Islam universal. Islam sudah menafasi dan menjiwai karyakaryanya. b. Ajaran Islam telah berhasil membentuk “unity of personality” dalam dirinya. Napas Islam telah membentuk pribadinya yang utuh tercegah dari “split personality”. Tidak pernah ada dilema antara dirinya sebagai warga bangsa dan dirinya sebagai muslim. Insan ini telah mengintegrasikan masalah suksesnya pembangunan nasioanl bangsa ke dalam suksesnya perjuangan umat Islam Indonesia dan sebaliknya. Kualitas Insan yang bertanggungjawab atas terwujudnya Masyarakat Adil Makmur yang diridhai Allahswt: Insan Akademis, Pencipta, Pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggungjawab atas terwujudnya Masyarakat Adil Makmur yang diridhai Allahswt. a. Berwatak sanggup memikul akibat-akibat dari perbuatannya sadar bahwa dalam menempuh jalan yang benar diperlukan keberanian moral. b. Spontan dalam menghadapai tugas, responsif dalam menghadapi persoalanpersoalan, dan jauh dari sikap apatis. c. Penuh rasa tanggung jawab dan rasa takwa kepada Allahswt yang menggugah

PB HMI. 1971. “Tafsir Tujuan HMI”, dalam Hasil-Hasil Keputusan Kongres HMI X di Palembang. PB HMI: Jakarta.

BAB 3 Tujuan HMI: “Pendekatan Rasional-Tekstual”

d. e.

49

untuk mengambil peranan aktif dalam suatu bidang dalam mewujudkan masyarakat adil makmur yang diridhai Allahswt. Korektif terhadap setiap langkah yang berlawanan dalam usaha mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Percaya kepada diri sendiri dan sadar akan kedudukannya sebagai “khalifah fil ardh” yang harus melaksanakan tugas-tugas kerja kemanusiaan.

Berbagai Nama untuk “Insan Cita”. Pada intinya, “insan cita” dengan totalitas 5 kualitas diatas adalah jenis manusia terbaik yang dicitacitakan lahir dari proses ber-HMI dan pengabdian setelahnya. Diharapkan, pada suatu waktu mereka ini akan membentuk komunitas intelegensi atau intellectual community. Tafsir Tujuan HMI juga menyebut “insan cita” dengan berbagai nama: man of future (manusia masa depan), man of innovation (duta-duta pembaharu), dan penyuara idea of progress (ide-ide kemajuan). Semua label kemanusiaan ini dapat dikatakan sebagai model manusia pelopor, berfikiran luas dan berpandangan jauh, bersifat terbuka, terampil atau ahli dalam bidangnya, sadar akan apa yang menjadi citacitanya, dan tahu bagaimana mencari ilmu perjuangan untuk secara operatif bekerja mencapai apa yang dicita-citakan. Mereka memiliki kepribadian yang imbang dan padu, kritis, dinamis, adil dan jujur, tidak takabur dan takwa kepada Allahswt.5 Banyak nama lain yang dapat diberikan untuk “insan cita”. Seperti, manusia ideal (teomorfis –sadar ketuhanan), manusia utuh, manusia unggul, insan Ilahiyah, insan yang memiliki kesalehan individual dan kesalehan sosial, pemimpin sejati, dan sebagainya. Namun secara umum, HMI menyebut “insan cita” ini dalam beberapa istilah: (1) (2) (3) (4)

Insan yang beriman, berilmu dan beramal shaleh; Muslem-intelektual-profesional; Insan yang berakhlakul karimah; Insan kamil.

Yang pertama (“insan yang beriman, berilmu dan beramal”) merupakan istilah umum yang dipergunakan di dunia Islam. Yang kedua (“muslem intelektual profesional”) dan ketiga (“insan yang berakhlakul karimah”) adalah bahasa Pedoman Perkaderan. 6 Yang keempat (“insan kamil”) 5 6

Ibid. PB HMI. 2000. Hasil Lokakarya Rekonstruksi Pedoman Perkaderan HMI: Konvergensi Paradigma Islam dalam upaya Rekayasa Peradaban Kader menuju Harmonisasi Iman, Ilmu dan Amal, hal. 23. PB HMI: Jakarta.

50

SAID MUNIRUDDIN

merupakan istilah teknis tasawuf Muhyiddin Ibnu ‘Arabi sufi abad 7 hijriah (560-638H/1165-1240M), yang diadopsi Cak Nur cs dalam NDP HMI. “Insan Cita” adalah “Bintang ‘Arasy”. Sebuah istilah lainnya adalah Bintang ‘Arasy, yakni nama bintang pada lambang HMI. Bintang yang juga didapati pada puncak-puncak ‘rumah Allah’ ini merupakan representasi dari ‘cahaya’ dari Yang Maha Tinggi. Ketika ‘cahaya’ ini menyatu dalam diri, maka terbentuklah ‘makhluk-makhluk bercahaya’, ‘alQuran hidup’, atau orang-orang berakhlakul karimah. Bintang ‘Arasy merupakan “ahli sujud”, manusia-manusia menyempurna, suci dan sederhana, yang lahir dari maksimalisasi iman-ilmu-amal. Oleh sebab itu, Bintang ‘Arasy lebih sebagai gelar sufistik untuk orangorang yang telah keluar dari fungsi-fungsi kebinatangan (biologis/ basyar) ke fungsi-fungsi tertinggi kemanusiaan (intelektual-spiritual/ insan kamil). Manusia seperti ini dalam al-Quran disebut sebagai “sudah benar-benar hidup” sebagai manusia, karena telah mencerap ‘cahaya Tuhan’ serta memancarkannya kepada masyarakat:

“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian kami hidupkan (dengan perantaraan alQur’an) dan kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu ia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, (adakah orang yang demikian keadaannya) sama dengan orang yang berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya…” (QS. alAn’am -6: 122). Pada dasarnya, apapun namanya (insan cita, insan kamil, Bintang ‘Arasy, dan sebagainya), merupakan konsep “manusia paripurna” yang dicitacitakan lahir di HMI. Beberapa sebutan diatas akan kita bahas pada lebih lanjut di bawah ini. Khusus tentang Bintang ‘Arasy akan kita bedah pada Bab 4 tentang telaah tujuan HMI dalam perspektif gnostik (filosofissufistik). Sementara konsep insan kamil akan kita bahas lebih dalam pada Bab 5 tentang Ideologi pencapaian tujuan HMI, serta Bab 6 profil kader paripurna.

BAB 3 Tujuan HMI: “Pendekatan Rasional-Tekstual”

51

Insan Cita: ber-Iman, ber-Ilmu, dan ber-Amal. Insan dengan lima kualitas di atas: (1) akademis, (2) pencipta, (3) pengabdi, (4) bernafaskan Islam, dan (4) bertanggungjawab, juga disebut dengan manusia yang “ber-iman, ber-ilmu, dan ber-amal”. “Bernafaskan Islam” dapat dikategorikan sebagai “ber-iman”. Sementara “akademis” dan “pencipta” dapat digolongkan ke dalam “ber-ilmu”. Sementara “pengabdi” dan “bertanggungjawab” dapat diklasifikasikan ke dalam bentuk “amal”. Iman, ilmu dan amal adalah frasa yang juga memiliki makna tersendiri. Ada dua struktur dan pemahaman untuk ini. Pertama, dalam konteks generik untuk perjuangan, susunannya adalah iman, ilmu dan amal. Iman lebih dulu. Artinya, perjuangan dimulai dari terbangunnya mentalitas ketauhidan yang tinggi. Untuk selanjutnya, setiap insan harus memiliki ilmu tentang arena perjuangan yang akan dihadapi, sesuai latar pendidikan yang ditempuh. Baru kemudian kesempurnaannya terletak pada sejauh mana ia mampu menerapkan iman dan ilmunya itu dalam bentuk-bentuk amal atau pengabdian yang aplikatif. Kedua, susunannya berbentuk: ilmu, iman dan amal. Ilmu lebih dulu. Ini digunakan dalam konteks tata cara perolehan pengetahuan tentang keTuhan-an (Kebenaran). Dalam konteks ini, beriman artinya memiliki keyakinan mendalam terhadap keberadaan Tuhan. Kesadaran tauhied yang benar tentunya terbangun bukan dari proses taqlid (ikut-ikutan, percaya-percayaan, atau keyakinan yang dipaksakan dan berada diluar kesadaran). Tauhied berawal dari pemahaman rasional akan adanya Dia (Tuhan) sebagai Wujud Mutlak yang menjadi penyebab keberadaan wujud-wujud di bawahnya. Pembahasan tentang ‘ADA’-nya Tuhan menjadi wilayah kajian filsafat (metafisika Islam), dibawah terma ontologi (pembuktian realitas/wujud). Sementara usaha untuk memperoleh pengetahuan yang benar tentang itu semua, menjadi wilayah kajian filsafat di bawah epistimologi (cara atau alat untuk memperoleh pengetahuan yang benar tentang segala sesuatu). Intinya, keimanan yang benar harus dibangun atas dasar ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, rasionalitas-lah yang melahirkan keimanan. Sehingga jika berbicara konsep ketauhidan, maka formulanya dipahami dalam alur: ilmu, iman dan amal. Ilmu (rasionalitas) yang membangun keimanan, baru kemudian keimanan yang rasional itu teraplikasi dalam amal perbuatan yang benar.

52

SAID MUNIRUDDIN

Insan Cita: Muslem-Intelektual-Profesional (Akhlakul Karimah). Dalam konsep perkaderan HMI, “insan cita” yang beriman-berilmuberamal disebut dengan insan “berakhlakul karimah”. Mereka ini memiliki tiga ciri: muslem, intelektual, professional.7 Jika ketiga unsur ini secara seimbang telah menjadi bagian dari kepribadiannya, maka baru menjadi profil ideal seorang kader. Gambar 3.3: Profil Ideal Kader HMI

@ Said Muniruddin 2013

“Muslem” adalah karakter kader yang beriman; yang kuat fungsi afeksi, motivasi, sifat-sifat terpuji, serta kesadaran mental spiritual lainnya.

7

PB HMI. 2000. Hasil Lokakarya Rekonstruksi Pedoman Perkaderan HMI: Konvergensi Paradigma Islam dalam upaya Rekayasa Peradaban Kader menuju Harmonisasi Iman, Ilmu dan Amal, hal. 23. PB HMI: Jakarta.

BAB 3 Tujuan HMI: “Pendekatan Rasional-Tekstual”

53

Sedangkan “intelektual” adalah karakter kader yang rasional, memiliki kedalaman ilmu pengetahuan atau fungsi kognisi yang baik. Dua elemen ini merupakan bagian tersembunyi dari ‘gunung es’ profil seorang kader. Yaitu sesuatu yang inheren, melekat namun tidak terlihat. Yang terlihat ke luar hanya puncak ‘gunung es’ (dimensi profesional, psikomotorik atau amal shaleh) yang merupakan wujud nyata dari iman dan ilmu. “Profesionalisme” baru terwujud ketika seorang anggota, kader atau alumni HMI melakukan kerja nyata, memasuki medan perjuangan untuk mewujudkan masyarakat yang baldatun taybatun warabbul ghafur. Pentingnya dimensi “intelektualitas” (kognitif) dan “spiritualitas” (afektif) terlihat dari pernyataan tujuan HMI yang menggunakan pilihan kata “insan” dalam rumusan tujuannya (“Terbinanya insan....”). AlQuran cenderung menyebut manusia sebagai insan ketika berbicara manusia sebagai makhluk dengan kualitas psikologis; intelek dan spiritual. 8 Kata insan disebut sebanyak 65 kali dalam alQur’an. Manusia sebagai insan adalah manusia sebagai makhluk berilmu, memiliki daya nalar, dan memiliki potensi emosi. Pada waktu yang lain, alQuran menyebut manusia sebagai basyar sebanyak 27 kali, ketika yang dilihat adalah fungsi-fungsi biologisnya. Rasul juga disebut basyar ketika yang dilihat adalah sisi umum kesamaan biologis dengan manusia lainnya, seperti makan, minum dan tidur.9 Terminologi lainnya, sekaligus yang paling sering digunakan yaitu 240 kali, adalah annas. Ini aspek sosiologis, sekaligus gambaran berbagai kelompok manusia dengan beragam tabiat dalam masyarakat. Dengan demikian, insan merupakan sebutan alQur’an untuk kualitas personal kemanusiaan. Kualitas ini meliputi intelektual (otak), mental (emosi), dan spiritual (hati).10 Oleh sebab itu, “insan” menjadi pilihan kata dalam rumusan tujuan HMI untuk menyebut jenis pribadi yang dicita-citakan mengalami enlightment (pencerahan) selama ber-HMI dan proses setelahnya (menjadi alumni). Sementara itu, harapan terwujudnya dimensi “profesional” (psikomotorik) dalam diri seorang kader terlihat pada rumusan pernyataan J. Rakhmat. 1994. “Konsep-Konsep Anthropologis”, dalam Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, hal. 75-77, Budy Munawar Ranchman (ed.), Paramadina: Jakarta. 9 “Katakanlah, sesungguhnya aku ini hanya manusia (basyar) seperti kamu…” (Qs. alKahfi -18: 110). 10 A.A. Tarigan. 2003. Islam Universal: Kontekstualisasi NDP HMI dalam Kehidupan Beragama di Indonesia, hal. 133-138, Cita Pustaka Media: Bandung. 8

54

SAID MUNIRUDDIN

“....dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur....”. Pada dasarnya, HMI hanya memiliki fokus internal, yaitu bertujuan melahirkan pribadi-pribadi dengan maksimalisasi potensi otak dan hati (insan). Namun demikian, pada akhirnya HMI mengharapkan insaninsan ini dapat mentranformasi dirinya dalam lingkungan eksternal sesuai bidang ilmu masing-masing. Pada level ini, insan yang tadinya memiliki kesalehan individual sudah mengalami metamorfosa menjadi para pejuang yang memiliki kesalehan sosial. Disini, setiap kader sudah memaksimalkan fungsi sosial (annas) dalam proses social engineering atau social transformation, yakni menjalankan fungsi kekhalifahan. Dengan demikian, memiliki iman dan ilmu secara personal, serta aktif secara sosial, merupakan ciri kesempurnaan akhlak. Sebutan lain untuk “kader profesional”.

TUJUAN HMI: “MASYARAKAT CITA” Dari Transformasi Diri ke Transformasi Sosial. Telah disebutkan di atas, fokus utama (tujuan dasar HMI) adalah melahirkan “insan cita”, sebuah prototype manusia yang unggul dalam dimensi personal dan sosial. Untuk mencapai ini, terdapat jenjang pembinaan leadership. Melalui training formal dan informal, HMI melakukan transformasi yang bertujuan melahirkan kader dengan dua “Leadership Competencies”11: (1) Kompetensi Pribadi/Kepemimpinan Personal (Transformasi Diri):  Kesadaran Diri (kesadaran tauhied dan ibadah, kesadaran keilmuan, kesadaran emosi, kemampuan menilai diri, kepercayaan diri, dan keberanian);  Kemampuan Memenej Diri Sendiri (pengendalian emosi, transparansi, kemampuan beradaptasi, tumbuhnya inisiatif, inovasi, dan optimisme). (2) Kompetensi Sosial/Kepemimpinan Sosial (Transformasi Sosial):

11

D. Goleman, R. Boyatzis, dan A. McKee. 2002. Primal Leadership. Harvard Business School Press: Boston.

BAB 3 Tujuan HMI: “Pendekatan Rasional-Tekstual”

55

 Kesadaran Sosial (empati, kesadaran berorganisasi, kesadaran hak dan kewajiban sebagai kader umat dan bangsa, dan kemauan untuk melayani);  Manajemen Hubungan (inspirasi, pengaruh, mengembangkan orang lain, katalis perubahan, kemampuan mengelola organisasi, memimpin perubahan, membangun masyarakat, manajemen konflik, team work, konsolidasi, strategi dan taktik). Gambar 3.4: Dari Transformasi Diri ke Transformasi Sosial

@ Said Muniruddin 2013

KOMPETENSI PRIBADI. Pada awalnya, secara keorganisasian, HMI menitik beratkan pekerjaanya untuk merekrut dan membenah karakter personal anggotanya. Ini fungsi HMI sebagai organisasi kader (AD HMI Pasal 8). Segala aktifitas intern pada dasarnya bertujuan untuk melakukan ‘transformasi diri’ atau mengasah kualifikasi personal leadership. Tahap ini disebut dengan “memimpin diri sendiri”. Ketika memimpin rapat dan diskusi misalnya, seorang kader sedang melatih keberanian diri untuk mengelola orang, kemampuan mendengarkan, keahlian mengarahkan, keadilan dalam memberi kesempatan berbicara, kesungguhan mencari solusi, kesadaran untuk menemukan titik kebenaran, respek terhadap perbedaan argumen, pengendalian emosi, objektifitas, rasionalitas, kemampuan mengungkapkan hal-hal yang benar, kemampuan menyesuaikan diri dengan kebutuhan forum, inisiatif dan fleksibilitas dalam mencari titik temu, penilaian kemam-

56

SAID MUNIRUDDIN

puan diri, optimisme akan keberhasilan, serta pengembangan nilai-nilai demokratis lainnya. KOMPETENSI SOSIAL. Meskipun HMI berfokus pada pembinaan personal kader, namun ada harapan yang lebih agung. Mereka yang telah terbina secara personal, sejatinya akan hidup di tengah masyarakat untuk menularkan kualitas-kualitas terbaik yang ada pada dirinya. Banyak orang yang secara personal memiliki kepribadian mengagumkan. Sayangnya, hanya cukup untuk mereka sendiri tanpa mampu ditularkan pada orang lain. Seseorang baru dapat disebut “pemimpin”, ketika secara personal ia memiliki kualitas diri, dan pada saat yang sama mampu mempengaruhi orang lain untuk juga memiliki kualitas seperti dirinya. Segala aktifitas ekstern HMI pada dasarnya bertujuan untuk mengasah kualifikasi sosial leadership. Ketika melakukan bakti sosial di tengah masyarakat misalnya, seorang kader pada hakikatnya, sedang membangun kompetensi sosialnya (kesadaran sosial dan manajemen hubungan). Di dalamnya termasuk pandangan ideologis, pengembangan empati, kesadaran akan perubahan, kemauan melayani, keahlian manajemen, strategi dan taktik, keteguhan, kesabaran, kebersamaan, kejujuran, konsistensi, inspirasi, usaha mengembangkan orang lain, memfasilitasi proses, menangani pertentangan, menjalin persaudaraan, team work, serta nilai-nilai luhur lainnya. Dengan demikian, seorang kader dan alumni HMI memiliki tugas lebih tinggi dari sekedar transformasi diri. Tugas tersebut adalah “memimpin umat” atau “transformasi sosial”. Amanah ini memberi implikasi bagi HMI untuk menjadi organisasi perjuangan. Sebagaimana dikatakan Nurcholish Madjid dalam Kata Pengantar PB HMI untuk Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP-HMI): “HMI selain merupakan organisasi kemahasiswaan yang memperhatikan student needs and student interest juga merupakan sebuah organisasi perjuangan yang mengemban suatu mission sacree. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa tugas suci HMI adalah berusaha menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera. Sebab Islam yang

BAB 3 Tujuan HMI: “Pendekatan Rasional-Tekstual”

57

menjadi dasar perjuangannya membuat ajaran pokok bahwa bahwa “sesungguhnya Allah memerintahkan akan Keadilan dan Ihsan (usaha perbaikan masyarakat)”.12 Untuk itu, pasal 9 Anggaran Dasar menegaskan peran HMI sebagai “Organisasi Perjuangan”. 13 Secara konsepsional; jihad, perjuangan, amar ma’ruf nahi munkar, atau penegakan keadilan menjadi mainstream HMI. Semua ini bertujuan untuk mewujudkan sebuah masyarakat adil makmur, “masyarakat cita” (ummah). Konsistensi Perjuangan. Sampai kapan harus berjuang? Apakah satu, dua, atau lima tahun sebuah masa kepengurusan? Ataukah sampai berhasil memperoleh jabatan dan kekayaan? Seorang kader tidak pernah menyatakan selesai dari sebuah pengabdian, ibadah atau perjuangan. Tidak berhenti hanya karena telah selesai dari Komisariat, Cabang, BADKO atau PB. Begitu selesai dari sebuah lahan pengabdian, kader harus mulai mencari dan merintis lahan-lahan yang sesuai bidang ilmu, bakat dan minat. Para salik -penempuh jalan kebenaran- harus terus meniti karir diberbagai arena dakwah dan perjuangan; baik di kampus, birokrasi pemerintahan, lembaga politik, LSM, media, bisnis, dan sebagainya. Boleh jadi dalam karir formalnya seorang kader tidak pernah menyandang pangkat dan jabatan. Mungkin selamanya hidup dengan titel “pelayan Tuhan”. Disitulah puncak tertinggi dari kebahagiaan. Tidak ada yang mampu menghalanginya untuk menjadi muttaqin. Hanya kematian (tepatnya kesyahidan) yang sanggup menghentikan pengabdiannya kepada Tuhan.

“Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa. Janganlah engkau mati kecuali dalam keadaan berserah diri -mengabdi- kepada Ku [muslimun]” (QS. Ali Imran -3: 102). Kemenangan bukanlah ketika selesai mengabdi pada suatu kepanitiaan, atau telah menuntaskan amanah sebuah periode keorganisasian. Melain12 13

N. Madjid. 1971. Pengantar Pengurus Besar untuk NDP HMI, PB HMI: Jakarta. PB HMI. 2010. “HMI berperan sebagai Organisasi Perjuangan” (AD HMI Pasal 9, Peran HMI), dalam Hasil-Hasil Keputusan Kongres HMI XXVII di Bogor. PB HMI: Jakarta.

58

SAID MUNIRUDDIN

kan kemenangan itu adalah ketika kita mampu sepanjang hidup mengalahkan iblis. Kemenangan adalah ketika kita hidup sampai pada detikdetik kematian masih menyembah Allahswt. Atas dasar inilah, hari seperti idul fitri bukan untuk dirayakan sebagai “kemenangan”, melainkan sebagai hari syukur dan ikhlas. Boleh jadi kita baru menyelesaikan sebuah perjuangan, tetapi belum menang. Menang atau tidak dinilai dari keseluruhan proses hidup, dan penentuannya ada disaat ajal. Sehingga hari raya tidak untuk dirayakan dengan kemewahan baju baru, makan berlebihan, atau foya-foya; melainkan dengan dzikir dan taqwa. Karena dalam perjanjian dengan Tuhan, pada awalnya iblis meminta untuk menggoda manusia sampai ke dalam kubur, bahkan sampai hari kebangkitan. Namun ia hanya diberi kesempatan oleh Tuhan untuk menyesatkan manusia sampai batas hembusan nafas terakhir.14 Maka kematian menjadi garis finis menang atau tidaknya seorang anak Adam dalam melawan iblis dan bala tentaranya. Maka hidup kita simple saja, “Konsistenlah untuk menyembah Tuhan sampai mati -sebagaimana disebut dalam Aali Imran 102: Walatamutunna illa wa antum muslimun. Setelah mati terserah engkau mau menyembah siapa”. 15 Inilah filosofi kekaderan, “berjuang sampai mati”. Terus menerus berusaha untuk meningkatkan ketaqwaan diri dan masyarakatnya. Tidak pernah diharapkan jika ada anggota (dan alumninya) tersesat di tengah jalan dengan mengikuti langkah iblis dan setan. Oleh sebab itu, perjuangan butuh kesadaran, pengetahuan, dan kewaspadaan; seraya terus berdo’a, memohon taufiq dan hidayah dari-Nya. Ummah: Masyarakat Cita, Masyarakat Adil Makmur yang dirodhai Allah. Masyarakat cita adalah masyarakat ideal yang dalam Islam sepadan dengan konsepsi ummah. Konsep ini mengakomodir serta mengatasi keterbatasan semua konsep sejenis lainnya. Dalam berbagai Berkata iblis: "Ya Tuhanku, (kalau begitu) maka beri tangguhlah kepadaku sampai hari (manusia) dibangkitkan. Allah berfirman: "(Kalau begitu) maka sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang diberi tangguh”. “Sampai hari (suatu) waktu yang telah ditentukan”. Iblis berkata: "Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya. kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka”. (QS. alHijr -15: 36-40). 15 Q. Shihab. 2013. Makna Idul Fitri: Ceramah 1 Idul Fitri 1434 H. MetroTV, 8 Agustus 2013. 14

BAB 3 Tujuan HMI: “Pendekatan Rasional-Tekstual”

59

bahasa dan budaya, “masyarakat” juga disebut ”rakyat”, “bangsa”, “suku”, “klan”, ”komunitas”, ”gerakan”, “perkumpulan”, “persatuan”, “kelompok”, “kolektif” dan sebagainya. Semua konsep ini sesungguhnya satu, dan terangkum dalam istilah ummah. Terkadang penggolongan manusia dan kelompok masyarakat juga terjadi dalam hirarki dan dimensi-dimensi diskriminatif. Identifikasi kelompok dilakukan dalam bentuk ras, pertalian darah, kepemilikan tanah dan benda, serta pembagian keuntungan materi. Istilah ummah tidak memiliki unsur feodal dan rasial seperti ini. Kata ummah berasal dari akar kata amm (amma-ya’ummu), yang berarti: “jalan, maksud atau tujuan, menuju, menjadi, keikutsertaan-partisipasi, juga gerakan”. Sehingga konsep ummah memiliki spirit progresif, karena mengandung arti bergerak aktif, memiliki pandangan intelektual dan rasa tanggungjawab sosial yang dinamis, serta berkomitmen ideologis. Jadi, ummah adalah masyarakat cita, jamaah manusia yang terdiri dari individu-individu yang terhimpun dan bersatu secara sukarela, berpartisipasi secara harmonis, serta memiliki keyakinan dan tujuan yang sama untuk menegakkan keadilan dan ihsan. Dari prinsip-prinsip ini, ummah merupakan masyarakat beradab, masyarakat madani atau civil society yang dibangun dari visi ke-Esa-an (Tauhied). Inilah model masyarakat bertaqwa yang dirintis Nabisaw.16 Muhammadsaw dan Visi Keummatan. Peristiwa gua Hira’ di malam ke 17 bulan Ramadhan sekitar tahun 610 Masehi merupakan kejadian spektakuler yang kemudian mengubah dunia. Untuk pertama kalinya Firman Tuhan diucapkan dalam bahasa Arab. Perintah “iqra!” (Bacalah!) tidak hanya menjadi ayat pertama, tapi sekaligus menjadi bai’at kenaikan karier seorang manajer bisnis, menjadi Rasul. Ini sesuatu yang langka, seorang pedagang Arab asal Mekkah, yang tak pernah membaca Suhuf Ibrahim atau Sefer Yetzirah, tak pernah melihat Torah atau Pentateuch, tak pernah mengkaji Zabur atau Tehillim, tak pernah membuka Injeel atau Gospel dan mungkin tak mengenal siapa itu Musa

16

A.Syari’ati. 1979. “The Ideal Society: The Umma” dalam kumpulan kuliah on the Sociology of Islam, hal. 119-120. Berkeley: Mizan Press.

60

SAID MUNIRUDDIN

as, Daud as, dan Isa as, mengalami suatu kejadian yang mirip dengan pengalaman-pengalaman mereka.17 Sudah menjadi kebiasaan rutin Muhammad bin Abdullah, setiap tahun pada bulan suci tertentu pergi mengasingkan diri dari kebisingan kota. Ini dilakukan sambil memberikan sedekah dan membagikan makanan kepada fakir miskin dan anak telantar. Muhammadsaw muda adalah seorang yang selalu gelisah. Ia begitu khawatir terhadap keruntuhan moral yang melanda Mekkah, di tengah pertumbuhan ekonomi yang sedang dinikmati kota itu. Selama dua generasi sebelumnya, kehidupan orang Arab sangat keras. Tidak hanya miskin, tapi juga terisolir dari adikuasa ekonomi dunia, Romawi dan Persia. Baru di penghujung abad ke-6 terjadi booming ekonomi yang dahsyat. Makkah di masa remaja Muhammad telah menjadi pusat keuangan internasional. Kota ini menjadi tujuan dan lalu lintas dagang. Arus modal mengalir cepat. Masyarakat yang dulunya hidup pas-pasan kini menikmati keuntungan aliran uang yang dahsyat. Jazirah Arabia Jumlah kekayaan mereka telah melampaui imajinasi ketika mereka dulu miskin. Kemakmuran baru ternyata membawa malapetaka. Gaya hidup ikutan berubah, dari masyarakat sosial menjadi masyarakat kapitalis, yang angkuh dan rakus. Sebagian besar bahkan meyakini kekayaan akan memberi kehidupan abadi. Ketamakan meningkat. Egoisme pribadi dan kesukuan meluas. Hak-hak kelompok lemah telah diabaikan. Fakir miskin dan anak yatim mulai ditelantarkan. Kemerosotan moral semakin menjadi-jadi, di iringi meningkatnya perselisihan. 17

K. Armstrong, 2001. Sejarah Tuhan. Jakarta: Mizan.

BAB 3 Tujuan HMI: “Pendekatan Rasional-Tekstual”

61

Gaya hidup kapitalistik baru Mekkah ini jelas bertentangan dengan etos lama mereka, yaitu muruwah. Kata Ini dapat diartikan sebagai “kesetiaan”, “dedikasi”, “pengabdian”, atau “tanggungjawab” terhadap anggota suku. Dalam prinsip lama tersebut, yang miskin dan lemah diproteksi, dimana kedermawanan sebagai karakter kunci. Tidak ada kerakusan terhadap materi, karena semua hak anggota kelompok akan dibagi. Dalam sistem ini, pembelaan dan perlindungan terhadap anggota sangat nyata. Etika inilah yang hilang ketika tsunami kapitalisme melanda Mekkah dan kawasan Hijaz. Kondisi modernitas Arab ini bermiripan dengan kondisi dunia yang kita rasakan kini. Kondisi ini dikenal sebagai periode jahiliyah atau era “kebodohan”. Suku-suku Arab saat itu mulai hampa dari nilai-nilai spiritual. Mereka tertarik untuk menuhankan uang, disamping patungpatung lain sebagai sesembahan. Artinya, kapan saja ketika suatu kaum terjebak dalam kecintaan kepada materi, maka mereka telah masuk dalam era jahiliyah, bodoh dan kosong dari nilai-nilai ke-Tuhanan. Pada masyarakat kapitalistik jahiliyah inilah kemudian Muhammad saw muncul dan menawarkan sebuah ideologi modern. Ajaran baru ini sebenarnya masih memiliki akar kuat dalam tradisi Ibrahim yang hanif, nenek moyang mereka sendiri, yang kini telah dilupakan. Model spiritualitas baru yang diusung Muhammadsaw ternyata mampu membantu menemukan kembali jati diri dari nilai-nilai kemanusiaan mereka, bahkan dengan konsep yang jauh lebih rasional. Muhammadsaw memang jenius. Muhammadsaw, dua pertiga umurnya, dari kecil hingga usia 40 tahun, digunakan untuk membangun kekuatan karakter dan finansial melalui interaksi sosial dan dagang. Pada fase ini, selama empat puluh tahun pertama dari hidupnya, Muhammad saw melakukan “perkaderan diri”; baik dari sisi intelektualitas, spiritualitas, kapital dan kredibilitas. Sepertiga sisanya, umur 40-63 tahun, dihabiskan untuk membangun “gerakan politik”. Sisa 23 tahun ini, secara intensif ia dedikasikan untuk perjuangan sosial. Ia berhasil mempersatukan suku-suku liar dan terpecah, menjadi sebuah komunitas baru, dalam satu identitas tunggal, yang di sebut ummah. Bisnis dan politik merupakan jalur dakwah, dua sunnah yang diajarkan Nabi untuk memenangkan masa depan. Bangsa-

62

SAID MUNIRUDDIN

bangsa besar di dunia acapkali mendominasi dunia dengan dua kekuatan strategis ini.

Kota Madani, “Madinah”

Melalui modal bisnis dan gerakan politik yang dibimbing wahyu ia membangun ummah. Sekali lagi, konsep ini mengandung pesan universal masyarakat ideal: “masyarakat taat hukum”, “masyarakat adil makmur”, “masyarakat madani”. Masyarakat cita atau masyarakat adil makmur adalah model masyarakat/negara yang dijalankan berdasarkan prinsipprinsip alQuran, apapun bentuk negaranya. Model masyarakat apapun yang hendak dibangun merupakan wilayah kreatifitas manusia. Apakah mengusung nama negara Islam, republik demokrasi, negara kesatuan, kerajaan, khilafah, imamah, dan sebagainya; selama kontennya masih berupa nilai-nilai keadilan dan ihsan, maka termasuk visi “Masyarakat Cita”. HMI sendiri secara substantif lebih mengusung pembentukan “masyarakat” yang secara sosio kultural Islami (baldatun thayyibatun warabbul ghafur) daripada penetapan label “negara Islam”.18 Namun demikian, mampu menguasai negara akan lebih memudahkan untuk menerapkan hukum dan nilainilai Islam. 18

A. Azra. 2008. “Mengabdi Republik, Memberdayakan Ummat” Pengantar dalam A. Sitompul, Menyatu dengan Ummat, Menyatu dengan Bangsa: Pemikiran Keislaman Keindonesiaan HMI (1947-1997), hal.xviii. Misaka Ghaliza: Jakarta.

BAB 3 Tujuan HMI: “Pendekatan Rasional-Tekstual”

63

Masyarakat Cita dan Indikator Nilai. Seperti apa masyarakat cita (ummah)? dari Dokumen ideologi HMI “Nilai-Nilai Dasar Perjuangan” (NDP HMI)19, yang terurai dalam “Bintang ‘Arasy: Visualisasi Skematis NDP HMI” menyarikan sejumlah indikator kualitas “masyarakat adil makmur yang diridhai Allahswt”.20 Indikator nilai ini membentuk infrastruktur ummah yang terdiri dari: sistem sosial, sistem ekonomi dan bisnis, filsafat politik dan pemerintahan, kualifikasi kepemimpinan, sistem pembinaan dan penguatan moralitas masyarakat yang semuanya dibangun atas paradigma Tauhied. Tabel berikut memperlihatkan indikator tersebut. Tabel 3.3: Indikator “Masyarakat Cita” (Ummah). 1.

2.

19 20

Prinsip-Prinsip Umum: Adanya sebuah masyarakat/negara/sistem sosial yang adil & berdasarkan tauhied, yang mengatur keseimbangan antara kehidupan individu dan masyarakat, guna menghadapi ancaman nafsu individu (QS. Ali Imran -3: 104, 110) a. Pengakuan & pembatasan kemerdekaan individu -liberal & egaliter (QS. al'Araf -7: 172). b. Persamaan hak -demokratis (QS. asSyura -42: 38). c. Pemahaman bahwa segala sesuatu milik Tuhan -paradigma tauhied, manusia diamanahkan untuk mengatur dan mendistribusikannya secara adil (QS. Yunus -10:55; QS. alBaqarah -2: 284). d. Perbaikan hubungan sesama dalam masyarakat, penghormatan & kecintaan kepada sesama, saling kenal mengenal, kesetiakawanan, relasi individu dengan individu adalah relasi hamba Tuhan dengan hamba Tuhan persaudaraan universal (QS. alHujurat: 10, 13). e. Menjamin terjadinya tolong menolong antar individu anggota masyarakat untuk membentuk masyarakat yang bahagia -koperatif (QS. alMaidah -5: 2). Adanya Pimpinan Masyarakat (Pemerintah): Suatu kelompok dalam masyarakat/negara yang memiliki kualitas dan diberi kekuasaan (QS. Ali 'Imran 3: 26). a. Kriteria Pemimpin: 1. Memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi, yaitu pancaran kecintaan kepada kebenaran dan Tuhan (QS. atTaubah 9: 128, QS. Ali 'Imran -3: 60). 2. Memiliki ilmu dan kecakapan -intelektual & skill (QS. alBaqarah -2: 247, QS. Yusuf -12: 55). 3. Memiliki kekuatan dan kesehatan -fisik & mental (QS. alBaqarah -2: 247, QS. alFath -48: 29). b. Tanggungjawab Pemimpin terhadap pemberi amanah/Tuhan dan pemilih/rakyat (QS. anNisa -4:58). 1. Pemerintah memimpin masyarakat serta melakukan amar ma'ruf nahi munkar: Menganjurkan sesuatu yang bersifat kemanusiaan, dan mencegah sesuatu yang berlawanan dengan kemanusiaan (QS. Ali 'Imran -3: 110).

PB HMI. 1971. Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI. PB HMI: Jakarta. S. Muniruddin. 2011. “Bintang ‘Arasy: Visualisasi Skematis NDP HMI”, BAB V Individu dan Masyarakat & Bab VI Keadilan Sosial dan Keadilan Ekonomi. BPL HMI Cabang Banda Aceh: Banda Aceh.

64

SAID MUNIRUDDIN 2.

3.

4.

Memberi jaminan sosial dan kesejahteraan bagi rakyatnya: Menjamin setiap orang, tanpa perbedaan suku, agama dan kelamin, untuk memperoleh hak asasi dan kehidupan yang layak (menegakkan keadilan sosial dan ekonomi). 3. Melakukan pembatasan kemerdekaan: Restriksi-restriksi terhadap hawa nafsu/kepentingan dan keinginan individu yang tidak pernah mengenal batas (penegakan hukum). Adanya Individu/Rakyat/Warga Negara, yang memiliki kekuasaan untuk melakukan checks and balances (QS. Ali 'Imran -3: 26). a. Mengedepankan syura/demokrasi (QS. asSyura -42: 38). b. Taat pada pemimpin yang terpilih dalam proses yang baik dan benar (QS. anNisa' -4: 59). c. Individu memimpin diri sendiri (hadist: “setiap kamu adalah pemimpin”), serta melakukan amar ma'ruf nahi munkar: menganjurkan sesuatu yang bersifat kemanusiaan, dan mencegah sesuatu yang berlawanan dengan kemanusiaan (QS. Ali 'Imran -3: 110). Adanya konsep dan aplikasi Keadilan. a. Konsepsi Keadilan 1. Keadilan Sosial: Persamaan hak bagi semua orang dalam bidang pendidikan, kesehatan, kesempatan berusaha, pelayanan umum, hukum, dll (QS. alMaidah -5: 8). 2. Keadilan Ekonomi: Pembagian kekayaan/rejeki yang wajar antar anggota masyarakat, sebuah isu terpenting dan paling berpengaruh (QS. alHasyr - 59: 7). 3. Keadilan Lingkungan: Memberikan hak yang optimal bagi alam dan lingkungan, menjaga kelestarian, kebaikan dan keindahan Air, Tanah dan Udara (QS. arRum -30: 41). b. Paradigma kepemilikan: "Segala sesuatu milik Tuhan" (QS. Yunus -10: 55, QS. alBaqarah -2: 284). c. Persamaan hak & ikhtiar: Manusia punya hak yang sama atas kekayaan, dan mendapat bagian yang wajar sesuai usahanya/ikhtiar (QS. al'Araf -7: 10, QS. alAnkabut -29: 7). d. Realitas sosial masyarakat: adanya Kaya dan Miskin karena perbedaanperbedaan antar individu akibat kondisi-kondisi khusus i.e fisik, mental dan kemampuan, atau karena situasi-situasi tertentu i.e musibah, kehilangan, bencana, dll (QS. arRum -30: 37, QS. Saba' -34: 39). 1. Kaya-Miskin terjadi dalam batas-batas kewajaran & kemanusiaan. 2. Kaya-Miskin memiliki hubungan sederajat (hamba dengan hamba). 3. Adanya usaha-usaha perbaikan dan pemerataan rejeki, atau tolongmenolong (QS. alMaidah -5: 2). 4. Pemerataan hak dalam pendidikan kecakapan, akses dalam proses ekonomi, kesempatan berusaha, menghapus monopoli elit dan kelompok, dan jaminan pemenuhan kebutuhan dasar lainnya (dominasi otoritas negara). 5. Zakat (QS. Taubah -9: 103), Infaq (QS. Ali Imran -3: 92), Shadaqah (QS. alBaqarah -2: 276), Qurban (QS. alHaJ -22: 28, 36), Jizyah (QS. atTaubah -9: 29), Hibah, Waqaf, dll (dominasi otoritas personal dan sosial). e. Cara perolehan kekayaan dilakukan secara ETIS: bebas, baik, bertanggungjawab (QS. alBaqarah -2: 188, QS. al'Araf -7: 157). 1. Harta halal: hasil usaha dan warisan (QS. al'Araf -7: 32), dibenarkan kepemilikan pribadi atas harta kekayaan/ private ownership (QS. anNisa' -4: 7-8, 33), dan dikenakan/dianjurkan: Zakat, Infaq, Shadaqah, Qurban, Jizyah, Hibah, Waqaf, dll. 2. Harta haram: hasil mencuri, menipu, riba, korupsi atau eksploitasi (QS. alBaqarah -2: 188, QS. anNisa' -4: 29) disita oleh negara untuk dijadikan

BAB 3 Tujuan HMI: “Pendekatan Rasional-Tekstual”

65

milik umum. Cara penggunaan kekayaan dilakukan secara etis: baik dan benar (QS. alHadid -57: 7, QS. alBaqarah -2: 267, 271). 1. Hak Allah dan Rasul/khumus (QS. alAnfal -8: 41), serta hak orang lain atau kepentingan sosial lainnya (QS. alMa'arij -70: 24, QS. alHasyar -59: 7), Zakat, Infaq, Shadaqah, Qurban, Jizyah, Hibah, Waqaf, dll. 2. Untuk kepentingan pribadi, keluarga dan kaum kerabat, yang tidak bertentangan dengan kepentingan masyarakat (QS. alBaqarah -2: 215). 3. Penggunaan dalam batas-batas tertentu (QS. alFurqan -25: 67): - Tidak taqtier (kurang dari rata-rata masyarakat/penimbunan harta). - Tidak tabzier/israf: berlebihan/mewah, diatas rata-rata masyarakat (QS. alIsra' -17: 26-27). Adanya pendidikan intensif untuk setiap individu, agar mencintai kebenaran dan menyadari adanya Tuhan. a. Sholat (QS. alAnkabut -29: 45): Meluruskan garis hidup, mencegah keji dan munkar, pensucian ruhani/penyembahan hanya kepada Allah. Bertujuan memberantas sifat-sifat keji/kotor/bengis/imperialisme/materialisme/mengingkari Tuhan (kapitalisme/syirik). b. Puasa (QS. alBaqarah -2: 183): Dorongan untuk mandiri dan makmur secara ekonomi, dan kemudian mendistribusikan sebagian dari rejeki tersebut. Bertujuan memberantas ketergantungan/perbudakan/penimbunan harta/sifat kikir (kapitalisme/syirik). c. Zakat (QS. arRum -30: 39): Dorongan untuk menahan nafsu serakah dan menjadi orang yang bertaqwa. Bertujuan memberantas sifat-sifat tamak/loba/mengambil hak orang (kapitalisme/syirik). d. Haji (alBaqarah -2: 197): Menumbuhkan kesadaran tentang ke-ESA-an Tuhan dan persaudaraan universal (membentuk ummah). Bertujuan memberantas kelas-kelas sosial (kapitalisme/syirik). e. Jihad (QS. Ali Imran -3: 110, 142, QS. alBaqarah -2: 190-194, 244, asShaf -61: 4, QS. atTaubah -9: 5-6, 13-16, 29, 36, 44, 73, 123, QS. alHaj -22: 39, 78, QS. alHujurat -49: 15, QS. alHadid -57: 25, QS. alAnfal -8: 60, QS. atTahrim -66: 9): Adanya Perjuangan/Jihad/Amar Ma’ruf Nahi Munkar yang berkelanjutan agar keadilan tetap tegak. - Menganjurkan kebaikan, penghalalan terhadap hal-hal yang bersesuaian dengan kemanusiaan, menjamin persamaan hak bagi setiap orang untuk mengatur hidup secara bebas dan terhormat (amar ma'ruf). - Penentangan terus menerus terhadap segala bentuk penindasan, pengharaman terhadap hal-hal yang bertentangan dengan kemanusiaan, serta restriksi-restriksi atas cara perolehan dan penggunaan kekayaan (nahi munkar). f.

5.

Dari sejumlah nilai-nilai ilahiyah yang menjadi indikator “masyarakat adil makmur” tersimpulkan, bahwa “adil” merupakan konsep abstrak, yang bersifat filosofis ideologis daripada empiris kuantitatif.21 Dari keseluruhan gambaran tersebut, “adil” dapat diartikan dalam berbagai bentuk. Diantaranya:

21

Bakornal LPL. 2010. “Draft NDP Perubahan”, Bab VII Keadilan Sosial dan Keadilan Ekonomi, Bakornas LPL: Jakarta.

66

SAID MUNIRUDDIN

Pembatasan kemerdekaan, persamaan hak, pemerataan kesempatan berusaha, distribusi kekayaan negara secara proporsional, kesederajatan hubungan antar manusia, hak untuk kepemilikan pribadi & kewajiban untuk memberi, proporsi yang wajar, penguatan orang-orang lemah, jaminan pemenuhan kebutuhan dasar bagi rakyat, keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan masyarakat, memperhatikan keluarga & kerabat terdekat serta memberikan hak-hak masyarakat, memberikan hak Allah & Rasul, tidak lebih-tidak kurang, seimbang jasmani & rohani, seimbang fisik dengan mental, seimbang dunia dengan akhirat.22

TUJUAN HMI: “RIDHA ALLAHSWT (CITA-CITA)” Sebagai penutup, apa yang sesungguhnya dicari HMI? Terjawab pada beberapa bait akhir rumusan tujuan, “....ridha Allahswt”. Inilah motivasi dasar ber-HMI. Menjadikan Allahswt sebagai satu-satunya tujuan merupakan komitmen mental-spiritual dalam berorganisasi. Sikap jiwa ini disebut “independensi etis”, tunduk patuh atau terikat hanya pada nilai-nilai Ilahiyah. Ketergantungan dan kepasrahan hanya kepada Allahswt. Segala pencapaian di dunia semata-mata hanya karena kecintaan ingin memperoleh ridha-Nya. Ridha merupakan maqam kegembiraan dan kesenangan hamba kepada Allahswt, atas segala pemberian, kehendak, qadha dan qadarnya. 23 Ridha merupakan aspek “immateri” dari sebuah tujuan. Jadi wujudnya sangat spiritual. Semakin tinggi jiwa seseorang maka semakin tinggi pula keinginannya. Sesuatu yang paling tinggi itu adalah Allahswt, Wujud NonMateri. Dengan demikian, wujud tujuan tertinggi tentu bersifat NonMateri. Seseorang yang masih pada fase dasar beragama, biasanya tertarik hanya pada imbalan-imbalan yang bersifat materialistis. Ibarat anak S. Muniruddin. 2011. “Bintang ‘Arsy: Visualisasi Skematis NDP HMI”, Bab VI Keadilan Sosial dan Keadilan Ekonomi. BPL HMI Cabang Banda Aceh: Banda Aceh. 23 Khoemaini. 2004. Insan Ilahiyah: Menjadi Manusia Sempurna dengan Sifat-Sifat Ketuhanan, Puncak Penyingkapan Hijab-Hijab Duniawi, hal. 173-189, Pustaka Zahra: Jakarta. 22

BAB 3 Tujuan HMI: “Pendekatan Rasional-Tekstual”

67

kecil yang termotivasi untuk sholat hanya karena iming-iming permen dari ibunya. Orang yang masih awam dalam beragama juga demikian, tertarik hanya pada pahala yang berbentuk “syurga” dengan berbagai gambaran “sungai” dan keindahan “bidadarinya”. Bagi kaum irfan, sesuatu yang ingin dicapai adalah Allah swt itu sendiri, Dzat yang tidak dapat dibentuk dalam imajinasi. Allah swt adalah tujuan tertinggi dari hidup seorang kader sejati. Bukan berarti mereka menolak adanya syurga dan segala macam wujud yang ada di dalamnya. Hanya saja mereka tidak menempatkan itu di hati mereka. Karena dalam konsepsi “khalik-makhluk”, syurga itu ciptaan Tuhan, bukan Tuhan. Bagi orang-orang meng-Esa-kan Tuhan; puncak kebahagiaan, keindahan dan kesempurnaan bukan syurga, tetapi Tuhan. Maka bagi kaum sufi, mengharapkan sesuatu selain ridha Tuhan dianggap syirik. Bahkan ridha disebut-sebut berada di atas maqam keislaman atau taslim (pasrah). Jika taslim (islam) bermakna “pasrah”, yaitu “menerima tanpa membantah segala ketentuan Tuhan”, maka ridha bermakna “menerima dengan penuh kegembiraan segala sesuatu yang merupakan ketentuan Tuhan”. Artinya, seorang hamba yang ridha selalu bahagia dan bersikap positif atas segala pencapaian, dalam susah dan senang, dalam lebih dan kurang. Ridha tidak sekedar “rela” dalam pemahaman bahasa Indonesia. Sebab “rela” dalam kosakata Indonesia sekedar bermakna “pasrah”. Tapi Ridha adalah ekspresi kerelaan yang disertai rasa “senang”, “bahagia” dan “gembira”. Contoh, bagi yang berada pada maqam taslim (pasrah), maka sholat dilakukan sebagai sebuah sikap pasrah, tanpa membantah, karena dianggap sebagai “kewajiban”. Sedangkan pada maqam ridha; sholat, jihad dan ibadah lainnya dikerjakan dengan suka cita walau penuh rintangan dan tantangan, karena tidak dimaknai lagi sebagai kewajiban melainkan sebagai media ekspresi cinta kepada Tuhan. Berkenaan dengan ridha, salah satu wali pendiri tariqat Qadiriyyah, Sayyid Abdul Qadir alJailani (470-561H/1077-1166M) mengatakan24: “Hendaklah engkau beramal untuk mencari ridha-Nya, dan hendaknya engkau tidak meminta pahala sedikitpun. Dalam beramal, 24

Beliau lahir di daerah Jilan, Persia (Iran sekarang). Nasab dari garis ayahnya bersambung kepada Rasulullahsaw melalui Hasan bin Abi Thalib. Dari garis ibunya juga demikian, bersambung ke Rasulullahsaw melalui Husain bin Abi Thalib.

68

SAID MUNIRUDDIN

hendaknya tujuanmu adalah mencari ridha-Nya dan berdekatan dengan-Nya di dunia maupun akhirat”.25 Karena fokusnya murni kepada Tuhan, maka ridha dengan demikian juga bermakna “menceraikan dunia” dan segala sesuatu selain Tuhan. Menurut beliau, hati orang-orang yang bertauhied tidak digunakan untuk mengejar dunia, juga tidak untuk mengejar akhirat. Tidak juga mereka hidup untuk mengejar kedua-duanya. Orang-orang mukmin adalah mereka yang hati dan raganya digunakan untuk mengejar ridha Allahswt. Disinilah letak nilai irfani (gnostik) dari tujuan HMI. Semua amalan ditujukan bukan untuk mengumpulkan “dunia”, bukan untuk mengharap “akhirat”, bukan untuk mengais “pahala”, juga bukan untuk mendapat “syurga”. Melainkan untuk semakin dekat dengan-Nya, untuk memperoleh “ridha”-Nya, di dunia dan akhirat. Juga mengutip Rabi’ah Adawiyah, seorang sufi perempuan Basrah abad 2 Hijriah: Aku mengabdi kepada Tuhan Bukan karena takut neraka, Bukan pula karena mengharap masuk syurga, Tetapi aku mengabdi, karena cintaku kepada-Nya. Ya Allah, jika aku menyembah-Mu karena takut neraka, Bakar aku di dalamnya. Jika aku menyembah-Mu karena mengharap syurga, Campakkan aku darinya. Tetapi jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata, Janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu kepadaku. “Ridha Allahswt” merupakan arah perkaderan dan perjuangan HMI. Bahwa awal dan akhir dari segala pencapaian, adalah untuk memperoleh kecintaan Allahswt. Nilai-nilai spiritualitas seperti inilah yang harus ditanamkan sejak awal guna memurnikan gerakan, seperti terucap dalam bai’at perkaderan dan kepengurusan: “Aku ridha dengan Allah sebagai Tuhanku, dan dengan Islam sebagai agamaku, dan Muhammad sebagai Nabi dan Rasulku”.

25

S.A. Al-Jailani. 2012. “Menjadi Kekasih Allah”, hal. 188, cet. XII, diterjemahkan oleh M. Ahmad dari judul asli al-Fathur Rabbani wal Faidlur Rahmani. Citra Media: Yogyakarta.

BAB 3 Tujuan HMI: “Pendekatan Rasional-Tekstual”

69

Selanjutnya Bab 4 “Memahami Tujuan HMI: Pendekatan Gnostik” akan mempermudah kita memahami tujuan HMI yang menjadikan Allahswt sebagai awal dan akhir dari totalitas organisasi.

KESIMPULAN Gambar 3.5: Totalitas Tujuan HMI: “Insan Cita”, “Masyarakat Cita” dan “Cita-Cita”

@ Said Muniruddin 2013

Seperti tersederhanakan pada gambar di atas, Tujuan HMI adalah terbinanya insan yang rasional (akademis), yang kapasitas keilmuan mereka dibuktikan dalam berbagai inisiatif, gagasan, eksperimen, gebrakan, rintisan, temuan, dan karya (pencipta). Manusia-manusia yang rasional dan kreatif ini menjalani hidup bukan semata-mata untuk kepentingan diri sendiri, melainkan membangun gerakan untuk membuat masyarakatnya semakin berkualitas (pengabdi). Lebih penting lagi, ketiga kualitas tersebut harus tumbuh diatas nilai-nilai ilahiyah (bernafaskan Islam) dan berkembang diatas kesadaran untuk mengemban amanah sebagai khalifah Tuhan (tanggungjawab), guna membangun sebuah model masyarakat yang semakin hari semakin baik.

70

SAID MUNIRUDDIN

Kelima kualitas insan tersebut juga disebut dengan kader yang memiliki maksimalisasi “iman-ilmu-amal”. Mereka inilah “muslem-intelektualprofesional”, atau kader yang berakhlakul karimah. Mereka ini memiliki kesalehan individual (mampu memimpin dirinya sendiri) serta memiliki kesalehan sosial (mampu memimpin masyarakat). Inti dari tujuan hidup atau cita-cita para insan ilahiyah ini semata-mata hanya untuk mendapatkan kerelaan (ridha) Tuhan, baik bagi dirinya maupun masyarakatnya, di dunia dan akhirat.*****

BAB

4

Tujuan HMI: “Pendekatan Filosofis-Sufistik” Sejatinya, sebuah tujuan harus menyentuh otak sekaligus hati; menggugah rasio dan emosi. Setelah sebelumnya secara argumentatif dibahas melalui perspektif rasional-tekstual, kini tujuan HMI diperkenalkan melalui pendekatan filosofis-sufistik, tasawuf, gnosis atau irfan.1 Keseluruhan bab ini membahas nilai-nilai transenden yang menjadi tujuan himpunan, seperti teringkas pada piramida berikut:

1

Tidak ada definisi tunggal dari “tasawuf” (sufisme). Sebagai sebuah istilah, kata tasawuf belum ada pada generasi awal Islam. Sebagai sebuah nama, ia baru muncul abad ke-2 Hijriah (awal abad ke-8 Masehi). Namun sebagai sebuah praktik yang bercirikan kezuhudan (asketisme), ia berakar pada kehidupan Nabisaw, Keluarga dan sahabat-sahabatnya. Oleh sebab itu, tasawuf atau sufi diartikan beragam. Kata ini sendiri memiliki beberapa makna. Pertama “kain wol kasar”, yang merujuk pada pakaian yang dikenakan oleh sejumlah zahid (ahli zuhud) pada abad ke-2 itu. Arti lainnya adalah “kesucian”, merujuk pada kesucian hati dan kebersihan perilaku yang menjadi gaya hidup mereka. Sebagian lain berpendapat, berasal dari kata shaf (barisan), merujuk pada “posisi” mereka pada baris terdepan yang memiliki cita-cita untuk bertemu dan memperoleh ridha-Nya. Juga diartikan sebagai mereka yang shalat pada shaf langsung dibelakang Nabi. Arti lainnya “pilihan” (terbaik), merujuk pada karakter mereka sebagai manusia-manusia pilihan. Selain itu, karena ada yang menilai kehidupan asketisme sufi ini berkaitan dengan era sebelumnya, maka juga diartikan sebagai “ahli mistik”, berasal dari kata Yunani sopos atau sapis. Karena praktik serupa juga ditemukan pada berbagai agama dan tradisi seperti Hindu dan Budha. Sufisme memang diketahui mengasimilasi konsep-konsep yang ditawarkan teks-teks “islami” sebelumnya. Teks-teks asing ini mendukung dan melestarikan doktrin Kesatuan Wujud. Sufisme mengadopsi tulisan-tulisan metafisik dari Plotinus (berjudul “Eneads”), Niomachus (filsuf mazhab Pythagoras), Empedocles (teori-teori kosmologi), dan Hermes Trismegistus (dipercaya sebagai Nabi Idris as, yang memiliki kitab-kitab tentang dimensi kebatinan yang menjadi tradisi Mesir dan Yunani). Bagi pegiat sufisme sendiri, kata sufi terlalu mulia untuk diturunkan dari sesuatu, dan pada dasarnya sufisme tidak kenal waktu. Namun, manifestasi kesejarahan sufisme dalam Islam dimulai dengan turunnya alQuran. Banyak sisi kehidupan Nabi saw,

72

SAID MUNIRUDDIN

Gambar 4.1: Tujuan HMI, Perspektif Filosofis-Sufistik

@ Said Muniruddin 2013

Keluarga, dan sahabat-sahabatnya yang melukiskan pengetahuan dan pengalaman sufistik (L. Bakhtiar, 2008). Singkatnya, tasawuf atau sufisme adalah “jalan jiwa” menuju Tuhan. Atas pengertian ini, tasawuf memiliki kemiripan arti dengan “irfan” (gnosis), yaitu sebuah metode pengetahuan iluminatif (intuitif) untuk menangkap makna-makna dan entitas tertinggi. Yang tertinggi dari semua itu adalah Tuhan. Baik tasawuf maupun irfan, keduanya memaksimalkan dimensi batin (spiritual, hati, atau rasa), tanpa mengabaikan fungsi intelek, untuk mencapai kasyaf: memperoleh Pengetahuan Tertinggi. Dengan ini terbangun kesempurnaan diri, menjadi kamil, berakhlak sempurna, dan mencapai kebahagiaan hakiki. Pada dimensi irfan seperti inilah organisasi HMI, melalui “Bintang Arasy” ini mencoba meletakkan doktrin-doktrin ke-Islam-annya. Sehingga seluruh gerak organisasi dapat dipahami sebagai “jalan menuju Tuhan”. Namun, “sufisme HMI” ini tidak masuk ke ranah yang terlalu konseptual ataupun terlalu teknis, sebagaimana ilmu-ilmu kesufian dan kelompok tariqah pendukungnya. “Sufisme” disini juga bukan bentuk eksklusifisme beragama, atau isolasi diri dari kehidupan sosial (pseudo-sufi) sehingga mengakibatkan turunnya produktifitas duniawi. Apa yang dimaksudkan disini lebih kepada penggalian kembali makna-makna esoteris dari agama melalui framework irfan, dibantu oleh praktik-praktik dasar keruhanian, serta berpandangan positif terhadap kehidupan dunia. Mungkin lebih tepat seperti disebut Hamka (1977) sebagai “sufi modern” atau “neo-sufisme” dalam bahasa Fazlur Rahman (1979). Inti gerakan baru sufisme ini adalah “terbinanya sekelompok mahasiswa yang memiliki militansi spiritual, serta memiliki etos kerja yang tinggi terhadap pembangunan sosial”. Dengan demikian, HMI adalah sebuah ordo sufi yang memiliki ciri “muslim-intelektual-profesional”. Spirit ini yang mesti ditanamkan pada setiap anggotanya, menyeimbangkan “kesucian diri” dengan “progresifitas gerakan”, dalam perjalanan memperoleh ridha Tuhan.

BAB 4 Tujuan HMI: “Pendekatan Filosofis-Sufistik”

73

Apa Tujuan HMI? Secara konseptual, dalam rumusan sederhana, tujuan HMI adalah “IMH”, yaitu tajalli “HMI” itu sendiri. Tajalli artinya “perwujudan”, “pengejawantahan”, “penampakan”, “pantulan”, “refleksi”, atau “manifestasi”. Misalnya, ketika berkaca, dicermin muncul wujud kita sendiri. Itu namanya tajalli. Demikian juga dengan HMI, ketika direfleksikan, akan muncul wujud reflektif: “I”-“M”-“H”. Konsepsi ini tentu bersifat sangat simbolik, dengan penjelasan seperti berikut. Target dasar HMI (basic goal) adalah individual, yaitu membentuk “I” (insan kamil, insan cita). Perkaderan bertujuan mentransform personal anggotanya menjadi “manusia sejati”. Ini merupakan proses pendakian dari ‘lembah yang gelap’ (kualitas basyar) menuju ‘Arasy Tuhan (berkualitas insan, hidup melebihi tapal batas kehidupan binatang). Seperti puisi Hafiz Syirazi: “Engkau telah dipanggil-panggil dari Arasy yang agung, lalu mengapa pula engkau masih bermukim dilembah ini”.2 Tujuan selanjutnya HMI (intermediate goal) bersifat sosial, yaitu perjuangan mewujudkan “M” (masyarakat adil makmur, masyarakat cita). Setiap kader didoktrin untuk ‘turun’ dari ‘menara gading’ yang tinggi guna mengabdikan hidup bagi kemajuan masyarakat. Inilah insan kamil dalam relasi dengan alam, hidup seimbang sebagai hamba (ibadah vertikal) dan sebagai khalifah (muamalah, ibadah sosial). Sedangkan tujuan tertinggi (ultimate goal) atau inti dari keseluruhan Tujuan HMI adalah “H” itu sendiri, yaitu Hu (Dia, Allah). Inti tujuan ini selaras dengan bait akhir Tujuan HMI: “....diridhai Allahswt”. Karena tujuan ber-HMI semata-mata “hanya untuk Allahswt”; maka aktifitas dan pengabdian seorang kader pada dasarnya adalah upaya mengenal (ma’rifat), mendekat (taqarrub), kembali (ruju), lebur (fana), atau memperoleh cinta (ridha-Nya). Hal ini sejalan dengan konsepsi Islam, bahwa “awal” dari beragama adalah “mengenal Allah”: awaluddin ma’rifatullah. Inilah akar irfani ber-HMI.3

Khoemaeni. 2007. “Hakikat dan Rahasia Sholat”, dalam Bab Cinta Dunia Sumber Kealpaan Kalbu, hal. 86. Penerbit Misbah: Jakarta. 3 “Ilahi anta maqsudi, wa ridhaka mathlubi, a’tini mahabbataka, wa ma’rifataka” (“Ya Tuhanku, Engkaulah yang kumaksud, keridha-Mu yang kucari, beri aku kemampuan untuk bisa mencintai-Mu dan mema’rifati-Mu”). 2

74

SAID MUNIRUDDIN

PERJALANAN DARI “I” MENUJU “H”: EVOLUSI “BASYAR” MENJADI “INSAN KAMIL” Mengapa di Awali dengan Mengenal Tuhan (Ma’rifatullah)? Dalam konsepsi Islam, pada wujud ruhaniyahnya, semua manusia telah mengenal Allahswt:

“Dan ingatlah ketika Tuhan mu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian atas jiwa mereka, ‘Bukankah Aku ini Tuhan mu?’, mereka menjawab, ‘Benar, Engkaulah Tuhan kami” (QS. al‘Araf -7: 172). Pada wujud paling hakiki, manusia telah meng-“iya”-kan (bersumpah), bahwa Allahswt sebagai satu-satunya Tuhan. Dengan demikian, ketauhidan manusia bersifat fitrah:

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui,” (QS. arRum -30: 30). Artinya, pada dimensi ruhaniyah, setiap orang memiliki potensi Ilahiyah. Sifat-sifat ketuhanan inilah yang menyebabkan manusia layak menjadi wakil atau khalifah-Nya (QS. alAn’am -6: 165)4 yang mengemban amanah (QS. alAhzab -33: 72)5 untuk memakmurkan bumi (QS. Hud -11: 61).6

“Dan Dialah yangmenjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di bumi dan Dia mengangkat sebagian kamu di atas yang lain....” (QS. alAn’am -6: 165). 5 “Sesungguhnya telah Kami tawarkan amanah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan bodoh.” (QS. alAhzab -33: 72). 4

BAB 4 Tujuan HMI: “Pendekatan Filosofis-Sufistik”

75

Akan tetapi, dari susunan wujudnya (dibandingkan malaikat yang murni berdimensi spiritual) manusia memiliki kompleksitas yang jauh lebih tinggi. Manusia tidak hanya berwujud spiritual, tetapi juga tercipta dengan komposisi material. Manusia adalah “ruh suci” yang bersemayam dalam wujud fisik. Ruh yang berdimensi immateri mengalami proses materialisasi ketika ‘ditiup’ ke dalam jasad. Proses materialisasi ruh ini menjadi penyebab dinamika yang tinggi pada manusia. Idealnya, kedua dimensi ini (fisik dan spiritual) berjalan seimbang. Namun ketika dimensi fisik terlalu mendominasi, manusia menjadi terkungkung dalam nafsu yang tidak terkontrol. Akhirnya mereduksi potensi ilahiyah yang ada dalam dirinya. Pada tarikan nafsu dan dunia materi yang tidak terkendali inilah manusia mengalami kegelapan (dhulm), kebodohan (jahil), keraguan (sceptism), penolakan (ateism), pengingkaran (kufr), sampai kepada penyembahan-penyembahan kepada selain Dia (syirk). Ini semua bentuk “akhlak yang rusak” (akhlak madzmumah). Maka, “hidup” adalah “perjuangan”; sebuah usaha panjang untuk membebaskan diri dari penjara fisik (being), menuju kesadaran spiritual (becoming). Sebab, jika hanya bertumpu pada realitas material, maka hidup tidak ada bedanya dengan binatang. Sebaliknya, jika potensi spiritual dan material termenej dengan baik, manusia dapat melampaui kualitas malaikat. Jika ini sampai terjadi, malaikat pun diharuskan ‘sujud’ (hormat) kepada manusia:

“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, ‘Sujudlah kamu kepada Adam!’ Maka mereka pun sujud kecuali iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri dan ia termasuk golongan yang kafir” (QS. alBaqarah -2: 34). Namun jika potensi ini gagal terkelola, manusia menjadi jauh dari Tuhan, ‘terlempar’ dari syurga-Nya, bahkan bisa lebih hina dari binatang:

6

“.... Dia telah menciptakan kamu dari bumi dan menjadikanmu pemakmurnya....” (QS. Hud -11: 61).

76

SAID MUNIRUDDIN

“Dan sungguh, akan kami isi neraka jahannam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati tapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah” (QS. al‘Araf -7:179). Hanya kesadaran ruhani, melalui potensi akal dan hati, yang membuat manusia menjadi khaira khalqillah, “makhluk paling mulia”. Oleh sebab itu, mencapai ma’rifat adalah tujuan dasar hidup, tujuan HMI. Segala gerak-gerik organisasi pada hakikatnya untuk “mengenal Allah”. Orang-orang yang telah mendapat “pengetahuan yang benar” tentangNya akan cenderung hidup dengan ‘cahaya’, menjadi hanief dan arief dalam kesatuan iman-ilmu-amal. Mereka inilah kaum irfan, insan kamil atau Bintang ‘Arasy. Tiga Maqom Perjalanan Mengenal Allah. Proses “transformasi diri” untuk mengenal Allah tentu tidak ditempuh dengan kebodohan, khayalan, ikut-ikutan, atau percaya-percayaan (taqlid). Melainkan Allah dikenal melalui kajian, refleksi, ibadah dan pengabdian berterusan. Dalam berbagai istilah, transformasi diri mengenal Allah swt dikenal dengan “penyucian ruhani” (attakamul ruhani), “pembenahan jiwa” (tazkiyatun nafs), “latihan jiwa” (arRiyadhah), “perjuangan mengendalikan nafsu” (mujahadah), dan sebagainya. Hal-hal praktis ini dapat dilakukan sendiri-sendiri atau kolektif. Jika diamalkan secara personal, maka secara sederhana disebut “tasawuf individual”. Secara sendirisendiri mengamalkan sikap-sikap sufistik seperti taubat, dzikir, takwa, tawakal, sabar, syukur, ikhlas, ridha, dan sebagainya. Ketika sudah diorganisir dalam persaudaraan para sufi dan dilakukan secara

BAB 4 Tujuan HMI: “Pendekatan Filosofis-Sufistik”

77

berjamaah dalam tata cara tertentu, maka dinamai “tarikat”.7 Pada dasarnya, kedua model orientasi praktis pembenahan batin ini dapat disebut “suluk”, yaitu “perjalanan jiwa untuk mengenal Allah”. Namun “suluk” yang kita maksud disini bukanlah “pseudo-sufi” (orangorang yang lari dari realitas dunia). Melainkan para pejuang dunia yang hidup maksimal dengan dimensi spiritual, yang gerakan-gerakan mereka hanya menuju kepada satu titik: Allahswt. “Pengetahuan tidak lebih dari satu titik, dan orang bodohlah yang menambahnya -dengan berpaling kepada kemajemukan, kepada selain-Nya” (Imam Ali).8 Banyak ‘jalan’ yang dapat ditempuh para salik untuk mengenal Tuhan (makrifatullah). Jalan tersebut sejumlah nafas manusia: “Jalan menuju Allah sebanyak jumlah nafas makhluk-Nya” (Hadist). Dari banyaknya tingkatan jalan (tariqat) tersebut, sebagian ulama tasawuf menyederhanakannya dalam tiga konsepsi: Syari’at, Hakikat, dan Ma’rifat. Sebagian kaum irfan lain menyimpulkannya dalam tiga maqom9: (1) Takhalli (Pengosongan, Penyucian, atau Penjernihan); (2) Tahalli (Pengisian, Perindahan); (3) Tajalli (Pengejawantahan).

7

8

9

S. Tebba. 2004. Orientasi Sufistik Cak Nur: Komitmen Moral Seorang Guru Bangsa, hal. 177. Paramadina: Jakarta. S.H. Amuli. 2005. Dari Syariat Menuju Hakikat: Pokok-Pokok Iman, Cet.1, hal. 9. Penerbit Mizan: Jakarta. Banyak sekali jalan menuju Allah. Sebagaimana halnya orang berilmu dan beriman yang memiliki berbagai peringkat dan derajat. Para ulama punya ragam klasifikasi tentang tingkatan jalan menuju Tuhan. Sebagian menggunakan rumusan: (1) syari’at, tariqat, hakiqat, ma’rifat. Ada yang lebih sederhana (2) syari’at, hakiqat, ma’rifat. Lainnya memakai konsep (3) syari’at, ma’rifat, hakikat. Masing-masing punya penjelasan sendiri tentang urutan dan istilah tersebut. Diskusi ini memakai konsepsi syari’at, hakikat dan ma’rifat. Secara singkat juga dapat digambarkan dalam 3 tahap: Takhalli, Tahalli dan Tajalli.

78

SAID MUNIRUDDIN

TAKHALLI: “Penjernihan” Pikiran dan Hati

Takhalli: Proses “Pengosongan”

Inilah maqom paling awal. Takhalli merupakan tahap ‘pengosongan diri’. Dalam bahasa inggris disebut zeromind process.10 Mind disini dapat berupa dua hal: pikiran (rasio/intelek) dan hati (jiwa/emosi). Dua unsur non-materi ini merupakan elemen utama kemanusiaan. Pada langkah awal ini, yang harus dilakukan adalah ‘pengosongan’ (lebih tepat disebut dengan ‘penyucian’, ‘penjernihan’, atau ‘pembenahan’) pikiran dan hati. Tabel 4.1: Tiga Bentuk Takhalli

Takhalli (Penjernihan, Pembenahan) 1. Penjernihan Akal/Pikiran a. Membangun “IQ Ketuhanan” (Tauhied Teoritis: Filsafat Tauhied) b. Membangun dalil-dalil syari’at (Fiqh Teoritis: Perbandingan Mazhab) 2. Penjernihan Jiwa/Hati a. Membangun “SQ Ketuhanan” (Tauhied Qalbi: internalisasi syahadat) b. Praktik atau ritual ibadah (Tauhied/Fiqh Praktis: ritual ibadah -sholat) 3. Penjernihan Pikiran dan Hati -melalui Aksi a. Membangun “EQ and AQ Ketuhanan” (Tauhied/Fiqh Praktis: Berkhidmat/berorganisasi/ aktifitas sosial) “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang membersihkan diri” (QS. al‘Ala -87: 14). “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang menyucikan jiwanya” (QS. asSyams -91: 9).

10

A.G. Agustian. 2001. Emotional Spiritual Quotient (ESQ), ed. 1. Penerbit Arga: Jakarta; istilah ini diambil dari D. Zohar dan I. Marshall. 2000. Spiritual Quotient (SQ) The Ultimate Intelligence, London; namun sebelumnya diteliti oleh V.S Ramachandran tahun 1997 bersama timnya dari California University dikenal dengan teori “God Spot”; dan lebih awal lagi oleh ahli syaraf Michael Persinger tahun 1990-an.

BAB 4 Tujuan HMI: “Pendekatan Filosofis-Sufistik”

79

“Didalamnya terdapat orang-orang yang ingin membersihkan diri, dan Allah menyukai orang-orang yang bersih” (QS. atTaubah -9: 108). Pertama, Penjernihan Akal/Pikiran. Misi Awal Para Nabi dan Intelektual: Membangun “Tauhied Teoritis” atau “IQ Ketuhanan” (Filsafat Tauhied). Salah satu musuh utama kemanusiaan adalah kebodohan (jahil). Oleh sebab itu, memberantas jahiliyah menjadi misi utama kenabian. Rasul bertugas mencerdaskan manusia, dari “awam” menjadi “berilmu pengetahuan”. Pengetahuan paling dasar adalah pengetahuan tentang Tuhan. Rasul dan para intelektual (ulama) setelahnya bekerja siang malam untuk memberantas takhayul dan cerita-cerita yang tidak benar tentang Tuhan. Melalui argumentasi filosofis, mereka berjuang membuktikan eksistensi Tuhan beserta sifat-sifatnya. Melalui dalil-dalil ilmiah inilah mereka membuktikan eksistensi Wujud Wajib Tuhan dan wujud mumkin manusia. Nabi dan rasul adalah para intelektual. Mereka mempunyai kecerdasan rasional ketika berhadapan dengan musuh-musuh yang sentiasa menggunakan akal dalam memahami kebenaran. Para Nabi menggunakan pengetahuan rasional (tauhied teoritis) untuk melayani, mengasah dan memboboti pemahaman teologis para pengikutnya. Mereka orang-orang yang memiliki keberanian, untuk secara logis mendebat keberadaan tuhan-tuhan palsu yang diciptakan oleh manusia sendiri. “Dia (Ibrahim) berkata, ‘Apakah kamu menyembah hal-hal yang kamu ciptakan sendiri?” (QS. asShaffat -37: 95).

80

SAID MUNIRUDDIN

Sebagaimana halnya para nabi, maka tugas awal para ulama dan intelektual adalah melakukan takhalli terhadap umat atau pengikutnya. Mereka membangun dialektika guna menjernihkan dan membenah intelegensi (IQ) masyarakatnya. Oleh sebab itu, tugas awal setiap kader dalam upaya menuju Tuhan adalah memurnikan akal, intelek atau rasio. Penjernihan pikiran sangat urgent dilakukan dalam rangka mengenal Tuhan. Mengapa ini penting? Karena manusia secara alamiah adalah “makhluk percaya”. Ragu sempurna atau tidak meyakini kepada sesuatu tidak mungkin terjadi. Sebagai makhluk yang memiliki kepercayaan, dalam pikiran atau benak manusia terdapat sejumlah pengetahuan, konsep, atau keyakinan terhadap sesuatu. Salah satu konsep atau keyakinan yang paling mendasar adalah tentang “Tuhan”. Semua orang di muka bumi terdapat konsep tentang Tuhan dalam benaknya. Hanya saja, gambaran tentang Dia berbeda-berbeda antara satu dengan lainnya. Ada yang percaya Dia itu “ada”, ada yang tidak. Yang percaya pun beragam. Ada yang percaya Dia satu (monotheist), ada yang percaya Dia banyak (polytheist). Oleh sebab itu, setiap orang harus berusaha untuk mendapat pemahaman yang benar tentang “Tuhan”. Statistik terkini memperlihatkan, ada 16 persen atau lebih dari satu milyar penduduk dunia menyatakan diri ‘tidak bertuhan’. Lainnya menggunakan istilah ‘tidak beragama’. 11 Mereka mengaku menjadi ateis atas dasar ‘argumentasi rasional’. Hanya saja rasionalitas mereka cukup untuk menjangkau keberadaan dimensi material. Mereka cukup ‘ilmiah’ dalam pengertian pembuktian empiris (inderawi). Namun tidak cukup rasional dalam menjawab asal-muasal dunia materi. Berhadapan dengan masyarakat ‘ilmiah’ seperti ini menjadi sebuah tantangan tersendiri. Mampukah kita, melalui argumentasi metafisika Islam sebagaimana telah dibangun oleh para filsuf muslim, meyakinkan mereka dengan argumentasi-argumentasi logis, bahwa apa yang mereka yakini adalah salah. Bisakah kita menjelaskan adanya wujud immateri yang menjadi penyebab awal dari keberadaan dunia materi. Disini, kekuatan mantiq menjadi sesuatu yang penting dalam dakwah. Terlebih lagi, umat Islam Indonesia selalu ditantang oleh misi kristenisasi yang

11

M. Martin. 2007. The Cambridge Companion to Atheism. Cambridge University Press: Cambridge, UK.

BAB 4 Tujuan HMI: “Pendekatan Filosofis-Sufistik”

81

mengembangkan logika “tiga tuhan”, “tuhan berbapak”, tuhan beribu”, dan “tuhan beranak”. Dari sejarah awal berdirinya, HMI berupaya membentengi umat dari kesalahan fikir (fallacy) filsafat ketuhanan yang berwarna pagan (politeisme, multiteisme, dan sebagainya). Umat Islam harus dihidupkan keberanian intelektualnya untuk berdialog atau menggunakan berbagai media dakwah lainnya guna meluruskan kesalahan berbagai pandangan dunia tentang Tuhan. Para nabi dan rasul ini dikenal sebagai idol destroyer (penghancur berhala). Berhala lebih banyak dibasmi melalui kelembutan dakwah atau argumentasi-argumentasi logis, daripada kekuatan fisik. Tuhantuhan palsu banyak yang mati dengan bahasa-bahasa yang baik, daripada kekasaran dan anarchie. Debat ilmiah merupakan salah satu media terbaik dakwah dewasa ini. Hal ini telah dibuktikan ampuh oleh sejumlah scholar dan misionaris Islam, seperti Ahmad Deedat dan Zakir Naik. Ribuan orang kembali kepada fitrah setelah memperoleh argumentasi-argumentasi rasional tentang Tuhan.

“Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik [mau’izhad hasanah] dan bantahlah mereka dengan cara yang terbaik [wajadilhum bi allati hiya ahsan]. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalanNya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (QS. anNahl -16: 125). Metode hikmah (logika kebenaran yang menyentuh otak dan hati), mau’izhah (nasehat), dan mujadalah (diskusi) inilah yang digunakan dalam proses islamisasi Indonesia sejak abad-abad silam; sehingga kini berhasil mentransform Indonesia menjadi negara muslim terbesar di dunia. Tidak ditemukan satu kapal perang pun yang datang membawa ulama intelektual (mubaligh) Arab ke dunia Melayu. Jauh berbeda halnya dengan penyebaran Kristen, yang pendeta-pendetanya datang menumpang dalam armada perang Portugis, Spanyol, dan Belanda. “TIDAK ADA TUHAN KECUALI DIA YANG MAHA SEMPURNA”: SEBUAH KONSEPSI FITRAH-RASIONAL. Rasio atau akal merupakan media uni-

82

SAID MUNIRUDDIN

versal untuk membuktikan kebenaran adanya Tuhan.12 Akal harus terlebih dahulu dijernihkan dari pengaruh mitos, legenda, budaya, doktrin, dan berbagai kejumudan intelek lainnya. Akal mesti difungsikan sesuai hukum-hukumnya yang universal. Setiap kita harus kembali kepada kemampuan fitrah atau konsepsi rasional dalam pembuktian ontologi (hakikat/realitas/adanya) Tuhan. Hukum kausalitas (sebabakibat) misalnya, merupakan hukum akal universal untuk secara logis membuktikan adanya Causa Prima, Penyebab Awal, Wujud Wajib, Wujud Tunggal, atau Tuhan. Ibrahim as misalnya, merupakan contoh manusia yang secara fitrah rasional mampu membuktikan keberadaan Tuhan Yang Satu.

(76) “Ketika malam telah menjadi gelap, dia (Ibrahim) melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata, “inilah tuhanku”. Maka ketika bintang itu terbenam dia berkata, “aku tidak suka kepada yang terbenam”.

(77) Lalu ketika melihat bulan terbit dia berkata, “inilah tuhanku”. Tetapi ketika bulan itu terbenam dia berkata, “sungguh, jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orangorang yang sesat”.

(78) Kemudian ketika dia melihat matahari terbit, dia berkata, ‘inilah tuhanku, ini lebih besar”. Tetapi ketika matahari terbenam, dia berkata, “wahai kaumku, sungguh aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan” (QS. alAn’am -6: 76-78). Oleh sebab itu, dalam proses pemurnian intelektual, seorang kader harus diberi alat pembuktian “benar-salah” tentang sesuatu (epistimologi), serta pengetahuan filosofis-metafisis untuk mampu membuktikan Wujud (ontologi). Dalam ilmu pengetahuan transenden (teosofi), dapat 12

Khoemaini. 2004. Insan Ilahiyah: Menjadi Manusia Sempurna dengan Sifat-Sifat Ketuhanan, Puncak Penyingkapan Hijab-Hijab Duniawi. Pustaka Zahra: Jakarta.

BAB 4 Tujuan HMI: “Pendekatan Filosofis-Sufistik”

83

dibuktikan bahwa seluruh alam realitas dan wujud pada hakikatnya hanyalah keterkaitan, ketakmandirian, kebergantungan, kefakiran dan ketakberdayaan. Adapun seluruh kemuliaan, kerajaan, kekuasaan dan kekayaan hanyalah milik Dia Yang Maha Sempurna. Tiada satupun yang mendapat bagian dari kemuliaan dan keagungan itu kecuali Dzat Kudus Allah yang Maha Agung.13 Dari konsepsi akal dapat diketahui ciri-ciri umum-Nya: Maha sempurna (tidak kurang, tidak butuh, tidak tergantung), non-materi dan tidak berbentuk, sederhana dan tidak tersusun (basathah), tidak berbagian, tidak terindera secara material, serta tunggal/esa/ahad. 14 Melalui argumentasi rasional juga selanjutnya dapat dibuktikan bahwa Tuhan itu “ADA”, dengan berbagai sifat dan af’al-nya: Dari segi Dzatiyyah, Dia merupakan realitas objektif yang Maha Hidup (al-hayah), Maha Ilmu (al-‘ilm), dan Maha Kuasa (al-qudrah). Seluruh sifat-Nya yang lain dapat dikaitkan dengan tiga sifat ini. Jika dilihat dari segi tindakan dan hubungan dengan makluk-makhluknya, yaitu sifat fi’liyah, maka Dia adalah Pencipta (al-Khalq), Pengatur (arRabb), dan Pemberi Rizqi (arRazzaq).15 Oleh sebab itu, tasawuf-falsafi (irfan) menjadi salah satu metode dalam memahami atau mencapai tujuan HMI. Untuk itu perlu kegiatan-kegiatan reflektif dan diskusi-diskusi filosofis-rasional yang intensif tentang keberadaan Wujud. Santri Ustadz Santri

: : :

Ustadz

:

Santri Ustadz Santri Ustadz Santri Ustadz Santri

: : : : : : :

“Ustadz, apa itu manusia?”. “Manusia adalah hewan yang berakal, hayawaanun naatiq”. “Terus, kalau manusia yang tidak menggunkan akal, namanya apa?”. “Menurut alQur’an itu namanya manusia berspesies binatang. Bahkan lebih rendah dari itu”. “Apa ciri-ciri orang punya akal, ustadz?”. “Mereka selalu berfikir, dan dibuktikan dengan bertanya”. “Ustadz, bolehkan kita berfikir tentang apa saja?” “Untuk itulah Allah menciptakan akal bagi manusia”. “Bolehkah kita berfikir tentang Dzat Allah?” “Kenapa tidak?” “Tapi ustadz pernah menyampaikan sebuah hadist ‘tafakkaru fi khalqillah, wala tafakkaru fi Dzatillah’. Pikirkan

Khoemaeni. 2007. “Hakikat dan Rahasia Sholat”, dalam Bab Urutan Maqom-Maqom Ahli Suluk, hal. 3134. Penerbit Misbah: Jakarta. 14 Ibid. 15 M.T.M Yazdi. 1994. Filsafat Tauhid. Arasy: Bandung. 13

84

SAID MUNIRUDDIN

Ustadz

:

Santri Ustadz

: :

Santri Ustadz Santri

: : :

Ustadz

:

ciptaan Allah, jangan pikirkan Dzat Allah”. “Tidak semua kata ‘jangan’ mengandung arti ‘larangan’ atau ‘keharaman’. Sebagian kata ‘jangan’ berarti ‘saran’, boleh dilakukan boleh tidak. Sebagian malah mengandung arti ‘tantangan’. Misalnya, jangan makan enak. Bolehkah kalau engkau melanggarnya dengan tetap juga memakan makanan yang enak itu? “Boleh-boleh aja ustadz, kan enak”. “Tapi kenapa dimulai dengan ‘jangan’ pada ‘jangan makan enak’? “Karena takut kalau dimakan, akan ketagihan. He..he..” “Cerdas kamu!” “Namun bagaimana dengan makna ‘jangan’ pada jangan berfikir tentang Dzat Allah, ustadz? “Karena Dzat Dia itu tidak pernah dapat dijangkau oleh pikiran manusia. Laisa kamislihi syai’un. Dia tak serupa dengan apapun jua. Jika engkau mau memikirkannya, silakan saja. Islam adalah agama yang Qur’annya tidak pernah membatasi orang untuk berfikir. Afala ta’qilun? Afala yatazakkarun? Namun ingat, engkau boleh berfikir apapun juga. Namun takkan pernah mampu memahami Dzat-Nya. Sampai mati pun engkau tak akan mengetahui seperti apa Dia. Itulah mengapa, daripada buang-buang waktu, bukan diharamkan, tapi disarankan ‘jangan’. Gunakan saja otakmu untuk mengkaji ciptaan dan hukum-hukumnya yang ada di alam semesta, karena akan lebih bermanfaat untuk kepentingan manusia.

Dengan demikian, melalui berbagai metode filosofis-rasional dapat dibuktikan bahwa “Tidak ada tuhan kecuali Dia Yang Tunggal dan Sempurna” (Laa ilaaha illa Huwa). yang kemudian diberitakan dalam alQur’an dengan Laa ilaaha illa Allah. Inilah syahadah pada level paling dasar, yakni kesaksian rasional tentang “monoteisme”. Karena perlu diketahui, ada beberapa level kesaksian tentang ketuhanan. Pada awalnya, Dia dipahami melalui burhani (argumen) sebagai ‘sesuatu yang ada dibelakang ini semua’, ‘Dia yang jauh disana’, atau Realitas Dhahir (transenden). Pada level paling tinggi, akan dialami suatu kondisi yang disebut syuhudi (penyaksian batin). Ini pengalaman yang telah melampaui tahap kata-kata. Disini, Tuhan telah dirasakan sebagai ‘sesuatu di dalam ini semua’, ‘lebih dekat dari urat leher’, Realitas Batin (imanen). Pada prinsipnya, ke-Ahad-an Tuhan merupakan sesuatu yang transenden sekaligus imanen.

BAB 4 Tujuan HMI: “Pendekatan Filosofis-Sufistik”

85

“Qul Huwallahu Ahad”. Katakan, Tuhan itu ahad. Ahad itu esa. Esa itu satu. Tapi satunya itu bukanlah satu bilangan satu, ataupun satu sebelum angka dua itu. Satunya Dia tidak sedikitpun seperti satu dalam persamaan matematika. Satunya Dia itu juga bukan seperti satunya manusia, yang bisa dimutilasi jadi seribu. Satunya Dia tidak pernah terjangkau oleh daya hayal dan imajinasi. Satunya Dia adalah satu yang tidak dapat dibagi tiga, dikali, ditambah, ataupun dikurangi oleh angka berapapun jua. Satunya Dia adalah satu yang sempurna, satu yang tidak dapat Surah al-Ikhlas dipecahkan, satu yang tidak berbentuk, satu yang tidak berbilang. Tetapi satunya Dia adalah satu dalam deret awal yang tidak bermula, sekaligus satu terakhir dalam deret yang tak terhingga. Satunya Dia adalah satu yang paling absolut wujudnya, sekaligus paling tersembunyi keberadaannya. Satunya Dia tidak bertempat, tetapi ada dimana-mana; bahkan meliputi segalanya. Itulah Tuhan mu, hanya ‘Satu’. Apakah Dzatnya ada dalam jangkauan kecerdasanmu? Tugas Selanjutnya: Membangun Argumen Tekstual-Rasional (Dalil Naqli dan Aqli) tentang Tata Cara Penyembahan Tuhan (Fiqh Teoritis atau Dalil Syari’ah). Ketika melalui kesadaran fitrahrasionalnya seorang kader telah dapat membuktikan adanya Tuhan beserta segala Kesempurnaan-Nya, maka sampailah pada kondisi kejernihan intelek. Kesadaran fitrah-rasional ini menumbuhkan sifat syukur dan ikhlas. Dua elemen inilah yang memerdekakan jiwa, dan menjadi penyebab ketaatan kepada Tuhan (taqwa).16 Namun demikian, ketaatan kepada Tuhan mesti disalurkan melalui caracara yang benar. Tuhan tidak meninggalkan manusia tanpa petunjuk. Ia telah mengutus para nabi dan rasul. Yang terakhir adalah Muhammad saw. Melalui wahyu kepada utusan-Nya ini, Tuhan memperkenalkan syari’at, hukum tata cara penyembahan yang benar kepada-Nya (sholat, puasa, zakat, haji, jihad, dan kemaslahatan umum lainnya). Maka alQuran menjadi dalil utama peribadatan. Sementara setiap praktik ibadah dan perilaku Muhammadsaw merupakan manifestasi dari alQur’an. Sehingga Rasul dengan segala perkataan dan praktik kehidupannya menjadi contoh bagi kita (asSunnah). 16

HMI memiliki dua kata kunci ini dalam hymne pembuka: //Bersyukur dan ikhlas/Himpunan Mahasiswa Islam/yakin usaha sampai/untuk kemajuan/hidayah dan taufiq/bahagia HMI/Berdo’a dan ikrar/menjunjung tinggi syiar Islam/turut Quran dan hadist/jalan keselamatan/ya Allah berkati/bahagia HMI//

86

SAID MUNIRUDDIN

Oleh sebab itu, pada level penjernihan dan pembenahan pikiran (takhalli), seorang kader harus mengetahui konsep-konsep teoritis, hukum-hukum tata cara penyembahan yang benar kepada Tuhan (fiqh). Namun disini kita menghadapi dilema, dunia muslim diwarnai aneka tata cara beribadah. Pada prinsip dasar atau pokok agama (ushuluddin), setiap orang Islam beriman kepada Allah dan dibuktikan dengan penyembahan kepada-Nya melalui sholat. Semua muslim setuju pada kewajiban sholat. Hanya saja, pada praktiknya, terutama persoalanpersoalan cabang dan teknis agama (furu’) menjadi beragam. Sebagian melakukan sholat dengan “bersedakab” (melipat tangan di perut, di bawah perut, bahkan ada juga yang di dada). Sebagian lain “berdiri lurus”. Ada yang melaksanakan 5 sholat fardhu dengan konsep 5 waktu. Ada juga yang melakukan 5 sholat fardhu pada 3 konsepsi waktu sebagaimana tersebut dalam alQur’an17. Mengapa berbeda? Mana yang benar? Mungkinkah dua-duanya benar? Bagaimana mungkin dua hal berbeda, benar keduanya? Atau salah satunya yang benar? Yang mana? Bagaimana sebenarnya cara Rasul saw melakukan sholat? Atau bolehkah sholat sesuka hati tanpa mengikuti aturan yang diajarkan Tuhan yang dipraktekkan Nabi? Keragaman ini mudah dipahami. Semua terjadi hanya karena adanya perbedaan pemahaman teks ayat dan perbedaan rujukan hadist. Pada prinsipnya, Islam itu alQuran dan asSunnah. Namun dalam praktiknya, Islam itu menjadi beragam karena praktik didasari perbedaan pemahaman ayat dan riwayat. Konon lagi realitas hadist yang bertentangan. Banyak hadist direkayasa, dan diriwayatkan oleh orang yang tidak dapat dipercaya. Sehingga ada hadist yang diklaim benar dengan berbagai kadar kebenarannya (sahih, hasan, mutawatir), sampai kepada hadist yang dicurigai dan palsu (dha’if, maudhu, munkar, ahad). Pertanyaannya, bagaimana kita yakin bahwa riwayat yang kita praktikkan adalah benar dari Nabi. Disini dibutuhkan ilmu untuk membuktikan kebenaran dalil. Tanpa perlu menyalahkan mazhab lain yang memiliki praktik ibadah yang berbeda, sedapat mungkin seorang kader, melalui kecerdasan tekstual17

[1] “Dan dirikanlah shalat pada kedua tepi siang dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan perbuatan-perbuatan yang buruk (dosa). Itulah peringatan bagi orangorang yang ingat” (QS. Hud -11: 114); [2] Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) fajar. Sesungguhnya shalat fajar itu disaksikan” (QS. alIsra’ -17: 78).

BAB 4 Tujuan HMI: “Pendekatan Filosofis-Sufistik”

87

rasionalnya, berusaha memperoleh pengetahuan tentang praktik ibadah Rasulsaw yang sesungguhnya. Dengan demikian ia tidak terus hidup dalam kekaburan dan kepalsuan. Yang terpenting, perbedaan tidak dijadikan alasan untuk bermusuhan apalagi saling menyesatkan. Khittah HMI berada pada posisi mendamaikan segenap pertentangan. Mengedepankan kesamaan iman (akidah) jauh lebih penting daripada mempertajam perbedaan praktik-praktik ibadah.18 HMI tidak pernah mengidentifikasi diri dalam kerangka mazhab fiqh tertentu. Bagi HMI, yang dicari adalah kebenaran, darimanapun datangnya. Mengutip pendapat Imam Ali bin Abi Thalib: “Hikmah adalah barang berharga kaum muslim yang hilang. Ambillah ia dimanapun kamu menemukannya”. Oleh sebab itu, bagi HMI rasionalitas menjadi salah satu media utama pencarian kebenaran. Karena taqlid, atau ikut-ikutan tradisi nenek moyang yang belum tentu benar, dapat menyebabkan kita terkubur dalam kesalahan. Oleh sebab itu, sering disebutkan, HMI seperti “miniatur umat Islam”. Di dalamnya ditemukan orang-orang dengan beragam mazhab fiqh dan aliran pemikiran. Dengan demikian, untuk penjernihan akal; setelah menguasai “dalil-dalil ke-Esa-an Tuhan” (tauhied teoritis), selanjutnya menguasai “dalil-dalil syari’at” (fiqh teoritis). Pada maqom ‘penyucian’ (takhalli) intelek, seorang kader yang baik adalah mereka yang memahami konsepsi tauhied dan hukum-hukum penyembahan terhadap-Nya (syari’at). Semua argumen tentang ini dibangun secara kokoh, berdasarkan alQuran dan Hadist, serta tidak bertentangan dengan nilai-nilai rasional kemanusiaan. Dengan demikian, kader yang rasional adalah mereka

18

Pertemuan sekitar 500 ulama, pemerintah dan organisasi Islam se-dunia pada 9 November 2004 (27 Ramadhan 1425 H) di Amman Yordania, melahirkan fatwa yang dikenal dengan “Risalah Amman” (The Amman Message). Dalam pertemuan yang bertajuk “Islam Hakiki dan Perannya dalam Masyarakat Modern”, ulama-ulama senior dari berbagai Mazhab, baik Sunni maupun Syiah, memfatwakan bahwa ada 8 mazhab resmi dalam Islam. Yakni 4 Mazhab dari Sunni (Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hambali), 2 Mazhab dalam Syiah (Imamiyah Istna ‘Asyari/Ja’fariyah, dan Zaidiyah), serta 2 Mazhab lainnya; ‘Ibadi dan Zahiri. Ke delapan Mazhab ini diakui benar dan tidak boleh dikafirkan dan disesatkan. Disamping itu, Risalah ini juga menyatakan kebenaran ajaran tasawuf yang hakiki dan salafi yang sejati. Haram menggangu jiwa, harta dan kehormatan para pengikut 8 mazhab dan ajaran ini. Fatwa ini menjadi tonggak penting persaudaraan dan persatuan Islam se-dunia. Setiap perbedaan di tengah ummat harus diselesaikan dengan dialog berkeadaban, bukan dengan fitnah, pertikaian apalagi pertumpahan darah (dapat diakses melalui situs resmi The Amman Message: http://www.ammanmessage.com/).

88

SAID MUNIRUDDIN

yang memiliki argumen atau dalil-dalil yang kuat (naqli dan aqli) atas apa yang diyakini dan dipraktikkan. Memang pada level argumentasi ini akan terjadi keragaman pendapat, yang berujung pada keragaman praktik fiqh (keragaman mazhab). Ketegangan pun sering terjadi pada level syari’at ini, ketika masyarakat awam tidak memahami penyebab keragaman. Sesungguhnya, hanya mereka yang mempunyai pemahaman rasional atas apa yang diyakini dan dipraktikkan, yang mendapat sebutan alQur’an dengan “Ulul Albab”. “ULUL ALBAB”: MANUSIA YANG MEMILIKI ‘CAHAYA AKAL’ ATAU KEMURNIAN INTELEK. Islam tidak diperuntukkan bagi mereka yang tidak berakal. Untuk menjadi Islam, alam akal harus terlebih dahulu difungsikan. Nabisaw bersabda, “ad-Din huwa al-‘Aqlu. La dina liman la ‘aqla lahu”. Agama adalah akal, tidak ada agama bagi orang-orang yang tidak berakal. Ke-Islam-an bermula dari berfungsinya akal. Begitu pentingnya keharusan menggunakan akal. Sehat dan dewasanya seorang muslim diukur dari keberadaan akal. Sehingga orang gila dan anak-anak tidak wajib melaksanakan perintah karena absennya fungsi akal dan fungsi-fungsi berfikir. Bahkan dalam bahasa Inggris, seorang “anak kecil”, baik laki atau perempuan, disamakan dengan “binatang” dengan menyandang kata ganti “it”. Berbeda halnya dengan orang dewasa yang sudah berakal, didefinisikan dengan “he” atau “she” sesuai jenis kelamin. Tentang pentingnya fungsi akal, Nabisaw juga menyatakan, “atTafakkur sa’atan khoirun minal Ibadah sanatan”. “Berpikir satu jam lebih baik dari pada ibadah -tanpa berpikir- selama satu tahun”. Hadist ini mengkritik orang-orang awam, yang beribadah tetapi tidak memahami dalil dan maknanya. Ibadah orang-orang berakal, orang-orang yang memahami dasar peribadatan, jauh lebih tinggi derajatnya daripada ibadahnya orang-orang awam. Banyak sekali ayat yang mewajibkan manusia menggunakan akal. Perintah tersebut diekspresikan dengan berbagai kata. Seperti tadabbur, tafakkur, ta'aquul dan lainnya. Dalam berbagai ayat Allah menegaskan: "La'allakum tafakkarun" (mudah-mudahan kalian berfikir), "Afala

BAB 4 Tujuan HMI: “Pendekatan Filosofis-Sufistik”

89

ta'qiluun" (apakah kalian tidak berakal), "Afala Yatadabbarunal Qur'an" (apakah mereka tidak merenungi isi kandungan alQur'an) dan lainnya.19 Ulul albab adalah istilah alQuran untuk kaum cendekiawan. Menurut alRaghib 733, albab berasal dari kata lubb, berarti “inti” atau “yang terbaik dari sesuatu”. Lubb berarti “akal yang bersih dari segala cela”, atau “akal yang bersih”. Setiap lubb adalah akal tetapi tidak setiap akal adalah lubb. Karena itu, Allah mengaitkan akal yang bersih dengan pemahaman hikmah, seperti pada alBaqarah 269. …Karakteristik lainnya, ulul albab adalah orang-orang yang sanggup mengambil pelajaran dari sejarah umat terdahulu (QS.12:111); kritis mendengar pembicaraan dan pemikiran orang (QS.39: 18); bersungguh-sungguh mencari ilmu (QS.3:7) dengan merenungkan ciptaan Allah di langit dan di bumi (QS.3:190); mengambil pelajaran dari Kitab yang diwahyukan Allah (QS.38:29, 40:54, 3:7); sanggup tidak terpesona dengan bilangan yang banyak dalam kejelekan (QS.5:100); berusaha menyampaikan peringatan Allah kepada masyarakat dan mengajari mereka prinsip tauhid (QS.14:52); memenuhi janji kepada Allah, menyambungkan apa yang diperintahkan oleh Allah untuk menghubungkannya, bersabar, memberi infak, dan menolak kejelekan dengan kebaikan (QS.13:20-22); bangun tengah malam dan mengisinya dengan rukuk dan sujud (QS. 39:9); dan hanya takut kepada Allah saja (QS.2:197, 65:10, 5:100, 13:21).20 Ulul albab merupakan figur intelektual yang lahir dari maksimalisasi potensi akal. Produk pemikiran mereka suci dan murni, karena lahir dari usaha kontemplasi yang sungguh-sungguh terhadap keberadaan ayatayat Tuhan, baik yang tersurat (qauli) maupun yang tersirat (kauni). Mereka menggunakan alQuran dan rasio sebagai alat untuk mengkaji dan memahami fenomena alam semesta. AlQuran mengatakan, “kesadaran Ilahiyah” muncul dari ketajaman akal:

[1] “Dan Kami anugerahi dia (dengan mengumpulkan kembali) keluarganya dan (Kami tambahkan) kepada mereka sebanyak mereka pula sebagai rohmat dari Kami dan pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai fikiran" (QS. Shaad -38: 43); [2] "Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala" (QS. alMulk -67: 10); [3] Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal" (QS. azZumar -39: 18). 20 J. Rakhmat. 2000. Tafsir Sufi Al-Fatihah, hal. 21-22. PT Remaja Rosdakarya: Bandung. 19

90

SAID MUNIRUDDIN

(190) “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orangorang yang berakal –ulil albab.

(191) Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): `Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (QS. Ali Imran -3: 190-191). Orang yang suci pikiran akan mudah menangkap pelajaran. Jikapun menjadi filsuf, maka menjadi filsuf (sofis) yang bijak atau ahli hikmah:

“Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebajikan yang banyak. Dan tak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orangorang berakal [ulul albab]” (QS. alBaqarah -2: 269). Jika menjadi ahli ibadah, maka mereka menjadi ‘abid yang rasional. Yang beribadah atas dasar syukur (yaitu rasa cinta dan terima kasih kepada Tuhan), bukan karena takut ancaman (neraka) atau karena mengharap imbalan (pahala ataupun syurga). Sayangnya, masih banyak dari umat Islam yang malas menghidupkan akal. Bahkan banyak yang memfabrikasi hadist tentang keharaman menggunakan akal. Akibatnya, kita lemah dalam epistimologi pemahaman kebenaran. Kita menjadi tidak optimal memanfaatkan hukum-hukum Tuhan (taqdir, sunnatullah atau ketetapan Ilahi) yang menguasai alam semesta. Seperti disindir alQuran, “Kita punya hati tidak tergunakan untuk memahami. Punya mata tapi tidak tergunakan untuk melihat. Punya telinga tapi tidak tergunakan untuk mendengar”.21

21

“Dan sesungguhnya Kami jadikan (isi neraka) jahanam kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat

BAB 4 Tujuan HMI: “Pendekatan Filosofis-Sufistik”

91

Ketika lemah daya cerap akal dan hukum-hukum empirik, kita terjerumus dalam taqlid buta tentang Tuhan dan hukum-hukumnya. Akibatnya, kita menjadi bodoh, miskin dan terbelakang. Ilmu pengetahuan, teknologi dan peradaban ummat telah ratusan tahun tertinggal. Karena tidak ada perkembangan, bahkan mundur kebelakang, eksistensi kita digambarkan oleh Allahswt: “tak ubahnya seperti binatang, bahkan lebih buruk dari itu”.22 Mengapa ini terjadi? Mengutip Cak Nur: “Salah satu problem kita di Indonesia ini ialah bahwa tradisi intelektual Islam masih muda sekali”.23 Fenomena yang sama juga terlihat di berbagai belahan dunia muslim. Padahal, pada abad-abad yang bagi Eropa dikenal dengan the dark ages (abad kegelapan, berkisar antara abad 6 sampai 13 masehi), dunia Islam dipenuhi para filsuf, ilmuan, dan sufi yang berkontribusi signifikan terhadap kemajuan Eropa. Ada yang mengatakan, kemunduran ini terjadi karena kita lama dijajah. Akhirnya kita mengidap sindrom inferiority complex. Mental terganggu, sehingga takut berfikir. Sebagian malah telah berhenti berfikir, akalnya telah mati. Akhirnya kembali ke zaman jahiliah (bodoh). Bodoh bukan berarti tidak berakal. Akalnya ada, tetapi tidak dihidupkan. Sehingga susah menerima kebenaran dan mudah diprovokasi. Perdebatan kasar, kebencian, dan pertumpahan darah yang terjadi di tengah umat, seperti perseteruan antar mazhab, seperti sunni-syi’i, juga muncul karena kejahilan ini. Media dialogis seperti dialektika intelektual dan diskusi ilmiah tidak dikedepankan. Yang subur hanya radikalisme dan ektrimisme. Jika ditelusuri, ternyata akarnya taqlid dan kebodohan. Bukan bodoh dalam arti idiot, melainkan punya akal, tapi cenderung kaku dan tertutup (jumud). Seperti kata Cak Nur, “anda boleh tidak sependapat dengan Syi’ah, tapi jangan phobi”.24 Oleh sebab itu, menghidupkan ‘cahaya akal’, rasionalitas, atau intelektualitas umat menjadi misi ke-Islam-an HMI. Kajian-kajian filsafat sepatutnya menjadi main-

Allah). Mereka seperti binatang, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. al‘Araf -7: 179). 22 Ibid. 23 Cak Nur dalam A.A. Tarigan. 2003. “Islam Universal: Kontekstualisasi NDP HMI dalam Kehidupan Beragama di Indonesia”, Latar Belakang Perumusan NDP HMI. Cita Pustaka Media: Bandung. 24 N. Madjid dalam A.A. Tarigan. 2003. “Islam Universal: Kontekstualisasi NDP HMI dalam Kehidupan Beragama di Indonesia”, Pengantar: Latar Belakang Perumusan NDP HMI, hal. 1-26, Cita Pustaka Media: Bandung.

92

SAID MUNIRUDDIN

stream gerakan intelektual di HMI, sebagai ikhtiar untuk ‘penyucian’ dan ‘pembenahan’ kerangka berfikir. Kedua, Penyucian Jiwa/Hati. DARI “ILMU” KE “IMAN”: MEMBANGUN “TAUHIED TEORITIS” (IQ) MENJADI “TAUHIED QALBI” (SQ). Setelah pikiran jernih, atau secara rasional IQ kita sudah mampu membuktikan ‘ada’-nya Allah (telah berhasil me-negasi-kan tuhan-tuhan selain Dia), serta mengetahui hukum-hukum rasional tekstual tata cara penyembahan yang benar kepada Dia (fiqh teoritis/dalil syari’at), tahap selanjutnya adalah menumbuhkan God consciousnous, atau merasakan ‘ada’nya Dia. Proses ini dilakukan dengan media hati, atau ma’rifatullah secara intuitif. Ini merupakan takhalli atau tazkiyatun nafs (penyucian atau pembenahan diri) tahap ke dua. Perlu diketahui, tahap pertama, penjernihan dan pembenahan pikiran, belumlah final. Seseorang boleh jadi telah memiliki pengetahuan filosofis tentang Wujud, dan menguasai berbagai argumentasi tekstual-rasional tentang ibadah. Namun itu hanya pada level argumentasi (burhani). Seseorang tidak boleh teperangkap pada level ilmu, yang merupakan level pertama kemanusiaan. Orang sering larut dalam perdebatan pemikiran yang tak kunjung selesai. Ahli irfan mengatakan, “hijab ilmu adalah hijab paling tebal”. Ilmu selalu bercabang-cabang dan tidak diketahui dimana batasannya. Jika terpikat dalam lingkaran yang berputar-putar itu, maka ia takkan pernah sampai pada cita-cita fana fillah (sirna dalam Allah).25 Oleh sebab itu, seorang intelektual harus berani ‘merobek’ hijab ini lalu melangkah pada maqom selanjutnya, maqom keimanan. Pada level ini, ia menorehkan pada lembaran-lembaran kalbunya segala yang diketahui akal, mata dan telinga yang sebelumnya telah diperoleh melalui berbagai metode keilmuan dan argumentasi. Apa yang “dipahami”, maka kemudian harus menjadi “keyakinan”. Tujuan memperoleh ilmu bukanlah untuk bertambah bingung. Melainkan untuk mengetahui 25

Ibid.

BAB 4 Tujuan HMI: “Pendekatan Filosofis-Sufistik”

93

kebenaran dan memperoleh ketenangan. Ketenangan dicapai ketika ilmu disimpan dalam ruang iman.26 “Iman” bukan hanya “percaya”’. Kata “aman” dalam bahasa Indonesia diambil dari bahasa arab “iman”, yang artinya “tenang”.27 Orang-orang yang beriman adalah orang-orang yang memiliki rasa tenang. Sekedar percaya, mengetahui, melihat, dan mendengar saja belum mendatangkan ketenangan. Ilmu dan pengetahuan malah sering mendatangkan sikap skeptis atau ragu-ragu, bahkan kegalauan. Setelah yakin dihati, maka baru diperoleh ketenangan:

“… Belum berimankah engkau? (Ibrahim) menjawab, Tentu aku sudah mengimaninya, tetapi (semua ini) untuk menenteramkan hatiku…” (QS. alBaqarah -2: 260). Orang-orang “berilmu” yang sudah mencapai “keimanan” juga disebut dengan telah mendapat ‘celupan’ (sibghah) Allah:

“Dan siapakah yang lebih baik sibghah-nya daripada Allah?” (QS. alBaqarah -2: 138). Untuk membangun memproses “pengetahuan” (ilmu) menjadi “ketenangan” (iman), maka hati sebagai tempat berteduhnya ilmu-ilmu Tuhan haruslah suci. Pada tahap ini, setiap kader berjuang untuk membuang seluruh kotoran dan nista yang melekat di hati. Ini disebut juga dengan latihan maksimalisasi fungsi afeksi, keimanan atau kecerdasan spiritual (SQ). Melalui proses ini diharapkan segala ilmu dan pengetahuan tentang ketuhanan dapat diserap dan melekat di qalbu. Semua tauhied teoritis menjadi tauhied qalbi. Apa yang telah dilihat oleh mata dan didengar oleh telinga (secara empiris), serta telah dikaji oleh 26 27

Ibid. [1] Nurkholish Madjid. Islam, Doktrin dan Peradaban. Paramadina: Jakarta. 1992; [2] Pintu-Pintu Menuju Tuhan. Paramadina: Jakarta. 1996.

94

SAID MUNIRUDDIN

pikiran (secara rasional); dapat dirasakan oleh hati (secara iluminatif). Pada maqom ini, seorang kader yang tadinya telah intelek menjadi filsuf yang rabbani dan ‘abid yang hakiki.28 PENYAKIT-PENYAKIT JIWA/HATI (AKHLAK TERCELA). Selain bertujuan menjernihkan pikiran dari taqlid dan jahilianisme (kebodohan); takhalli juga bertujuan membabat penyakit-penyakit hati. Tujuannya, agar ilmu yang merupakan ‘cahaya’ dari Tuhan dapat bersemayam dalam jiwa. Ketenangan diperoleh ketika ilmu telah menempati relung kalbu. Ilmu yang bersifat suci tidak akan melekat disana, jika “ego” dan “kefasikan” masih bersemayam di hati. Ada beragam akhlak tercela yang sering menyerang manusia, dan ini harus dibersihkan dari jiwa agar keimanan mendatangkan ketenangan. Diantaranya: Sifat iri, dengki (hasad), dendam (hiqdu), kikir (bakhil), membesarbesarkan diri (takabur), sombong (‘ujub), mencari muka atau pamer (riya’), menuduh (fitnah), mengadu domba (namimah), dusta (kazbu), mengumpat (ghibah), pengecut (jubur), pemarah (ghadab), mencuri (sirqah), menipu (makru), mengingkari nikmat (kufran), makan riba (riba’), mengolok-olok (sikhriyah), melacur diri/menjilat (baghyu), khianat (khitanah), suka menganiaya (dhulmu), suka merusak lingkungan (ifsad), merasa tidak butuh orang lain (ghina), berlebihlebihan (israf), dan menyia-nyiakan (tabzier).29 Metode Penyucian dan Pembenahan Jiwa/Hati. Ada sejumlah metode untuk menyucikan dan membenahi jiwa, diantaranya dengan: 1. Internalisasi kalimah tauhied (Laailaha illa Allah); 2. Ritual ibadah formal (sholat); Internalisasi Kalimah Tauhied: “La Ilaha illa Allah”. Pertama sekali, pengosongan jiwa dari sifat-sifat tercela dilakukan dengan dzikir “la ilaha illa Allah”. Banyak yang berdzikir dalam kesunyian, melalui pengulangan-pengulangan kalimat tauhied. Melalui ini diharapkan terjadi transendensi ketuhanan sehingga terbentuk jiwa yang bersih. Ini tidak salah, malah sangat dianjurkan.

Khoemaeni. 2007. “Hakikat dan Rahasia Sholat”, dalam Bab Urutan maqom-Maqom Ahli Suluk, Hal. 31-34. Penerbit Misbah: Jakarta. 29 Ini sejumlah penyakit hati yang sering disebut para ulama irfan. Ada yang memilahnya menjadi 10 (“Penyakit 10”), bahkan ada yang lebih banyak lagi. 28

BAB 4 Tujuan HMI: “Pendekatan Filosofis-Sufistik”

95

Namun demikian, proses takhalli untuk menaklukkan ego tidak harus selalu dengan berkhalwat, atau menyepi di ruang-ruang sunyi. Pembersihan diri dapat dilakukan dengan memahami kalimah tauhied melalui kesadaran rasional, dan kemudian menjadikannya sebagai prinsip dalam menghadapi realitas hidup. Karena pada dasarnya, syahadat merupakan konsepsi rasional tentang ke-Esa-an Tuhan. Fungsinya untuk mem-back up iman dan membangun mental (mental building). Benarkah kalimah tauhied itu sebuah pernyataan rasional ke-iman-an? Dan bagaimana ia dapat menjadi alat penyucian jiwa dan penguatan mental?

“LA” ilaha illa Allah

Perhatikan. Kalimah ini memiliki 4 suku kata, (1) “la”, (2) “ilaha”, (3) “illa”, (4) “Allah”. Diartikan dengan, “Tidak ada tuhan kecuali Allah”, “tidak tunduk kita kepada sesuatu apapun kecuali kepada Allah”, “jangan menghambakan diri, selain kepada-Nya”. Kalimat ini telah disyari’atkan sebagai ‘sumpah’ ketaqwaan batin untuk diaplikasikan pada dimensi lahiriah. Kalimah ini merupakan kendaraan untuk melakukan mi’raj ruhani.

Ingat, kalimah ini diawali dengan “tidak” (La) dan diakhiri dengan “Allah”. “Tidak” adalah awal dari tauhied, dan “Allah” akhir dari tauhied. “La” merupakan ‘air penyucian’ jiwa dari segala kekotoran dan keburukan. “La” merupakan ‘kidung’, ‘mantra’, atau ‘nyanyian’ pembersih qalbu, karena disanalah tempat tajallli Allahswt. “La” merupakan ‘kilat’ (buraq) untuk menuju ‘arasy ahlul dzikir, ‘arasy kekudusan Ilahi: “singgasana” yang tenang dan membahagiakan. Beragama dimulai dari proses “tidak”. Hanya dengan keberanian menyatakan “tidak”, kita akan mengenal Allah. Islam is a religion that begins with a positive NO. Islam adalah agama yang diawali dengan “tidak” yang bernilai positif.

96

SAID MUNIRUDDIN

Mengapa dimulai dengan “tidak”? William Ury dari Harvard University, menulis sebuah buku berjudul, The Power of a Positive No: How to Say No and still get to Yes (Kekuatan TIDAK yang Positif: Cara Mengatakan TIDAK namun masih memperoleh IYA).30 Buku ini menguraikan bagaimana seharusnya kita memiliki keberanian mental untuk mengatakan “tidak” kepada banyak hal yang kita inginkan, untuk pada akhirnya memperoleh satu hal yang benar-benar kita butuhkan. Memang benar. Selama hidup di dunia, kita terlalu rakus ingin memiliki dan mengakomodir semuanya. Padahal ujung-ujungnya, kita hanya butuh satu hal saja: ridha Allahswt. Dalam hirarki wujud, dunia ini rendah sekali derajatnya dibandingkan Allah swt sebagai pencipta, pemilik, dan pengatur yang tidak tertandingi kemuliannya. Dunia ini seperti ampas dan kotoran, yang dalam mata batin Imam Ali disebut, “Dunia adalah bangkai”, hanya anjing yang sibuk mengejarnya. 31 Segala kemajemukan dunia memalingkan seorang hamba dari fokus utama. Sementara puncak harapan seorang kader (salik) adalah ridha-Nya. Dzikir “La ilaha illa Allah” merupakan kalimah rasional yang menjadi alat pengosong jiwa dan penguat iman (takhalli). Kalimah ini menjadi sumber kekuatan yang sangat dahsyat bagi manusia. Secara alamiah, dari sisi realitas wujud material, manusia memang tercipta dalam kondisi lemah.32 Konon lagi, nafsu begitu intensif menenggelamkan manusia dalam sensasi-sensasi fisik, yang sering berakhir pada kerusakan tubuh. Berbagai penyakit batin juga muncul karena godaan syaitan dan dorongan syahwat terhadap sensasi indrawi. Dalam realitas fisik yang dikontrol nafsu inilah manusia perlahan melupakan Allahswt. Tuhan-tuhan baru (ilah) mulai bermunculan, baik itu tuhan internal maupun tuhan eksternal. ‘Tuhan internal’ merupakan berhala-berhala psikologis yang ada dalam diri, seperti ego. Sementara ‘tuhan eksternal’ berbentuk berhala-berhala sosio-politis, seperti

W. Ury. 2007. The Power of a Positive No: How to Say No and still get to Yes. Bantam Books: New York. Khomeini. 2007. Hakikat dan Rahasia Sholat: Mikraj Rohani, Tuntunan Sholat Ahli Ma’rifat, hal. 120. Penerbit Misbah: Jakarta. 32 [1] “Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, karena manusia diciptakan (bersifat) lemah” (QS. anNisa’ -4: 28); [2] “Allahlah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudia Dia menjadikan (kamu) setelah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dan Dia Maha Mengetahui, Maka Kuasa” (QS. arRum -30: 54). 30 31

BAB 4 Tujuan HMI: “Pendekatan Filosofis-Sufistik”

97

menuhankan manusia dan alam, perbudakan dan kedhaliman.33 Maka katakan melalui lidah kalbumu “tidak!”, sehingga engkau terlepas dari penyembahan terhadap diri sendiri, kecongkakan, kebanggaan diri, riya, klaim kemandirian dalam berpendapat, dan berbagai kemaksiatan. Kata “tidak” diawal Kalimah Tauhied menjadi statement perlawanan terhadap tuhan-tuhan palsu yang membelenggu itu. Pada kalimah tauhied terdapat petunjuk untuk memiliki “keberanian moral”, bukan sekedar “keberanian fisikal”. Keberanian fisikal adalah insting hewan, sementara keberanian moral miliknya manusia. Secara psikologis, manusia lebih mudah mengatakan “ya” daripada “tidak”. Manusia adalah makhluk manut, gampang meniru dan ikutikutan. Kata “iya” sering kita gunakan untuk sekedar menyenangkan orang lain, bahkan mengakomodir kesalahan. Kata “tidak” mengajari kita untuk memiliki nalar kritis. Dalam alQur’an, Ibrahim as dicontohkan sebagai salah satu monoteist sejati yang menggunakan formula “tidak” dalam menganalisa kebenaran. Ketika mencari Tuhan, Ibrahim melihat “bintang”, lalu berkata “tidak!”. Ia menyaksikan “bulan”, juga menyatakan “tidak!”. Secara tegas ia juga men-“tidak!”-kan “matahari” sebagai ilah-nya. Ibrahim as berlepas diri dari semua dimensi alamiah yang semu dan tidak abadi itu, “…. Aku tidak suka kepada yang terbenam” (QS. alAn’am -6: 76-78). “Bintang”, “bulan” dan “matahari” merupakan representasi benda-benda bercahaya yang menjadi kekaguman bahkan manusia menggantungkan diri kepadanya. Gemerlapnya “kekayaan”, “kekuatan” dan “kekuasaan” merupakan wujud lain dari ‘bintang’, ‘bulan’ dan ‘matahari’ pada era modern ini. Ibrahim as menjadi salah satu contoh muslim sejati, yang memiliki keberanian mental untuk menyatakan “tidak” kepada berbagai ilah palsu itu, karena itu semua akan ‘terbenam’ atau binasa. Seorang manusia pun yang telah menjadi “bintang” dapat di tuhankan oleh masyarakat awam. Contohnya Isa as, karena kelebihan-kelebihannya ia di ‘tuduh’ sebagai Tuhan oleh kaum Kristiani. Fir’aun juga demikian.

33

A. Syari’ati. 1970. Religion vs. Religion, hal. 13-14, diterjemahkan dari bahasa Persia ke bahasa Inggris oleh Laleh Bakhtiar. Abjad: Albuquerque.

98

SAID MUNIRUDDIN

Hanya saja ia mengangkat dirinya sebagai tuhan karena kecemerlangan kekuasaan, kekuatan dan kemampuannya. Sikap hanief dan kritis Ibrahim as menyebabkan ia menemukan Tuhan yang sesungguhnya.34 Itulah kata “tidak” di awal syahadah, sebuah formula pembelajaran kritis. “No dulu, baru Yes”. Berawal dengan penegasian terhadap hal-hal buruk, maka berakhir dengan afirmasi kebaikan. Inilah takhalli (pengosongan) yang berujung pada tajalli (perolehan). Ketika batin sudah meninggalkan selain Allahswt, maka fisikpun terjauhi dari maksiat dan perilaku koruptif. Ritual Ibadah Formal: “Sholat”. Disamping dengan internalisasi konsepsi tauhied La ilaha illa Allah, penyucian jiwa dan pembenahan mental (takhalli) juga harus dilakukan dengan ibadah formal, terutama sholat. “Sholat” adalah ritual ‘penyucian’ dan ‘pembebasan’ manusia dari belenggu-belenggu selain Tuhan. Jika sungguh-sungguh bertuhankan Allahswt, maka kita harus sungguh-sungguh menyembahnya: “Aku tidak menciptkan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku” (QS. azDzariyat -51: 56). Tuhan sendiri telah memberitahukan melalui Nabi-Nya tentang tata cara penyembahan yang benar terhadap-Nya. Tidak cukup sekedar ‘eling’, tetapi harus mengikuti Nabisaw. “Shallu kama raaitumuni ushalli”, sholatlah kamu sebagaimana engkau melihatku sholat (H.R Muttafaqun ‘Alaih). Pada awalnya kita berusaha mendapat “pengetahuan” yang benar tentang tata cara ibadah. Kemudian harus “dipraktikkan”. Pelaksanaan sholat fardhu yang baik dan benar secara rutin merupakan bukti bahwa kita serius menyembah-Nya. Sholat merupakan proses mi’raj seorang hamba menuju Tuhan, menuju maqom alqurb (kedekatan) dan kehadiran disisi Dzat yang Maha Benar. Jika meninggalkan ibadah wajib ini, berarti kita tidak bersedia memperhamba diri kepada-Nya. Melainkan sedang menjauh serta memperbudak diri kepada tuhantuhan lain. Demikian juga ketika seseorang memiliki kemampuan argumentatif yang tinggi tentang topik-topik ke-Tuhan-an, namun tidak 34

“Sungguh, Ibrahim adalah seorang imam, patuh kepada Allah dan hanif. Dan dia bukanlah termasuk orang-orang musyrik” (QS. anNahl -16: 120).

BAB 4 Tujuan HMI: “Pendekatan Filosofis-Sufistik”

99

sholat. Maka dapat dipastikan, ia sedang ‘bertuhan’ kepada argumennya sendiri. Logika sholat seperti logika api, yang sifatnya membakar. Bukan api namanya jika tidak membakar. Demikian juga sholat, bukan sholat namanya jika tidak membuat pelakunya terbebas dari perbuatan keji dan munkar. Allah berfirman,“Sesungguhnya sholat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar” (QS. al‘Ankabut -29: 45). Jika ruku’ dan sujud 17 raka’at dalam sehari semalam tidak memperkuat jiwa, itu bukan “sholat”. Apa juga namanya? Nabisaw menyebutnya, “gerakan mematukmatuk seperti burung gagak”.35 Sholat Ibadah formal seperti sholat fardhu serta ibadah wajib lainnya, merupakan pengakuan kita akan keberadaan Tuhan yang membebaskan kita dari berbagai belenggu berhala. Ritual ibadah merupakan refleksi jiwa merdeka dan pribadi yang ikhlas, yaitu patuh hanya kepada Allah swt. Inilah “Islam” yang artinya “pasrah”. Sholat merupakan wujud praktik ke-Islam-an atau aplikasi keimanan, yang pada dasarnya adalah metode pembersihan jiwa dari segala ketundukan, kecuali kepada Allahswt. Untuk mencapai sholat yang bersifat menyucikan jiwa, ada alat kelengkapan yang harus dipenuhi. Sholat bukan hanya ritual lahiriah yang dituntun oleh “syarat sah” dan “rukun-rukunnya”, tetapi juga ibadah batin yang memiliki “adab-adab qalbu”.36 Diantara adab qalbu itu, pertama, “gairah”. Sebuah ibadah tidak akan memberi manfaat batin jika dilakukan dengan rasa enggan. Apapun pekerjaan jika dilakukan dengan semangat dan penuh keriangan akan memberi kebahagiaan. Atas dasar inilah sosok seperti Rasul saw dan Imam Ali as, air muka mereka menjadi bersinar ketika mendengar azan. Karena sesuatu yang dinanti-nantikan akan dapat segera ditunaikan.

Khomeini. 2007. Hakikat dan Rahasia Sholat: Mikraj Rohani, Tuntunan sholat Ahli Ma’rifat, hal. 16-17. Penerbit Misbah: Jakarta. 36 Ibid, hal. 35-87. 35

100

SAID MUNIRUDDIN

Kasihan sekali orang-orang yang sholat dengan perasaan terpaksa, lesu dan muak. Namun demikian, pada tahap awal, indoktrinasi atau pengulanganpengulangan sholat harus dilakukan guna membiasakan. Seperti mengajari anak-anak untuk sholat, awalnya akan sulit, tetapi lama kelamaan akan berjalan dengan baik; dan ketika dewasa diharapkan dilakukan dengan kesadaran jiwa. Ibadah mesti dilatih dari formalitas ‘lidah fisik’ untuk menjadi kebiasaan ‘lidah qalbu’. Ada tahapan untuk mencapai bentuk sholat yang sempurna. Mulai dari: (1) Terpaksa (tidak mengetahui apa maknanya, dilakukan karena takut hukuman: “Sholat anak-anak atau para budak”); (2) Terbiasa (telah menjadi rutinitas, mulai mencari pahala: Sholatnya pedagang); (3) Merasa (bertujuan mendekat dan memperoleh ridha-Nya: Sholatnya orang-orang yang bersyukur atau kaum irfan). Kedua, sesuatu yang lain yang diperlukan adalah “thuma’ninah”. Merupakan sikap hening dan mantap; tidak hanya atas fisik tetapi juga terhadap qalbu. Mengerjakan sesuatu secara tergesa-gesa hanya meninggalkan kehampaan. Melalui sikap tenang, do’a dibaca dengan ‘lidah qalbu’. Karena wujud hakiki manusia adalah batinnya, maka yang menjadi qiblat adalah qalbu. Disanalah akhlak bersemayam. Maka dalam konteks ini juga, untuk mencapai sikap tenang yang fokusnya hanya Tuhan, maka sesuatu yang juga diperlukan adalah ikhlas. Yaitu memelihara ibadah agar terbebas dari campur tangan setan atau nafsu. Jauh dari sikap pamer atau riya. Ketiga adalah “khusyu” (kehadiran qalbu). Beriman tidaknya seseorang diukur dari sikap ini, “Beruntunglah orang-orang yang beriman. Yaitu mereka yang khusyu’ dalam sholatnya” (QS. Mu’minun -23: 1-2). Kehadiran qalbu menjadi inti dari sholat. Disanalah terdapat pengalaman hudhuri (merasakan kehadiran Allah swt) bahkan syuhudi (‘melihat’ Allah swt). Sebagaimana disebutkan, “Sembahlah Allah seolaholah engkau melihatnya, bila tidak mampu maka pastikan ia melihatmu” (hadist). Sholat yang khusyu’ menjadi puncak dari keimanan, yang nilainilainya teraplikasi dalam amal sholeh. “Iman” itu lebih kepersoalan “qalbu” dibandingkan “pengetahuan lidah”. Lihat apa yang terjadi pada Iblis. Ia termasuk hamba Tuhan yang paling beriman. Ia percaya Tuhan dan bahkan memiliki pengetahuan yang

BAB 4 Tujuan HMI: “Pendekatan Filosofis-Sufistik”

101

tinggi tentang asma, sifat dan af’al Tuhan. Tetapi ia tidak patuh kepadaNya.37 Iblis juga percaya hari kiyamat38, tapi tetap saja kufur. Kekufuran ini terjadi karena iblis “percaya” (beriman secara formal) tetapi tidak “khusyu”. Iblis memiliki pengetahuan tentang Tuhan, tetapi tidak sampai ke qalbu. Imannya sebatas formalitas, tidak hakiki. Sehingga, walaupun ia sholat, perilakunya tetap keji dan sehari-hari sarat kemungkaran. Begitu juga dengan manusia-manusia yang sholat secara formal, namun tidak sampai ke hati, perilakunya akan tetap koruptif. Maka bersikaplah khusyu’ terhadap setiap ibadah dan kegiatan yang kita lakukan. Ketika berhadapan dengan Tuhan, fokuslah. Buang semua imajinasi, khayalan duniawi, kebercabangan pikiran, kecintaan dunia, dan kesombongan diri. Pada prinsipnya kita 24 jam ‘menghadap’-Nya. Bersikaplah khusyu’ dalam setiap tindak tanduk ibadah dan pekerjaan, terlebih dalam sholat. Karena sejauh mana sholat kita diterima atau ditolak, sangat tergantung pada kehadiran qalbu. Rasulsaw mengatakan, “Barangsiapa yang sholat dua rakaat tanpa sedikitpun berfikir tentang urusan dunia, maka kelak Allah akan mengampuni dosanya”. Beliau juga menjelaskan, “Bagian sholatmu adalah apa yang kau hadapkan bersama kalbumu”. Kepada Abu Dzar beliau menyampaikan, “Wahai Abu dzar! Dua rakaat shalat yang ringan tapi disertai tafakur lebih baik dari shalat sepanjang malam dengan qalbu yang lalai”. Lebih lanjut Beliau menambahkan, “Ada sholat yang diterima separuhnya, atau sepertiganya, atau seperempatnya, atau seperlimanya, hingga sepersepuluhnya. Bahkan, ada juga sholat yang dilipat bagai lipatan baju yang usang lalu dipukulkan ke wajah pemiliknya”.39 Untuk mencapai khusyu’ tentu perlu latihan. Dalam sholat, pikiran kita sering tidak terkendali, seperti seekor burung liar yang meloncat dan terbang kesana kemari. Untuk itu secara perlahan harus dijinakkan. Mulai dari memahami makna bacaan sampai kepada pemeliharaan adab-adab qalbu.

“Allah berfirman: "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?" Menjawab iblis "Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah" (QS. al’Araf -7: 12). 38 “Iblis menjawab: "Beri tangguhlah saya sampai waktu mereka dibangkitkan" (QS. al’Araf -7: 14). 39 Khomeini. 2007. Hakikat dan Rahasia Sholat: Mikraj Rohani, Tuntunan sholat Ahli Ma’rifat, hal. 70-72. Penerbit Misbah: Jakarta. 37

102

SAID MUNIRUDDIN

Ketiga, Penyucian dan Pembenahan Jiwa atau Hati -melalui Aksi. Maksimalisasi Kecerdasan Sosial dan Emosi: “Berkhitmad atau Berorganisasi”. Sebuah terapi tasawuf lainnya yang sangat dianjurkan untuk menyembuhkan sifat-sifat buruk dan menguatkan iman adalah dengan “berkhidmat”. Inilah bentuk takhalli dalam keramaian. Jika dilakukan secara bersama-sama dan terorganisir, dinamakan berorganisasi. Berkhidmat atau berorganisasi merupakan takhalli untuk pemurnian jiwa melalui kegiatan amaliah. Berkhidmat atau berorganisasi disebut juga “tauhied praktis” atau “tauhied ‘amali”. Melalui interaksi dan proses melayani manusia, diharapkan “ego” akan tertaklukkan, sehingga melahirkan kecerdasan emosi atau emotional quotient (EQ).

“to serve is to lead”

Musuh terbesar manusia adalah “ego” atau “diri”. Darinya lahir segala sifat tercela. Oleh sebab itu, sifat meninggikan hati harus dijinakkan dengan cara berkhidmat, menolong atau melayani orang lain, baik secara sendiri-sendiri maupun secara terorganisir. Aktifitas sosial atau pengabdian merupakan kegiatan sufistik. Dengan berorganisasi kita menyedekahkan waktu untuk orang lain, berusaha melakukan kebaikan bagi orang banyak. Misalnya, ketika berorganisasi kita harus menggalang dana, berfikir keras tentang bagaimana harus mendistribusikannya untuk kemajuan masyarakat.

Organisasi pada hakikatnya sebuah program untuk mengekang keangkuhan diri; dengan cara lebih peduli, mencintai, mengasihi dan menyayangi orang lain. Seperti kata Sa’di, “Devotion is nothing but serving people”, menyembah Tuhan tidak lain adalah melayani orangorang.40 Nabisaw berkata, “Belum sempurna iman seseorang sebelum ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri” (HR. Bukhari dan Muslim).

40

Dikutip dalam M. Muthahhari. 2003. Perfect Man, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Aladdin Pazargadi, Foreign Department of Boyad Be'that: London.

BAB 4 Tujuan HMI: “Pendekatan Filosofis-Sufistik”

103

Hati seseorang tidak akan mampu menyerap pelajaran dan hikmah dari Tuhan, sebelum ia mampu menaklukkan keangkuhan diri. Salah satu cara paling ampuh untuk menaklukkan sifat angkuh adalah dengan “rendah hati” atau mendedikasikan diri untuk melayani orang-orang. Alkisah, pernah seorang ibu membawa anaknya untuk belajar pada Junaid alBaghdadi, sufi besar dari Baghdad. Ia memohon Junaid untuk mengajari putranya suluk dan ilmu keagamaan. Ditinggalkanlah putranya di situ dan disediakan segala yang dia butuhkan. Dua tahun berselang, kembali lagi ibu itu menjenguk putranya. Ia terkejut ketika menemukan putranya tengah membasuh baju, mengelap lantai, dan membersihkan toilet. Ia marah besar. Kepada Junaid ia berkata, “aku tidak mengirimkan anakku untuk engkau jadikan pembantu”. Junaid hanya menjawab singkat, “selama ia belum bisa mengikis kebesaran dan keangkuhan dirinya, ia tidak bisa melangkah lebih lanjut mengikuti pelajaranku. 41 Demikian halnya ber-HMI atau berorganisasi. Pada hakikatnya adalah melatih “kesabaran” dan belajar “melayani”. Terkadang harus dimulai dengan menyediakan air minum, menyiapkan makanan dan segala kebutuhan adik-adik peserta training. Seringpula pengabdian diawali dengan menyapu lantai, membersihkan kamar mandi, mengantar surat, bahkan memanjat pohon untuk menggantung spanduk. Tidak jarang peserta, anggota, masyarakat kita mengeluh. Banyak energi terhabiskan untuk melayani orang. Kita harus bertahan dan bersabar. Karena ketika dilakukan secara tulus dan bertujuan, semua ini menjadi proses penyucian jiwa dan penjernihan emosi (penguatan iman). Bahkan semua aktifitas keorganisasian menjadi latihan penyeimbang pikiran dan jiwa dengan tubuh (mind-body relation). Pada akhirnya akan melahirkan jiwa yang tangguh. Allah swt berfirman: “Jadikan Sabar dan Shalat sebagai penolongmu” (QS. alBaqarah -2: 45). Kesabaran merupakan leadership skill yang membentuk Advesity Quotient (AQ), kesadaran personal dan ketangguhan sosial. Salah satu tujuan perkaderan adalah mendidik kader untuk menjadi pemimpin. “Memimpin” adalah “melayani”. Pemimpin yang baik adalah pelayan bagi rakyatnya. Negara ini tidak akan pernah maju jika dipimpin oleh orang yang akhlaknya rusak, elitis, borjuis dan angkuh. Banyak pemimpin yang setelah terpilih cenderung membangun popularitas

41

M.F. Rakhmat. 2011. Tasawuf for Beginners, hal. 34-35, Simbiosa Rekatama Media: Bandung.

104

SAID MUNIRUDDIN

daripada menjadi zuhud. Ketika berkuasa, mereka lebih suka bermewahmewah diri daripada turun untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya. Mereka ini para pemimpin yang tidak terlatih sejak awal. “Ego” masih menjadi tuannya. Ini model pemimpin yang tidak berakhlak. Untuk menghindari lahirnya pemimpin-pemimpin tercela seperti ini, sejak dini mahasiswa perlu dilatih dan berproses. Berkhidmat kepada orang lain secara terorganisir (dengan terlibat dalam berbagai kepanitiaan, aktifitas dan gerakan-gerakan sosial) merupakan obat bagi penyakit batin seperti “ego”. Melalui kegiatan kepemimpinan dan keorganisasian setiap mahasiswa sejatinya dilatih menjauhkan diri dari penyakit “mudah menyerah” dan “hanya berfikir untuk diri sendiri”. Karena nantinya, setelah selesai kuliah, siapapun kita akan terus melakukan pengabdian diberbagai organisasi. Baik itu organisasi publik maupun swasta. Intinya, sepanjang hayat kita akan bekerja dengan berinteraksi untuk kemajuan manusia. Maka melatih diri sejak dini untuk membangun personal leadership serta bekerja untuk mengembangkan social leadership menjadi sangat penting. Sayangnya, banyak mahasiswa tidak mau berorganisasi. Mereka ‘menuduh’ organisasi sebagai penyebab kegagalan kuliah. Lebih parah lagi, sebagian dosen memaksa mahasiswanya untuk sibuk hanya dengan buku saja. Mereka melarang anak didiknya untuk aktif peduli terhadap lingkungan sosial. Sikap ignorance seperti ini semakin menyuburkan “ego” dan melemahkan potensi calon-calon pemimpin bangsa.

TAHALLI: “Memperindah Diri” dengan Kuantitas dan Kualitas Ibadah dan Muamalah

Tahalli: Proses “Pengisian”

Seiring dengan tahap ‘pengosongan’ atau ‘penyucian’ (takhalli), selanjutnya adalah ‘mengisi’ atau ‘menghias diri’ (tahalli). Setelah pikiran dan hati bersih dari noda, selanjutnya perlu menghias diri dengan memperbanyak amalan dan memahami makna-makna yang terkandung di dalamnya.

BAB 4 Tujuan HMI: “Pendekatan Filosofis-Sufistik”

105

Proses ‘mempercantik diri’ (tahalli) setidaknya mencakup totalitas pengabdian seorang kader dalam dua konteks: (1) Ubudiyah (ibadah mahdhah, ibadah personal, hablumminallah); (2) Muamalah (ibadah ghairu mahdhah, ibadah sosial, hablumminannas). Perlu diingat, pada level tahalli, tidak hanya intensitas ibadah mahdhah yang semakin tinggi, namun juga pemaknaannya yang makin dalam. Jika pada level takhalli segala jenis ubudiyah dipahami sebagai perintah agama dalam bingkai-bingkai syari’at (hukum-hukum), seperti “wajib” atau “tidak wajib”, sampai kepada “sah” atau “tidak sah”, maka pada level ini sudah berkembang. Sesuatu dilakukan bukan karena “perintah” atau “kewajiban”, melainkan karena “taqwa”, yaitu rasa syukur dan cinta kepada Tuhan. Pada maqom tahalli, ibadah personal sudah “dipahami” pada makna-makna terdalam (hakikat), bukan lagi sebatas kulit luar syari’at. Misalnya wudhu’, pada dimensi syari’at dipahami sebagai alat pembersih “najis yang melekat di kulit”, sebagai syarat sahnya sholat. Pada dimensi hakikat, wudhu’ sudah dipahami sebagai media pembersih “kotoran jiwa”. Niat dan pemahamannya sudah lebih tinggi. Demikian juga dengan sholat, pada dimensi syari’at dipahami sebagai “do’a dalam bentuk gerak fisik yang diawali dengan berdiri dan diakhiri dengan salam”. Disini sholat hanya dipahami sebatas ibadah formal penyembahan Tuhan. Sedangkan pada maqom hakikat atau tahalli, sholat sudah dimaknai sebagai proses mi’raj-nya orang-orang beriman. Sholat menjadi media ‘kedekatan’, ‘perjumpaan’, ekspresi syukur, atau pelepasan rindu seorang pecinta dengan Yang Dicintainya. Demikian juga dengan puasa. Pada level syari’at didefinisikan sekedar sebuah amalan “menahan diri dari makan dan minum sejak terbit fajar sampai tenggelam matahari”. Pada level ini, puasa hanya berfungsi untuk mengendalikan tubuh biologis atau “jiwa kebinatangan” (basyar). Sedangkan pada level hakikat (tahalli), puasa merupakan ibadahnya orang-orang khusus, yang berfungsi menumbuhkan “jiwa sosial” (annas), simpati dan empati atas kelaparan orang-orang miskin. Bahkan lebih jauh lagi, puasa dipahami sebagai media penyucian segala penyakit hati sehingga melahirkan kesucian jiwa yang memancarkan ‘cahaya iman’, melahirkan jiwa kemanusiaan (insan).

106

SAID MUNIRUDDIN

Pada aspek ke-iman-an dan ke-Islam-an yang sangat individual ini, pada level tahalli, keyakinan kepada Tuhan tidak lagi sebatas konsep dan argumentasi. Keimanan sudah terwujud dalam kesadaran jiwa. Terlihat dari tingginya frekuensi ibadah-ibadah tambahan. Misalnya, jika pada tahap takhalli seorang kader hanya menyembah Tuhan secara formal melalui sholat fardhu saja; pada tahap tahalli, kerinduan dan kecintaan kepada-Nya intensif diwujudkan melalui sholat sunnah. Mereka mulai rutin melakukan rawatib, tahajud dan sebagainya. Sementara kecintaan kepada Rasul saw direalisasikan dengan semakin tingginya intensitas sholawat, do’a-do’a ziarah, dan kesungguhan menauladani perilaku Beliau dan Keluarga Sucinya. Seorang kader pada tahap tahalli juga semakin intens melakukan dzikir, do’a, ratib, serta mentadabburi (membaca dan memahami) alQur’an. Sementara puasa, tidak hanya dilakukan pada bulan Ramadhan, tapi rutin pada waktuwaktu lain yang telah ditentukan. Seperti Senin-Kamis, 13-14-15 bulan qamariyah, Nisfu Sya’ban, 6 hari di bulan Syawal, hari ‘Arafah (sehari sebelum Idul Adha), hari ‘Asyura (8 dan 9 Muharram), dan pada situasi dan waktu-waktu lain yang telah disyari’atkan. Untuk kepentingan kesehatannya, ia juga semakin peduli terhadap kualitas makanan serta aktif berolah raga. Kesadaran mengeluarkan zakat juga demikian. Jika dulu hanya mengeluarkan zakat fitrah saja, kini semakin sadar untuk mengeluarkan berbagai jenis zakat lain yang menjadi kewajibannya. Tidak hanya menunaikan zakat, malah semakin gemar ber-shodaqah, infaq, waqaf, qurban, jizyah, hadiah, khumus, dan lainnya. Nilai-nilai kedermawanan semakin nyata. Tangannya semakin ringan untuk menunaikan hak Allahswt, Rasulsaw, kaum kerabat, masyarakat, dan fakir miskin. Sementara pada aspek muamalah (ibadah ghairu mahdhah, ibadah sosial, hablumminannas) juga demikian, kuantitas dan kualitasnya semakin tinggi. Seorang kader mulai mendalami prinsip-prinsip mendasar dari bidang ilmu yang digelutinya. Ia semakin berani berpendapat, semakin kritis, objektif dan rasional. Setiap kader memahami betul apa yang sedang dipelajari. Karena pada dasarnya, semua ilmu: politik, hukum, ekonomi, sosial, kedokteran, pendidikan, kedokteran, pertanian, komunikasi, akuntansi, manajemen, keuangan, teknik, kimia, arsitektur, dan sebagainya; adalah juga ilmu-ilmu dari

BAB 4 Tujuan HMI: “Pendekatan Filosofis-Sufistik”

107

Tuhan yang berdimensi sosial, bermanfaat bagi kemaslahatan publik, mendorong terciptanya masyarakat yang beradab, adil dan makmur. Pada level tahalli, kader sudah menjadi “ulama-ulama” atau “cendikiawan muda”. Yang dimaksud dengan “ulama” adalah seseorang yang “indah” jiwa dan perilaku akademis (intelektualnya) -dengan memahami dan menguasai ilmu-ilmu yang menjadi spesialisasinya, secara teoritis dan praktis. Terpenting dari ini adalah bagaimana menempatkan dimensi nilai-nilai dalam aspek keilmuan, tidak semata-mata mengadopsi secara brutal perspektif materialis-positivistik dari barat. Tidak hanya menguasai ilmu secara praktis dan teoritis, pada level tahalli, seorang kader semakin melakukan amal perjuangan (jihad). Jihad adalah “usaha sungguh-sungguh untuk mengubah diri dan masyarakatnya”. Secara personal, seperti telah disebutkan di atas, ia semakin rajin mendalami bidang ilmunya. Secara sosial (muamalah), perjuangan memperbaiki kondisi masyarakat mulai dilakukan dengan mengaplikasikan ilmu-ilmunya secara rapi, sistematis dan terorganisir. Gerakannya tidak lagi sembarangan. Langkah-langkah pencapaian tujuan dilakukan dengan strategi dan taktik. Seorang kader yang menempuh jalan tahalli terlihat aktif membangun kelompok-kelompok studi, diskusi, ceramah, bimbingan, dan pelatihan. Proses pengkhidmatan sudah semakin baik, semakin rapi, semakin intensif, semakin terencana, semakin terorganisir, semakin terkontrol, dan semakin bermanfaat bagi masyarakat. Ia cenderung mengambil posisi terdepan dalam berbagai kegiatan amar ma’ruf: menginisiasi, mengajak, dan menyuruh orang-orang kepada hal-hal yang dianjurkan. Pada saat yang sama juga semakin berani melakukan gerakan-gerakan nahi munkar. Pada dirinya mulai terlihat sikap berani menentang kejahatan seperti korupsi, penipuan, pembodohan, dan penindasan. “Tafsir Tujuan HMI” (PB HMI, 1971) menyebutkan sejumlah “tugas”, ibadah individual dan ibadah sosial, yang harus dilakukan seorang kader dalam rangka memperindah diri (tahalli): Setiap anggota HMI harus mengembangkan sikap mental pada dirinya yang independen itu untuk: (1) senantiasa memperdalam hidup kerohaniannya agar menjadi insan yang berbudi luhur dan bertaqwa kepada Allahswt, (2) selalu tidak puas dan selalu haus mencari kebenaran, (3) jujur dan tidak mengingkari hati nurani – hanif, (4) teguh dalam pendirian dan objektif rasional menghadapi

108

SAID MUNIRUDDIN

pendirian-pendirian lain yang berbeda, (5) bersikap kritis dan berfikir bebas kreatif. Hal tersebut akan diperoleh, antar lain, dengan jalan: (1) senantiasa mempertinggi tingkat pemahaman ajaran Islam yang dimilikinya dengan penuh gairah, (2) aktif berstudi dalam fakultas yang dipilihnya, (3) mengadakan tentir klub untuk studi ilmu jurusannya dan klub studi untuk masalah kesejahteraan dan kenegaraan, (4) giat dalam studi dan selalu mengikuti perkembangan situasi, (5) selalu mengadakan perenungan terhadap ilmu-ilmu yang sudah dimilikinya dan berani mengemukakan pendapat sendiri, (6) selalu hadir dalam forum-forum ilmiah, (7) memelihara kesehatan badan dan aktif mengikuti karya di bidang kebudayaan, (8) selalu berusaha mengamalkan ilmunya dan aktif mengambil peranan dalam kegiatan HMI. 42 Pada maqom tahalli ini terbina sifat amanah (jujur), fathanah (cerdas), tabligh (menyampaikan) dan siddiq (benar) sebagai bagian dari gaya kepemimpinan seorang kader. Juga mulai terbangun keberanian (saja’ah), keilmuan (ilmu), dan rasa kemanusian (raufur rahim) dalam kepribadian dan tingkah lakunya. Singkatnya, maqom tahalli menjadi tempat terbinanya keindahan jiwa dan perilaku, akhlaqul karimah atau “ihsan”. Karena ibadah personal dan ibadah sosial seorang kader, baik dari segi intensitas maupun kualitas semakin bagus. Amal yang bagus disebut Ihsan. Amal yang ihsan tersebut memancarkan nilai-nilai kebaikan (etika) dan nilai-nilai keindahan (estetika). Ihsan merupakan inti dari religiusitas. Pada wujud ihsan terletak kesempurnaan iman dan Islam. Dengan kata lain, “ihsan” adalah “akhlaqul karimah”: puncak keimanan dan ke-Islam-an. Akhlakul karimah adalah transformasi nilai-nilai intelektual dan spiritual dalam wujud amal kemanusiaan yang penuh dengan etika dan estetika. Inilah inti kenabian, “innama bu’istu li utammima makarimal akhlaq” (Sesungguhnya aku tidak diutus melainkan untuk menyempurnakan akhlak, HR. Muttafaqun ‘Alaih). Akhlakul karimah inilah (totalitas iman-Islamikhsan) yang menjadi inti dari eksistensi HMI.

42

PB HMI. 1971. “Tafsir Tujuan HMI: Tugas Anggota HMI”, dalam Hasil-Hasil Keputusan Kongres HMI X di Palembang. PB HMI: Jakarta.

BAB 4 Tujuan HMI: “Pendekatan Filosofis-Sufistik”

109

Tabel 4.1: Akhlakul Karimah: Totalitas Iman, Islam dan Ihsan. IMAN

ISLAM

IHSAN Akhlakul Karimah Kualitas “proses” dan “hasil” dari keimanan dan praktik-praktik keIslaman.

Definisi

Konsep/akidah/ keyakinan/ dasar-dasar agama/ushuluddin.

Praktik/aplikasi/implementasi keyakinan (bentuk “kepasrahan” kepada Tuhan.

RukunRukunnya

Percaya kepada:  Tauhied: (1) Allah  Nubuwwah: (2) Malaikat (3) Rasul (4) Kitab  Ma’ad: (5) Hari Akhir  Keadilan Ilahi: (6) Qadar

Ubudiyah (Jihad Individual): (1) Syahadat; (2) Sholat; (3) Zakat; (4) Puasa; (5) Haji. Muamalah (Jihad Sosial dalam dua bidang utama kemaslahatan umum): (1) Politik; (2) Sosial-Ekonomi.

 Etika (nilai-nilai kebaikan, moralitas dan norma-norma)  Estetika (nilai-nilai keindahan)

Bentuk Seruan

“Asyhadu alla ilaha illa Allah”, “Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah” (Doktrin akidah)

“Hayya ‘alash sholah”, “Hayya ‘ala falakh” (seruan untuk menyembah Allah dan melakukan jihad/muamalah untuk memenangkan perang/kompetisi/pe rjuangan sosialpolitik-ekonomi)

“Hayya ‘alal khairil ‘amal” (seruan untuk beribadah dan bermuamalah secara profesional dengan nilai-nilai etika dan estetika)

Fungsi

Standar Konsep/ Keyakinan

Standar Ritual/ Praktis

Standar Kualitas Proses dan Hasil

Ilmu Kajian

Tauhied/Aqidah/ Teologi/Kalam

Syari’at/Fiqh Ibadah Maghdah dan Ibadah Muamalah

Akhlak/Irfan/ Tasawuf

Dari tabel diatas kita ketahui bahwa perjalanan seorang kader harus berada dalam totalitas iman, Islam dan ihsan. Tentang iman atau tauhied dibahas dalam “ilmu kalam” (teologi). Tentang praktik Islam diuraikan lebih lanjut dalam “ilmu fiqh” (syari’ah). Tentang ihsan menjadi aspek kajian “irfan”, “sufisme” atau “tasawuf” (tentang akhlakul karimah). Ketiga konsep ini, iman-Islam-ihsan, saling terkait. Beragama biasanya dimulai dengan sejumlah konsep dan keyakinan tentang Ketuhanan (sebagaimana terjabar dalam rukun iman: percaya kepada Allah, dan seterusnya). Konsep dan keyakinan ini kemudian terimplementasi dalam berbagai praktik “kepasrahan” kepada Tuhan, seperti terurai dalam aspek Islam yang bernilai ubudiyah (jihad indivi-

110

SAID MUNIRUDDIN

dual) mulai dari sholat sampai kepada haji; serta aspek Islam yang bernilai muamalah (jihad sosial) dalam sektor-sektor publik, terutama politik dan ekonomi. Dari keimanan yang terwujud dalam berbagai praktik keIslaman diharapkan lahir kebaikan dan keindahan kepribadian dan perilaku (ihsan). Misalnya, dari keyakinan kepada Allah -yang diwujudkan dalam praktik sholat, terbentuk pribadi yang dalam kehidupan sosial jauh dari perilaku keji dan mungkar.43 Namun kenyataannya, korupsi dan manipulasi justru banyak dilakukan oleh orang-orang yang sholat, puasa, zakat, dan bolak balik naik haji. Ini sebuah indikasi adanya keimanan dan keIslaman yang salah, karena tidak berujung pada ihsannya tata kelola diri dan organisasi. Lima kali sehari kita mendengar Adzan, sebuah panggilan yang mengundang kita untuk memiliki totalitas imanislam-ihsan. Melalui “asyhadu alla ilaaha illla Allah dan asyhadu anna Muhammad Rasulullah”, kita diajak untuk ber-iman kepada Tuhan dan Rasul-Nya. Dengan “hayya alash sholah”, kita diseru untuk melaksanakan sholat – rukun Islam yang menjadi bentuk aplikasi ke-iman-an kepada Tuhan. Kemudian “hayya ‘alal falah” yang “Adzan” artinya “mari menuju kemenangan”, menjadi ajakan atau motivasi untuk berjihad meraih kemenangan bagi kemaslahatan umat baik di bidang sosial politik (adil) dan perekonomian (makmur). Namun apa yang terjadi? Kebanyakan hanya “ahli” sampai batas “memenangkan perang”, tapi “gagap” dalam “mengisi kemenangan”. Kita sudah beriman, sudah sholat dan sudah lebih dari setengah abad bebas dari penjajahan Jepang dan Belanda. Namun mengapa juga kita belum sungguh-sungguh merdeka secara politik dan belum sejahtera secara ekonomi?

43

“Innash shalata tanha ‘anil fakhsya’ wal munkar” (QS. al‘Ankabut -29: 45).

BAB 4 Tujuan HMI: “Pendekatan Filosofis-Sufistik”

111

Disinyalir, ini terjadi karena kita lupa menyeru umat untuk profesional, etis dan estetis dalam mengisi kemenangan. Kita tidak mengkampanyekan “hayya ‘alal khairil ‘amal”, panggilan untuk “mengisi kemenangan dengan sebaik-baik amaliah maghdah dan muamalah”. Kemerdekaan yang telah kita peroleh dari penjajah seharusnya ditindaklanjuti dengan “sebaik-baik perencanaan”, “sebaik-baik pengorganisasian”, “sebaik-baik pengimplementasian program dan kegiatan”, “sebaik-baik pengawasan”, dan “sebaik-baik evaluasi”. Inilah ‘sebaikbaik amal’ dalam era pembangunan. Pada ‘sebaik-baik amal’ inilah terletak akhlakul karimah (“ihsan” atau “profesional”). Akhlakul karimah adalah amal ibadah dan kebajikan berdimensi Ilahiyah yang dilakukan dengan penuh kesadaran, pengetahuan dan kecakapan. Tujuan HMI adalah terbinanya kader yang berakhlakul karimah. Yaitu kader yang spirit, praktik dan hasil ibadah dan pekerjaannya memancarkan nilai-nilai etika dan estetika (ihsan). Idealnya, kader HMI adalah seorang muhsin, yaitu muslim yang memiliki cita rasa seni yang tinggi dan memancarkan inner beauty.44 Akidahnya kuat, pikirannya lurus, hatinya lembut, tutur katanya baik, perilakunya terpuji, semangatnya tinggi, cerdas, aktif serta kreatif. Hanya pada tangan manusia-manusia seperti ini dapat lahir karya-karya agung yang membangun dan memperindah peradaban dalam berbagai sektor pembangunan: politik, ekonomi, dan berbagai bidang turunannya. Oleh sebab itu, terbinanya kader yang memiliki akhlak batin (kepribadian) dan akhlak zahir (perilaku) merupakan harapan pencapaian di maqom tahalli. Namun akhlak yang sempurna akan terwujud pada maqom tajalli, yaitu tahap dimana keseluruhan nilai-nilai Ilahiyah terkejawantah dalam wadah manusia; baik pada sisi “ubudiyah” maupun “muamalah”.

44

N. Umar. “Mengapa Rasa Seni itu Penting”, Bagian 1, 2 dan 3, dalam Republika Online (ROL), 08 Juni 2012.

112

SAID MUNIRUDDIN

TAJALLI “Pengejawantahan”, Puncak Kesempurnaan Akhlak: Manifestasi Tuhan dalam diri Manusia Tajalli: Manisfestasi Ilahi dalam Diri Manusia. Tajalli merupakan puncak perjalanan manusia. Tajalli adalah tahap ketika seorang salik (kader) telah mencerap sifat, asma, dan af’al Tuhan (asma’ul husna). Kondisi ini diperoleh setelah sungguhsungguh dan berkelanjutan melakukan “pembenahan iman” atau “penyucian pikiran dan hati” (takhalli), serta tidak pernah berhenti “memperindah ilmu dan amalnya” (tahalli). Pada tingkatan tajalli ini, seorang kader telah berhasil mentransformasi diri dari seorang basyar (manusia dengan kwalitas hewani) menjadi “beriman”, menjadi ulul albab (insan intelek) yang “berilmu”, untuk seterusnya menjadi insan kamil (manusia sempurna) dalam “amaliah kemanusiaan”. Sejauh ini telah ditempuh jalan (tariqat) mulai dari level syari’at, ke haqiqat, dan berujung di ma’rifat. Pada level tajalli seseorang telah berevolusi dari pribadi awam menjadi mukmin, untuk seterusnya menjadi ‘alim yang ‘arif (mengenal Tuhan). Sejumlah aliran tasawuf menggunakan istilah berbeda untuk tingkatan tertinggi ini. Ada yang menggunakan istilah telah ‘dekat’ dengan Allah (taqarrub). Sebagian menamai ‘lebur’ (fana) bersama-Nya. Lainnya memakai terminologi “penyaksian batin” keberadaan Allahswt (syuhud). Bahkan ada yang menggunakan istilah ekstrim seperti ‘menyatu’ (wahdatul wujud), ‘bersatu’ (ittihad), atau ‘berpadu’ dengan Tuhan (hulul).45 Mereka yang menggunakan beberapa istilah ektrim ini sering mendapat ‘serangan’ tajam kelompok lahiriah, terutama dari fuqaha. Maqom ma’rifat merupakan maqom kesempurnaan tauhied. Disini Tuhan telah ‘menyingkap’ rahasia kebenaran kepada hamba-Nya 45

Mereka yang menggunakan istilah “menyatu” (wahdatul wujud) bersandar pada ayat, “Maka tatkala Musa sampai ke (tempat) api itu, diserulah dia dari (arah) pinggir lembah yang sebelah kanan (nya) pada tempat yang diberkahi, dari sebatang pohon kayu yaitu, “Ya Musa sesunggunya Aku adalah Allah, Tuhan semesta alam” (QS. alQashash -28: 30). Di sini, pohon berbicara “Aku adalah Allah”. Dipahami, keberadaan alam semesta pada hakikatnya tidak ada. Pohon menjadi sirna. Yang ada hanyalah Allah.

BAB 4 Tujuan HMI: “Pendekatan Filosofis-Sufistik”

113

(kasyaf, unveiled). Seorang hamba akan merasakan Keindahan, Kesucian, Kebaikan dan Kesempurnaan Tuhan. “Nikmat iman” dan “nikmat Islam” kini sungguh-sungguh dirasakan oleh seorang hamba. Pada tahap ini, dialami rasa rindu (isyqiyy), mesra (uns), intim dan fokus dalam beribadah (syauq). Para pecinta benar-benar jatuh cinta kepadaNya (mahabbah). Kebahagiaan yang tidak terlukiskan dengan kata-kata menyebabkan seorang pecinta sirna (fana) dalam Kekasihnya. Pada momen seperti ini, antara pecinta dan Yang Dicintai sudah dalam keadaan ridha dan diridhai (QS. alFajr -89: 27-28).46 Demikianlah kesempurnaan jiwa, yang diperoleh ketika telah mencapai maqom tertinggi kemanusiaan. Pada maqom ini dialami musyahadah (penyaksian batin akan Kebenaran) dan terjadi tajalli (pengejawantahan nilai-nilai Ilahiyah dalam diri hamba). Sebuah maqom yang membentuk manusia yang sesungguhnya (insan kamil). Karena telah mengalami kesaksian jiwa atas keberadaan Tuhan (syuhudi), akhlak seorang salik pada maqom tajalli sangatlah indah. Mereka telah memiliki suara hati yang suci (fitri), sehingga menjadi ‘sangat dekat’ dengan Tuhan (taqarrub) bahkan telah menjadi kekasihNya (habibullah). Seperti disebutkan dalam hadist: “Apabila Aku mencintainya, maka Aku adalah pendengarannya yang dengannya ia mendengar, dan (Aku adalah) pandangannya yang dengannya ia memandang, dan lisannya yang dengannya ia bertutur kata, dan tangannya yang dengannya ia mengambil”. 47 Tajalli adalah keadaan musnahnya kehendak dan materialitas seseorang dalam Allahswt.48 Orang-orang seperti ini telah menjadi wali, mendapat rahmat dengan berbagai ‘kelebihan’, terutama dari sisi spiritual. Mereka dimuliakan, atau mendapat karomah dari Tuhan. Sebagian mereka tidak hanya diberikan kedalaman pengetahuan empirik dan rasional, mereka juga di ilhami dengan pengetahuan iluminatif yang langsung berasal dari sisi-Nya (laduni).49

“Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhan mu dengan hati yang ridha dan diridhai” (QS. alFajr -89: 27-28). 47 Hadis ini diriwayatkan dengan sanad yang sahih dalam Kitab Ushul al-Kafi 1:325. 48 S. Suhrawardi. 2003. “Altar-Altar Cahaya”, diterjemahkan dari The shape of Light (Hayakal al-Nur) oleh Zaimul Am, hal. 18. Serambi Ilmu Semesta: Jakarta. 49 “Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami [Laduni]” (QS. alKahfi -18: 65). 46

114

SAID MUNIRUDDIN

“Karomah” adalah sebuah pemberian Tuhan yang lahir dari proses takhalli dan tahalli tanpa henti. Karomah bukanlah sesuatu yang dikejar oleh seorang hamba. Ini cuma atribut, hak prerogratif Tuhan, yang diberikan bagi orang-orang yang mencari ridha-Nya. Adalah kehendak Allahswt untuk menyematkan tanda kemuliaan kepada siapa saja yang dicintai-Nya, tentu bagi mereka-mereka yang ikhlas dalam beribadah dan berjuang. Kedudukan mulia dengan menjadi kekasihnya-Nya merupakan sebuah “singgasana agung” bagi para hamba. Inilah martabat yang tinggi disisi Arasy-Nya. Dalam terminologi sufistik, maqom tertinggi kemuliaan adalah ‘Arasy. ‘Arasy adalah tempat dimana Tuhan ‘bersemayam’. Tentu harus dipahami, bahwa tidak logis mengatakan Tuhan ‘bertempat’, karena memiliki konsekwensi bahwa Tuhan sebagai ‘sosok’ yang berbentuk atau bermateri. Tuhan sudah pasti tidak serupa dengan makhluk-Nya sehingga tidak berada dimensi ruang dan waktu.50 Tuhan telah ada sebelum tempat ada, dan sebelum waktu tercipta. Dia nyata sekaligus tersembunyi, serta sudah ada sejak azali dan abadi adanya. 51 Dia tidak berada di sesuatu, tetapi meliputi segala sesuatu. 52 Jadi Dzat Tuhan berada di luar jangkauan rasio dan persepsi indrawi. ‘Arasy dalam bahasa Arab berasal dari kata ‘arasya, bermakna “mendirikan bangunan dan mendiami”. Dari kata kerja itu muncul kata benda al-‘arsyu yang bermakna “tahta”, “singgasana”, “istana”, “bangunan”, atau “pilar”. Karena itu, makna kata ‘arasy merupakan perpaduan antara ‘bangunan’ dan ‘penguasaan’ atasnya. 53 Dalam alQur’an, kata ‘arasy tidak hanya digunakan untuk menjelaskan ‘kedudukan’ Allahswt dengan segala kekuasaan-Nya54, tetapi juga untuk [1] “Laisa kamislihi syai-un”, tidak ada yang serupa dengan Dia (QS. asSyura -42: 11); [2] “Walam yakun lahu kufuan ahad”, dan tak ada satupun yang serupa dengan Dia (QS. alIkhlash -112: 4). 51 “Huwal awwalu wal akhiru wadhdahiru wal batinu…”, Dia adalah Yang Pertama dan Yang Terakhir, Yang Lahir dan Yang Batin (QS. alHadid -57: 3). 52 “Kepunyaan Allah segala yang ada di langit dan yang ada di bumi, dan adalah Allah Maha meliputi segala sesuatu (bikulli syai-im muhiitha)” (QS. anNisa’- 4: 126). 53 A. Mustofa. 2012. Mengarungi ‘Arsy Allah, hal. 174-241. PADMA Press: Surabaya. 54 Ayat-ayat tentang ‘Arasy yang berhubungan dengan Tuhan: [1] “Maha Suci Tuhan Penguasa langit dan bumi, Tuhan penguasa ‘Arasy, dari apa yang mereka sifatkan” (QS. azZukhruf -43: 82); [2] “Maka Maha Tinggi Allah, Raja yang sebenarnya. Tidak ada Tuhan selain Dia, Tuhan Penguasa ‘Arasy yang mulia.” (QS. alMukminun -23: 116); [3] Sesungguhnya Tuhan kamu adalah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu dia bersemayam di atas ‘Arsy…” (QS. al’Araf 7: 54); [4] Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam 50

BAB 4 Tujuan HMI: “Pendekatan Filosofis-Sufistik”

115

menggambarkan “tahta” dan “kekuasan raja”, atau orang-orang yang dimuliakan.55

“Maka Maha Tinggi Allah, Raja yang sebenarnya. Tidak ada Tuhan selain Dia, Tuhan Penguasa ‘Arasy yang mulia.” (QS. alMukminun 23: 116) Maka ‘Arasy sebagai tempat ‘bersemayam’ Tuhan lebih tepat dipahami sebagai “derajat”, “maqom”, “keilmuan”, “kemuliaan”, “keagungan”, “kekuasaan”, atau “ketinggian” Tuhan. Iman-ilmu-amal yang berkualitas tinggi akan mengantarkan ruhani manusia ke derajat tertinggi, ‘dekat’ dengan Tuhan, pada maqom ‘cahaya’, di Arasy-Nya. ‘Arasy menjadi sebuah maqom yang tidak dapat dicapai kecuali oleh orang-orang yang suci lahir-batin: “Tidak ada seorangpun yang dapat menyentuhnya kecuali oleh orang-orang yang disucikan” (QS. alWaqi’ah -56: 79). Evolusi manusia adalah “gerak dari gelap menuju Cahaya”, dari gelapnya jiwa ke terangnya jiwa, menjadi ‘makhluk bercahaya’. Dengan kata lain menjadi ‘bintang’ atau ‘matahari’, yang menjadi sumber kehidupan alam semesta, atau rahmatallil ‘alamin. Manusia sempurna adalah makhluk-makhluk material yang akal kosmiknya (jiwa) telah bersatu dengan ‘cahaya Tuhan’. Seumpama besi yang dibakar api, besi telah menjadi merah bercahaya, bahkan menjadi api itu sendiri yang bersifat membakar. Itulah jiwa yang telah menjadi di ‘Arasy…” (QS. alHadid -57: 4); [5] Sesungguhnya Tuhanmu ialah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian dia bersemayam di ‘Arsy untuk mengatur segala urusan…” (QS. Yunus -10: 33); [6] “Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya (‘arsyuhu) di atas ‘air’…” (QS. Hud -11:7); [7] Dan kamu (Muhammad) akan melihat malaikat-malaikat berlingkaran di sekeliling ‘Arasy bertasbih sambil memuji Tuhannya…” (QS. azZumar- 39: 75). 55 Ayat-ayat tentang ‘Arasy yang berhubungan dengan manusia dan binatang: [1] “Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai kekuasaan yang besar (‘arsyun ‘azhim)” (QS. anNaml -27: 23); [2] “Dia berkata: Ubahlah baginya singgasananya (‘arsyaha), maka kita akan melihat apakah dia mengenali ataukah dia termasuk orang-orang yang tidak mengenali” (QS. anNaml -27: 41); [3] Dan ketika Balqis datang, ditanyakanlah kepadanya: “Serupa inikah singgasanamu (‘arsyuki)?…” (QS. anNaml -27: 42); [4] “Dan dia (Yusuf) menaikkan kedua ibu bapakknya ke atas singgasana (‘arsyi)….” (QS. Yusuf -12: 100); [5] “Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: “buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia (mimma ya’risyun)” (QS. anNahl 16: 68).

116

SAID MUNIRUDDIN

‘cahaya Tuhan’, jiwa para nabi dan awliya. Mereka ini telah terbebas dari pengaruh daya material tubuh. Makan dan tidur berkurang, tercerahkan, dan esensi spiritualnya semakin kuat menerima kebaikan Ilahi. Pada situasi seperti ini, ia memperoleh empat kebaikan spiritual 56: (1) (2) (3) (4)

Ilmu hikmah -kearifan dan daya intelektual yang tinggi; Keberanian -aktualisasi daya amarah dalam kekuatan moral; Kesucian -kontrol yang baik terhadap daya seksual dan sensual; Keadilan sejati -keseimbangan antara berlebih dan kekurangan, tidak menyimpang atau zalim.

Manusia yang telah mencapai derajat ‘Arasy menjadi manusia yang ‘ruhnya bercahaya’, menjadi ‘bintang’ yang menerangi umat manusia. Inilah “Bintang ‘Arasy”, bintang lambang HMI, personifikasi insan Ilahiyah: kader-kader yang telah berada pada “singgasana” nur Ilahi. Kepribadian dan perilakunya memancarkan aura kesucian, kemuliaan, kebenaran, kebaikan, kesempurnaan, dan keindahan. Iman, islam dan ihsan; atau ilmu, iman dan amal mereka telah terintegrasi dengan baik.57 Bintang ‘Arasy adalah kader-kader yang arif, telah mengenal Tuhan (ma’rifatullah). Disamping sebagai “makhluk transenden” (divine), mereka juga “makhluk yang membumi” (earthly). Asma-Asma Tuhan telah hidup dalam jiwa dan tindakan. Mereka sudah memperoleh inti dasar kemanusian, yakni fitrah. Setiap perilaku merefleksikan kesucian. Inilah insan yang merasakan kehadiran Tuhan dalam setiap aktifitas. Pada tahap seperti ini mustahil ia melakukan kejahatan, karena sadar Kekasihnya selalu mengawasi (omnipresent). Akhlak Bintang ‘Arasy adalah seperti yang disebutkan Rasul saw, “Takhallaqu bi akhlaqillah” (berakhlaq dengan akhlaq Allah). Semua perilakunya manifestasi dari Keagungan (Jalal) dan Keindahan (Jamal) Tuhan. Pada level ini, mereka tidak menegangkan urat leher untuk sebuah perbedaan. Juga tidak tinggal diam jika melihat kekeliruan.

56 57

S.Y. Suhrawardi. 2003. Altar-Altar Cahaya, hal. 105, penerj. Z. Am. Serambi Ilmu semesta: Jakarta. PB HMI. 1971. “Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI”, Bab 8 Kesimpulan. PB HMI: Jakarta.

BAB 4 Tujuan HMI: “Pendekatan Filosofis-Sufistik”

117

Akhlak merupakan inti dari agama dan menjadi tujuan diutusnya Nabi: “Kami tidak mengutusmu (Muhammad) melainkan untuk menyempurnakan akhlak” (HR. Ahmad). Dengan akhlak terwujud sikap toleran, dialog berkeadaban, persatuan, dan persaudaraan. Melalui kaca mata akhlak, umat manusia terlihat sebagai satu kesatuan. Tidak ada lagi pertikaian Sunnah-Syi’ah, fanatisme NU-Muhammadiyah, egosentrisme ‘kita-mereka’, rasisme ‘hitam-putih’, dan sebagainya. Melalui akhlakul karimah seorang hamba menjadi “makhluk universal”, rahmat bagi semesta alam: “Kami tidak mengutusmu melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam” (QS. alAnbiya’ -21: 107). Godaan dan Jebakan dalam Perjalanan (Tariqah) menuju Tuhan. Pada maqom apapun manusia berada, mulai dari takhalli, tahalli sampai kepada tajalli; godaan dan jebakan selalu menanti. Semakin tinggi kedudukan seseorang, semakin tinggi ujian yang dihadapi. Semakin kuat keimanan, semakin berat ujian. Godaan dan jebakan berasal dari berbagai sumber: dunia, manusia, setan dan hawa nafsu.58 Pada awal ketika ingin beribadah, muncul bisikan (1) “jangan lakukan”. Lalu terbentuk sifat malas dalam diri kita. Jika kita tetap berusaha mengerjakannya, maka terlintas bisikan lain (2) “setidaknya tunda aja dulu”. Hal ini membuat kita lambat dan menunda-nunda sebuah pekerjaan. Jika inipun gagal, maka muncul dorongan lain agar kita melakukan ibadah (3) “dengan cepat”. Akibatnya, kita tergesagesa dalam sebuah ibadah, sehingga tidak khusyu’ bahkan amburadul. Seandainya kita berhasil melakukannnya dengan khusyu’ dan tidak tergesa-gesa, maka tumbuh dorongan lain (4) “perlihatkan, nampakkan kepada orang-orang bagaimana rajin dan bagusnya ibadah kamu”. Inilah riya’, jebakan yang cukup halus. Seandainya kita mampu mengalahkan sifat pamer ini, muncul godaan selanjutnya yang menyerang kepribadian (5) “berbanggalah pada dirimu sendiri”, dengan ini kita dihasut untuk merasa paling alim, paling tau, dan paling hebat dalam sesuatu. Ini dinamakan ‘ujub, atau bangga diri. Ketika ini juga gagal, lalu terhembus ide lain (6) “berangan-anganlah agar engkau jadi terkenal, jadi tokoh, jadi orang hebat dengan apa yang kau lakukan”. Ini menyebabkan kita ingin populer. Setan memanfaatkan kelemahan ini. Jika ini juga tidak berhasil, maka godaan selanjutnya akan menyerang sistem keyakinan yang fatalis (7) “untuk apa capek-capek beribadah, Tuhan sudah men-taqdir-kan 58

Al-Ghazali. 2008. Minhajul ‘Abidin, diterjemahkan oleh Abdullah bin Nuh. Khatulistiwa Press: Jakarta.

118

SAID MUNIRUDDIN

siapa saja yang masuk surga dan siapa saja yang akan menghuni neraka”.59 Perjalanan menuju Tuhan adalah Sebuah proses Tanpa Henti. Manusia bisa saja terjerembab jatuh ke posisi hina dari kedudukannya yang mulia jika tidak mampu menjaga diri. Karena untuk menjadi sempurna, menjadi Bintang ‘Arasy, merupakan sebuah proses proteksi dan perbaikan diri berkelanjutan. Setiap manusia harus hati-hati, mengetahui berbagai dorongan dan jebakan yang dapat menjatuhkan. Tidak hanya keadaan kaya yang menjadi pintu bagi iblis. Keadaan miskinpun dapat dimanfatkan mereka. Bukan hanya bodoh yang jadi titik entry penyesatan, ketika berilmu pun dapat termakan hembusan kesombongan. Bintang ‘Arasy adalah orang-orang yang sadar, berpengetahuan dan waspada. Disamping terus berusaha, juga senantiasa berdo’a, memohon keampunan, perlindungan, dan hidayah dari-Nya. Rasulsaw saja yang merupakan manifestasi “Keagungan dan Keindahan Tuhan”, “Sebaikbaik makhluk”, “Pemilik akhlak yang agung”, “Kekasih Tuhan”, “Manusia yang disucikan”; tidak pernah melewatkan hari dan malamnya tanpa berjuang dan mengharap iba dari Tuhannya. Menjadi sempurna bukanlah sebuah ujung pencapaian, melainkan sebuah proses perjuangan tanpa henti.

59

Ibid.

BAB 4 Tujuan HMI: “Pendekatan Filosofis-Sufistik”

119

PERJALANAN DARI “H” MENUJU “M”: MENJADI KHALIFAH DI BUMI Siapakah Bintang ‘Arasy? Mereka bisa siapa saja. Boleh jadi mereka itu intelektual, ulama, ustadz, sufi, filsuf, cendikiawan, ideolog, ekonom, politisi, dosen, guru, dokter, pengacara, jurnalis, aktifis, teknokrat, birokrat, pengusaha, pejuang, tentara, pecinta, pemuda, dan mahasiswa. Meskipun bukan nabi, mereka memiliki fungsi dan kualitas kenabian. Mereka adalah orang-orang yang potensi dan nilai-nilai kemanusiaannya telah berkembang secara menyeluruh, seimbang dan harmonis. mereka bukan jenis makhluk yang selalu bersepi-sepian di rumah ibadah. Mereka ‘turun ke bumi’, hidup di tengah masyarakat. Dengan kapasitas keilmuan dan keahlian masing-masing, mereka menyibukkan diri untuk membenah kehidupan dunia. Mereka memiliki keseimbangan antara sisi ukhrawi dan duniawi, pribadi dan sosial, ‘ubudiyah dan rububiyah, vertikal (hablumminallah) dan horizontal (hamlumminannas). Mereka ini sangat rasional dan spiritualis. Secara sosial mereka sangat aktif, inovatif, dan cenderung pada pengabdian. Karena keseimbangan antar dimensi inilah yang menjadikan mereka layak mendapat amanah sebagai khalifah fil ardh (wakil Tuhan)60, yang misinya memakmurkan bumi.61 Mereka bukan tipe manusia yang cepat puas, atau merasa segala pencapaian telah maksimal. Mereka tidak pernah berhenti berproses. Disamping terus menerus berjuang memperbaiki kualitas ilmu dan keimanan; mereka terus-menerus berjihad, melakukan amar makruf nahi munkar, menginisiasi dan memimpin perubahan. Mereka punya keahlian untuk mendengarkan dan kemampuan untuk menjelaskan. Mereka juga punya sikap bertanggungjawab atas apa yang dilakukan, sehingga semuanya dikerjakan secara sempurna dan sungguh-sungguh. “Bintang ‘Arasy” disebut sebagai orang-orang yang “sudah selesai dengan dirinya”.62 Mereka tidak lagi menghabiskan waktu untuk “saya”, melainkan untuk “orang-orang saya”. Inilah yang dinamakan the true “Dan Dialah yangmenjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di bumi dan Dia mengangkat sebagian kamu di atas yang lain....” (QS. alAn’am -6: 165). 61 “.Dia telah menciptakan kamu dari bumi dan menjadikanmu pemakmurnya...” (QS. Hud -11: 61). 62 M.D. Kurniawan. 2013. “Orang-Orang yang Sudah Selesai dengan Dirinya”, catatan fb: 11 November 2013. 60

120

SAID MUNIRUDDIN

leaders. Muhammadsaw pasti akan hidup nyaman, jika ia berfokus pada barang dagangannya sehingga tetap kaya dengan itu. Tetapi ia bersedia menerima tugas kerasulan, yang justru membuat ia kehabisan semua hartanya dan harta istrinya. Hari-hari yang sebenarnya dapat ia habiskan seluruhnya dengan bersenang-senang sambil memeluk Khatijah yang cantik itu, kini harus ia tempuh dengan perjalanan yang penuh cacian dan makian. Menempuh jalan kenabian justru membuat kaumnya, bahkan sebagian anggota keluarganya, menjadi musuhnya. Ia dapat saja hidup damai dengan menolak perintah Tuhan. Dengan mengikuti “nafsu rendahan” sebenarnya sudah cukup bagi Muhammad untuk menjadi bahagia. Dengan hidup “biasa saja” sesungguhnya dapat memberi ruang santai baginya. Tetapi, ia justru menyulitkan diri dengan memilih bekerja untuk merubah keimanan bangsanya. Ia memilih hidup tertekan melalui jalan perubahan sosial, dengan menghadapi kekuatan politik dan sosial di kampungnya. Sungguh, dalam kaca mata orang awam, ia makhluk “terbodoh” yang pernah ada. Menyibukkan diri untuk orang lain, mencari lelah untuk sesuatu yang ia tidak pernah dibayar dengan dolar, dinar, maupun rupiah, bahkan harus berdarah-darah; adalah ciri-ciri kehidupan “orang gila”. “Kebodohan” dan “kegilaan” serupa dapat ditemukan pada sosok seperti Sidharta Gautama. Mengapa ia mencari lelah dengan hengkang dari istana yang penuh kemewahan, istri nan cantik jelita, makanan enak, dan harta berlimpah; dengan menempuh jadi pertapa dan hidup bersama kesengsaraan rakyatnya? Mengapa Cut Nyak Dhien, Diponegoro, Imam Bonjol, Bung Hatta, Agus Salim, dan pahlawan-pahlawan kita itu mau merepotkan diri dipenjara, diasingkan, terlunta-lunta, bahkan merelakan nyawa dengan menentang kekuatan bersenjata? Padahal mereka dapat saja berkolaborasi dengan menjadi tenaga-tenaga yang fasilitasi dan digaji tinggi oleh Belanda. Mengapa mereka memilih hidup “melarat” daripada hidup “nikmat”? Karena mereka bukanlah seperti sangkaan kita. Mereka bukan lagi seekor “anjing” yang setiap hari kelaparan setumpuk “bangkai”. Mereka adalah “orang-orang yang sudah selesai dengan perutnya”. Mereka ini wakil Tuhan, yang telah memiliki kemewahan “langit” dan kini hidup untuk menawarkan itu kepada masyarakatnya. Mereka telah bersama Tuhan, dan kini berjalan bersama-Nya di tengah manusia. Mereka

BAB 4 Tujuan HMI: “Pendekatan Filosofis-Sufistik”

121

sedang membawa rakyatnya dari kegelapan syirik menuju keindahan Tuhan. Sesungguhnya mereka tidak menderita. Mereka bahagia dalam darah dan air mata. Mereka sehat dalam lapar dan dahaga. Mereka ceria dalam miskin papa. Model-model manusia seperti inilah yang menjadi sumber inspirasi, karena mereka ini makhluk spiritual. Kehadiran mereka memotivasi pengikutnya. Mereka memimpin dengan memberi contoh. Pada tangantangan suci semacam inilah amanah Tuhan, amanah umat, amanah bangsa, dan amanah organisasi dapat terlaksana. Orang-orang seperti inilah yang membuat dunia masih bertahan. Karena mereka ini para wali yang menjadi “kutub” penjaga keseimbangan sehingga dunia tidak terseret ke jurang kegelapan. Ada dari mereka yang terus hidup dan berhasil membangun peradaban. Sebagian justru menemukan kesyahidan. Namun mereka “tidak pernah mati”, karena “jiwa” mereka (warisan nilai, ajaran, dan pengaruh) abadi adanya. Merekalah orangorang yang terus “hidup” dalam sejarah:

“Dan janganlah kamu mengatakan orang-orang yang terbunuh di jalan Allah (mereka) telah mati. Sebenarnya (mereka) hidup. Tetapi kamu tidak menyadarinya” (QS. alBaqarah -2: 154). Inilah yang saya sebut sebagai “Bintang ‘Arasy”, “Cahaya Tuhan”, “spesies manusia yang telah tuntas dengan egonya”. Muhyiddin Ibnu ‘Arabi (560-638H/1165-1240M) menyebutnya “insan kamil” (perfect man), sebuah istilah yang kemudian dipinjam HMI menjadi terminologi manusia sempurna atau manusia sejati dalam Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP). Tidak banyak jenis manusia seperti ini. Mungkin anda tidak akan menemukan manusia-manusia seperti ini di DPR-RI, DPD, DPRD, dan DPRK yang berjumlah dua puluh ribuan orang itu. Juga kelihatannya tidak ada dideretan kabinet kementerian yang jumlahnya puluhan itu. Pun tidak tampak pada wajah-wajah gubernur dan bupati yang jumlahnya lebih dari lima ratusan itu. Karena orang itu adalah anda, jika saja anda sadar dan bersedia menempuh jalan kenabian.

122

SAID MUNIRUDDIN

KESIMPULAN HMI adalah salah satu ‘Jalan’ bagi Mahasiswa untuk menuju ‘Kehidupan Tertinggi’ (alHayyun). Salah satu topik yang sering disinggung alQur’an adalah tentang “kehidupan” dan “kematian”. Apa itu “hidup” dan apa yang membedakannya dengan “kematian”? Ada anggapan bahwa ketika jantung masih berdetak, syaraf masih aktif, urat nadi masih berdenyut, darah masih mengalir, maka itu dikatakan “hidup”. Sebaliknya, ketika organ-organ tersebut sudah tidak terdeteksi keaktifannya melalui stetoskop baru dikatakan “mati”. Apakah benar ini yang disebut hidup? Jika iya, maka kehidupan kita manusia tidak ubahnya seperti kehidupan binatang. Seekor anjing pun dikatakan hidup jika memang seperti itu adanya. Padahal, definisi hidup bagi manusia menurut alQur’an melampaui definisi hidup seekor satwa. 63 AlQuran menyindir tentang orang-orang yang ‘hidup’ (fisiknya) tetapi ‘mati’ (hatinya). Manusia dikatakan hidup ketika telah mendapat ‘cahaya’, fitrahnya hidup, dan bergerak di tengah manusia:

“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian kami hidupkan (dengan perantaraan alQur’an) dan kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu ia dapat berjalan di tengahtengah masyarakat manusia, (adakah orang yang demikian keadaannya) sama dengan orang yang berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya…” (QS. alAn’am -6: 122). Jika “bergerak” saja namun “fitrahnya gelap”, maka tak ubahnya seperti binatang. Hanya dengan ‘cahaya’ manusia mampu melihat jalan kebenaran. Muhammadsaw sendiri diutus untuk menyampaikan alQur’an kepada orang-orang yang masih ‘hidup hatinya’:

“Supaya Dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya)...” (QS. Yaasin -36: 70).

63

M. Muthahhari. 2001. Neraca Kebenaran dan Kebatilan, terj. N.H. Alydrus, hal. 111-114. Penerbit Cahaya: Bogor.

BAB 4 Tujuan HMI: “Pendekatan Filosofis-Sufistik”

123

Ber-HMI dan proses yang mengikutinya (menjadi alumni dan anggota masyarakat) adalah proses untuk “hidup” melebihi kehidupan binatang. Gerak dari kerendahan basyar menuju martabat insan kamil merupakan gerak ‘menjadi’ (becoming). Tahap menuju ‘H’ adalah perjalanan menuju Cahaya. Karena Dia (Hu) adalah Cahaya langit dan bumi: “Allah adalah cahaya langit dan bumi” (QS. anNur -24: 35). Tahap menuju ‘H’ adalah perjalanan untuk benar-benar hidup sebagai manusia, karena Dia (H) adalah Dzat Yang Maha Hidup, alHayy: “Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia Yang Maha Hidup kekal lagi terus menerus mengurus makhlukNya…” (QS. alBaqarah -2: 255). Dengan ‘cahaya’-Nya kita ‘berjalan’ (berorganisasi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara) di tengah umat manusia. Tanpa kemampuan ‘menerangi’, eksistensi kita tidak ubahnya seperti anjing di tengah keramaian. Tidak tau harus berbuat apa selain ‘menggonggong’ dan mencari ‘setumpuk bangkai’. Tanpa ‘cahaya’ kita jadi koruptor dan manipulator. Hanya dengan ‘cahaya’ kita mampu ‘melihat’. Sehingga berHMI dan beralumni pada hakikatnya adalah pemenuhan panggilan Allahswt dan Rasulnya untuk memainkan peran sebagai muhyi, “pemberi kehidupan”:

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu” (QS. alAnfal -8: 24). Hakikat hidup adalah “pengetahuan” (iman dan ilmu) serta “kemampuan” (amal shaleh). Inilah dua cahaya utama ketuhanan dan kemanusiaan. Islam adalah agama kehidupan, ajaran tentang pengetahuan dan kemampuan. Agama kehidupan tidak identik dengan “kebodohan” dan “kelemahan”. Melalui tariqah H-M-I inilah mahasiswa sepatutnya memperoleh “pengetahuan” (iman dan ilmu) serta mewujudkannya dalam “amal kebajikan”. Inilah tariqah kita, tariqah Bintang ‘Arasy, ‘jalan’ menuju ‘cahaya’, ‘jalannya’ orang-orang yang berpengetahuan dan bekerja.

124

SAID MUNIRUDDIN

“HMI” adalah “Allah”. Doktrin HMI, sebagaimana doktrinnya Islam, menjadikan Allahswt sebagai satu-satunya tujuan. Mengapa? Karena Dia Tuhan kita, asal sekaligus tempat kita menuju. Hanya Dia yang absolute Ada, yang Maha Indah dan Maha Sempurna. Kemanapun wajah dihadapkan, di sana ada Dia: “Ke mana pun kamu menghadap di sanalah Wajah Allah” (QS. alBaqarah -2: 115). Alam semesta ini sendiri merupakan manifestasi Cahaya-Nya, Allah adalah cahaya langit dan bumi” (QS. anNur -24: 35).64 Kita semua refleksi dari keberadaan-Nya. Oleh sebab itu, hidup ini merupakan perjalanan menuju Tuhan. Karena Dia “ada dimana-mana”, maka “tidak susah menemukan-Nya”. Dia ada di HMI. Bahkan, seperti terefleksi pada gambar, “HMI” itu sendiri adalah “Allah”.65

Gambar 4.2: “HMI” adalah “ALLAH”

Jelas sekali, tujuan HMI adalah Allahswt (“H”). Setelah memiliki pengetahuan tentang-Nya (ma’rifatullah), barulah seorang kader dikatakan telah “hidup” dan memiliki spirit (cahaya) untuk menjadi khalifah, guna membangun dan membawa masyarakatnya (“M”) mendekat kepada Tuhan. Perjalanan individual “mengenal Tuhan” (ma’rifat) serta perjalanan sosial “membangun masyarakat” merupakan proses menjadi insan kamil (“I”). Inilah doktrin HMI, menjadikan Allahswt sebagai sentra perkaderan dan perjuangan. Meminjam istilah kaum irfan sebagaimana diurai oleh Mulla Shadra (Shadr al-Din Muhammad bin Ibrahim, 979-1050H/1571-

“Allah adalah Cahaya langit dan bumi. Perumpamaan Cahaya-Nya adalah laksana satu tanglung yang di dalamnya ada pelita, dan pelita itu terletak dalam kaca, dan kaca itu laksana bintang yang seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak pohon kayu yang mubarak, yaitu minyak zaitun, yang bukan keluaran Timur dan bukan keluaran Barat, yang minyaknya hampir selalu menerangi kalaupun tidak disentuh api; Nur di atas Nur. Allah memimpin kepada Nur-Nya kepada barangsiapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah mengadakan berbagai perumpamaan untuk manusia. Dan Allah Mengetahui akan tiap-tiap sesuatu” (QS. anNur -24: 35). 65 Z. Sartika. 2011. ‘HMI’ adalah Allah, Handout Perkaderan. HMI Cabang Banda Aceh: Banda Aceh. 64

BAB 4 Tujuan HMI: “Pendekatan Filosofis-Sufistik”

125

1640M)66, ber-HMI dan proses setelahnya (menjadi alumni), pada prinsipnya adalah sebuah tirakat 4 perjalanan intelektual: (1) Perjalanan menuju Allah, bermakna penyucian diri dari kualitas ‘basyar’ menjadi ‘insan’ (2) Perjalanan dalam Allah bersama Allah, bermakna mengenal-Nya, ‘ma’rifatullah’ atau menjadi ‘insan kamil’ atau ‘bintang ‘arasy’, (3) Perjalanan bersama Allah menuju makhluk-Nya, bermakna menjadi ‘khalifah fil ardh’, (4) Perjalanan bersama Allah ditengah-tengah makhluk-Nya, sebagai makhluk sosial. Gambar 4.3: Perjalanan Hidup, Proses ber-HMI dan setelahnya

@ Said Muniruddin 2013

Keempat ‘perjalanan’ ini merupakan satu kesatuan yang utuh. Sebab, jika hanya berjalan menuju Tuhan saja, itu seperti seorang pseudo-sufi (sufi palsu) yang hidup hanya berdzikir untuk dirinya sendiri, tanpa peduli dan merasakan penderitaan masyarakatnya. Maka ia tidak akan memperoleh apapun, karena itu perilaku egois. Demikian juga halnya 66

S. Mohsen Miri. 2004. Sang Manusia Sempurna: Antara Filsafat Islam dan Hindu, cetakan I, hal. 87-92. Penerbit Teraju: Jakarta.

126

SAID MUNIRUDDIN

jika berinteraksi dengan sesama manusia, tanpa pernah mengenal Tuhan, itu perilaku kaum materialis. Tujuan seorang kader HMI adalah mengenal dan merasakan indahnya Tuhan, juga mengenal dan merasakan penderitaan manusia. Lalu ia hadir disana, untuk membimbing masyarakatnya menuju keindahan Tuhan. Dalam pengertian lain, proses “menuju Tuhan” adalah proses ideologisasi dasar berupa penguatan akidah, ibadah mahdhah, dan akhlak vertikal. Sedangkan proses “dari Tuhan menuju masyarakat” adalah proses ideologisasi lanjutan, berupa ibadah muamalah dan aktualisasi akhlak horizontal; atau aplikasi iman dan nilai-nilai akademis (ilmu pengetahuan) dalam ranah sosial. Tujuannya untuk menciptakan sebuah masyarakat ideologis: “adil makmur”, “baldatun tayyibatun warabbul ghafur”. Pada dua proses ini terkandung dua makna Islam. Proses “menuju Tuhan” merupakan proses “berserah diri”, “tunduk”, atau “patuh”, makna pertama dari Islam. Sedangkan proses “menuju masyarakat” adalah proses menebarkan “damai” dan “kesejahteraan”, makna lain dari Islam. Jadi, tujuan ideologis HMI –yang juga tujuan filosofis-gnostik, adalah mendidik kader-kadernya menjadi benar-benar islami, menjadi manusia-manusia bertauhied, disiplin beribadah, serta menjadi “imamimam” pada mazhab keilmuan, bakat dan minat masing-masing. Bukan sekedar “imam” yang pandai bicara (akademis), tetapi juga ahli dalam bekerja (praktisi). Yaitu, menjadi muslem-intelektual-profesional di bidang ekonomi, bisnis, politik, hukum, pendidikan, kesehatan, sosial, agama, seni, budaya, dan sebagainya. Seorang “imam” mesti dekat dengan alQur’an dan asSunnah, tempat ia menggali nilai-nilai ideologis bagi perjuangannya (akan dibahas lebih detil melalui perspektif ideologi pada bab selanjutnya).*****

BAB

5

HMI dan Ideologi: “Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP)” MANUSIA DAN IDEOLOGI Manusia dan Kebutuhan Hidup. Berbeda dengan binatang yang hidup cukup hanya dengan insting (seperti makan dan aktifitas seksual), manusia -walaupun juga punya insting alamiah seperti hewan- ada sesuatu yang lain yang membuatnya menjadi manusiawi. Manusia tidak hanya hidup untuk kebutuhan biologis, tetapi ada makna terdalam dari kehidupan yang selalu dicari. Sebab, jika hidup hanya dengan insting biologis, maka tidak berbeda dengan binatang. Ada sesuatu yang membuat manusia berevolusi dari tabiat binatang (hewani) menjadi ‘manusia betulan’ (insani). Sesuatu itu adalah “akal”, yang dengannya ia berusaha mencari dan menemukan kebenaran (akal teoritis, rasio, intellect), serta dengan iradah yang dimilikinya kemudian memutuskan untuk menjalankan dan menjadi bagian dari kebenaran itu sendiri (akal praktis, hati, fuad). Berkenaan dengan fungsi akal, ada sejumlah pertanyaan filosofis prinsipil kemanusiaan, yang selama ribuan tahun bahkan sejak adanya manusia, ingin ditemukan jawabannya. Diantara pertanyaan tersebut adalah:

Manusia, “Binatang yang Berfikir”

128

SAID MUNIRUDDIN

1. 2. 3. 4. 5. 6.

Siapa kita? Dari mana kita berasal? Mengapa kita ada di sini? Kemana kita akan pergi? Bagaimana cara mengetahui sistem kehidupan terbaik? Apa yang harus dilakukan agar kita bisa selamat sampai ke sana?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat diringkas dalam dimensi pengetahuan “teoritis” dan “praktis” menjadi: “Siapa pencipta segalanya ini?” “Bagaimana akhir dari semua ini?”. “Bagaimana cara mengetahui dan menjalani sistem kehidupan terbaik?”. Ada beragam keyakinan, pandangan, pemikiran, ide, nilai-nilai, akidah, ilmu pengetahuan, atau filsafat yang menawarkan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut. Keseluruhan jawaban membentuk apa yang disebut dengan “pandangan dunia” (worldview) dan “ideologi”.1 Sejauh mana benar tidaknya jawaban yang diperoleh terhadap kedua hal ini, sangat menentukan bentuk sebuah “kepercayaan” atau “agama”. Jika jawabannya benar, maka ia hidup dengan agama yang benar (haq). Jika salah, maka hiduplah ia dalam agama palsu (bathil). “Pandangan Dunia” dan “Ideologi”. Sebelum memahami Nilai-Nilai Dasar Perjuangan HMI (NDP) yang bagi HMI merupakan sekumpulan “nilai-nilai” (akidah, nilai-nilai, keyakinan, kepercayaan, pandangan, ide, pengetahuan, atau pemikiran) yang dirumuskan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar kehidupan baik yang bersifat “teoritis” maupun “praktis”, terlebih dahulu harus dipahami dua hal yang berkaitan dan berdekatan arti, yang dari keduanya terbangun NDP HMI. Dua terminologi yang sebenarnya berasal dari barat ini perlu ditemukan padanannya dalam terminologi Islam, sehingga memudahkan bagi kita untuk memahami maknanya dalam spirit Islam. Kedua hal tersebut adalah: worldview (pandangan dunia) dan ideology (ideologi). Pandangan dunia (Inggris: worldview, Jerman: weltanschauung) adalah “seperangkat pandangan universal atau keyakinan terhadap keberadaan atau eksistensi”. Ini merupakan 1

Kata “ideologi” digunakan secara berbeda oleh banyak penulis. Ada yang menekankan pada unsur “ideos” yang artinya “gagasan” atau lebih tepatnya “nilai-nilai”. Juga ada yang berfokus pada “logos” yang bermakna “ilmu” atau “sistem” (dalam hal ini sistem yang berlaku di suatu negara, sehingga penggunaan kata ideologi lebih sering dalam konteks kehidupan negara atau politik).

BAB 5 HMI dan Ideologi: “Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP)”

129

“pemikiran teoritis mengenai penciptaan, alam semesta dan manusia, bahkan mengenai Wujud Mutlak.”2 Termasuk disini adalah akidah tentang: “dari mana asal muasal kehidupan” (penciptaan), “siapa kita”, “mengapa kita ada disini”, “apa relasi kita dengan asal usul kita dan alam semesta ini”, serta “kemana kita akan pergi, atau kemana semuanya akan berujung”. Worldview merupakan “sistem pemikiran teoritis” yang berbicara tentang eksistensi, “ada” atau “tidak adanya” sesuatu, seperti: “Tuhan ada”, “nabi-nabi ada”, “dunia tidak kekal”, “akhirat pasti”, dan sebagainya. Dalam bahasa Arab, worldview disebut al-ru’yah al-kauniyah atau lebih dikenal sebagai pemikiran tentang aqidah atau ushuluddin. Sementara kata ideologi, dalam bahasa arab disebut mabda’. Secara etimologis adalah masdar mimi dari kata bada’a yabdau ba’dan wamabda’an, yang berarti “permulaan”. Secara terminologis berarti “pemikiran mendasar” yang terdiri atas beberapa cabang pemikiran (teoritis dan praktis). Kata ideologi sendiri digunakan secara berbeda oleh banyak penulis. Namun dapat dipahami dalam dua makna: “umum” dan “khusus”. Dalam makna umumnya ideologi adalah yang secara leksikal terdiri dari dua kata. Pertama “ideos” yang artinya “gagasan” atau lebih tepatnya “nilai-nilai”. Kemudian “logos” yang bermakna “ilmu” atau “sistem” (dalam hal ini sering dimaknai sebagai sistem umum yang berlaku di suatu negara, sehingga penggunaan kata ideologi lebih sering dalam konteks kehidupan negara atau politik). “Ideology is a set of beliefs or principles, especially one on which a political system, party, or organization is based.”3 (Seperangkat keyakinan atau prinsip-prinsip, terutama yang diatasnya sebuah sistem politik, kelompok, atau organisasi dibangun).

2

3

M.T.M Yazdi. 2012. Iman Semesta: Merancang Piramida Keyakinan, cet. 2, hal. 27-31. Nur al-Huda: Jakarta. Cambridge Online Dictionary. 2013. “Ideology”. http://dictionary.cambridge.org/dictionary/british/ideology?q=ideology

130

SAID MUNIRUDDIN

Dengan demikian, ideologi dalam makna umum memiliki pengertian ideos-logos: “ilmu tentang gagasan”, “ilmu tentang nilai-nilai”, “ilmu tentang prinsip-prinsip”, “ilmu tentang keyakinan”, atau “ilmu tentang kepercayaan”. Sehingga secara teknis ideologi diartikan juga sebagai “keyakinan”, “kepercayaan” atau “keimanan”. Dalam pengertian umum inilah ideologi memiliki kesamaan makna sebagai worldview (pandangan dunia), yaitu “sistem pemikiran teoritis” (nazhari) -yang menjelaskan tentang realitas luaran dan tidak berhubungan langsung dengan perbuatan atau perilaku manusia. Sehingga ketika ada yang berbicara tentang “ideologi”, secara umum maksudnya adalah “jalan pemikiran normatif” (way of thought) atau “jalan pemikiran paling mendasar” (fikrah raisiyyah) seseorang atau sekelompok orang. Dalam terma keagamaan Islam, ini dikenal sebagai “akidah”, “keimanan”, “dasar-dasar kepercayaan”, atau “ushuluddin”. Namun ideologi mempunyai makna khusus. Yaitu “pemikiran praktis (amali)” atau pemikiran yang menata dan mendesain seluruh perilaku manusia yang berkaitan dengan apa yang “seharusnya” (must) dan “tidak seharusnya” (must not). Dalam hal ini, termasuk kajian ideologi adalah “apa saja yang mesti dilakukan, atau tidak boleh dilakukan, agar kita selamat dan bahagia”. Ideologi adalah “seperangkat pandangan universal tentang sikap praktis manusia”, membahas pandangan “mesti” atau “tidak mesti” dari sebuah perbuatan sebagai turunan dari keyakinan (akidah) diatas seperti: “Tuhan harus disembah”, “kebutuhan dunia harus dipenuhi”, “semua harus berusaha untuk akhirat”, dan sebagainya. Disini, ideologi sudah menjadi “cara hidup” (way of life) atau “patokan asasi perilaku” (al-qaidah al-asasiyah). Termasuk dalam konteks pemerintahan, ideologi merupakan sisi operasional (thariqah) dari berbagai keyakinan politik dan kemasyarakatan. Dengan demikian dapat kita lihat perbedaan serta kaitan pandangan dunia dengan ideologi sebagai berikut: “… percaya kepada wujud Tuhan merupakan bagian dari pandangan dunia, karena secara langsung tidak mempunyai pengaruh dalam perilaku dan aksi dalam kehidupan manusia, dan pemahaman tersebut tidak berkaitan dengan “seharusnya” dan “tidak seharusnya”, kecuali jika ideologi dalam makna yang lebih khusus kita gunakan, maka hal itu akan meniscayakan tautan “seharusnya dan “tidak seharusnya”. Oleh karena itu, kepercayaan bahwa “Tuhan harus disembah” tidak termasuk bagian dari pandangan dunia, tapi bagian

BAB 5 HMI dan Ideologi: “Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP)”

131

dari ideologi, karena pemahaman tersebut berkaitan dengan “seharusnya” dan “tidak-seharusnya”, atau dalam kata lain berkaitan dengan perilaku, aksi dan perbuatan manusia.4 Sebagai sebuah sistem pemikiran “teoritis” dan “praktis”, tentu ada alur hubungan antara kepercayaan (worldview) dengan praktik (practical ideology), meskipun tidak bersifat langsung. Misalnya, Tuhan telah dibuktikan “ada”, namun tidak secara langsung dapat disimpulkan bahwa Tuhan “harus disembah”. Ada pendahuluan yang menjelaskan kenapa harus disembah. Dengan demikian pandangan dunia dan ideologi adalah sebuah sistem pemikiran yang logis, bebas dari fallacy. Dari sini kita pahami bahwa “ideologi” (baik dalam makna “umum” sebagai pemikiran teoritis maupun dalam makna “khusus” sebagai pemikiran praktis) merupakan kebutuhan manusia guna memahami halhal pokok dalam hidupnya. Begitu banyak ayat yang menyebutkan pentingnya pandangan dunia dan ideologi. AlQuran bahkan menegaskan mereka yang tidak mempunyai pandangan dunia atau ideologi yang benar sebagai orang yang tersesat, bahkan derajatnya lebih rendah dari binatang.5 Dalam sebuah hadis juga diisyaratkan: “rahimallahu imraan ‘arafa nafsahu, wa ‘alima min aina wa fi aina wa ila aina” (Rahmat Tuhan ke atas mereka yang mengetahui dirinya, dari mana ia berasal dan dimana, dan akan menuju ke mana). Dengan demikian, worldview dan ideologi ini tidak hanya sebatas “teori” (pengetahuan) yang melekat diakal (rasional). Melainkan jauh sebagai “teori” yang terhujam di hati. Worldview dan ideology adalah “keyakinan” teoritis dan praktis, pengetahuan teoritis-praktis tentang kebenaran (way of thought and way of life). Dalam bahasa Syariati, “ideologi” adalah keyakinan, kepercayaan, atau pengetahuan yang mampu “mempengaruhi” sikap dan perbuatan, atau mampu “menggerakkan” penganutnya. Atas dasar ini ia membagi agama atau 4 5

M.T.M Yazdi. “Kebutuhan Manusia Terhadap Ideologi dan Pandangan Dunia”. [1] “Sesungguhnya seburuk- buruk hewan melata di sisi Tuhan adalah mereka yang kafir dan tidak beriman” (QS. alAnfal -8: 55); [2] “Sesungguhnya seburuk-buruknya buruk hewan melata di sisi Tuhan adalah mereka yang bisu dan tuli yang tidak menggunakan akalnya” (alAnfal -8: 22); [3] Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar [tidak menggunakannya dalam jalan mengenal hak]. Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai [tidak punya kesadaran “sebagaimana harusnya”]” (QS. alAraf -7: 179).

132

SAID MUNIRUDDIN

kepercayaan dalam dua: “agama dekaden” (jumud) dan “agama progresif” (hidup). Termasuk “Islam” sendiri, ada jenis “Islam” yang bersifat ideologis (mampu membangkitkan pengikutnya, seperti yang dibawa para nabi) dan ada yang “status quo” (bodoh, malas dan pengecut, seperti ditemukan pada sekte/aliran Islam tertentu).6 “Pandangan Dunia Ilahi” dan “Pandangan Dunia Materialisme”. Di tengah umat manusia terdapat berbagai pandangan dunia terkait dengan “asal-usul”, “akhir dari segalanya”, “alam dan manusia”. Dua worldview tersebut adalah: (1) Pandangan Dunia Ilahi; (2) Pandangan Dunia Materialisme.7 “Pandangan Dunia Ilahi” merupakan pandangan universal bahwa asal muasal wujud materi adalah dari non-materi (metafisik). Dari sini lahir orang-orang yang percaya kepada Wujud Pencipta alam secara mutlak (Tuhan). Mereka juga meyakini keberadaan nyawa, jiwa atau ruh yang menjadi bagian dari manusia. Mereka juga percaya kepada hidup setelah mati. Mereka juga meyakini kepada manusia-manusia suci yang menjadi pembawa pesan-pesan suci dari Tuhan untuk kehidupan yang baik dan benar, di dunia dan setelahnya. Orang-orang yang memiliki “Pandangan Dunia Ilahi” ini sering disebut sebagai “orang-orang beragama”. Hanya saja, agama-agama inipun beragam. Ada yang tuhannya banyak (animisme), ada yang tuhannya ‘tiga’ namun berusaha menjelaskannya sebagai ‘satu’, atau ‘satu’ tapi mengatakannya ‘tiga’. Ada yang benarbenar Esa. Namun ada juga yang Tuhannya Esa tetapi perilaku ibadahnya bercampur dengan penyimpangan, bid’ah dan khurafat. Logika dan filsafat Islam sebagaimana dirumuskan oleh filsuf-filsuf muslim dalam pembahasan epistimologi dan ontologi 8, telah membedah 6 7

8

A. Syariati. 1989. Ideologi Kaum Intelektual: Suatu Wawasan Islam, hal. 89. Penerbit Mizan: Bandung. M.T.M Yazdi. 2012. Iman Semesta: Merancang Piramida Keyakinan, cet. 2, hal. 28-29. Nur al-Huda: Jakarta. Penguasaan epistimologi (metode pembuktian ‘benar’ dan salah’), ontologi (pembuktian realitas ‘ada’ dan ‘tidak ada’) dan aksiologi (pembuktian ‘baik’ dan ‘buruk’) melalui metafisika Islam ini menentukan ‘sehat’ atau ‘tidak sehatnya’ pikiran seseorang. Kader-kader HMI yang hendak memperkuat aqidah dan ideologi mesti memiliki kecerdasan intelektual ini. Karena yang dihadapi dan tantangan yang akan terus menguat bagi dunia Islam adalah pertempuran ideologis dengan berbagai isme dunia, termasuk dalam dunia akademis. Ilmu pengetahuan, tanpa disadari, banyak disusun dari pandangan-pandangan materialisme dan positivisme. Sehingga kemudian dikenal istilah ‘islamisasi’ ilmu pengetahuan. Yaitu, membangun kembali sistem pengetahuan dan kehidupan atas dasar Pandangan Dunia Ilahi.

BAB 5 HMI dan Ideologi: “Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP)”

133

berbagai kepalsuan pandangan dunia dan ideologi, termasuk materialisme. Serta melalui aksiologi mendedah sisi “baik” dan “buruk” dari praktik-praktik keagamaan. “Pandangan Dunia Materialisme”, dari sisi ontologi, merupakan sebuah akidah yang mengingkari wujud metafisik. Dulu mereka disebut althabi’i dan al-dahri. Terkadang dinamai zindik dan mulhid (ateis), nama pahamnya ilhadiyah (ateisme). Sekarang lebih dikenal dengan al-maddi (materialis), nama pahamnya madiyah (materialisme). Ketika menjawab “dari mana kita berasal”, melalui metode empirik mereka punya pandangan bahwa alam semesta dan semua eksistensi berasal dari interaksi antar materi semata. Filsafat materialisme ini dapat dengan mudah dibuktikan salah melalui metafisika Islam atau filsafat tauhied. Secara antropologi, kaum materialis ini juga berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan filosofis tentang manusia, seperti “siapa kita”. Disini, mereka juga membantah realitas metafisik seperti “ruh” yang membentuk manusia. Karena menolak unsur non-materi, maka otomatis juga menolak konsep “keabadian jiwa”, “hidup lagi setelah mati”, “hari akhir”, dan “pertanggungjawaban di depan Tuhan”. Karena tidak mengakui adanya “awal” dan “akhir” (Tuhan) serta menolak “kebangkitan” dan “pertanggungjwaban mutlak” (maad); maka dalam aspek teleologi (filsafat kenabian), akhirnya kaum ateis juga menyangkal keberadaan “wahyu” dan “nabi”. Padahal, karena “awal” dan “akhir” merupakan suatu keterikatan, maka ada sejumlah jalan untuk mencapai kebahagiaan abadi yang telah diberikan Tuhan melalui para wakil-Nya di muka bumi. Karena kehidupan di bumi merupakan kehendak Tuhan, tentu ada pedoman pola hubungan yang benar antar individu dan sosial (kemaslahatan umum) atau dunia dan akhirat (tata cara peribadatan), guna kebahagiaan manusia sendiri. Namun kaum materialis menolak ini. Tahun 1960-an pernah menjadi periode bagi HMI berhadapan secara frontal dengan gagasan-gagasan materialisme ini. Konsepsi-konsepsi non-ilahiyah mereka kembali mencuat dalam berbagai gerakan kemahasiswaan paska reformasi 1998. Artinya, pandangan-pandangan ateistik tidak pernah mati, selalu muncul diberbagai situasi sosial mengajak masyarakat yang sedang apatis dan tertindas untuk tidak percaya kepada adanya Tuhan. Untuk menandingi sesat pikir dikalangan

134

SAID MUNIRUDDIN

mahasiswa ini, juga pada tahun 1960-an maka dirumuskanlah sebuah pandangan dunia ilahiyah bagi HMI, yang dikenal dengan “Nilai-Nilai Dasar Perjuangan” (NDP) –nanti akan dijelaskan lebih lanjut. Berbagai Ideologi (isme) yang Lahir dari Pandangan Materialisme. Karena tidak mengaku adanya Tuhan, tidak percaya hidup sesudah mati, menolak pertanggungjawaban akhir, serta menyangkal keberadaan ruh kecuali materi belaka; maka tujuan hidup bagi Liberalisme/Kapitalisme vs. kaum materialis hanya untuk Sosialisme/Marsisme disini dan hari ini. Atas dasar ini, produktifitas untuk duniawi dipaksa sedemikian tinggi, sehingga mereka berhasil mencapai kemajuan-kemajuan yang berarti. Tetapi disisi lain, lahir pragmatisme, hedonisme, konsumerisme, nudisme, opportunisme dan sejenisnya guna memenuhi kebutuhan nilai-nilai materialisme. Hidup hanya untuk kepuasan fisik, nafsu atau sensasi indrawi. Karena tidak ada keyakinan pada keabadian dan kebahagiaan abadi, bagi mereka hidup tidak memiliki tujuan. Akibatnya takut mati. Sebab diyakini segalanya berujung tanpa makna (absurdisme), pada ketiadaan (nihilisme). Karena hampa dari dimensi spiritual akibat gagasan bahwa hidup hanya berujung kepada kematian (kebinasaan abadi), paham ini melahirkan orang-orang yang mengalami “alienasi diri” (keterasingan jiwa). Karena ‘kering’ dari “nilai-nilai”, sebagian mengakhiri hidup dengan bunuh diri. Mereka-mereka yang beragama Islam namun pragmatis, hedonis, dan oportunis; sesungguhnya secara akidah lebih dekat kepada mazhab materialisme, daripada mazhab dunia Ilahi. Terdapat dua blok “mazhab ideologi” (isme) yang lahir atau dipengaruhi oleh akidah materialisme: (1) Liberalisme/Kapitalisme; (2) Sosialisme/Marxisme.

BAB 5 HMI dan Ideologi: “Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP)”

135

“Liberalisme/Kapitalisme” adalah ideologi yang muncul setelah revolusi Perancis 1789. Ide dasarnya adalah, manusia dilahirkan bebas maka harus hidup dalam kebebasan. Diantara kontribusi positif ideologi ini adalah lahirnya hak-hak asasi manusia (hak dasar politik dan kebebasan berusaha). Liberalisme juga didorong oleh sekularisme atau pemisahan agama dari wilayah publik. Sekuler bahkan bermakna peniadaan agama atau penafian Tuhan. Paham kebebasan berusaha ini berkembang menjadi kebebasan bersaing, untuk seterusnya berkembang menjadi kebebasan memonopoli, lalu menjadi kebebasan mengeksploitasi. Liberalisme ekonomi inilah Adam Smith (1723-1790) (kebebasan monopoli dan ekploitasi) yang memunculkan kapitalisme. Kapitalisme ini identik dengan kekayaan struktural (laba sebesar-besarnya, dengan mengorbankan aspek sosial dan lingkungan). Meski kapitalisme awalnya muncul dalam alam liberalisme, namun ia juga tumbuh subur dalam fasisme, diktatorisme, dan feodalisme. Imperialisme/kolonialisme adalah anak yang lahir dari sistem kapitalisme. Adam Smith melalui karyanya “An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations” dinyatakan sebagai bapak kapitalisme. Ideologi lainnya adalah “Sosialisme/ Marxisme”. Ideologi ini muncul pertengahan abad 19 sebagai reaksi terhadap kapitalisme. Ide dasarnya adalah untuk menciptakan kolektifitas dan kebersamaan atas penyelenggaraan ekonomi. Salah satu kontribusi positif ideologi ini adalah meratanya kesempatan berusaha, melalui kontrol negara terhadap sumberdaya. Tetapi, campur tangan negara yang berlebihan menyebabkan matinya kreatifitas dan kebebasan individu. SosiaKarl Marx (1818-1883) lisme kemudian tumbuh subur dalam paham marxisme yang anti kapitalis. Materialisme dialektika yang merupakan bagian filsafatnya marxisme (Karl Marx) sangat mem-

136

SAID MUNIRUDDIN

pengaruhi paham ini. Komunisme adalah anak yang lahir dari paham sosialis yang tidak bertuhan (atheisme). Jika “kapitalisme” dan “sosialisme” merupakan sebuah ideologi, bagaimana dengan “Islam”? Apakah ada yang namanya “ideologi Islam”? Apakah “Islam” itu sebuah “isme” (ideologi)? Untuk menjawab ini terlebih dahulu harus kembali dipahami arti dari “Islam” dan “ideologi”.

ISLAM DAN IDEOLOGI Definisi “Islam”. Apa itu “Islam”? Ada yang menjawab “selamat”, “damai”, atau “sejahtera”. Jawaban-jawaban seperti ini tidak salah, meskipun belum menyentuh makna mendasar. Jawaban umum lainnya, “Islam” adalah “sebuah agama yang diwahyukan kepada Nabi Muhammadsaw melalui malaikat Jibril guna disampaikan kepada ummatnya”. Definisi ‘sempit’ seperti ini sering diajarkan dalam kurikulum-kurikulum formal sejak di bangku sekolah. Meskipun tidak total salah, ada pemahaman lain tentang “Islam” yang lebih benar. Coba kita lihat kerancuan tersebut. Pertama, jika “Islam” adalah agama yang diwahyukan kepada Nabi Muhammadsaw, maka nabi-nabi sebelum Muhammadsaw beragama apa? Nabi Isa as, Nabi Musa as, Nabi Ibrahim as dan nabi-nabi Tuhan lainnya beragama apa? Ini akan membingungkan. Ada yang menjawab, sebelum Muhammadsaw adalah “agama tauhied”. Tapi bukankah tauhied itu akar dari “Islam”? Tauhied itu prinsip utama dari “Islam”. Tanya jawab akan semakin membingungkan. Lalu ada yang menjawab, “Nabi-nabi terdahulu menganut agama “Islam” yang belum disempurnakan”. Jika itu jawabannya, tetap saja beragama “Islam”, apakah sudah disempurnakan atau belum. Oleh sebab itu, memahami “Islam” sebagai islamisme atau mohammedanisme adalah salah, karena “Islam” itu visi dari langit bukan pandangan Muhammadsaw. Memaknai “Islam”sebagai “agama yang diturunkan kepada Muhammadsaw saja” juga salah. Karena berimplikasi bahwa nabi-nabi sebelumnya tidak memiliki agama, atau tidak

BAB 5 HMI dan Ideologi: “Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP)”

137

mempunyai hubungan keagamaan dengan Muhammad saw. Dan mustahil nabi-nabi tidak jelas agamanya, sementara mereka senantiasa menerima wahyu. Dan jawaban “Islam” adalah “agama yang turun sejak masa Nabi Muhammadsaw saja” menjadikan “Islam” sebagai agama baru, yang lahir 500 tahun setelah masehi. Bandingkan dengan agama-agama lainnya seperti Budha yang lahir 500 tahun sebelum masehi, atau Hindu yang lahir sekitar 2500 tahun sebelum masehi bahkan bisa lebih tua dari itu. Mengklaim “Islam” sebagai “agama Muhammadsaw saja”, menjadikan Muhammadsaw terpisah dengan agama nabi-nabi Tuhan sebelumnya. Singkatnya, menjadikan “Islam” sebagai “agama sejak masa Nabi Muhammadsaw” menyebabkan “Islam” menjadi agama baru, agama kemarin sore. Sementara definisi “agama” itu sendiri sebenarnya sangat menjebak. Karena “agama” sering diidentikkan dengan ajaran yang dibawa oleh seseorang untuk bangsa tertentu dan pada waktu tertentu. Sedangkan “Islam” sendiri seperti yang akan kita bahas selanjutnya, tidak demikian. “Islam” memiliki makna yang universal. Oleh sebab itu, perlu memahami “Islam” dalam makna paling mendasar. Salah satu caranya dengan kembali kepada berbagai penjelasan yang diberikan Kitab Suci. Apa kata alQur’an tentang “Islam”? Dalam alQur’an, “Islam” disebut dalam berbagai kata. Diantaranya: “muslimatan”, “muslimun”, “muslimin”, “muslimaini”, “aslama”, “aslamtu”, dan “aslim”. Semuanya diterjemahkan dengan “berserah diri”, “pasrah”, “tunduk”, atau “patuh” (Inggris: Submission to the will of God). Dari ayat-ayat alQur’an kemudian kita mendapatkan sejumlah informasi penting, bahwa: (1) Semua nabi dan pengikutnya adalah “Islam”. Ini dapat dibaca dalam QS. alBaqarah: 128 & 131 (Ibrahim dan Ismail “Islam”), QS. alBaqarah: 132-133 (Ibrahim dan anak-anaknya, serta Ya’qub dan keturunannya “Islam”), QS. Aali Imran: 52 dan QS. alMaidah: 111 (Isa dan pengikutnya kaum Hawariyyun “Islam”), QS. Yunus: 72 (Nuh “Islam”), QS. alBaqarah: 136 dan QS. Aali Imran: 84 (semua nabi dan rasul “Islam”);

138

SAID MUNIRUDDIN

(2) Semua kitab suci terdahulu mengajarkan “Islam”. Seperti tersebut dalam QS. alMaidah: 44 (Taurat beserta nabi-nabi, orang-orang alim dan pendeta-pendeta Yahudi mengajarkan “Islam”). Dengan demikian sudah jelas, semua nabi dan rasul memiliki “sikap pasrah” serta membawa ajaran “berserah diri” kepada Allah swt, yaitu “Islam”. Atas dasar inilah Ahmad Deedat (1918-2005) menjelaskan: “Seandainya Musa as hidup kembali, lalu dihadirkan di tengah-tengah kita untuk diajukan satu pertanyaan, “Wahai Nabi Allah Musa, agama apa yang engkau anut?” Kira-kira apa jawaban Musa? Akankah Beliau menjawab agama Judaisme seperti klaimnya orang-orang Yahudi? Tentu tidak. Musa tidak pernah mendengar kata itu selama hidupnya dan juga tidak ada nama agama Judaisme dalam kitab-kitabnya, baik dalam Taurat maupun Talmud. Jika demikian, apa agama Nabi Musa as? Jawaban yang akan Beliau berikan adalah, “agama saya adalah agama berserah diri, pasrah, tunduk dan patuh secara tulus dan ikhlas kepada Tuhan yang satu”. Satu kata untuk jawaban indah dan panjang ini, dalam bahasa arab disebut “Islam”. Suatu ketika Nabi Isa as kembali hadir ke dunia ini, kita akan mendapat satu kesempatan untuk bertanya, “Wahai Ruhullah Isa as, apa agama mu?”. Berharapkah kita mendengar Isa as menjawab ‘Kristen’? Tidak, karena kata ‘Kristen’ tidak pernah ada ketika Isa masih hidup. Kata ini berasal dari bahasa Yunani ‘Christos’, terjemahan dari ‘alMasikh’ atau ‘yang diberkati’. Kristus adalah nama Yunani yang diberikan untuk Isa setelah Isa tidak ada lagi. Jadi tidak mungkin Nabi Isa beragama Kristen karena agama ini sendiri tidak diberi nama oleh Isa, tetapi dilabelkan oleh orang lain yang tidak pernah ia kenal. Jadi apa agama Kristus? Jika ini nanti kita tanyakan kepada beliau, maka jawaban yang diberikan adalah, “agama saya agama berserah diri, tunduk dan patuh secara tulus dan ikhlas kepada

BAB 5 HMI dan Ideologi: “Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP)”

139

Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”. Jawaban indah dan panjang ini dalam bahasa arab disingkat dengan: “Islam”.9 Jadi, semua nabi adalah “Islam” dan membawa ajaran tentang “kepasrahan” kepada Allahswt. Dengan sikap ini diperoleh “kedamaian”, “keselamatan”, dan “kesejahteraan”. Semua yang ada di Alam secara Alamiah adalah “Islam”. Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah hanya manusia saja yang “Islam”? Ternyata alQuran memberikan informasi yang menarik:

“Maka apakah mereka mencari ketundukan (din) selain kepada Allah? Padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri (aslama) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allah-lah mereka dikembalikan.” (QS. Aali ‘Imran -3: 83). Ayat ini menjelaskan bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta, baik yang ada di langit maupun yang ada di bumi, tanpa kecuali, suka atau tidak suka, adalah “Islam” (berserah diri kepada Allahswt). Tidak hanya manusia; seluruh alam semesta (matahari, bulan, bintang, malaikat, jin, gunung, batu dan sebagainya) semuanya, suka tidak suka, tanpa kecuali, hidup dan berkembang sesuai hukum Allah swt (sunnatullah). Coba perhatikan, seluruh benda yang ada di alam semesta melakukan rotasi dari kanan ke kiri, berlawanan arah dengan jarum jam. Persis seperti orang-orang yang sedang melakukan thawaf, mengelilingi Ka’bah. Semua yang ada di alam semesta “tunduk patuh”, “terikat” pada hukum-hukum Tuhan yang menguasai alam semesta. Semuanya juga akan mati dan kembali hanya kepada Allahswt. Demikian juga dengan pertanggungjawaban, suka 9

A. Deedat. 1987. Islam, Judaism and Christianity, a Lecture in Geneve.

140

SAID MUNIRUDDIN

tidak suka, kelak juga harus dipertanggungjawabkan dihadapanNya. Sikap “pasrah”, “tunduk”, dan “patuh” secara total kepada hukumhukum kehidupan dan kematian yang telah di tetapkan Tuhan ini disebut “Islam”. “Islam”, Agama Universal. Dari semua penjelasan di atas dapat disimpulkan, “Islam” adalah ajaran atau agama universal. Setidaknya ada empat argumen untuk menjelaskan ini. Pertama, seperti tersebut pada ayat sebelumnya (QS. Ali ‘Imran -3: 83) seluruh isi alam, manusia dan non-manusia, secara alamiah “Islam”. Yakni, tunduk patuh pada hukum-hukum yang telah ditetapkan Tuhan (hukum alam). Kedua, ajaran Muhammadsaw bukan ajaran baru, melainkan kelanjutan ajaran nabi-nabi sebelumnya. Seluruh nabi mengajarkan hal yang sama, yakni tauhied10, hanya syari’atnya saja yang berbeda. Banyak dari ajaran Muhammadsaw juga kelanjutan dari spiritualitas Ibrahim11, serta kontinuitas dari syariat Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa12. Ketiga, Tidak seperti nabi-nabi sebelumnya yang memiliki mandat tugas terbatas kepada kaum tertentu saja, ajaran “Islam” yang diteruskan [1] “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Ilah (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku” (QS. alAnbiya -21: 25); [2] “Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Rabbmu, maka sembahlah Aku” (QS. alAnbiya -21: 92); [3] “Lalu Kami utus kepada mereka, seorang rasul dari kalangan mereka sendiri (yang berkata): “Sembahlah Allah oleh kamu sekalian, sekali-kali tidak ada Ilah selain daripada-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertaqwa?” (QS. alMukminun -23: 32). 11 “Katakanlah: "Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus, (yaitu) agama yang benar, agama Ibrahim yang lurus, dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang musyrik" (QS. alAn’am -6: 161); [2] “Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif.” dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan” (QS. anNahl -16: 123); [3] “Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Qur’an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong” (QS. alHajj 22: 78). 12 “Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya)” (QS. asSyuura -42: 13). 10

BAB 5 HMI dan Ideologi: “Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP)”

141

Muhammadsaw bersifat global, sebagai rahmat bagi semesta alam: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (QS. alAnbiya -21: 107). Keempat, “Islam” itu sendiri sebuah kata yang bersifat “universal”. Bandingkan dengan agama-agama lain. Judaisme misalnya, diambil dari kata “Yehuda” anak Nabi Ya’qub. Artinya, agama Yahudi adalah agama yang eksis karena adanya Yehuda. Mereka sebelum Yehuda dan yang tidak ada hubungan dengan Yehuda, tidak menjadi bagian dari agama ini. Maka dari itu, agama Yahudi sangat eksklusif. Kemudian Budha (yang tercerahkan), diambil dari nama atau gelar untuk “Siddharta Gautama”. Agama ini mengidentikkan diri dengan pendirinya. Artinya, sebelum pendirinya ada, agama ini tidak ada. Dengan demikian, agama ini menjadi agama yang terbatas karena ada awal batas waktu kelahirannya. Begitu juga dengan Konghucu, Zoroaster dan keyakinankeyakinan lainnya yang membatasi diri dengan nama pembawa ajarannya. Sementara Hindu membatasi dirinya dengan wilayah geografis. Hindu diambil dari kata “Shindu” yakni mereka yang menempati daerah Indus di barat laut India. Kata “India” diambil dari nama ini, sebuah wilayah tempat agama ini pada awal mulanya dipraktikkan. Dengan demikian, hindu adalah agama yang identik dengan wilayah Hindustan. Bagaimana dengan “Islam”? Kita tidak menemukan kaitan nama ini dengan nama seseorang atau suatu tempat. “Islam” bukanlah ajaran eksklusif yang diperkenalkan oleh Muhammad saw. Sehingga “Islam” tidak dapat dipersempit menjadi “mohammedanism” atau “mohammedans”, sebuah terminologi sempit yang coba dipopulerkan dalam berbagai kamus keagamaan. “Islam” juga bukan nama lain dari “Arab”. “Islam” adalah “Islam”, sebuah konsep universal untuk menggambarkan sikap “ketundukan”, “kepatuhan” atau “kepasrahan” kepada Tuhan Yang Esa, oleh siapapun, dimanapun dan kapanpun. Empat universalitas makna “Islam” ini menjadi alasan mengapa agama yang dianut oleh hampir seperempat populasi dunia dewasa ini (1.6 milyar orang) disebut “Islam Universal”. Dan segala sesuatu tentang “Islam”, pada wujud paling hakiki, termaktub dalam berbagai catatan wahyu, shuhuf, dan kitab agama-agama samawi. Untuk zaman terakhir ini, seluruh wahyu telah ter’up-date’ dalam alQur’an. Dalam kitab ini terkandung berbagai konsep dan praktik “kepasrahan”, baik yang

142

SAID MUNIRUDDIN

bersifat universal teoritis (keyakinan tentang eksistensi atau akidah) maupun yang universal praktis (tentang syari’ah dan akhlak). Segala sesuatu tentang wujud (Tuhan, alam dan manusia) dan beragam sikap “pasrah” baik lahir maupun batin terhadap wujud tersebut terdapat dalam alQur’an. Islam is all about Qur’anic Values. Segala sesuatu (prinsip-prinsip umum) tentang “Islam” ada dalam alQuran. Dengan demikian, “Islam” adalah “Wahyu”.13 “Islam” sebagai wahyu (dienullah) memiliki kelengkapan yang menjadi kebutuhan umum manusia, yang dapat dibagi dalam tiga dimensi: (1) Akidah (“teoritis imani”: konsep dan keyakinan tentang Tuhan,

alam dan manusia);

(2) Syari’ah (“praktis lahiriah”: tata cara berhubungan dengan

Tuhan, alam dan manusia: ibadah mahdah/personal dan ibadah ghairu mahdah/sosial/muamalah atau kemaslahatan umum); (3) Akhlak (“praktis batiniah”: moralitas, etika dan estetika hubungan dengan Tuhan, alam dan manusia). Pada dimensi yang pertama dan ketiga (akidah dan akhlak) terkandung “makna batin” (esoteris) dari “Islam”. Sedangkan pada yang kedua (syari’ah), terdapat “makna lahir” dari “Islam”. Dimensi “Esoteris” dari Islam adalah “Aqidah” dan “Akhlak”. Ayat “innaddina ‘indallahil Islam” paling sering dikutip untuk menjelaskan tentang “apa itu Islam”. Pada ayat ini terdapat makna esoteris (batin) dari pasrah atau “Islam”.

“Sesungguhnya patuh (din) yang benar di sisi Allah (indallah) adalah dengan cara berserah diri kepadaNya (Islam).” (QS. Aali ‘Imran -3: 19).

13

‘Catatan’ tambahan tentang ajaran langit ini juga terdapat pada kepribadian Muhammad saw (asSunnah). Namun beliau telah tiada. Sunnah merupakan petunjuk tambahan, ‘contoh hidup’ dari nilai-nilai alQur’an. Namun jika ada sunnah atau hadist yang berseberangan dengan alQuran, kita disuruh memilih alQur’an. Karena level keabsahan sunnah atau hadist beragam. Pada dasarnya tidak ada perbedaan antara kandungan alQuran dengan kepribadian Muhammadsaw. Hanya saja jalur periwayatan menyebabkan adanya perubahan, perbedaan, bahkan pemalsuan sunnah. Hanya teks alQuran yang terjamin otentisitasnya.

BAB 5 HMI dan Ideologi: “Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP)”

143

Pada sisi paling substantif, secara esoteris, “Islam” adalah sebuah “agama” atau “sikap patuh batin” berupa ke-pasrah-an total kepada Tuhan, dalam bentuk akidah (imani) dan akhlak (batiniah/spiritual). Pertama, dari sisi akidah, “pasrah” (Islam) atau tidaknya seseorang kepada Kebenaran tergantung sejauh mana ia memiliki keyakinan tentang keberadaan wujud, terutama Tuhan (teoritis imani). Sehingga, “kepatuhan” yang benar (din) disisi Tuhan sangat tergantung sejauh mana seseorang memiliki kesadaran akal tentang segala Iman/Aqidah/Tauhied eksistensi termasuk Tuhan. Tidak mungkin seseorang disebut memiliki “agama” atau “kepatuhan yang benar” (din), jika sikap pasrah kepada Tuhan hanya bersifat fanatisme atau ikutikutan. Sikap pasrah kepada kebenaran (“Islam”) harus dimulai dengan ma’rifah, yaitu pemahaman yang benar terhadap segenap eksistensi termasuk Wujud Mutlak. Karena pandangan universal keimanan merupakan sistem pengetahuan tentang segala eksistensi (worldview), maka ma’rifah terhadap Pandangan Dunia Ilahiyah dibangun dengan bantuan wahyu (alQuran) dan penggunaan segenap potensi intelek. Seseorang baru dapat dikatakan telah menjadi muslim ketika sudah beriman, atau sudah mempunyai sistem keyakinan rasional (teoritis) tentang semua eksistensi, termasuk diri sendiri dan Tuhan. Dalam sebuah hadist disebut sebagai “telah mengenal diri dan Tuhan”, man ‘arafa nafsahu ‘arafa rabbahu. Pada iman yang rasional ini terdapat pemahaman yang benar tentang Tuhan dan segala hukum (qadar) yang menguasai alam dan manusia. Dari kesadaran rasional tauhied ini tumbuh kesadaran akan adanya keadilan Tuhan yang memberi petunjuk kepada manusia melalui para nabi-Nya. Juga terdapat kesadaran rasional lain tentang kefanaan dunia serta kesempurnaan dan kebahagiaan abadi (akhirat) yang menjadi tujuan semua hamba. Semua ini merupakan “prinsip-prinsip umum iman” (ushul atau akidah) tentang Tuhan, alam dan manusia.

144

SAID MUNIRUDDIN

Kedua, dari akidah atau pandangan keimanan yang rasional terhadap Tuhan, alam, dan manusia terbangun akhlak; yang juga sebuah bentuk “kepasrahan spirituAkhlak al” atau “sikap praktis batiniah” terhadap semua eksistensi, terutama Tuhan. Berikut contohcontoh akhlak yang lahir dari kesadaran rasional-spiritual (fitrah) atas eksistensi Tuhan, alam, dan manusia: Mendemontrasikan nikmat (syukur), gembira kepada Allah (ridha), berfikir positif (husnudzan), berserah diri (tawakkal), selalu ingat kepadanya (dzikr), berusaha untuk mendekat (taqarrub), cenderung pada perilaku fitrah (khair), memiliki kesadaran rasional (ilm), kecepatan dan kejernihan batin untuk memahami (fahm), kepatuhan batin kepada kebenaran (taslim), kepatuhan formal pada kebenaran (istislam), takut sekaligus cinta kepada-Nya (taqwa), takut terhijab dari Allah (rahbah), berjiwa merdeka (ikhlas), berperilaku baik (ihsan), tidak suka menyakiti (dhalim), berkepribadian seimbang (adil), tidak berlebih-lebihan (tabzier), tidak pamer (riya’), tidak memakan yang bukan hak (riba), bertanggungjawab (taklif), menjaga kesucian (iffah), tidak cinta atau terpaut hati dengan dunia (zuhud), mencintai kesempurnaan dan keindahan (alkamal wal jamal), penuh harapan pada rahmat-Nya (raja’), menahan diri dari mengeluh dan kecemasan batin (sabr), terus mencari dan menggali (ilmu), teguh dan hati-hati dalam berurusan (tu’adah), rendah hati (tawadhu), sabar dan bijaksana (hilm), toleran (tasamuh), bersikap ramah dan harmonis (rifq), suka menolong (ta’awun), mema’afkan (shafh), diam dari bicara tidak karuan (shamt), tidak merusak (fasad), menerima kebenaran serta meyakininya dengan kuat dan pasti (tasdiq), penuh belas kasih dan penyayang (ra’fah dan rahmah) dan banyak lainnya; termasuk meniru akhlakakhlak terbaik dari Dzat Yang Maha Mutlak seperti rahman, rahim, dan seterusnya. “Kepasrahan” kita kepada alam dan manusia pada prinsipnya merupakan bagian “kepatuhan” kepada Tuhan dan hukum-hukumNya. Hakikat pasrah yang sesungguhnya adalah kepada Tuhan. Namun kita memberi pengakuan adanya sunnatullah (qadar) yang menguasai alam dan masyarakat. Misalnya, ada hukum-hukum fisika yang kita harus taati karena memang sifatnya given, ketentuan Tuhan. Demikian juga

BAB 5 HMI dan Ideologi: “Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP)”

145

“kepasrahan” (ketundukan) kita kepada hukum-hukum yang menguasai masyarakat, termasuk nilai-nilai ikhlas, adil dan ihsan yang menjadi fondasi kemajuan peradaban; pada prinsipnya juga sebuah bentuk “kepasrahan” kita kepada hukum tasyri’i universal yang telah ditetapkan Tuhan. Namun “pasrah” kepada hukum-hukum ini tidak bermakna “perbudakan”, melainkan pengakuan akan sifatnya yang objektif (pasti). Karena objektifitasnya maka hukum-hukum ini dapat dimengerti dan dimanfaatkan untuk kemajuan manusia. Makna “Eksoteris” dari Islam adalah “Syariat”. Disamping “Islam” dalam makna esoteris (batin) diartikan sebagai “sikap pasrah” atau “tunduk patuh secara tulus ikhlas” kepada Allahswt, “Islam” juga terdefinisikan dalam sebuah pengertian eksoteris (lahir). Dasarnya sama, QS. Ali Imran ayat 19, yang diartikan secara langsung: “Sesungguhnya agama disisi Tuhan adalah agama Islam”. Disini, “Islam” diartikan sebagai sebuah “agama formal” dengan berbagai “syariat lahiriah”; tidak lagi sebatas “kepasrahan batin” dalam wujud “imani” (akidah) dan “sikap spiritualitas/batiniah” (akhlak). Dalam pengertian eksoteris ini, “Islam” adalah sebuah “institusi agama” dengan sejumlah “ritual fisik”. Dalam konteks ini, ke-Islam-an seseorang diukur dari ketaatan terhadap berbagai wujud ibadah formal. Misalnya, seseorang baru dinyatakan sah “beragama Islam” jika telah “mengucap” dua kalimah syahadat, serta melaksanakan sejumlah “kewajiban formal” lainnya. Tidak dapat disalahkan pengertian Islam yang teknis ini, karena dalam sebuah Hadist disebutkan: “Islam adalah bahwasanya engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah dan bahwa sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, engkau menegakkan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan shaum Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji ke Baitullah” (HR. Muslim). Ada manfaat duniawi tertentu dari makna “Islam” yang teknis-formalbirokratis ini. Misalnya, seseorang berhak mendapat perlakuan sesuai hukum-hukum Islam selama memiliki KTP Islam. Untuk kepastian penerapan syariat dan hukum-hukum Islam, “formalisasi Islam” sebagai

146

SAID MUNIRUDDIN

sebuah agama dirasa menjadi kebutuhan. Meskipun dalam pemahaman sufistik, seorang muslim belum dapat disebut “Islam” jika masih mengotori jiwanya dengan korupsi, manipulasi, kejahatan kemanusiaan, dan perilaku tidak bermoral lainnya. Bagaimana mungkin dikatakan sudah “berserah diri” kepada Allahswt secara tulus ikhlas (Islam) meskipun bersyahadat dan shalat setiap hari; sementara otak, hati dan perilakunya masih dilumuri kebatilan, kejahatan, keburukan, kejelekan, kemungkaran, kesyirikan, kekufuran, kemunafikan, dan kedhaliman. Karena secara ukhrawi, Islam lebih mementingkan isi daripada kulit (substance over form). Ber-Islam hanya punya nilai jika disertai pengetahuan akal dan kesadaran batin (aqidah) serta dilandasi nilainilai ihsan (akhlak) seperti tersebut dalam himne HMI: syukur dan ikhlas. Idealnya, totalitas Islam adalah integrasi lahir-batin: aqidah, syariah dan akhlak. Namun dalam perspektif parsial syariat, “merek Islam” sudah disandang oleh seseorang jika “kulit luar” keagamaan (seperti syahadat) sudah dilakukan. Dan dianggap akan lebih ‘islami’ jika semua komponen syari’at (sholat, puasa, zakat, haji) ikut dikerjakan. Pada konteks syariah inilah, “agama yang benar” adalah “agama yang secara formal” bernama -atau memiliki syariat- Islam. Yaitu agama yang ibadah mahdhah dan ibadah muamalah-nya dioperasionalkan berdasarkan hukum-hukum formal Islam (alQuran, asSunnah, dan pemikiran-pemikiran/hasil ijtihad dari keduanya). “Islam Agama Sempurna” (Kaffah): Kumpulan Harmonis Nilai-Nilai yang Berlawanan. Sebagaimana Tuhan disebut sebagai Realitas Yang Sempurna, karena pada Dirinya terletak perpaduan sempurna dua kumpulan sifat yang bertentangan jalaliyah (tegas) dan jamaliyah (lembut), “Islam” juga demikian. AlQur’an menjadi kitab yang agung ketika secara serasi memadukan keseluruhan nilainilai yang bertentangan (esoteris-eksoteris, feminin-maskulin, jamal-jalal) sebagai wujud dari kepribadiannya. Sehingga “Islam” menjadi dinul kamil, agama yang memadukan ‘berbagai pintu’ atau ‘jalan-jalan kecil’ menjadi ‘satu pintu’ atau ‘jalan besar’ yang mengarahkan dan mempermudah manusia menuju Kebenaran.

BAB 5 HMI dan Ideologi: “Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP)”

147

Ada ulama yang memaknai “Islam” hanya dalam aspek esoteris (sikap “pasrah” dari batin). Sebagian lainnya mendefinisikannya dalam pemahaman eksoteris yang kaku (sebagai “agama formal”). Termasuk dalam kelompok pertama adalah ulama-ulama sufi tertentu. Agama bagi mereka lebih kepada dimensi personal, urusan pribadi. Mereka cenderung kepada pendekatan “kasih sayang” Isa as. Bagi mereka, “Islam” hanya sebuah thariqah untuk penyempurnaan akhlak personal, bukan untuk mengatur ranah publik. Ditengah kelompok ini terdapat orang-orang aneh, sikap “pasrah” dianggap cukup hanya dengan ‘eling’ (dzikir hati) dan punya kepribadian yang baik; tanpa perlu lagi beribadah secara formal. Sedangkan bagi kelompok kedua, yang terdiri dari ulama-ulama syariat tertentu, “Islam” adalah sekumpulan hukum-hukum syariah; mulai yang teoritis sampai kepada detil praktis fiqihnya. Bagi mereka, agama hanya sebatas “aturan-aturan” terhadap kehidupan individu dan sosial yang punya kekuatan untuk memaksa dan menghukum masyarakat. Mereka mengadopsi sifat “keras” dan “tegas” ajaran Musa as. Dalam kelompok ini ada yang ekstrim, menganggap ber-“islam” cukup hanya dengan praktik-praktik terluar saja, serta menganggap asketisme atau mistisisme (praktik-praktik kebatinan) sebagai khurafat, takhayul, atau bid’ah. Alhasil, tidak satupun dari dua kutub radikal ini mencapai kesempurnaan ideologi. Sebab, “Islam” itu kumpulan dari semua dimensi “lahir” (syari’ah: ibadah individual dan ibadah muamalah) dan “batin” (aqidah/tauhied imani, serta akhlak praktis/ irfani). Kumpulan dari keseluruhan dimensi ‘Musa’ dan ‘Isa’ inilah yang membentuk “Islam sempurna”14, Islam kaffah15, “Islam” yang didakwahi oleh the seal of the prophets.16 Pada “Islam”-nya Muhammadsaw, terpadu dua arus besar tauhied (akhlak dan syariah) sehingga menjadikan “Islam” yang kita anut hari ini sebagai “Islam” yang batin sekaligus dhahir, sufistik sekaligus syariat, ‘agama personal’ sekaligus ‘mainstream politik

“… Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku ridhai Islam jadi agama bagimu…” (QS. alMaidah -5: 3). 15 “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian kepada Islam secara kaffah (menyeluruh), dan janganlah kalian mengikuti jejak-jejak syaithan karena sesungguhnya syaithan adalah musuh besar bagi kalian” (QS. alBaqarah -2: 208). 16 “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” QS. alAhzab 33: 40). 14

148

SAID MUNIRUDDIN

kenegaraan dan perekonomian’. Meninggalkan salah satu sisinya akan membuat ke-“Islam”-an kita jadi cacat. Manusia sendiri sebagai ciptaan terbaik Tuhan merupakan kumpulan dualitas (keserba-duaan): “ruh” dan “material”, “yang dalam” dan “yang luar”, “batin” dan “dhahir”, “yin” dan yang”, “feminin” dan “maskulin”, “pasif” sekaligus “aktif”. Kumpulan harmonis semua sisi yang bertentangan inilah yang membentuk insan kamil. Yin dan Yang

“Islam” juga demikian, kumpulan dua sisi berlawanan: “sisi pasif” (batin) dan “sisi aktif” (dhahir) dari alQur’an. Pada satu sisi, “Islam” mengandung arti ‘pasif’: “tunduk” atau “pasrah” kepada Allahswt. Artinya, dalam pendakian menuju kesempurnaan dan kebahagiaan, ketika telah berhasil mendapat pandangan akidah (worldview) yang benar, maka pilihan rasionalnya adalah bersikap patuh kepada doktrindoktrin akidah tersebut (alQur’an). Menjadi muslim yang baik harus dengan bersikap ‘pasif’, ‘diam’: tidak boleh membantah petunjuk dan perintah Tuhan (alQur’an). Pada aspek ini, “Islam” dipahami sebagai “agama doktriner imani”. Orang-orangnya dibangun kesadaran untuk menjadi pasukan yang berakidah, disiplin dan taat (cinta) kepada Atasan Yang Maha Tinggi. Pada sisi lain, “Islam” dipahami sebagai “syariat” dan “thariqat” yang bermakna “jalan” menuju sumber mata air. Sebagai sebuah ‘jalan’, tentu tidak pernah diharapkan orang-orang yang berada di atasnya memiliki sikap pasif, karena akan terlindas oleh roda. Pada definisi ini, “Islam” merupakan sesuatu yang dinamis. Untuk memperoleh pengetahuan dan kemajuan, setiap muslim harus terus bergerak, aktif, dan tidak boleh diam. Terutama dalam aspek “kemaslahatan umum” (muamalah), “Islam” merupakan agama protes dan perubahan. Disini, “Islam” telah menjadi “agama doktriner amali”. Orang-orangnya ditanamkan nilai-nilai untuk menjadi ‘jenderal-jenderal’ yang memimpin jihad menumpas kebatilan, serta aktif mengorganisir masyarakat untuk membangun kebaikan. Sebagai “agama aktif”, Islam adalah agama amar ma’ruf nahi munkar, agama penegakan keadilan dan ihsan, agama anti korupsi. Inilah dualitas “Islam”, sebuah agama kemanusiaan yang ‘pasif’ sekaligus ‘aktif’. ‘Pasif’ dalam memahami, serta ‘aktif’ dalam mencari. ‘Pasif’ (reseptif) bukan berarti ‘pasif total’ dalam artian negatif (apatis),

BAB 5 HMI dan Ideologi: “Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP)”

149

melainkan “kekuatan untuk menerima”.17 ‘Aktif’ juga tidak berarti “pamer”, melainkan “kekuatan untuk memberi”. Pasif dan aktif pada hakikatnya sama saja, tergantung kesiapan seseorang untuk memulainya. Sama seperti berbicara atau merenung, nilainya sama, tergantung situasi dan kebutuhan. Keseimbangan dua perilaku ‘pasif’ dan ‘aktif’ ini yang menyempurnakan ke-“Islam”-an seseorang. Karena anda tidak akan pernah mendengar ‘suara Tuhan’ jika anda terlalu banyak bicara. Manusia juga tidak akan pernah mendengar anda jika anda diam saja. Inilah “Islam”, agama ka’bah. Agama yang berada pada titik keseimbangan, yang mendamaikan atau merekonsiliasi berbagai ‘sudut’ atau ‘kutub’ yang berlawanan. ‘Pasif’ dan ‘aktif’ merupakan dua unsur yang saling melengkapi, yang berpartisipasi dalam mengumpulkan pengetahuan. Atas konsepsi inilah, training-training perkaderan untuk organisasi seperti HMI dapat dirancang. Siang hari digunakan untuk mendedah fungsi-fungsi intelek secara aktif-argumentatif, malamnya digunakan untuk pengayaan yang bersifat pasif-kontemplatif, Siang diperkuat dengan metode-metode rasional-filosofis (otak), sementara malam diperkaya dengan dimensi spiritual-mistis (qalbu). Ada keseimbangan antara dimensi eksoteris (dhahir) dengan esoteris (batin). Sedangkan dalam kehidupan nyata, seorang kader Islam, idealnya,, siang hari aktif bekerja -yang digambarkan dengan “mengaum-ngaum seperti singa”. Malamnya pasif terdiam dalam ibadah -yang dilukiskan dengan “menitikkan air mata didepan Tuhan, seperti bayi yang mengharap cinta ibunya”. ‘Aktif’ sekaligus ‘pasif’. Dhahir sekaligus batin.

Simbolisme Agama-Agama

17

Apakah Semua Agama Sama? Pertanyaan ini sangat polemis, karena berkaitan dengan konsep “pluralitas” vs. “pluralisme”. Jika sebatas mengakui eksistensi (adanya) agama yang begitu banyak muncul di muka bumi, maka disebut

L. Bakhtiar. 2008. Mengenal Ajaran Kaum Sufi: dari Maqam-Maqam hingga Karya Besar Dunia Sufi, Penerj. Purwanto, hal. 41-44. Penerbit Marja: Ujungberung.

150

SAID MUNIRUDDIN

dengan “pluralitas” (pengakuan akan kemajemukan agama-agama). Pada tahap ini tidak ada keributan. Tetapi, ketika menganggap semua agama yang majemuk itu pada prinsipnya “sama” (yaitu esensinya samasama menuju Tuhan), ini sama dengan mengakui kebenaran semua agama, atau “pluralisme”. Apakah semua agama benar? Sebagaimana tersebut dalam QS. Aali Imran -3: 19) bahwa agama (din) yang benar disisi Allahswt adalah yang menunjukkan sikap berserah diri secara benar (Islam). Dengan demikian, semua “agama (din) yang benar” disisi Allahswt adalah semua yang menunjukkkan sikap kepasrahan -baik batin maupun lahir- kepada Tuhan (dalam wujud aqidah, syariat, dan akhlak). Apapun nama agamanya, siapapun orangnya, selama memiliki sikap “tunduk patuh”, “pasrah” atau “berserah diri” kepada Allah swt (dalam tiga dimensi Islam ini) maka semuanya Islam. Dengan demikian, semua agama yang memiliki akidah, syari’at, dan akhlak yang benar adalah agama Islam. Jadi benar, “semua agama yang benar” adalah agama Islam. Pertanyaannya, apakah semua agama “benar”? Semua agama “sama”, kelihatannya “iya”. Yaitu ‘sama-sama’ menyuruh pada kebenaran dan kebaikan. Tetapi tidak semua agama sama dan benar. Karena ukuran kebenaran juga diukur dari keutuhan ideologi: (1) Mempunyai Pandangan Dunia Ilahiyah (akidah) yang benar; (2) Memiliki ketaatan menjalankan semua konsekwensi dari percaya kepada-Nya berupa ‘kepasrahan praktis’ atau ‘kepasrahan lahir’ dalam bentuk syari’ah (ibadah formal dan muamalah) secara baik dan benar, serta; (3) Memiliki ‘sikap kepasrahan batin’ kepada Tuhan (akhlak) secara benar pula. Artinya, pada level prinsip (ushul) sebuah agama harus memiliki sistem pengetahuan teoritis yang benar (iman atau aqidah) tentang Tuhan, Nabi, dan Ma’ad (hari kebangkitan). Serta pada level praktis memiliki ketaatan lahir dan batin (syariat dan akhlak) untuk menjalankan semua amalan sebagai konsekwensi dari percaya kepada-Nya. Berkaitan dengan Pandangan Dunia Ilahi tentang Tuhan. Pada prinsip paling umum ini, apakah semua agama mengakui “Tuhan ada”? Mungkin semua menjawab “iya”, kecuali kaum materialis. Pada prinsip turunannya, jika Tuhan ada, apakah agama-agama tersebut mempercayai Dia itu “Esa?”. Bagaimana dengan yang meyakini “Tuhan banyak”, “Tuhan Tiga”,

BAB 5 HMI dan Ideologi: “Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP)”

151

“Tuhan Satu tapi Tiga”, “Tuhan Tiga tapi Satu”, dan sebagainya. Bisakah dikatakan politeisme sebagai agama atau ideologi yang benar? Tentu konsepsi “Three in One” mengalami deviasi dari Pandangan Dunia Tauhied, sehingga menyebabkan agama-agama seperti itu layak berada dalam kategori “ideologi benar bercampur salah” sampai kepada “ideologi palsu”. Pandangan universal ideologis lainnya yang menentukan “kebenaran” sebuah agama adalah pengakuan terhadap nubuwwah, atau rentetan para nabi sampai kepada Muhammadsaw, termasuk wahyu (kitab) yang dibawanya sebagai kebenaran. Apakah semua agama hari ini punya pandangan bahwa Muhammadsaw merupakan seorang nabi utusan Allahswt? Jika iya, maka agama itu secara prinsipil worldview-nya sudah ter-update. Jika tidak, maka agama itu sudah expired (untuk tidak mengatakan “salah”). Dan apakah semua agama bersyahadah kepada Beliau? Jika iya, maka secara ideologis praktis sudah benar. Jika tidak, maka agama itu lagi-lagi ‘belum ter-update’. AlQur’an bahkan menghukum ‘kafir’ orang-orang yang mengingkari Muhammadsaw.18 Namun tidak berarti berbeda keyakinan mengharuskan kita berkonflik, kecuali dengan siapa saja yang berperilaku dhalim tanpa memandang akidah. Itulah mengapa seluruh nabi dan rasul sebelum Muhammadsaw, beserta pengikut-pengikut mereka, memiliki Pandangan Dunia Ilahiyah tentang eksistensi Muhammadsaw jauh sebelum Muhammadsaw lahir. AlQur’an menceritakan bagaimana para Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani), mengetahui kedatangan Muhammadsaw, meskipun sebagian mereka menutup-nutupinya:

“Orang-orang yang telah Kami beri al-Kitab mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian diantara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui.” (QS. alBaqarah -2: 146).

18

[1] “Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah akan mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [2] “Katakanlah: ‘Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir" (QS. Ali ‘Imran -3: 31-32).

152

SAID MUNIRUDDIN

Muhammad dalam Bible “Song of Solomon 5:16”

Pada ayat lain dijelaskan, semua nabi terdahulu bersyahadah kepada Muhammadsaw yang akan muncul setelah mereka. Mereka diberitahukan Tuhan, bahwa Muhammadsaw akan datang guna membenarkan apa yang mereka bawa sekaligus menyempurnakan ajaran-ajaran mereka.

“Dan ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi: "Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya". Allah berfirman: "Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?" Mereka menjawab: "Kami mengakui." Allah berfirman: "Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu" (QS. Aali Imran -3: 81). Umat-umat terdahulu, seperti pengikut-pengikut setia Nabi Isa as, telah mengenal sosok Nabi dan Rasul terakhir bernama Ahmad (Muhammad):

“Dan (ingatlah) ketika ‘Isa Putera Maryam berkata: “Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad”. Maka tatkala Rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: “Ini adalah sihir yang nyata” (QS, asShaf -61: 6).

BAB 5 HMI dan Ideologi: “Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP)”

153

Bahkan Budha (Siddharta Gautama) dan kitab-kitab hindu mengakui kerasulan Muhammadsaw sebagai nabi akhir zaman.19 Para nabi dan rasul terdahulu yang tersebar di berbagai tempat 20, yang sebagian besar nama-nama mereka tidak disebut dalam alQuran21, dengan kitabnya masing-masing22, yang disampaikan dalam bahasa kaumnya23, mengakui kerasulan Muhammadsaw. Sebuah hadist menjelaskan tentang banyaknya nabi dan rasul, serta kitab-kitab yang dibawa mereka: Abu Dzar -semoga Allah mengasihinya- berkata, “Ketika aku masuk ke masjid, Rasulullah sedang duduk sendirian. Maka akupun memanfaatkan kesendirian Beliau dan bertanya, “Wahai Rasul Allah! Ada berapa jumlah nabi?” Beliau menjawab, “124.000”. Aku bertanya, “Ada berapa jumlah rasul?” Rasul menjawab, “Semuanya ada 313”. Aku bertanya lagi, “Siapakah nabi pertama?” Beliau menjawab, “Adam.” Aku bertanya lagi, “Apakah dia seorang rasul Muhammad tersebut dalam berbagai kitab Buddha dalam berbagai nama, seperti: “Antim Budha” (orang bijak terakhir) dan “Maitreya” (penyayang). Sementara dalam kitab Samveda Hindu dikenal dengan “Ahamidhi” dan “Girish” (orang yang tercerahkan di gunung). Atharvaveda menyebutnya “Mamaha”. Diberbagai mantra Hindu lain menamainya “Narashangsa” (yang terpuji), “Antim Rishi” (orang bijak terakhir), “Kalki Avatar” (orang bijak akhir zaman). Baik dalam Weda dan Purana, ciriciri Muhammad diberikan secara rinci, seperti: lahir di “Shambal” (dekat air –sumur zamzam), ayahnya bernama “Visnu Yash” (hamba Tuhan/Abdullah), dan sebagainya. 20 [1] Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin” (QS. atTaubah -9: 128); [2] Tiap-tiap umat mempunyai rasul; maka apabila telah datang rasul mereka, diberikanlah keputusan antara mereka dengan adil dan mereka (sedikitpun) tidak dianiaya” (QS. Yunus -10: 47), [3] Dan sesungguhnya kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah saja, dan jauhilah taghut’, maka diantara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula diantaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan.” (QS. anNahl -16: 36; [4] “Sesungguhnya kami mengutus kamu dengan membawa kebenaran sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan”. Dan tidak ada suatu umatpun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan” (QS. alFathir -35: 24). 21 Banyak sekali jumlah nabi dan rasul yang telah diutus Tuhan ke bumi. Sementara kita hanya mengetahui (diberitau) sekitar 25 dari mereka: [1] “Dan ada beberapa rasul yang telah Kami kisahkan kepadamu sebelumnya dan ada beberapa rasul yang tidak Kami kisahkan mereka kepadamu. Dan kepada Musa, Allah berfirman langsung” (QS. anNisa -4: 164); [2] “Dan sungguh kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad), diantara mereka ada yang kami ceritakan kepadamu dan diantaranya ada yang tidak kami ceritakan kepadamu....” (QS. alMukmin -40: 78). 22 “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. Dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mukjizat) melainkan dengan izin Allah. Bagi tiap-tiap masa ada Kitab (yang tertentu)” (QS. arRa’du -13: 38). 23 “Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dia-lah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana” (QS. Ibrahim -14: 4). 19

154

SAID MUNIRUDDIN

diantara para nabi?” Beliau menjawab, “Ya, Allah menciptakannya dengan tangan-Nya [kekuasaan-Nya] dan meniupkan baginya dari ruh-Nya.” Lalu beliau melanjutkan, “Wahai Abu Dzar, 4 nabi diantara para nabi adalah orang-orang Siryani; yaitu Adam, Syits, Idris dan Nuh, salam atas mereka. Sementara 4 dari mereka adalah orang Arab: Hud, Shalih, Syu’aib dan nabimu Muhammad. Nabi pertama dari Bani Israil adalah Musa dan yang terakhir dari mereka adalah Isa, dan ada 600 nabi diantara mereka.” Aku berkata, Wahai Rasulullah, berapa kitab yang telah Allah turunkan?” Beliau menjawab, “104 kitab. Dia menurunkan 50 suhuf kepada Syits, 30 suhuf kepada Idris, dan 20 suhuf kepada Ibrahim. Dia juga menurunkan Taurat, Injil, Zabur, dan Furqan”.24 Namun banyak dari kitab dan ajaran nabi-nabi sebelumnya yang ditolak dan diselewengkan oleh para pengikutnya.25 Kebanyakan mereka telah terjerumus dalam syirik, menafikan keberadaan Allah Yang Esa. Ada yang mengangkat malaikat-malaikat sebagai dewa-dewa atau anak-anak Tuhan.26 Tidak hanya mereka berani menolak Muhammad saw dan kebenaran alQur’an yang dibawanya, mereka bahkan berani dan pernah membunuh nabi-nabi mereka sendiri.27 Bagi semua nabi dan para pengikutnya, pengakuan keberadaan Muhammadsaw merupakan indikator keimanan. Karena Muhammad saw merupakan puncak atau hakikat kenabian. Semua nabi-nabi terdahulu merupakan bagian dari citra Muhammad saw. Maka mengingkarinya merupakan sebuah kekufuran. Sementara berdoa dan memujinya dalam

“Al-Qishal”, 2, 525 dalam M.M. Qaim. The Gospel of Ali, hal. 25-26, Penerbit Citra: Jakarta, 2005. Hadis serupa juga diriwayatkan oleh Ahmad dan dishahihkan oleh Syaikh Albani. Namun terdapat pendapat lain dari sebagian ulama yang menyatakan bahwa jumlah Nabi dan Rasul tidak dapat kita ketahui, banyak sekali. 25 [1] “Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka merobahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui?” (QS. alBaqarah -2: 75); [2] “Yaitu orang-orang Yahudi, mereka merobah perkataan dari tempat-tempatnya. Mereka berkata: `Kami mendengar`, tetapi kami tidak mau menurutinya. Dan (mereka mengatakan pula): `Dengarlah` semoga kamu tidak dapat mendengar apa-apa. Dan (mereka mengatakan): `Raa ina` dengan memutar-mutar lidahnya dan mencela agama. Sekiranya mereka mengatakan: `Kami mendengar dan menurut, dan dengarlah, dan perhatikanlah kami`, tentulah itu lebih baik bagi mereka dan lebih tepat, akan tetapi Allah mengutuk mereka, karena kekafiran mereka. Mereka tidak beriman kecuali iman yang sangat tipis” (QS. anNisa’ -4: 46). 26 “Dan mereka berkata: “Yang Maha Pemurah telah mengambil (mempunyai) anak”, Maha Suci Allah. Sebenarnya (malaikat-malaikat itu) adalah hamba-hamba yang dimuliakan” (QS. Anbiya -21: 26). 27 Dan apabila dikatakan kepada mereka: `Berimanlah kepada Al quran yang diturunkan Allah`. Mereka berkata: `Kami hanya beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami`. Dan mereka kafir kepada alQuran yang diturunkan sesudahnya, sedang alQuran itu adalah (Kitab) yang hak; yang membenarkan apa yang ada pada mereka. Katakanlah: `Mengapa kamu dahulu membunuh nabinabi Allah jika benar kamu orang-orang yang beriman? (QS. alBaqarah -2: 91). 24

BAB 5 HMI dan Ideologi: “Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP)”

155

bentuk sholawat, sebagaimana diperintahkan Tuhan, termasuk dimensi praktis ideologis dari iman. Sebuah hadist menjelaskan: “Lebih dari yang lain, aku ini terlihat seperti Adam. Sedangkan Ibrahim, lebih dari pada yang lain, tampak seperti aku. Sikapnya terhadap orang sama seperti sikapku. Allah, dari ‘Arasy-Nya, memberiku sepuluh nama dan menyampaikan kabar gembira tentang kedatanganku kepada setiap rasul yang diutus-Nya. Dalam Taurat,dan al-Kitab, Dia menyebutkan namaku dan mengajari aku berbicara yang bagus lagi menarik. Dia membesarkan aku di langit-Nya, dan menamaiku dengan nama yang diambil dari salah satu nama-Nya sendiri. Dia menyebutku ‘Muhammad’, sementara Dia sendiri adalah ‘Mahmud’. Dan benihku disarikan dari sebaik-baik ummatku. Dan dalam Taurat menyebutku ‘Ahid’, karena melalui tauhid Dia mengharamkan raga ummatku untuk disentuh api neraka. Dalam alKitab Dia menyebutku ‘Ahmad’, karena akulah yang lebih dipuji oleh penghuni langit (ketimbang penghuni bumi). Dia jadikan ummatku ‘hamidin’ (orang-orang yang memanjatkan pujian untukku). Dalam Mazmur (Zabur) Dia menyebutku ‘Mahi’, karena melalui aku Allah Ta’ala melenyapkan penyembahan berhala. Dan dalam al-Qur’an Dia menamakanku ‘Muhammad’, karena pada Hari Pengadilan, masa ketika keputusan akan dikeluarkan, semua memanjatkan pujian untukku….”28 Meskipun yang mengingkari kerasulan Muhammad saw mendapat label ‘kafir’, umat Islam diperintahkan untuk mengutamakan akhlak dengan tidak dibenarkan bersikap ekstrim terhadap mereka yang berbeda keyakinan.29 Meskipun berbeda, kita dianjurkan membangun persaudaraan universal (universal brotherhood). Manusia diciptakan bersuku bangsa untuk saling mengenal. Yang paling mulia tentu yang paling bertaqwa paling bagus iman, ilmu dan amalnya.30 Karena gelar ‘kafir’ tidak hanya disemat untuk mereka yang berbeda akidah dengan kaum muslim. Seorang muslim yang tidak berakhlak, tidak berperilaku baik, atau tidak taat kepada nilai-nilai alQur’an juga dijuluki Allahswt sebagai ‘kafir, dan “Universal Brotherhood” dijanjikan azab kepada mereka’: Y.T Al-Jibouri. 2003. Konsep Tuhan Menurut Islam, cetakan 1, hal. 555-556. Penerbit Lentera: Jakarta. “Lakum diinikum waliyadiin” (QS. alKafirun -109: 6). 30 “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. alHujurat -49: 13). 28 29

156

SAID MUNIRUDDIN

“Barang siapa yang bersyukur akan ditambah nikmat dan barang siapa yang kufur sesungguhnya azab Allah sangat pedih” (QS. Ibrahim -14: 7). Meskipun berbeda, semua orang dianjurkan untuk berlomba-lomba berbuat kebajikan.31 Hakikat perbedaan nanti akan dijelaskan di akhirat.32 Sebagian ulama bahkan tidak berani menyalahkan jika ada umat yang masih mengikuti ketauhidan dan syari’at nabi-nabi terdahulu. Kita tidak mengetahui hakikat keberadaan setiap orang disisi Tuhan. Siapa saja yang beriman kepada Allahswt, kepada hari akhir dan senantiasa berbuat kebajikan tentu menjadi hak Allahswt untuk membalasnya.33 Maka dalam memulai dakwah, yang mesti dikedepankan adalah akhlak, seperti menemukan “titik persamaan” (kalimatun sawa), bukan perbedaan.34 Gunakan cara-cara yang bijak dan pendekatan yang baik. 35 Kita “.... Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu” (QS. alMaidah -5: 48). 32 “Bagi tiap-tiap umat telah kami tetapkan syari'at tertentu yang mereka lakukan, maka janganlah sekali-kali membantah kamu dalam urusan (syari'at) ini dan serulah kepada (agama) Tuhanmu. Sesungguhnya kamu benar-benar berada pada jalan yang lurus. Dan jika mereka membantah kamu, maka katakanlah : "Allah lebih mengetahui tentang apa yang kamu kerjakan. Allah akan mengadili diantara kamu pada hari kiamat tentang apa yang kamu dahulu selalu berselisih padanya” (QS. alHajj -22: 67-69). 33 [1] “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang- orang Nasrani, dan orangorang Sabiin, siapa saja (di antara mereka) yang beriman kepada Allah dan hari akhir dan melakukan kebajikan, akan ada pahala bagi mereka di sisi Tuhan mereka, tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati” (QS. alBaqarah -2: 62); [2] “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan orang-orang Yahudi dan Sabiin dan Nasrani, barangsiapa beriman kepada Allah, hari akhir dan berbuat kebajikan, maka tidak ada rasa khawatir padanya dan mereka tidak bersedih hati” (QS. alMaidah -5: 69). 34 “Katakanlah, “Wahai ahlul-kitab! Marilah kemari! Kepada kalimah yang sama diantara kami dan diantara kamu”, yaitu bahwa jangan lah kita menyembah melainkan kepada Allah, dan jangan kita menyekutukan sesuatu dengan Dia, dan jangan menjadikan sebahagian dari kita akan sebahagian yang lain menjadi tuhan-tuhan selain dari Allah. Maka jika mereka berpaling, hendaklah kamu katakan: Saksikanlah olehmu, bahwasanya kami ini adalah orang-orang yang berserah diri” (QS. Aali Imran -3: 64). 35 “Ajaklah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan bijak dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS. anNahl -16: 125). 31

BAB 5 HMI dan Ideologi: “Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP)”

157

tidak boleh memaksa orang untuk patuh, karena sebagian orang bersikap arogan walaupun sudah mengetahui kebenaran. 36 Kalau Allahswt mau, tentu semua akan beriman.37 Namun Allahswt telah memberikan setiap orang akal dan hati sebagai potensi untuk memahami kebenaran.38 Setiap orang diberikan kemerdekaan untuk mengikuti atau menolak kebenaran. Atas prinsip dasar inilah nanti di akhirat orang diberi ganjaran atau hukuman. Oleh sebab itu, praktik agama harus berada dalam keseimbangan. Disatu sisi, kita dianjurkan untuk toleran bahkan berbuat baik terhadap mereka yang berbeda keyakinan dengan kita. 39 Kita hanya diperintahkan untuk bersikap tegas dan keras terhadap siapapun yang berlaku kufur lagi dhalim.40 Jadi, Islam mengakui adanya “pluralitas” atau ke-bhinneka-an, yakni keragaman yang muncul secara alamiah. Dalam pluralitas agama itu tentu ada yang benar dan ada yang salah. Secara rasional kita dapat saja mendedah ‘benar-salah’. Namun secara hakikat, merupakan hak Allahswt untuk menentukannya. “Tidak ada paksaan untuk patuh (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. alBaqarah -2: 256). 37 “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” (QS. Yunus -10: 99). 38 “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kejahatan dan ketakwaan” (QS. asSyam -91: 8). 39 “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” (QS. alMumtahanah -60: 8). 40 [1] "Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya" (QS. Al-Fath -48: 29); [2] Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah merasa ridha kepada kalian sampai kalian mau mengikuti millah (ajaran) mereka” (QS. alBaqarah -2: 120); [3] “Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim” (QS. alMumtahanah -60: 9); [4] “Sungguh akan kalian dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orangorang yang beriman adalah orang-orang yahudi dan orang-orang yang mempersekutukan Allah” (QS. alMaidah -5: 82); [3] “Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu. (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: “Tuhan kami hanyalah Allah”. Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan mesjid-mesjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama) -Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa” (QS. alHajj -22: 3940). 36

158

SAID MUNIRUDDIN

Adakah “Ideologi Islam”? Kita telah membahas makna dari “Islam” serta makna dari “ideologi”? Seperti telah terbahas dimuka, ideologi (dalam arti umum) adalah “sistem pemikiran teoritis, akidah, keyakinan, atau worldview -tentang Tuhan, alam, dan manusia. Pertanyaannya, apakah “Islam” itu “pemikiran” tentang itu semua? Jika menyebut “pemikiran”, mengandung arti sebagai “karya manusia”. Pertanyaannya, apakah “Islam” itu karya manusia? Dalam makna paling primer, “Islam” merupakan ajaran dari langit, dengan kata lain “wahyu”, bukan ciptaan manusia. Segala sesuatu tentang “Islam” terkompilasi dalam alQur’an. Maka pada pemahaman paling dasar ini, “Islam” bukanlah “gagasan manusia”, melainkan “wahyu”. Oleh sebab itu, Islam bukan ideologi. Demikian juga ketika ideologi (dalam arti khusus) diartikan sebagai “sistem pemikiran praktis tentang apa yang seharusnya atau tidak seharusnya dilakukan oleh manusia”, maka lagi-lagi, pertanyaannya adalah: apakah “Islam” itu sebuah “rumusan” manusia tentang itu semua? Jawabannya kembali sama, bukan. “Islam” itu “pemikiran dari langit” (wahyu) bukan “pemikiran manusia” (ideologi). Dari sini kita memahami, “Islam” jauh lebih tinggi dari ideologi. “Islam” dalam wujud wahyu (alQur’an) adalah murni nilai-nilai Ilahiyah. Sementara ideologi merupakan “aqidah aqliyyah”, idea atau gagasan yang telah disusun sedemikian rupa melalui proses berfikir (konsepsi rasional) dan bernilai operasional (melahirkan aturan-aturan dalam kehidupan). Sebagaimana didefiniskan oleh A.D Ranuwihardjo, dalam makna khusus, ideologi adalah: “Seperangkat ajaran atau gagasan berdasarkan suatu pandangan hidup [teoritis] untuk mengatur kehidupan organisasi, negara, atau masyarakat di dalam segi-seginya serta yang disusun di dalam sebuah sistem berikut aturan-aturan [praktis] operasionalnya”.41 Islam adalah wahyu Ilahi. Sedangkan ideologi:

41

A.D. Ranuwiharjo. 2000. Menuju Pejuang Paripurna, Aspek Ideologi dari Islam menuju Terbinanya Insan Pejuang Paripurna: Leadership, Strategi dan taktik dalam Perjuangan Politik, (ed. Anjas Taher), KAHMI Wilayah Maluku Utara: Ternate.

BAB 5 HMI dan Ideologi: “Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP)”

159

(1) Hasil kreatifitas manusia dalam menyusun seperangkat gagasan/ajaran menjadi sebuah sistem. Ajaran itu sendiri dapat berasal dari ajaran agama misalnya Islam (bagi orang beragama/Islam) atau dari pemikiran manusia (bagi non-agama, dan sebagainya). Dengan demikian, ideologi adalah hasil pemikiran manusia; (2) Ideologi hanya untuk kehidupan di dunia; (3) Ideologi hanya untuk negara tertentu, karena belum ada negara dunia; (4) Ideologi dapat berubah menurut tempat dan waktu. 42 Untuk lebih memahami kemurnian “Islam” sebagai “kumpulan wahyu” (atau ajaran langit yang bersifat universal teoritis dan praktis) sampai menjadi sebuah “sistem ideologi” yang dirumuskan oleh para penganutnya, kita kembali memahami makna “Islam” serta “aspek-aspek ideologis” yang dimilikinya. Keseluruhan penjelasan tentang “Islam” dan “ideologi” terangkum dalam gambar berikut.

42

Ibid.

160

SAID MUNIRUDDIN

Gambar 5.1: Hubungan “Islam” dan “Ideologi”

@ Said Muniruddin 2013

Islam dan Aspek-Aspek Ideologi. Sudah jelas, “Islam” (sebagai wahyu) bukan ideologi (pemikiran manusia). Namun demikian, “Islam” sebagai wahyu Ilahi mengandung aspek-aspek ideologi. Ajaran ini memiliki

BAB 5 HMI dan Ideologi: “Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP)”

161

seperangkat nilai “teoritis” dan “praktis” yang menjadi petunjuk tentang apa yang harus diyakini, kaidah berserah diri kepada Tuhan, serta tata cara berinteraksi dengan alam dan manusia. Dalam alQur’an terdapat “dasar-dasar kepercayaan” yang bersifat universal. Ada pandangan, nilai, gagasan, dan konsep-konsep tentang Pencipta dan penciptaan, awal dan akhir dari alam semesta, serta tentang definisi manusia, tujuan hidup dan akhir perjalanannya. Semua kepercayaan umum (universal) ini ketika digali, dirumuskan dan dijelaskan sedemikian rupa, jadilah ia sebagai “sistem” pemikiran teoritis tentang akidah (worldview atau ideologi dalam makna umum). Hanya saja, ketika prinsip prinsip umum yang terdapat dalam alQur’an sudah masuk dalam wilayah konsensus pemikiran manusia (aqidah aqliyyah), maka kita temukan ke-khas-an pemikiran (untuk tidak mengatakan berbeda) tentang rumusan akidah antar orang atau kelompok dalam Islam, walaupun sama-sama bersumber dari alQur’an dan juga hadist. Contoh sederhana adalah ragam prinsip umum akidah yang disusun oleh ulama Sunnah dan Syi’ah. Berdasarkan alQur’an, Sunnah memiliki pandangan umum tentang iman berupa percaya kepada (1) Allahswt, (2) Malaikat, (3) Rasul, (4) Kitab, (5) Kiyamat, (6) Qadha dan Qadar. Sementara juga atas dasar alQur’an, susunan yang dirumuskan Syi’ah adalah (1) Tauhied, (2) Keadilan Ilahi, (3) Nubuwwah, (4) Imamah, dan (5) Ma’ad. Apakah ini berbeda? Sekilas, secara “jumlah” dan “penamaan” terlihat berbeda. Perbedaan ini bahkan menjadi sumber fitnah antara satu dengan yang lain. Padahal, secara substantif sama. Dalam konsepsi Syi’ah misalnya, Tauhied berarti “iman kepada Allahswt.” Sementara Nubuwwah, sudah termasuk di dalamnya segala alat kelengkapan kepercayaan tentang kenabian termasuk “malaikat” dan “kitab”. Sedangkan Ma’ad juga memiliki makna “hari kiyamat”, bahkan lebih jauh lagi sebagai hari kebangkitan dan pertanggungjawaban. Sedangkan Keadilan Ilahi sebenarnya turunan dari prinsip Tauhied, serta mencakup bahasan “qadar” atau ketetapan Tuhan dalam berbagai pengertiannya. Sementara Imamah bagi Syi’ah merupakan turunan dari prinsip Nubuwwah. Pada prinsipnya, Sunni dan Syi’i memiliki pandangan umum yang sama tentang akidah, yang disebut ushuluddin umum. Kedua mazhab ini yakin kepada tiga hal: Tauhied, Nubuwwah dan Ma’ad. Tiga elemen iman ini

162

SAID MUNIRUDDIN

merupakan pandangan universal Ilahiyah (ushuluddin) semua agama tauhied.43 Disamping Sunni dan Syi’i juga punya ushuluddin khusus pada masing mazhab, lebih tepatnya disebut sebagai ushul mazhab. Seperti tersebut di atas, imamah merupakan kekhususan yang dipunyai Syi’ah. Demikian juga prinsip-prinsip umum lain yang dimiliki Sunni namun tidak terformulasi dalam Syi’i, menjadi ushul khusus masyarakat Sunni. Kekhususan ini lahir dari perbedaan cara memformulasikan nilai-nilai worldview yang terdapat dalam alQuran dan asSunnah.44 Ulama-ulama yang arif melihat perbedaan (ikhtilaf) seperti ini sebagai rahmat. 45 Perbedaan tidak terhindarkan, karena lahir dari ghirah keislaman dan intelektual untuk menerjemahkan kekayaan kandungan nilai-nilai alQur’an. Maka penting bagi kita untuk memiliki pemahaman atas “kandungan” dari rumusan aqidah yang dipunyai saudara-saudara kita dari mazhab lain: “Dalam konteks kesepemahaman (Sunnah-Syi’ah) ini, kita harus bersatu dalam aqidah. Dan ketika kita bersatu dalam aqidah, tidak harus rumusannya persis sama, tapi yang penting kandungannya sama. Syaikh Muhammad Abduh berkata, rukun iman itu yg penting dua, yaitu percaya Kepada Allah dan Hari Kemudian. Tapi dalam rinciannya dia katakan bahwa kalau saya percaya pada hari kemudian, tentu uraian tentang hari kemudian tidak bisa diketahui oleh akal saya, dan itu saya ketahui melalui Rosul. Kalau begitu saya harus percaya Rosul dan Rosul tak mungkin mengungkapkan itu menurut nalarnya. Pasti ia disampaikan oleh malaikat. Kalau begitu saya harus percaya pada malaikat dan begitu seterusnya. Kita tidak terikat dengan rumusan, tetapi kita terikat dengan kandungan apa yang dirumuskan itu. Kita baru sepaham. Tetapi kalau anda mau persis sama redaksinya itu tidak mungkin… nah kalau kesepamahaman ini sudah terjadi, ukhuwah itu menjadi mudah.”46 Kemudian, hal yang sama juga terjadi pada pemikiran-pemikiran praktis, yang dalam konteks Islam terdiri dari prinsip-prinsip umum syari’ah Semua agama samawi memiliki kesamaan prinsip atau pandangan universal terhadap tiga hal. Pertama, iman kepada Allah Yang Esa. Kedua, iman kepada kehidupan yang abadi di akhirat kelak sekaligus untuk menerima balasan amal selama hidup di dunia. Ketiga, iman kepada para nabi dan rasul sebagai utusan Tuhan untuk memberi hidayah kepada manusia guna mencapai puncak kesempurnaan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Ketiga prinsip ini merupakan jawababn paling tegas terhadap persoalan-persoalan fundamental kehidupan/ Yakni, “siapakah pencipta alam semesta”, “Bagaimanakah akhir dari kehidupan ini”, dan “apakah cara untuk mengetahui sistem kehidupan terbaik”. 44 M.T.M Yazdi. 2012. Iman Semesta: Merancang Piramida Keyakinan, cet. 2, hal. 29-31. Nur al-Huda: Jakarta. 45 “ikhtilafu ummati rahmah” (hadist). 46 Pesan Quraish Shihab tentang Ukhuwah Islamiyah, “Satu Islam”, 29 September 2013. 43

BAB 5 HMI dan Ideologi: “Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP)”

163

(ibadah dan mu’amalah/kemaslahatan umum) serta hukum-hukum umum akhlak. Pemikiran praktis ini merupakan furu’uddin, cabang dari iman, atau sistem pemikiran yang lahir dari Pandangan Dunia Ilahi. Pemikiran-pemikiran praktis universal ini juga terdapat dalam alQur’an. Semua hukum praktis ini merupakan penjabaran logis dari kepercayaan kepada ushuluddin atau “pokok-pokok agama”. Hanya saja, terdapat beragam nilai praktis dalam alQur’an dan asSunnah. Ketika semua nilai praktis ini digali, dikumpulkan, dan dijelaskan kembali; maka jadilah ia sebagai “sistem pemikiran” praktis. Ada “keterlibatan” manusia ketika membuat penjelasan dan kesimpulankesimpulan tentang misalnya, “apa saja yang termasuk praktik-praktik umum dari syari’at”, “urutannya seperti apa”, “mengapa itu harus dilakukan”, dan seterusnya. Ketika telah menjadi konvensi suatu kelompok, pada tahap ini telah lahir sebuah ‘ideologi Islam‘ atau pemikiran praktis berdasarkan nilai-nilai Islam. Dari berbagai pemikiran praktis yang dimiliki Sunni dan Syi’i misalnya, sebagian besar memiliki kesamaan. Misalnya sholat, puasa, zakat, dan haji. Dapat kita sebutkan ini sebagai furu’uddin umum atau titik kesamaan ideologi antara Sunni dan Syi’i. Namun demikian, antara satu kelompok dengan lainnya juga memiliki warna atau kekhususan-kekhususan yang pemikirannya juga lahir dari sumber alQur’an. Misalnya Syiah, selain zakat, mereka menempatkan khumus sebagai bagian praktik wajib ke-Islam-an. Disamping itu, mereka juga memberi pengakuan kepada jihad sebagai satu elemen dalam rukun atau “ideologi Islam” mereka. Hal-hal ini merupakan furu’uddin khusus masing mazhab, yang diderivasi dari prinsip-prinsip khas mazhab masing-masing. Bagi Sunni, jihad tidak termasuk dalam konsepsi rukun Islam walaupun diakui sebagai perintah utama lainnya. Itu dari sisi pemikiran praktis amal sholeh. Dari segi mu’amalah atau “kemaslahatan umum” (tata kemasyarakatan, kenegaraan, kepemimpinan, keadilan sosial dan ekonomi) juga terdapat beragam pemikiran ideologis yang disari dari nilai-nilai Islam yang terdapat dalam alQur’an dan asSunnah. Sehingga lahir berbagai ‘ideologi Islam’, walaupun antar group memiliki perbedaan konsepsi, misalnya, tentang “sistem politik”. Ada yang mengusung khilafah, imamah, republik, kerajaan, dan sebagainya. Ada sistem “kebebasan” dan “relasi individu-masyarakat”

164

SAID MUNIRUDDIN

yang berbeda-beda. Semua ‘mengaku’ berdasarkan sebagai sistem yang islami. Demikian juga dalam “sistem keadilan sosial dan ekonomi”, terdapat perbedaan sistem antar negara Islam yang beragam pada level “kebebasan”, “keterbukaan”, “peran negara”, sampai kepada praktikpraktik bisnis dan aturan-aturan kepemilikan dan penggunaan sumbersumber ekonomi. Ada yang sudah menyusun praktik-praktik ekonomi berbasis syari’ah (nilai-nilai Islam), ada yang masih terkooptasi dengan praktik-praktik kapitalis (ribawi). Namun perlu dicatat, bahwa pandangan dunia (worldview, akidah) tidak meliputi keyakinan-keyakinan yang parsial. Begitu pula ideologi, tidak termasuk hukum-hukum yang juz’i (partikular).47 Misalnya, istilah pandangan dunia berbeda dengan kosmologi. Dalam kosmologi kita ingin mengetahui “berapakah perbandingan air dan bukan air di alam ini”, “berapa banyak bintang di alam jagat raya ini”, dan seterusnya. Pandangan dunia tidak lagi membahas sebuah keberadaan tertentu dari keberadaan alam. Pandangan dunia membahas persoalan secara keseluruhan dan universal. Misalnya, membahas seluruh keberadaan alam dan kemudian menyimpulkan bahwa “alam materi bergantung pada Sang Pencipta yang non-materi”. Demikian juga dalam konteks syari’at, yang digali adalah nilai-nilai praktis universal dari ibadah mahdhah dan ibadah muamalah. Disatu sisi memang sifatnya operasional, terutama ketika nilai-nilai syariat sudah dalam bentuk fiqh praktis. Namun operasionalnya bersifat general seperti jumlah rakaat, bentuk sikap dan gerakan yang pasti. Sedangkan hal-hal partikular-parsial seperti “berapa menit panjang sebuah rakaat sholat yang minimal harus dilakukan”, “untuk berapa orang zakat dan shadaqah harus dikeluarkan dalam setahun”, “berapa orang petugas pencatat dan pengumpul zakat yang harus ada untuk satu daerah” dan sebagainya, bukan bahasan ideologi. Karena kupasan ideologi bersifat komprehensif-universal. Misalnya, membahas bahwa keseluruhan harta harus diperoleh secara halal dan dari harta yang halal itu ada porsi dan prosentase yang harus dikeluarkan untuk kaum kerabat, masyarakat dan orang-orang yang membutuhkan. Sedangkan teknis detil masuk dalam ranah “strategis” dan “taktis”, tidak lagi “ideologis” (tentang Strategi dan Taktik dibahas dalam Bab 7 “Visioning dan Operasionalisasi Tujuan HMI”).

47

M.T.M Yazdi. 2012. Iman Semesta: Merancang Piramida Keyakinan, cet. 2, hal. 28. Nur al-Huda: Jakarta.

BAB 5 HMI dan Ideologi: “Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP)”

165

Berbagai “Ideologi Islam” (Pemikiran Ke-Islam-an). Telah disebutkan dimuka, “Islam” sebagai wahyu bukanlah ideologi (ide, pemikiran, atau kesimpulan-kesimpulan yang dibuat manusia). Namun “Islam” mengandung seperangkat ajaran atau nilai-nilai yang jika disusun dalam suatu sistem dan diproyeksikan ke dalam suatu organisasi akan menjadi ideologi bagi organisasi tersebut. Ideologi tersebut disebut ideologi yang berdasarkan ajaran-ajaran “Islam” atau diwarnai oleh ajaran “Islam”. Pada kenyataannya, ajaran Islam (alQuran dan asSunnah) mengandung nilai-nilai liberal, kapital, individual, dan sosial. Maka ideologi yang lahir dari ajaran “Islam” haruslah sebuah sistem yang seimbang antar keseluruhan nilai tersebut karena umat Islam sendiri merupakan umat penengah:

“Dan demikianlah, telah Kami jadikan kamu sebagai umat yang di tengah [ummatan washathan], supaya kamu menjadi saksi-saksi atas manusia, dan adalah Rasul menjadi saksi (pula) atas kamu. Dan tidaklah Kami jadikan kiblat yang telah ada engkau atasnya, melainkan supaya Kami ketahui siapa yang mengikut Rasul dari siapa yang berpaling atas dua tumitnya. Dan memanglah berat itu kecuali atas orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Dan tidaklah Allah akan menyia-nyiakan iman kamu. Sesungguhnya Allah terhadap manusia adalah Penyantun lagi Penyayang” (QS. alBaqarah -2: 143). Banyak kelompok masyarakat bahkan negara yang mengaku ‘berideologi Islam’. Pada dasarnya itu merupakan ideologi yang lahir dari kesimpulan terhadap nilai-nilai Islam. Meski sama-sama menyatakan diri “Islam”, namun memiliki rumusan pemikiran sampai kepada aplikasi ke-Islam-an (mazhab) yang beragam. Dari sisi “teoritis akidah” misalnya, telah lahir berbagai ideologi atau pemikiran Islam yang terbagi dalam beberapa “mazhab akidah”. Kelompok pemikiran ini meliputi: Asy’ariyah, Mu’tazilah, Syi’ah, Maturidiyah, dan Khawarij. Setiap pemikiran mereka punya penjelasan berbeda tentang Dzat, Sifat, dan Perbuatan Tuhan (“dimana”, “seperti

166

SAID MUNIRUDDIN

apa”, “bagaimana”, dan sebagainya), meskipun pada prinsip paling umum sama-sama mengakui “Tuhan itu Esa”. Demikian juga pemikiran ontologis tentang “manusia”, meskipun sama-sama mengakui sebagai “khalifah fil-ardh”, namun menjadi sangat diskursif ketika lebih lanjut membahas “komponen kemanusiaan”, “kemuliaan manusia vs. kemuliaan malaikat: siapa lebih mulia, siapa lebih sempurna?”, dan topik-topik antropogis lainnya. Demikian juga dengan tema wujud “hari akhir” (ekskatologi). Meskipun pada prinsip dasar sama-sama meyakini eksistensi hari kebangkitan, namun mereka berbeda argumen tentang – misalnya, “apakah di sana kita hidup dalam dimensi ruh, dimensi fisik, atau keduanya seperti kehidupan di dunia”. Dari segi “teoritis-praktis ibadah” (syari’at) muncul dua besar ideologi atau pemikiran Islam yang dapat dikelompokkan dalam “mazhab fiqh”. Dua terbesar Syi’i dan Sunni. Di Syiah -yang juga menyatakan diri mengikuti alQuran dan asSunnah- muncul Ja’fariyah, Zaydiyah dan kelompok-kelompok kecil pemikiran ideologis lainnya, yang masingmasing punya persamaan dan perbedaan. Dalam Sunni juga tumbuh beberapa kelompok pemikiran, yang populer meliputi Syafi’iyah, Malikiyah, Hanafiyah, dan Hambaliyah. Diluar itu ada juga yang mengindentifikasi diri dengan salafi, walaupun tidak mengikat diri dengan alur pikir 4 imam Sunni, mereka juga menyebut diri sebagai “Ahlus Sunnah”. Sementara juga eksis dua mazhab ideologis pemikiran fiqih di luar kategori Sunnah dan Syiah yang juga diakui dalam fatwa ulama-ulama dunia Islam hari ini. Mereka adalah Ibadhiyah dan Zahiriyah.48 Pada semua “ideologi” (pemikiran teoritis-praktis) fiqih ini, disamping terdapat banyak persamaan, juga ditemukan “regulasi-regulasi” ibadah khas masing-masing (meskipun sama-sama menyandarkan argumen 48

Pertemuan sekitar 500 ulama, pemerintah dan organisasi Islam se-dunia pada 9 November 2004 (27 Ramadhan 1425 H) di Amman Yordania, melahirkan fatwa yang dikenal dengan “Risalah Amman” (The Amman Message). Dalam pertemuan yang bertajuk “Islam Hakiki dan Perannya dalam Masyarakat Modern”, ulama-ulama senior dari berbagai Mazhab, baik Sunni maupun Syiah, memfatwakan bahwa ada 8 mazhab resmi dalam Islam. Yakni 4 Mazhab dari Sunni (Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hambali), 2 Mazhab dalam Syiah (Imamiyah Istna ‘Asyari/Ja’fariyah, dan Zaidiyah), serta 2 Mazhab lainnya; ‘Ibadi dan Zahiri. Ke delapan Mazhab ini diakui benar dan tidak boleh dikafirkan dan disesatkan. Disamping itu, Risalah ini juga menyatakan kebenaran ajaran tasawuf yang hakiki dan salafi yang sejati. Haram menggangu jiwa, harta dan kehormatan para pengikut 8 mazhab dan ajaran ini. Fatwa ini menjadi tonggak penting persaudaraan dan persatuan Islam se-dunia. Setiap perbedaan di tengah ummat harus diselesaikan dengan dialog berkeadaban, bukan dengan fitnah, pertikaian apalagi pertumpahan darah (dapat diakses melalui situs resmi The Amman Message: http://www.ammanmessage.com/).

BAB 5 HMI dan Ideologi: “Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP)”

167

pada alQuran dan asSunnah). Namun fiqih ibadah yang dominan ditemukan pada semua mazhab ini adalah “ibadah maghdah/personal” (misalnya tata cara thaharah, sholat, puasa, zakat, haji dan umrah; serta beberapa yang memiki dimensi personal-sosial seperti nikah dan talak, waris, dan wakaf). Sementara fiqih “ibadah sosial/fiqih kemaslahatan publik/muamalah” (seperti kenegaraan dan perekonomian) masih bernilai “klasik”. Padahal, aspek muamalah –terutama sarana dan prasarana transaksinya- terus berkembang, sehingga hukum-hukumnya perlu di “up-date” dan di “regulate” ulang, walaupun prinsip-prinsip dan aturan dasarnya tidak pernah berubah. Dalam “teoritis-praktis akhlak”, juga telah muncul berbagai varian pemikiran ideologis yang dapat kita sebut sebagai “mazhab tasawuf”. Dari sisi “teoritis” setidaknya terdapat dua kutub “filsafat sufistik” tentang relasi ontologis Tuhan dan alam/manusia: “wujudiyah” dan “syuhudiyah”. Sementara pada dimensi “praktis” muncul berbagai “mazhab thariqah”, Yang popular diantaranya adalah Alawiyah, Syatariyah, Qadiriyah, Rifa’iyah, Syadziliyah, Tijaniyah, Chisytiyah, Suhrawardiyah, Idrisiyah, Khalwatiyah, Samaniyah, Shiddiqisme, Ahmadiyah Badawiyah, Aidrusiyah, Dasuqiyah, Ghazaliyah, Haddadiyah, Malamatiyah, Maulawiyah, Haqqaniyah, Sanusiyah, dan Naqsyabandiyah. Masing kelompok tarikat ini punya metode dan praktik-praktik kebatinan (tirakat) tersendiri, mulai dari yang sederhana sampai kepada bentuk riyadhah (penyucian jiwa) yang ketat dan rumit. Metode dan praktik asketisme ini dapat meliputi berbagai bentuk: sholat, puasa, adab suluk, istigfar, dzikir, fikir, tasbih, sholawat, tawasul, ziarah, ratib, doa, wirid, talqin, musik, tarian, qasidah, bai’at, silsilah, ijazah, dan berbagai model simbol, inisiasi, meditasi, invokasi, dan kontemplasi baik yang bersifat pasif maupun aktif. Inti dari semua aktifitas ini adalah untuk menggali nilai-nilai yang tersembunyi sehingga melahirkan sifat dan perilaku terpuji, “berakhlak dengan akhlak Tuhan”. Akar Konflik: ketika “Mazhab” diubah Fungsi dari “Jalan Pemikiran” (Pengetahuan Ideologis) menjadi “Institusi Politik” (Kelompok Penguasa Agama). Pemikiranpemikiran tentang existensi termasuk Tuhan (yang terurai dalam berbagai mazhab aqidah) dan tata cara berinteraksi atau menyembahnya Konflik

168

SAID MUNIRUDDIN

(tercermin dalam macam mazhab fiqh) dapat dikatakan “sudah selesai”. Tidak bermaksud mengatakan pintu berfikir telah tertutup. Setiap pemikir muslim tentu saja masih dapat, sangat terbuka, bahkan harus terus mempertajam konsepsi-konsepsi tauhied, hukum dan moral. Namun, khazanah pemikiran tauhied, fiqh, dan akhlak yang ditinggalkan oleh imam-imam terdahulu dirasa “cukup memadai”. Artinya, kalau ingin memiliki referensi dalam bidang “aqidah” dan “ibadah maghdah”, tinggal merujuk pada apa yang sudah tersedia. Mau ikut Jafari, Zaidi, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali, Zahiri, atau Ibadhi; terserah. Ataupun ingin mengambil pemikiran-pemikiran terbaik dari mereka semua, juga tidak ada ayat dan hadist yang melarangnya. Mau terbuka mengakui sebagai pengikut salah satunya, atau menyatakan pengikut semuanya, juga tidak apa-apa. Atau mungkin tidak mau tersekat dalam “nama” mazhab tertentu, dengan kata lain “tidak secara formal institusional bermazhab kepada kelompok tertentu”; juga bukan sebuah persoalan. 49 Demikian juga dalam bidang sufistik, ada pilihan “filsafat tasawuf” (wujudiyah dan syuhudiyah) yang anda secara individual dapat diikuti. Atau ingin bergabung dalam persaudaraan para salik, maka ada sejumlah “tariqah” dengan mursyid yang akan mengajari konsep dan membantu prosesi olah batin. Tinggal memilih; keseluruhannya, salah satunya, mengutip beberapa diantaranya, atau mengkompilasi hal-hal yang dirasa paling memenuhi rasa spiritual. Bebas-bebas saja. Karena “mazhab-mazhab akhlak” ini merupakan referensi atau “pilihan” teori dan praktik untuk memperoleh pengalaman esoteris, bukan “paksaan” untuk ikut. Sebab hanya ber-Islam (tunduk patuh) kepada Tuhan yang menjadi “keterpaksaan alamiah” (pilihan wajib). Sedangkan ber-mazhab menjadi “pilihan intelektual” (pilihan bebas). Konon lagi, mazhab-mazhab ini tidak terbentuk pada era Nabi saw. Mereka muncul menjadi bangunan pengetahuan beberapa abad setelah Rasulsaw tiada. Formalisasi pengetahuan keagamaan dalam berbagai kitab, baik yang bersifat lahiriah maupun batiniah, dilakukan oleh ulama-ulama tauhied, fiqh dan tasawuf setelah masa Nabisaw. Namun demikian, kompilasi mereka disebut-sebut memiliki basis teoritis dan

49

Pada kenyataannya, banyak muslim mengaku tidak mengetahui apa mazhabnya. Ritual yang dilakukan disadari sebatas “warisan praktis” dari guru atau orang tuanya, bukan produk dari kesadaran dan pencarian. Banyak juga yang mengaku bermazhab tertentu, namun tidak pernah tau pesan-pesan sesungguhnya dari mazhab itu. Hanya secara radikal-emosional mengaku-ngaku saja.

BAB 5 HMI dan Ideologi: “Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP)”

169

praktis sebagaimana yang diajarkan dan dipraktikkan Nabi saw, Keluarga, dan sahabat-sahabatnya. Jikapun ada yang baru, itupun diklaim sebagai inovasi yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip umum alQuran dan asSunnah. Yang berbahaya (baik dalam bidang akidah, fiqih, dan tariqat) adalah ketika meng-klaim “wajib” memiliki merek mazhab tertentu. Lebih parah lagi ketika menyatakan truth claim bahwa hanya “kelompok”, “aliran”, ”sekte”, atau “mazhab”-nya saja yang benar; dan menyatakan orang lain yang berbeda dengannya sebagai “syirik”, “bid’ah”, atau “sesat”. Meskipun memang sering ditemukan hal-hal aneh pada kelompok tertentu, namun tidak untuk didekati dengan kekerasan. Tradisi “bunuh membunuh”, “bakar membakar”, “paksa-memaksa”, dan “kafir mengkafirkan” merupakan pola kerja “khawarij” (kelompok ekstrimis yang keluar atau khuruj dari spirit kesatuan Islam). Ini terjadi ketika mazhab-mazhab yang sesungguhnya hanya kumpulan “jalan pemikiran” (pengetahuan) tentang akidah, ibadah dan akhlak; mulai dipahami sebagai “institusi keagamaan”. Ketika “pemikiran” sudah “dilembagakan” dan “disakralkan”, maka akan terbentuk sekat politis “kita-mereka”. “Kita” sebagai kelompok yang benar, “selain kita” semuanya salah. Inilah bahaya mazhab yang telah berubah fungsi dasarnya dari “pilihan” referensi pemikiran ke-Islaman menjadi partai politik keagamaan, yang kita “diwajibkan” menjadi anggotanya. Ketegangan akan semakin memuncak manakala mazhab dan tariqat tertentu berafiliasi dengan kekuasaan, guna mensahkan mereka sebagai satu-satunya “mazhab yang benar”, dengan memancung serta membakar mazhab-mazhab lainnya. Akhirnya, hanya karena berbeda mazhab, meskipun sama-sama Islam, terjadi permusuhan dan saling curigamencurigai. Ketidakdewasaan dalam bermazhab menjadi sumber pertikaian. Jika didalami, perseteruan “sunni vs. syiah”, “fiqh vs. tasawuf”, “wujudiyah vs. syuhudiyah”, “salafi wahabi vs. salafi ahlussunnah”; tidak lebih dari pertikaian “kepentingan politik”. Masing kelompok ingin merebut pengaruh masyarakat dengan memaksakan kebenaran versi masing-masing. Apa yang dilakukan Nuruddin Ar-Raniry misalnya, sangat memalukan. Ia menjadi tipikal sarjana ortodoks yang berusaha menyingkirkan pengaruh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin asSumatrani pengajar risalah wahdatul wujud. Disinyalir, ini juga bagian dari “perang

170

SAID MUNIRUDDIN

kekuasaan” untuk menasbihkannya sebagai sosok syaikhul Islam dalam kerajaan Aceh Darussalam.50 Kelakuannya menjadi noktah terhitam dalam sejarah intelektual melayu Islam. Atas perintahnya lah, bukubuku esoterisme dibakar, santri-santri wujudiyah dibunuh dan dikejarkejar. Hari ini, kerusuhan akibat perbedaan pemikiran (mazhab) dalam berbagai skala terus berlanjut. Sebagian kecekcokan “internal Islam” turut pula ditunggangi musuh-musuh asing. Tujuannya memecah belah umat. Padahal, imam-imam peletak dasar pemikiran keagamaan (mazhab-mazhab) tidak lebih sebagai “profesor-profesor” yang kerjanya mencoba menyusun guidance, serta terlibat dalam pengajaran akidah, fiqh, dan akhlak masyarakatnya. Mereka bukan seperti umumnya pengikut mereka hari ini yang terlihat sedang melakukan “tradisionalisasi” pemikiran keagamaan, dengan membangun “ego keyakinan” dan “sektarianisme mazhab”. Jika kepicikan ini terus berkembang, kita akan sulit mencapai “kosmopolitanisme Islam”. 51 Berusaha menyatukan mazhab atau pemikiran keagamaan yang beragam ini juga langkah yang sia-sia. Menyamakan (“memaksa sama”) cara berfikir, sama dengan menginginkan di dunia ini hanya ada satu jenis kelamin. Sebab, perbedaan itu sunnatullah.52 Dunia justru menjadi dinamis ketika ada “laki” dan “perempuan”, yang keduanya punya perbedaan dari sisi fisiologis dan psikologis. Namun keduanya dapat disatukan dalam “keintiman” hubungan. Sesuatu yang dapat membuat

50 51

52

S. I. Shadiqin. 2008. Tasawuf Aceh, hal. 47-116. Bandar Publishing: Banda Aceh. Hal serupa terjadi di Aceh, ketika terjadi “formalisasi” atau “institusionalisasi” Syari’at Islam, sekelompok orang “memaksakan” agar hanya mazhab tertentu (bahkan lebih spesifik lagi: hanya ajaran imam tertentu dari “ahlussunnah waljama’ah”) yang boleh berlaku. Akibatnya, pluralitas dan kekayaan pemikiran Islam “termiskinkan” oleh pembatasan yang politis seperti ini. Konon lagi (disamping banyak yang perlu diapresiasi), “syari’at Islam” dimaksud terfokus pada “fiqih jinayah” (hukum pidana) yang korbannya pun “kasta terendah” dari masyarakat, white-collar crime tidak terjangkau bahkan terlindungi oleh hukum nasional. Pada era yang semakin global ini, keterbukaan dan kemauan untuk belajar dari semua pihak sangat menentukan kemajuan umat, bukan dengan mengungkung diri dalam satu model pemahaman keagamaan. Era permusuhan dan saling mencurigai antar mazhab (baik antar aliran dalam Sunnah ataupun dengan Syiah) sudah bisa diakhiri. Maka metode belajar agama yang terbaik yang harus diterapkan sejak dini adalah “perbandingan mazhab”. Sehingga masyarakat terbuka hati dan matanya, serta bersikap toleran atas perbedaan teori dan praktik di tengah umat. Sehingga nantinya tidak lagi terkejut ketika menemukan perbedaan praktik ke-Islaman, apalagi sampai menuduh orang lain sebagai “sesat”. “.... Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu” (QS. alMaidah -5: 48).

BAB 5 HMI dan Ideologi: “Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP)”

171

semua perbedaan lebur dalam satu kesatuan (namun tidak menghilangkan identitas masing-masing) adalah “cinta”, sebutan lain untuk “saling kenal mengenal”, “saling memahami”, “saling menghargai”, atau “toleran”.53 Inilah yang mesti dipupuk di tengah pluralitas umat dan bangsa. “Fiqih Muamalah”: Wilayah Perjuangan dan Inovasi Ideologis Mazhab Masa Depan vis-àvis “Kapitalisme” dan “Sosialisme”. Pekerjaan umat Islam hari ini bukanlah untuk mempertajam perbedaan dan konflik internal dalam bidang aqidah, ibadah maghdah, atau tariqah. Juga bukan untuk menciptakan mazhab-mazhab baru di area Fiqh Muamalah vs. tauhied dan ubudiyah. Urgensi hari ini, disamping Kapitalisme/Sosialisme membangun dimensi “cinta”, adalah bagaimana membangun “mazhab muamalah”. Sehingga dalam Islam lahir pemikiran-pemikiran ideologis (fiqih-fiqih/pengetahuan teoritis dan praktis) dalam bidang ekonomi dan politik kenegaraan yang mampu menggantikan ideologi kapitalisme dan sosialisme yang telah melahirkan berbagai krisis kemanusiaan. Pengetahuan teoritis-praktis “muamalah islami” ini harus mampu mempengaruhi sikap atau perbuatan ummat Islam. Karena untuk menjadi sebuah ideologi “muamalah” vis-à-vis “kapitalisme” misalnya, sikap apa yang harus dibangun ketika berhadapan dengan “pasar” (vs. liberalisme). Demikian juga ketika berhadapan dengan “masyarakat” (vs. sosialisme). Pada konteks mazhab atau “fiqih muamalah” inilah pemikiran-pemikiran ke-Islam-an dapat dibandingkan dengan “ideologi kapitalis” dan “ideologi sosialis”. Memang banyak sekali islamic schoolars terdahulu (ulama, imam, atau intelektual) yang telah memberikan kontribusi dalam menerjemahkan nilai-nilai alQur’an dan asSunnah serta merumuskan berbagai konsepsi dan praktik muamalah, baik dalam arena politik maupun ekonomi. Kepada mereka semua kita perlu berterima kasih. Namun patut dicamkan, muamalah merupakan dimensi syariah atau “fiqh urusan 53

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. alHujurat -49: 13).

172

SAID MUNIRUDDIN

publik” yang sangat dinamis. Muamalah sangat terkait dengan tata kehidupan sosial kemasyarakatan, serta realitas sarana dan prasarana dunia yang terus berubah sesuai sunatullah. Seperti kata alJili, “Bangunan pengetahuan tidak hanya dari alQuran dan Hadist saja. Pada perilaku manusia, realitas alam, dan kesejajaran masing-masing penghuni bumi juga terdapat banyak pengetahuan dari Tuhan”.54 Bidang muamalah merupakan dimensi atau realitas keduniaan yang pengetahuannya harus terus digali guna kemajuan dan keindahan peradaban. Tata cara sholat, puasa, haji, dan sebagainya yang sifatnya personal itu (ibadah mahdhah) bentuknya sudah tetap. Namun bidang kemaslahatan umum (ibadah ghairu mahdhah), terutama “politik” dan “ekonomi” belum selesai. Karena untuk dua hal ini Nabi saw berkata, “antum a’lamu bi umuri dunyaakum”, kalian lebih tau urusan dunia kalian (HR. Muslim). Karena untuk ushul fiqh (hukum asal) ibadah mahdhah dikenal, “Segala sesuatu dilarang untuk dikerjakan, kecuali yang dibolehkan dalam alQuran dan asSunnah”. Sedangkan untuk ibadah muamalah, “Segala sesuatu dibolehkan, kecuali ada larangan dalam alQuran dan asSunnah”. Berdasarkan dalil ushul ini, inovasi-inovasi untuk urusan publik telah baginda Nabisaw serahkan kepada kita dengan tentunya juga bersandar pada dua spirit pokok (alQur’an dan asSunnah). Oleh sebab itu, termasuk kewajiban kita selanjutnya di bidang muamalah adalah: (1) Mengembangkan pemikiran-pemikiran keilmuan Islam klasik; (2) Melakukan “islamisasi” ilmu pengetahuan konvensional yang terbelenggu sekularis-positivis dan humanis-materialis; (3) Menggali hal-hal baru dengan segenap potensi akal dan spiritual. Dua arena terbesar jihad muamalah tersebut ada di sektor: “politik” dan “ekonomi”. Sistem “politik” -yang meliputi tata negara, konstitusi, kepemimpinan, hukum, demokrasi, HAM, dan berbagai varian politik lainnya; selalu berubah sesuai dinamika zaman. Tidak ada yang namanya “harga mati” bagi sebuah 54

A.K. Ibnu Ibrahim alJaili. 2009. Insan Kamil: Ikhtiar Memahami Kesejatian Manusia dengan Sang Khalik hingga Akhir Zaman, Cetakan ke-III, hal. 491-492. Pustaka Hikmah Perdana: Surabaya.

BAB 5 HMI dan Ideologi: “Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP)”

173

sistem politik. Kehidupan dunia yang terus berkembang, menuntut polapola baru yang lebih baik dan modern dalam mengatur tata kehidupan sosial kemasyarakatan. Semua bidang politik diatas merupakan cabangcabang ilmu yang bernilai “sosial-politis” bertujuan menciptakan keadilan, kesejahteraan, dan mengatur perkembangan peradaban. Bodoh sekali rasanya, ketika secara internal misalnya, kita masih hidup dengan jargon-jargon, atribut, serta warisan sistem hukum dan politik penjajah (atau diadopsi dari pemikir-pemikir materialis) yang belum tentu relevan dengan paradigma ilahiyah. Secara global juga demikian, dunia terkooptasi oleh sistem politik dinasti penindas. Ambil saja contoh bagaimana PBB masih secara otoriter dikontrol oleh sekelompok kolonialis pemenang perang dunia kedua melalui hak veto mereka. Kebijakan-kebijakan mereka hampir selalu membunuh nilai-nilai kemanusiaan dan menindas dunia Islam. Untuk ini kita membutuhkan imam-imam, ulama-ulama, akademisi, praktisi, pemimpin-pemimpin, atau kader-kader muslim intelektual profesional yang dapat merumuskan fiqh politik nasional sampai kepada tatanan politik global. Kita menunggu lahirnya mazhab dan gerakan-gerakan ideologis di bidang ini. Tentu tidak berlebihan mengharap spirit ini ada pada salah satu kelompok “muslim tercerahkan” seperti HMI yang lahir dari dinamika aktifisme perguruan tinggi. Begitu pula dengan sistem “ekonomi”; yang meliputi ekonomi makro dan mikro, perbankan, pasar modal, keuangan, asuransi, dan berbagai cabang ekonomi dan bisnis lainnya; termasuk manajemen dan akuntansi. Semua bidang ini terus berevolusi, berkembang pesat, sesuai dinamika manusia dalam berinteraksi, menggali, dan menggunakan sumber daya. Telah lahir sejumlah pemikir muslim modern dalam skala global maupun nasional, yang hasil ijtihad mereka sudah menorehkan berbagai gagasan dan praktik ekonomi dan bisnis berbasis syariah.55

55

Berikut beberapa pemikir dan praktisi muslim kontemporer di bidang ekonomi, bisnis, keuangan, dan/atau perbankan. Di tingkat global ada nama-nama seperti: Baqir Sadr, Umar Chapra, Muhammad Yunus, Mausodul Alam Choudri, Aslam Haneef, dan sebagainya. Untuk Indonesia ada sejumlah

174

SAID MUNIRUDDIN

Pada awalnya, ide-ide mereka ditertawakan. Kini, yang dulu diremehkan telah berkembang menjadi model bisnis yang disebut-sebut paling fair dan paling tangguh menghadapi resesi global. Kedepan kita masih menunggu lahirnya para pemikir besar, pemimpin, kader, imam dan praktisi fiqh ekonomi dan bisnis islami yang dapat meruntuhkan kepalsuan bangunan “mazhab kapitalisme”. Juga tidak berlebihan mengharap pada garis terdepan perjuangan ini terdapat salah satu kelompok “muslim” seperti HMI, yang terdidik diperguruan tinggi dan memiliki visi “intelektual-profesional”. Disamping bidang-bidang yang pure politik dan ekonomi, terdapat sederetan bidang ilmu lainnya yang tidak kalah pentingnya, yang pemanfaatannya juga bersinggungan langsung dengan kehidupan sosial. Bidang-bidang tersebut termasuk pendidikan, pertanian, peternakan, kesehatan, lingkungan, teknik, arsitektur, media, komunikasi, dan sebagainya. Semua ini dapat dikategorikan sebagai cabang-cabang ilmu yang bernilai “sosial-ekonomi”. Karena pada prinsipnya, ilmu-ilmu ini juga bertujuan untuk menciptakan keadilan, kesejahteraan, kebahagiaan, atau memperindah tata kelola kehidupan publik (peradaban). Untuk semua bidang ilmu ini kita juga menunggu munculnya insan-insan pejuang paripurna, imam-imam, yang mampu membangun basis teori dan praktik keilmuan berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Semua organisasi Islam harus saling merangkul tangan untuk berjihad dalam satu barisan. Hari ini, sebagaimana beragamnya mazhab atau ‘ideologi Islam’ dalam aspek aqidah dah fiqih ibadah; kita memang menemukan adanya ragam maktab atau kelompok ‘ideologi Islam’ dalam aspek muamalah. Terdapat banyak pemikiran tentang politik dan ekonomi di berbagai negara, kelompok, dan organisasi Islam.56 Namun dirasa belum mampu akademisi dan praktisi seperti: Adiwarman A. Karim, Muhammad Syafii Antonio, Sofyan S. Harahap, Iwan Triyuwono, dan lainnya. 56 Misalnya aspek “pemikiran kenegaraan dan kemaslahatan umum” (mazhab politik dan kenegaraan); sistem politik, sosial dan ekonomi berbagai negara Islam di Timur Tengah, Asia dan Afrika berbeda-beda; meskipun sebagian diantaranya sama-sama menyatakan diri berlandaskan “Islam”. Iran yang berideologi “Islam” menyatakan diri sebagai republik teokrasi dengan kelengkapan “presiden” sekaligus “wilayatul faqih” dan aturan-aturan lain tentang sosial dan ekonomi yang disusun sedemikian rupa sebagai turunan dari nilai-nilai “Islam”. Monarkhi Arab Saudi yang begitu autrokratik juga mengaku “Islam” dengan penerapan hukum-hukum kebebasan individu dan kebebasan berusaha yang dianggapnya islami. Indonesia yang mayoritas muslem menyatakan diri sebagai republik yang berideologi “Pancasila”, yang lima silanya diyakini memiliki wujud derivatif dari nilai-nilai universal “Islam”:

BAB 5 HMI dan Ideologi: “Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP)”

175

menggantikan dominasi sistem kapitalisme yang sudah sedemikian operasional mencengkram dunia. Namun demikian, dengan optimisme tauhied dan semangat perubahan ke arah yang semakin baik (adil dan ihsan), setiap kita memikul tanggungjawab untuk terus meningkatkan pemahaman mendasar tentang “Islam” (alQuran dan asSunnah), guna menghasilkan bangunan akidah, akhlak, ibadah personal, dan perjuangan sosial yang benar-benar menggambarkan sikap “pasrah” kepada dunia Ilahiyah. Dengan semangat persaudaraan dan kesatuan Islam pada akhirnya akan terbangun sebuah peradaban masa depan yang modern dan madani, sebuah replika Kota Nabisaw pada era kita. Kesadaran inilah yang coba dibangun oleh kelompok-kelompok intelektual tercerahkan (ideolog) diberbagai belahan dunia, termasuk “para pewaris Nabi” yang ada di HMI. Sebagaimana diinisiasi Cak Nur pada tahun 1966-1972, HMI merumuskan sebuah ‘ideologi Islam’ dalam sebuah dokumen bernama Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP HMI). Sebagai sebuah “dokumen hidup”, sampai hari ini NDP masih dipedomani dan dikaji. Tidak tertutup kemungkinan untuk diperkaya, dalam arti dikembangkan, pada masa-masa akan datang. Bab “ideologi” tafsir Bintang ‘Arasy ini juga bertujuan menyegarkan pemahaman ideologis tersebut. Setiap organisasi, mungkin umumnya organisasi Islam, punya “mazhab pemikiran” atau “rumusan ideologi” tersendiri. Walaupun struktur bahasan, konteks perjuangan, dan perspektif militansi boleh jadi berbeda-beda; namun semua tersatukan pada kalimat yang sama (kalimatun sawa), yaitu sama-sama ingin mewujudkan “muslem ideal” dan “masyarakat ideal”. Pada dimensi ini semua aktifis muslim harus

1. Ketuhanan Yang Maha Esa (Tauhied). 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab (Kemanusiaan dan Ihsan). 3. Persatuan Indonesia (Hubbul wathan minal Iman). 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan (Syura). 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (‘Adl). Begitu pula halnya dengan organisasi, gerakan sosial, politik, dan kemasyarakatan di dunia Islam termasuk di Indonesia. Masing-masing punya warna pemikiran dan langkah gerakan (ideologi amal shaleh) yang berbeda. Ada Hizbullah yang “militan”. Ada Ikhwanul Muslimin yang “radikal”. Ada Taliban yang “ortodoks”. Ada Salafi yang “takfiri”. Ada Nahdlatul Ulama yang “tradisional”. Ada Muhammadiyah yang “moderat”. Ada JIL yang “liberal”. Keragaman tendensi ideologis diakibatkan dari pendefinisian dan penerjemahan nilai-nilai Islam yang berbeda, meskipun bersumber kepada yang sama: alQur’an dan Hadist.

176

SAID MUNIRUDDIN

bekerjasama, bergerak dalam satu shaf ibadah muamalah membangun ummah. Bagi HMI, Dokumen NDP merupakan kumpulan nilai-nilai atau prinsipprinsip umum dari aqidah, syariah dan akhlak yang diharapkan menjadi spirit dalam mencapai cita-cita individual dan sosial Islam. NDP tidak berisi hal-hal detil (fiqh teoritis dan praktis) tentang segala sesuatu, melainkan “pokok-pokok” bangunan Islam saja: iman, ilmu, dan amal. Sedikit tidaknya, dari “kitab ideologi” ini tergambar Islam “mazhab HMI”, yang disatu sisi termaknai sebagai “(organisasi) Islam yang netral mazhab”, disisi lain justru dipahami sebagai “(organisasi) Islam untuk semua mazhab”. Atas sikap ‘poros tengah’-nya ini, HMI memiliki khittah sebagai “organisasi ummatan wasatan”, himpunan penengah semua aliran dan kepentingan.

HMI DAN IDEOLOGI Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP-HMI): Rumusan Jawaban Berdimensi Ilahiyah terhadap Pertanyaan-Pertanyaan Mendasar dalam Hidup. Sebagaimana halnya ideologi-ideologi dunia, HMI berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan filosofis yang telah tersebut dimuka: 1. 2. 3. 4. 5.

Siapa kita? -teoritis Dari mana kita berasal? -teoritis Mengapa kita ada di sini? -teoritis Kemana kita akan pergi? -teoritis Bagaimana cara mengetahui sistem kehidupan terbaik? teoritis/praktis 6. Apa yang harus dilakukan agar kita bisa selamat sampai ke sana? praktis Sebagai sebuah organisasi intelektual yang berasaskan Islam, maka melalui konsepsi rasional-filosofis dan dengan bersumber pada alQuran dan asSunnah, HMI mencoba merumuskan jawaban atas pertanyaanpertanyaan teoritis dan praktis di atas. Sehingga lahir sebuah pengetahuan ideologis (keyakinan) berbasis nilai-nilai pokok ajaran Islam yang terdokumentasi dalam sebuah ‘kitab kecil’ yang diberi nama Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP HMI).

BAB 5 HMI dan Ideologi: “Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP)”

Nurkholish Madjid (Cak Nur)

177

‘Kitab’ ini dirumuskan tahun 1966-1969 oleh Nurkholish Madjid (Cak Nur). Awalnya hanya berupa kertas kerja PB HMI yang disusun Cak Nur untuk persiapan Kongres IX di Malang. Namun setahun sebelum kongres, tahun 1968, ia mendapat beasiswa council for leader and specialist untuk berkunjung ke USA. Disana ia berdialog dan mengamati dunia kemahasiswaan. Sepulang dari barat, ia melanjutkan petualangan ke Timur Tengah (Turki, Libanon, Syiria, Irak, Kuwait, Saudi Arabia, Sudan, Mesir, dan Pakistan).

Dari kedua perjalanan ini ia mendapat pemahaman beragam “isme” serta kondisi dunia kemahasiswaan dan ke-Islam-an. Lalu lahirlah draft NDP, yang kemudian dipresentasikan pada Kongres HMI IX di Malang tahun 1969. Beberapa aktifis HMI lain seperti Endang Saifuddin Anshari dan Sakib Machmud ikut mereview hasil kerjanya tersebut. Dokumen ini dipresentasikan kembali pada Seminar Kader di Pekalongan tahun 1970. Baru kemudian pada Kongres X tahun 1972 di Palembang, PB HMI mensahkan dokumen ini menjadi ideologi, acuan gerak organisasi.57 Sebelum lahirnya NDP, HMI belum memiliki bacaan komprehensif tentang ‘ideologi Islam’. Pada saat bersamaan, HMI sedang berhadapan dengan kelompok muda marsis (nasionalis-kiri) yang sudah memiliki pedoman berupa “Pustaka Kecil Marsis” (PKM). Maka dirasakan perlu adanya sebuah bacaan ideologis yang komprehensif untuk memompa militansi perjuangan. Maka lahirlah NDP yang berisi nilai-nilai fundamental yang menjadi patron pergerakan. Ide “Nilai-Nilai Dasar” sebenarnya terilhami dengan “Fundamental Values and Basic Demands of Democratic Socialism”, sebuah booklet karya Willi Eichler, ideolog partai sosialis Jerman.58 Sementara kata “Perjuangan” dipengaruhi oleh “Perjuangan Kita” karya Syahrir tentang

57 58

“Majalah Insan Cita”, PB HMI, 1997. W. Eichler. 1966. Fundamental Values and Basic Demands of Democratic Socialism. FriedrichEbert Foudation: Bonn.

178

SAID MUNIRUDDIN

ide sosialisme Indonesia. Syahrir sendiri kelihatannya meniru “Mein Kamp” (Perjuangan Ku) Hitler.59 Isi NDP HMI. NDP HMI merupakan worldview sekaligus ideology. Tetapi bagi HMI, NDP lebih disebut sebagai ideologi. Namun pengertiannya sudah mencakup baik ideologi dalam makna “umum” sebagai worldview (pemikiran universal teoritis tentang akidah/ushuluddin) maupun ideologi dalam makna “khusus” (pemikiran universal praktis tentang ibadah personal, dan perjuangan kemanusiaan; serta berbagai nilai akhlak yang menjadi dasar dari iman, ilmu dan amal).60 Pertama, Sebagai pandangan teoritis tentang ke-iman-an, berdasarkan Pandangan Dunia Ilahi (alQuran), NDP merumuskan ide tentang “penciptaan” (asal-usul, Tuhan), alam semesta, dan manusia. Disini dibahas tentang eksistensi Wujud Mutlak, eksistensi wujud ciptaan (alam semesta), tujuan penciptaan, relasi ciptaan dengan Pencipta, dan akhir dari ciptaan. Kemudian menjelaskan peran “kenabian” dan petunjuk-petunjuk yang dibawa dari Tuhan. Serta berbagai konsepsi tentang “esensi manusia”, relasinya dengan Tuhan dan alam, serta model kehidupan yang dijalani berdasarkan potensi yang diaktualkan. Semua tentang “eksistensi” ini (Tuhan, alam dan manusia) diuraikan dalam tiga bab pertama NDP HMI: (1) Dasar-Dasar Kepercayaan (2) Pengertian-Pengertian Dasar tentang Kemanusiaan (3) Kemerdekaan Manusia (Ikhtiar) dan Keharusan Universil (Takdir). Tiga bab awal ini membahas tentang akidah atau worldview. Sehingga dalam tiga bab ini pula terbangun beragam pemikiran (filsafat Islam) tentang: ontologi (wujud), teleologi (kenabian), dan antropologi (hakikat manusia).

N. Madjid dalam A.A. Tarigan. 2003. “Islam Universal: Kontekstualisasi NDP HMI dalam Kehidupan Beragama di Indonesia”, Pengantar: Latar Belakang Perumusan NDP HMI, hal. 1-26, Cita Pustaka Media: Bandung. 60 Penulis telah menguraikan prinsip-prinsip umum akidah (worldview) maupun akhlak dan syari’ah (ideologi) melalui sebuah visualisasi skematis “NDP Bintang ‘Arasy” yang membentuk kerangka rasional-filosofis dokumen NDP HMI yang tersusun atas rangkuman ayat-ayat alQur’an (S. Muniruddin. 2011. Bintang ‘Arasy: Visualisasi Skematis NDP HMI. BPL HMI Cabang Banda Aceh: Banda Aceh). 59

BAB 5 HMI dan Ideologi: “Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP)”

179

Kedua, sebagai pemikiran praktis ke-“Islam”-an, juga berdasarkan Pandangan Dunia Ilahi (alQuran), NDP merumuskan tentang apa yang harus dilakukan untuk menjabarkan nilai-nilai teoritis akidah; terhadap “diri sendiri” dan “masyarakat”. Di dalamnya termasuk apa yang “harus” dilakukan baik dalam konteks ibadah personal maupun ibadah sosial. Ada nilai-nilai universal ketuhanan yang “mesti” teraplikasi dalam praktik-praltik individual dan kemanusiaan. Semua pemikiran universal praktis tentang ibadah dan perjuangan ini diuraikan dalam tiga bab kedua NDP: (4) Ketuhanan Yang Maha Esa dan Perikemanusiaan (5) Individu dan Masyarakat (6) Keadilan Sosial dan Keadilan Ekonomi Dalam tiga bab ini terbahas tentang akhlak atau nilai-nilai dasar yang menjadikan seseorang insani, baik bagi dirinya sebagai “pribadi” maupun sebagai “makhluk sosial”. Dalam tiga bab ini dipaparkan pemikiran-pemikiran sosiologis -interaksi antar manusia, dan tugastugas kemanusian dalam aspek syariah tentang “ibadah umum” (ghairu maghdah, muamalah, kemaslahatan umum, kemasyarakatan atau kenegaraan). Sesuai kebutuhan HMI sebagai organisasi perjuangan, disini ditegaskan tentang pentingnya “jihad” atau “amar ma’ruf nahi munkar” dalam sebuah model ‘organisasi’ yang rapi. Sehingga disini terbangun diskursus (konsepsi-konsepsi religius-kultural-politis) tentang model “masyarakat/negara”, “kepemimpinan”, dan sistem “keadilan sosial dan ekonomi”. Juga disinggung beberapa dimensi ibadah personal syariat keIslam-an (seperti sholat dan zakat), yang jika dua hal ini dilakukan secara benar akan memiliki efek pendegradasian karakter tiranik dan kapitalistik. Dengan demikian mendorong pembangunan sosial dan ekonomi. Namun kupasan dua jenis “ibadah khusus” ini (ibadah mahdah) bukan dalam uraian teknis fiqih, melainkan lebih sebagai konsepsi “keharusan universal” praktis ke-Islam-an (hukum syar’i). Pada bab ini sebenarnya dapat dimasukkan dua dimensi praksis lain dari Islam (puasa dan haji) -yang Cak Nur belum mengikutsertakannya dalam bab 6 NDP-nya. Karena seperti halnya sholat dan zakat, dua ritual ini juga bagian dari kurikulum Ibadah wajib yang didisain Tuhan, yang jika dilakukan secara benar memiliki daya gempur yang kuat terhadap

180

SAID MUNIRUDDIN

penaklukan nilai-nilai ego dan kapitalisme. Puasa misalnya, berfungsi untuk menahan nafsu serakah dan mengarahkan orang untuk bertaqwa. Artinya, puasa memberantas sifat-sifat tamak, loba, atau suka mengambil yang bukan haknya (kapitalisme/syirik). Ritual haji juga demikian, berguna untuk menumbuhkan kesadaran tentang ke-Esa-an Tuhan dan persaudaraan universal (membentuk ummah). Artinya ibadah ini juga berfungsi untuk memberantas kelas-kelas sosial yang juga bentuk lain dari taghut (tirani) yang merupakan wujud lain dari kapitalisme/syirik. Sementara bab (7) “Kemanusiaan dan Ilmu Pengetahuan” lebih tepat disebut sebagai “kerangka berfikir” tentang NDP, walaupun tidak begitu jelas benar model epistimologinya (untuk ini teks NDP juga dapat dipertajam kembali). Karena NDP ini ideologinya HMI, maka ada sistematika pemikiran atau cara memperoleh ilmu pengetahuan terhadap berbagai objek telaahan, baik yang bersifat wujud metafisik (objek-objek iman) ataupun yang bersifat materi (objek-objek alam). Artinya, kerangka epistimologi dalam berfikir haruslah kuat ketika hendak membangun sebuah pandangan dunia yang bersifat teoritis. Disamping itu, bab ini juga memuat dimensi aksiologis. Yaitu “filsafat atau ilmu tentang aplikasi akidah” yang berupa praktik-praktik “syariah khusus” (ibadah mahdah/ibadah individual) dan “syariah umum” (ibadah ghairu mahdah/ibadah sosial); yang memperhatikan aspek ihsan: “baik” dan “buruk” (etika) serta “keindahan” (estetika). Sedangkan bab (8) hanya “Kesimpulan dan Penutup” dari NDP. Yang dengan dua dimensi akhlak ini -etika dan estetika- terbangun keagungan peradaban. Sedangkan bab 8 hanya “Kesimpulan dan Penutup” dari NDP. Jadi, hanya dua hal yang terkandung dalam ‘kitab’ NDP: worldview (pemikiran universal “teoritis” tentang akidah) dan ideologi (pemikiran universal “praktis” tentang akhlak, ibadah dan perjuangan). ‘Kitab’ ideologi ini disusun sebagai ikhtiar untuk memenuhi kebutuhan tujuan organisasi: “terbinanya ideal man” (insan cita) di HMI. Karena bagaimanapun, manusia yang utuh adalah yang “cerdas dan kuat akidahnya”, “bagus akhlaknya”, serta “tinggi amaliahnya”. Ini wujud dari manusia yang ber-iman, ber-

BAB 5 HMI dan Ideologi: “Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP)”

181

ilmu dan ber-amal; atau iman, islam, dan ihsan. Oleh sebab itu, NDP disebut juga sebagai: (1) Substansi spirit ajaran Islam ‘mazhab’ HMI; (2) Paham sekaligus keyakinan berfikir kader HMI menjalankan misinya; (3) Landasan etis dan normatif kader dalam mencapai tujuan; (4) Cara dan rambu dalam mencapai tujuan; (5) Formulasi ideal yang utuh dari iman-ilmu-amal.61

dalam

Konsepsi ideologis ini dianut sebagai petunjuk dalam mencapai Tujuan HMI: (1) Melahirkan model manusia paripurna –Insan Kamil, serta; (2) Melakukan amar makruf nahi munkar (berjihad), mewujudkan keadilan dan Ihsan (usaha perbaikan masyarakat).62 NDP: “Kitab Mazhab HMI”. Dalam ‘kitab’ ideologi HMI (NDP-HMI), terdapat gambaran umum tentang akidah, akhlak dan syariat yang secara teoritis diyakini dan secara praktis menjadi acuan gerak organisasi. Namun perlu diingat, secara ideologis, HMI dibangun dengan universalitas nilai-nilai alQur’an dan asSunnah. Karena universalitas ini, “HMI tidak mempunyai ideologi keagamaan [orientasi mazhab] yang jelas benar”.63 Jika dikaitkan dengan sejumlah mazhab akidah, ‘kitab’ ideologi HMI (NDP) tidak mendefinisikan dirinya sebagai “Asy’arisme”, “Syi’isme”, “Mu’tazilisme”, ataupun “Maturidisme”. Namun nilai-nilai universal mazhab-mazhab akidah ini dapat ditemukan dalam dokumen ‘ideologi Islam’ versi HMI. Pada aspek akhlak, HMI juga tidak punya ketegasan tentang mazhab thariqah yang dianutnya. Memang secara ideologis, konsepsi “insan kamil” (manusia sejati atau insan cita) yang tersebut dalam ‘kitab’ HMI berkaitan erat dengan pemikiran seorang tokoh besar tasawuf-falsafi abad ke-7 Ibnu Arabi. Namun HMI sama sekali bukan organisasi kumpulan para sufi. Tidak ada aturan ideologis yang mengarahkan

S. Muniruddin. 2009. Kitab LK-I HMI, hal. 35, BPL HMI Cabang Banda Aceh: Banda Aceh. N. Madjid. 1971. Nilai-Nilai Dasar Perjuangan: Pengantar Pengurus Besar HMI, PB HMI: Jakarta. 63 A. Azra. 2008. “Mengabdi Republik Memberdayakan Umat: Apresiasi atas Kiprah Keislaman dan Kiprah Keindonesiaan HMI” pengantar dalam A. Sitompul, Menyatu dengan Ummat, Menyatu dengan Bangsa: Pemikiran Keislaman-Keindonesiaan HMI (1947-1997), hal. x-xxi. Misaka Ghaliza: Jakarta. 61 62

182

SAID MUNIRUDDIN

himpunan pada praktik aliran kebatinan tertentu. Meskipun personal kadernya banyak yang rajin mengasah jiwa dalam berbagai ordo tarikat. Demikian juga dalam bidang fiqih, HMI disebut sebagai “organisasi yang tidak bermazhab”.64 HMI bukan tempat belajar tentang praktik Hanafisme, Malikisme, Syafi’isme, Hambalisme, Ja’farisme, Zaydisme, Ibadhisme, ataupun Zahirisme. Meskipun terbuka diskusi tentang fiqih, namun tidak untuk memaksakan mengikuti salah satunya. Karena ini HMI dinilai ‘kering’ dari doktrin dan praktik formal keagamaan sehingga berakibat larinya kader-kader yang haus dimensi ritual, bergabung dengan haraqah kampus lainnya. Jika dibandingkan dengan dua ormas besar, NU dan Muhammadiyah: “Dalam batas tertentu, HMI mungkin lebih dekat kepada Muhammadiyah, tetapi, organisasi terakhir ini sebenarnya bukan tanpa orientasi mazhab tertentu; karena dalam banyak segi Muhammadiyah cenderung dipengaruhi oleh “Hambalisme”. Meski demikian, perilaku dan praksis keagamaan HMI tetap lebih mirip Muhammadiyah daripada NU. Meskipun HMI tidak pernah mengangkat tema-tema neosalafisme, seperti pemberantasan takhayul, bid’ah, dan khurafat -seperti dilakukan Muhammadiyahtetapi, praktik dan pengalaman keagamaan HMI-Muhammadiyah sama-sama “bersahaja”; tidak penuh nuansa dan “berbunga-bunga” (biasa disebut bid’ah) seperti [dituduh] kental di NU. Praksis keagamaan HMI -dan juga Muhammadiyah- memang lebih menekankan aspek kognitif daripada afektif.” 65 ‘Bangunan HMI’ selama ini lebih diarahkan pada dimensi pengayaan akal daripada ritual afeksi. Periode singkat kemahasiswaan digarap untuk lebih membekali kekuatan akademis aqlu (intelek) sebagai alat pencarian kebenaran. Namun kini, usaha untuk memperdalam dimensi qalbu mulai diupayakan. Pedoman perkaderan sendiri pada dasarnya sangat mementingkan kesadaran afektif sebagai dasar mentalitas kekaderan. Sejumlah training mulai menerapkan metode doktrin dan ritual sufisme, tanpa mengabaikan aspek falsafi. Di beberapa daerah, mulai diperkenalkan praktik dan makna-makna esoterisme dari “wudhuk”, “sholat”, “basmallah”, “istighfar”, “doa”, “alfatihah”, “shola-

64 65

Ibid. Ibid.

BAB 5 HMI dan Ideologi: “Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP)”

183

wat”, sampai kepada “tarian-tarian sufi” dalam pengayaan training; disamping teknik-teknik kontemplatif umum lainnya. Namun dalam keseharian organisasi, sisi argumentatif-kognitif (intelektualisme) masih mendominasi ‘fiqh’ himpunan. Namun demikian, ada upaya mengintegrasikan dimensi rasional dengan spiritual. ‘Kitab’ ideologis Bintang ‘Arasy ini hadir juga untuk mengingatkan kembali urgensi wajah “filosofis-gnostik” (rasionalis-mistis, dhahir-batin) dari Islam. Sebenarnya, kader HMI sendiri “bukanlah orang-orang yang tidak bermazhab”. HMI sendiri didirikan oleh orang-orang yang memiliki latar belakang NU, Muhammadiyah, dan lainnya.66 HMI justru menjadi tempat berkumpul orang-orang Islam dengan berbagai background; Sunni, Syi’i, NU, Muhammadiyah, dan sebagainya, sampai kepada yang mengaku “tidak tau” apa mazhabnya atau “tidak memiliki” afiliasi mazhab apapun. HMI memiliki hubungan ‘kekerabatan’ dengan semua jenis muslim. Jika berpijak pada isu “modernisasi pemikiran keagamaan”, HMI kelihatannya ‘satu perahu’ dengan Muhammadiyah. Namun konsepsikonsepsi ideologis “keislaman-keindonesiaan” HMI justru banyak lahir dari guru bangsa Prof. Dr. Nurcholish Madjid -yang notabene kader NU. Disaat berinteraksi dengan realitas ke-Indonesia-an, secara “kultural” HMI memberi apresiasi terhadap tradisi Sunni Syafi’i. Sementara karena penghormatan terhadap “rasionalitas”, rumusan ideologi HMI justru lebih dekat dengan Ja’fari, terutama dalam pembahasan takdir (bab 3 NDP) dan urgensi jihad (bab 6 NDP). Jika Sunni cenderung mengadopsi pemikiran deterministik takdir milik Abu Hasan alAsy’ari (jabariyah) yang berseberangan dengan ‘kehendak bebas’-nya Washil bin Atha’ (qadariyah), HMI justru berada ditengah sebagaimana pandangan Ja’far Shodiq. HMI mengakui sebagian pemahaman Asy’ari dalam aspek ‘kepastian alamiah’ (sunnatullah, hukum alam), serta menolak sisi fatalis yang menghilangkan pengakuan perolehan hasil yang lahir dari proses ikhtiari. HMI juga menerima seperangkat free-will insan yang dipahami Mu’tazilah, namun menolak menerima totalitas ‘kehendak bebas’ yang cenderung meniadakan peran Tuhan.

66

Empat belas pendiri HMI: Lafran Pane, Karnoto Zarkasyi, Dahlan Husein, Siti Zaenah, Maisaroh Hilal (cucu pendiri Muhammadiyah K.H. A. Dahlan), Soewali, Yusdi Ghozali, Anwar, Hasan Basri, Maewan, Tayeb Razak, Toha Mashudi (mantan pengurus NU Jatim), Bidron Hadi (ahli falak PP Muhammadiyah), Zulkarnaen, dan Mansyur.

184

SAID MUNIRUDDIN

Dengan demikian, HMI dalam konteks “pemikiran akidah” tidak melabeli diri sebagai Sunni, juga tidak menyatakan diri sebagai Syi’i. Dalam “praksis sosial keagamaan nasional” juga tidak berpayung kepada NU, juga tidak ke Muhammadiyah. HMI adalah HMI, sebuah organisasi kemahasiswaan yang berusaha menemukan dan menghimpun semua spirit terbaik dari keseluruhannya. HMI dan “Mazhab Masa Depan”. Sebagai mazhab yang hidup, HMI kelihatannya akan -dan harus- terus berubah, berusaha mendekat kepada spirit universal dari Islam (nilai-nilai alQur’an dan asSunnah). Dari sisi fiqih, kader-kader punya kebebasan menentukan ‘bentuk’ keagamaannya pada model-model ritual yang referensinya diperoleh dari imam-imam fiqh “mazhab terdahulu”. Masalah fiqh dianggap telah selesai. Namun pemikiran dan praktik-praktik ideologis ke-Islam-an pada sektor publik (kemaslahatan umum) belum tuntas dan terus berkembang seiring perkembangan zaman. Untuk yang terakhir ini kita mengikuti kata Nabisaw, “Kalian lebih tau urusan dunia kalian” (HR. Muslim). HMI punya tanggungjawab intelektual dan profesional untuk terus merumuskan pemikiran-pemikiran ideologis (“mazhab-mazhab baru”) yang lebih cemerlang dalam bidang kemaslahatan umum; terutama aspek: (1) Politik, hukum, dan demokrasi (2) Perekonomian dan bisnis yang islami Sesungguhnya, pada tujuan HMI telah tersurat rumusan ideologis masa depan organisasi: “Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah swt” (Tujuan HMI). Secara ideologis, HMI sebenarnya ingin melahirkan “imam-imam” di bidang muamalah (ekonomi, politik, hukum, sosial, budaya, pendidikan, lingkungan, kesehatan, dan sebagainya). Setiap kader diproyeksikan menjadi “ahli” dan “ideolog” di bidang keilmuan masing-masing: akademis, inovatif (pencipta), dedikatif (pengabdi), islami, dan punya sense of social responsibiliy. Dengan kualifikasi ini,

BAB 5 HMI dan Ideologi: “Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP)”

185

tidak hanya mereka punya “pendengar” terhadap ilmu-ilmunya, tetapi juga “diikuti”. Tidak hanya punya “murid”, melainkan juga “pengikut”. Keahlian seorang kader Islam tidak sebatas konsep, tapi juga ideologis: mampu “meyakinkan” dan “menggerakkan” massa dari kondisi dekaden status quo, malas, dan takut; kepada kebenaran ideal dan aspirasiaspirasi tertinggi kemanusiaan. Seperti disampaikan Ali Syari’ati, “agama sebagai ideologi muncul ketika rasul-rasul besar lahir dari kalangan suku-suku tertentu, ketika mereka memimpin gerakan-gerakan historis untuk membangkitkan dan mencerahkan”.67 Inilah “insan cita”, “imam” atau “pemimpin” di bidangnya. Ilmu-ilmu yang di “imami”-nya adalah ilmu-ilmu yang berdimensi ilahiyah, mampu mengajak orang kepada ma’rifat (mengenal Tuhan). Jadi, ia bukan “antek-antek asing” atau “corong kapitalis”. Juga bukan pengkampanye ilmu-ilmu barat yang berdimensi sekular positivistik, yang menyembunyikan Tuhan sebagai Realitas Utama dibelakang semua fenomena. Seorang kader ideolog tidak terkungkung tradisi, tetapi berusaha membangun “mazhab-mazhab” baru dalam bidang keilmuan modern. Sehingga ditangannya terus lahir hukum-hukum, konsep dan praktik (fiqh) “ekonomi Islam”, “politik Islam”, “pendidikan Islam”, dan berbagai acuan atau standar kehidupan publik lainnya yang kaya akan nilai-nilai Islam. Apa yang dibangunnya bukan sebatas slogan-slogan yang justru dapat mencederai Islam, melainkan sesuatu yang konseptual dan operasional. Untuk membangun “mazhab masa depan” yang fokusnya adalah “kemaslahatan umat dan bangsa”, HMI harus ‘bermain cantik’. “Politik”, “strategi”, dan “taktik” adalah sekumpulan alat yang harus dikuasai untuk memenagkan pertempuran dalam merealisasikan semua konsepsi ideologis (teoritis dan praktis) pada sektor kemaslahatan publik. Spirit yang mesti dipelihara dalam perjuangan adalah spirit sebagai ummatan wasathan, kelompok moderat, pemersatu umat dan bangsa dari berbagai ‘pertikaian’ atas dasar etnis maupun agama. Sehingga nama “mazhab Islam”, “mazhab politik” atau “mazhab intelektual” yang paling tepat untuk mainstream ‘jalan tengah’ HMI adalah “mazhab cinta”. Mazhab yang berdamai dengan pluralitas keummatan dan kebangsaan. Mazhab yang toleran dan mampu mengapresiasi perbedaan etnis dan keyakinan

67

A. Syariati. 1989. Ideologi Kaum Intelektual: Suatu Wawasan Islam, hal. 89. Penerbit Mizan: Bandung.

186

SAID MUNIRUDDIN

sebagai sunnatullah atau rahmat dari Tuhan. Inilah makna himpunan sebagai organisasi “anak ummat”. Sikap hidup sebagai “anak ummat”, “kader ummat”, “atau kader bangsa” merupakan cerminan ideologis organisasi yang diperlihatkan oleh pendiri HMI, Lafran Pane dan kawan-kawannya. Sejak 1947 mereka telah meninggalkan sekat-sekat parokialisme dan sektarianisme yang memenjara umat Islam. Cak Nur menyebutkan, dalam diri Lafran dan kawan-kawan, yang kemudian ditularMazhab HMI “Mazhab Cinta” kan ke HMI, terdapat satu kearifan (wisdom) yang tersembunyi dan latent, yaitu kesadaran keagamaan-kebangsaan yang inklusifistik. Pandangan ini jauh lebih luas dan bersifat melampaui primordialisme keagamaan konservatif. 68 Identitas HMI sebenarnya dapat ditemukan pada jati diri Lafran sang pendiri, yang serba komplit ini. Wawasan keagamaan-keindonesiaan yang modern dengan pandangan sosial-politik-relijius yang serba meliputi adalah sebuah kosmopolitanisme pandangan yang didapat Lafran dari proses pergulatan spiritual dan intelektual. Independensi beliau tidak terletak pada netralitas keilmuan, tidak pula pada pandangan keagamaan; tetapi pada sikap kritis dan etisnya dalam memandang dan mencari kebenaran. Struktur fundamental wawasan dan ideologi HMI adalah institusionalisasi dari sikap, pandangan hidup, dan karakter Lafran Pane. Ia seorang pemberontak yang menolak dikooptasi oleh sektarianisme politik dan mazhab. Ia memperoleh spirit universal keislaman setelah berpetualang sekian lama. Dia ini figur pecinta kebenaran dan pencari sejati, yang siang-malam dihabiskan untuk menemukan jawaban dari hakikat hidupnya.69 Sistematika NDP HMI dalam Menjawab Pertanyaan-Pertanyaan Mendasar dalam Hidup. Pertanyaan-pertanyaan dasar filosofisideologis tentang hidup dan tujuannya berusaha dijawab oleh HMI

A. Azra. 2008. “Mengabdi Republik Memberdayakan Umat: Apresiasi atas Kiprah Keislaman dan Kiprah Keindonesiaan HMI” pengantar dalam A. Sitompul, Menyatu dengan Ummat, Menyatu dengan Bangsa: Pemikiran Keislaman-Keindonesiaan HMI (1947-1997), hal. x-xxi. Misaka Ghaliza: Jakarta. 69 Ibid. 68

BAB 5 HMI dan Ideologi: “Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP)”

187

dalam 8 bab dokumen NDP. Tabel 6 dibawah ini adalah “kerangka” isi buku kecil ideologi HMI rumusan Cak Nur tersebut. Tabel 5.1: Kerangka Filosofis Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP HMI).70 PERTANYAAN MENDASAR DALAM HIDUP 1. Dari mana saya berasal & kemana saya akan pergi? (Apakah Tuhan itu ada?)

2. Siapa saya? (Apa itu manusia?)

3. Bagaimana relasi perbuatan saya dengan kehendak Tuhan? (Manusia yang menentukan 70

ULASAN JAWABAN dalam Dokumen Nilai-Nilai Dasar Perjuangan HMI BAB I "Dasar-Dasar Kepercayaan" Pokok Bahasan: Pencarian Kebenaran (Memahami asal-usul & tujuan segala yang ada. Mengenal Pencipta: apakah Tuhan itu ada? & memahami hakikat penciptaan)

BAB II "Pengertian-Pengertian Dasar tentang Kemanusiaan" Pokok Bahasan: Memahami diri sendiri (Apa itu manusia, apa yang menyebabkan manusia menjadi manusia, apa ukuran dari hina & mulianya manusia) BAB III "Kemerdekaan Manusia (Ikhtiar) dan Keharusan Universil (Takdir)"

KONSEP-KONSEP KUNCI dalam Dokumen Nilai-Nilai Dasar Perjuangan HMI Manusia makhluk percaya, pengetahuan tasawur/konsepsi sederhana, konsep tunggal, konsep majemuk, animisme, naturalisme, materialisme, positivisme, monoteisme, multiteisme/politeisme, ateisme, kepercayaan yang benar/Kebenaran, Wujud (“Ada”), wujud (ada), hukum kausalitas, hukum nonkontradiksi, tauhied/iman, kalimat tauhied (“laa ilaha illa Allah”), Islam, nubuwwah (wahyu, kenabian, alQur’an), filsafat penciptaan, manusia sebaik-baik ciptaan, khalifah fil ardh, filsafat idealisme, filsafat agnostisme, filsafat materialisme, syirik, hukum dasar alami, ma’ad/ekskatologi/akhirat/ qiyamat/yaumuddin. Manusia sebaik-baik ciptaan, ukuran kemuliaan manusia, geosentris, heliosentris, humanisme, basyar, insan, annas, fitrah, hanief, dlamier/hati nurani, hawa, nafsu, syahwat, intelektual, mental, spiritual, insan kamil.

Individualitas, komunalitas, naturalitas, kebebasan, kemerdekaan, qadha, qadar, sunnatullah, taqdir, taqdir dzati, taqdir tasyri’i, iradah, ikhtiar, hukum kausalitas, keadilan ilahi

Pokok Bahasan: Memahami peran Tuhan

S. Muniruddin. 2011. Bintang ‘Arasy: Visualisasi Skematis NDP HMI. BPL HMI Cabang Banda Aceh: Banda Aceh.

188

SAID MUNIRUDDIN atau semua sudah ditentukan Tuhan?) 4. Seperti apa hidup yang baik?

5. Dimana, dengan siapa & bagaimana saya harus hidup?

6. Apa misi saya selama hidup?

terhadap gerak manusia (Memahami wilayah kreatif manusia & wilayah ketentuan Tuhan) BAB IV "Ketuhanan Yang Maha Esa dan Perikemanusiaan" Pokok Bahasan: Memahami hakikat hidup, cara mencapai kebahagiaan & kesempurnaan BAB V "Individu dan Masyarakat" Pokok Bahasan: Memahami relasi antara hidup sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat BAB VI "Keadilan Sosial dan Keadilan Ekonomi" Pokok Bahasan: Aplikasi nilai-nilai keimanan dalam amal shaleh (Menegakkan keadilan/jihad/ amar ma'ruf nahi munkar/ Membangun masyarakat atau negara/ membangun peradaban)

7. Bagaimana saya dapat mengetahui bahwa apa yang saya yakini (iman) & saya lakukan (amal) adalah

BAB VII "Kemanusiaan dan Ilmu Pengetahuan" Pokok Bahasan: Cara memperoleh ilmu pengetahuan yang benar tentang iman & amal,

Hidup yang buruk, pamrih, syirik, kufar, dhalim, riya’, dosa, hidup yang baik, ikhlas, iman (tauhied), Islam, amal shaleh, adil, ihsan, ridha Allah, insan kamil.

Individu/”aku”, masyarakat, potensi baik manusia, potensi buruk manusia, monopoli, monopsoni, diferensiasi, spesialisasi, sistem sosial yang adil dan berdasarkan tauhied, pertanggungjawaban individu, pertanggungjawaban kolektif. Individu, masyarakat, negara, kemerdekaan, keadilan, pemimpin, kriteria pemimpin, amar ma’ruf, nahi munkar, keadilan sosial, keadilan ekonomi, keadilan lingkungan, individualisme, sosialisme, dialektika sejarah/pertentangan antar kelas, liberalisme, diktatorisme, kapitalisme liberal, kapitalisme sosial, , taghut/syirik, fasisme, feodalisme, imperialisme/kolonialisme, komunisme, sholat, puasa, zakat, haji, jihad, paradigma kepemilikan, cara perolehan kekayaan, cara penggunaan kekayaan, persamaan hak & ikhtiar, kaya, miskin, halal, haram, kepemilikan pribadi, korupsi, taqtier, tabzier, khumus, zakat, infaq, shadaqah, qurban, jizyah, hibah, waqaf, masyarakat adil makmur. Iman, benar, salah, proposisi, pengetahuan tasaawur/konsepsi sederhana, konsep tunggal, konsep majemuk, ilmu pengetahuan, ontologi, epistimologi, pengetahuan inderawi/empiris, pengetahuan rasional/argumentatif,

BAB 5 HMI dan Ideologi: “Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP)” benar?

8.

Secara singkat, seperti apa wujud dan hidup manusia yang sempurna?

serta etika & estetika yang mengiringinya (epistimologi, ontologi, aksiologi)

BAB VIII "Kesimpulan dan Penutup"

189

pengetahuan iluminatif/intuitif, pengetahuan tekstual/skriptural, wujud fisik/alam fisika, wujud matematik/alam mitsal, wujud metafisik/alam akal/alam spiritual, ilmu hushuli/shuduri, ilmu hudhuri, realitas internal, realitas eksternal, realitas tekstual, Wujud Wajib, metode induksi/empiris (obesrvasi dan eksperimentasi), metode deduksi/rasional (filsafat logika), metode irfan (penyatuan jiwa), kebenaran relatif, kebenaran mutlak, beriman & berilmu, haqqul yaqin, ma’rifatullah, taqwa, syukur, aksiologi, etika, estetika, amal shaleh, insan kamil. Tauhied, bebas-merdeka, adil, ihsan, tanggungjawab, ilmuiman-amal, Islam-iman-ihsan.

Pokok Bahasan: Wujud Manusia Sempurna (Manusia yang maksimal Beriman-Berilmu-Beramal. Manusia yang memiliki totalitas dari 5 nilai dasar Islam: Tauhied, Merdeka (ikhlas), Adil, Ihsan, & Bertanggungjawab

Dari tabel tersebut terlihat, ideologi HMI tersusun atas “8 maqom” (bab). Konsepsi ideologi diawali dengan ‘maqom’ pembahasan tentang iman “Dasar-Dasar Kepercayaan” (Bab 1) dan diakhiri dengan ‘maqom’ uraian tentang ilmu “Kemanusiaan dan Ilmu Pengetahuan” (Bab 7). Di dalam keseluruhan babnya dibahas berbagai konsepsi rasional-filosofis tentang eksistensi: Tuhan, manusia dan alam; serta berbagai perilaku utama amaliah -sebagai turunan dari keyakinan kepada Tuhan dan pemahaman tentang diri sendiri- dalam wujud: akhlak, ibadah dan perjuangan. Semua uraian ini tersimpul dalam Bab 8. Lima Nilai Dasar Islam dalam NDP HMI. Ketika membahas worldview (akidah) dan ideologi (akhlak, ibadah dan muamalah) banyak sekali nilai-nilai Islam yang dapat disari dari alQur’an. Ada tauhied, taqwa, cinta, syukur, kemerdekaan, kebebasan, kepasrahan, keikhlasan, ibadah, pengabdian, jihad, amar ma’ruf nahi munkar, keadilan, sabar, proaktif,

190

SAID MUNIRUDDIN

konsisten, energik, ketegasan, kelembutan, demokrasi, kepemimpinan, individual, sosial, liberal, organisatoris, rela berkorban, keindahan, kebaikan, kesempurnaan, kesucian, etika, estetika, kasih sayang, tanggungjawab, dan seterusnya. Jumlah nilai yang begitu banyak ini dapat saja disederhanakan, sehingga membentuk sekumpulan “nilainilai dasar” yang menjadi framework “perjuangan”. Pada akhirnya, keseluruhan prinsip atau nilai tersebut dapat disimpulkan dalam “lima nilai dasar universal” yang menjadi doktrin pokok perjuangan. Kelima nilai tersebut adalah: (1) (2) (3) (4) (5)

Tauhied (Oneness of God, Unity); Ikhlas (Freewill and Freedom); Adil (Just and Equal); Ihsan (Benevolence); Tanggungjawab (Responsibility).71

Kelima nilai ini dapat saja disingkat lagi menjadi: (1) nilai-nilai ketuhanan dan (2) nilai-nilai kemanusiaan. Karena semua nilai tersebut merupakan prinsip-prinsip tentang bagaimana cara berhubungan dengan Tuhan dan sesame manusia. Karena bersumber dari al-Quran, maka semua nilai ini dapat dirangkum dalam satu nama: “nilai-nilai Ilahiyah”, yang akar dari semuanya “tauhied”. Dalam dokumen NDP HMI, kelima nilai Ilahiyah tersebut tersirat pada Bab 8 tentang “Kesimpulan dan Penutup”.72 Hubungan Islam, NDP, Misi, dan Tujuan HMI. Seperti terlihat pada gambar selanjutnya. Islam merupakan dasar, asas, motivasi, atau sumber pembenaran gerak langkah organisasi. Dari “Islam”, yaitu Qur’an dan Hadist, diambil nilai-nilai atau prinsip-prinsip yang menjadi acuan perjuangan. Dari banyak sekali nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan tersebut, HMI kemudian menyimpulkan “lima nilai dasar” yang diharapkan terinternalisasi secara utuh dalam diri seorang kader untuk N.Madjid. 1971. “Nilai-Nilai dasar Perjuangan HMI: Bab 8 Kesimpulan”, PB HMI: Jakarta; teresume dalam S.Muniruddin. 2011. Bintang ‘Arsy: Visualisasi Skematis NDP HMI. BPL HMI Cabang Banda Aceh: Banda Aceh. 72 Hari ini, beragam nilai tersebut diramu dalam sejumlah prinsip yang disebut good governance (tata kelola yang baik). Seorang individu, suatu organisasi, atau sebuah negara dinyatakan mempunyai kinerja atau performa yang baik ketika mampu mempraktikkan secara seimbang sejumlah prinsip seperti: (1) Transparansi -transparency; (2) Partisipasi -participation; (3) Keadilan -fairness; (4) Efisiensi -efficiency; (5) Efektifitas -effectivity; (6) Kepatuhan pada hukum -rule of law; (7) Akuntabilitas -accountability. Pada dasarnya, semua prinsip tata kelola ini diadopsi dari sejumlah nilai-nilai universal. 71

BAB 5 HMI dan Ideologi: “Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP)”

191

membentuk sosok pribadi dan organisasi yang ideal. Kelima nilai tersebut adalah: ke-tauhied-an, ke-ikhlas-an (kemerdekaan dan kebebasan), ke-adil-an, ihsan, dan tanggungjawab. “Keyakinan” (keimanan) atas keseluruhan nilai-nilai ini tentunya tidak diperoleh dari sekedar percaya-percaya saja, melainkan dari proses kajian dan pemahaman yang mendalam tentang kebenaran (ilmu pengetahuan), sehingga aplikasi perjuangan (amal shaleh) turut menjadi benar. Nilai-nilai inilah yang harus dibawa dalam setiap nafas perjuangan perwujudan misi HMI, melalui berbagai program dan aktifitas keorganisasian, baik ketika masih menjadi anggota atau telah menjadi alumni. Dengan demikian, Tujuan HMI hanya akan terwujud melalui internalisasi dan implementasi “lima nilai dasar” tersebut. Gambar 5.2: Kaitan Islam, NDP, Mission, dan Tujuan HMI

@ Said Muniruddin 2013

192

SAID MUNIRUDDIN

Lima Nilai Dasar Dalam NDP. Pada gambar sebelumnya tersebut “5 Nilai Dasar”, yang saling terkait antara satu dengan lainnya. Nilai-nilai tersebut adalah: tauhied, kebebasan dan kemerdekaan (ikhlas), keadilan, ihsan, dan tanggungjawab. Dalam lima nilai ini terangkum keseluruhan nilai-nilai lainnya.73 Tabel 5.2: “Bintang ‘Arasy”, Lima Nilai Dasar Perjuangan HMI. “BINTANG ‘ARASY” 1. TAUHID - Tauhied wal Ma’rifah (Oneness of God) 2. KEBEBASAN & KEMERDEKAAN -alIkhlas (Freewill and Freedom) 3. KEADILAN - asSidqu wal ‘Adlu (Just and Equal) 4. IKHSAN - alKamal wal Jamal (Benevolence) 5. TANGGUNGJAWAB - atTaklif (Responsibility)

NDP Bab 1, 4, & 7 Bab 3, 4 & 5 Bab 4, 5 & 7 Bab 2, 3, 5 & 6 Bab 3, 5 & 6

“Konsekwensi dari TAUHIED adalah terbebaskan dari segala belenggu selain Tuhan. Manusia-manusia seperti ini patuh, mengabdi atau berserah diri hanya kepada Allah. Inilah IKHLAS, akhlak paling dasar seorang hamba yang bertaqwa. Manusia-manusia merdeka ini kemudian terpanggil untuk memerdekakan orang lain, yang disebut dengan perjuangan menegakkan KEADILAN (jihad/amar ma’rud nahi munkar). Perjuangan ini merupakan sesuatu yang benar, karena didorong oleh rasa cinta kepada Tuhan. Sehingga semua yang dilakukan senantiasa memancarkan nilainilai keindahan, kebaikan, dan kesempurnaan. Inilah IKHSAN, amal sholeh yang penuh dengan nilai-nilai etika dan estetika, yang terjelma dalam karya dan peradaban; yaitu masyarakat adil dan makmur. Semua tugas kekhalifahan ini dijalani sebagai bentuk TANGGUNGJAWAB, baik untuk diri sendiri, masyarakat, maupun lingkungannya. Disamping pertanggungjawaban utama yang akan dilakukan dihadapan Tuhan di yaumul akhir. Inilah Insan Kamil atau Bintang ‘Arasy. Manusia yang lima nilai dasar Islam bercahaya dalam jiwa dan perilakunya.”

Bagaimana Memahami Nilai-Nilai Tersebut? Sebelum memahami lebih lanjut satu persatu tentang nilai-nilai tersebut, simak drama penangkapan Cut Nyak Dhien oleh Belanda. Wanita pejuang ini tertangkap disebabkan pengkhianatan salah satu panglimanya. Atas informasi Waki Him atau “Pang Laot”, Belanda berhasil mengepung lokasi persembunyian Cut Nyak Dhien. DUTCH Commander: ”Which one is Tjut Njak Dien?” (No one volunteers to show. Everyone stands up in silent disbelief of what is

73

S.Muniruddin. 2011. Bintang ‘Arasy: Visualisasi Skematis NDP HMI. BPL HMI Cabang Banda Aceh: Banda Aceh.

BAB 5 HMI dan Ideologi: “Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP)”

unfolding before their eyes – but no one shows any sign of panick. Everyone stands on his her ground.) Komandan Belanda: “Yang mana Cut Nyak Dhien?” (Tidak ada yang mau menunjukkan. Semua berdiri terdiam, tidak percaya apa yang sedang terjadi didepan mata – tetapi tidak ada satupun yang menunjukkan rasa panik. Semua berdiri pada posisi masing-masing). Dutch Commander: ”Will someone show me which one is Tjut Njak Dien!” (More silence). Komandan Belanda: “Tak adakah satu orangpun yang mau menunjukkan yang mana Cut Nyak Dhien!” (Suasana semakin senyap). Dutch Commander: ”Bring Waki Him here!” All camp members (almost in unison): ”Oh, you, Waki Him! We spit upon you Waki Him!” (Waki Him is pushed forward to the front. He is obviously very reluctant to show his traitorous face to his former friends. Waki Him lamely points his fingers at Tjut Njak Dien, and he slowly walks to wards her, and when he stands precisely in front of her, he says): Komandan Belanda: “Bawa Waki Him kemari!” Semua Penghuni Kemah (hampir secara bersamaan): “Oh, kamu rupanya Waki Him ya! Kami akan meludah mayat mu! (Waki Him didorong ke depan. Dia terlihat sangat enggan menunjukkan wajah khianatnya kepada kawan-kawannya. Perlahan Waki Him menunjukkan jarinya kepada Cut Nyak Dhien, seorang perempuan yang sudah tua, matanya telah rabun, mulai bungkuk dan terlihat dalam kondisi lemah. Waki Him berjalan pelan ke arah perempuan ini, dan dia berdiri tepat di hadapannya, lalu berkata): WAKI HIM: ”Forgive me, Your Highness, but I did this for your sake, so that your suffer no more. Your illnesses can be cured. You will not have to suffer hunger anymore!” Waki Him: “Ma’afkan saya, Yang Mulia. Tapi saya melakukan ini demi engkau juga, supaya engkau tidak menderita lagi. Dengan ini sakit mu akan terobati. Dan engkau tidak akan menderita kelaparan lagi!”

193

194

SAID MUNIRUDDIN

Tjut Njak Dien: ”I do not ask for your pity, Waki Him! Do you think we are domestic animals whose primary requipment is only full belly? No Waki Him, we are Free Achehnese, free human beings whose primary requipment is not full belly, but full honor and dignity. We die for honor and dignity, and not for food in the belly!” Cut Nyak Dhien: “Saya tidak meminta rasa kasihan mu, Waki Him. Apakah kamu kira kita ini binatang peliharaan, yang tujuan hidupnya hanya untuk memenuhi perut? Tidak Waki Him. Kita ini orang-orang Aceh yang merdeka, manusia yang bebas, yang kebutuhan dasarnya bukan perut yang kenyang, melainkan kehormatan dan kedaulatan. Kita mati untuk kemerdekaan dan kemuliaan, bukan untuk makanan pengisi perut!”74

Cut Nyak Dhien

Apa yang dapat ditangkap dari drama di atas? Dapatkah anda melihat nilai-nilai ketauhidan dari jiwa seorang perempuan yang menghabiskan sisa hidup dari hutan ke hutan? Mampukah anda menangkap nilai-nilai keikhlasan (kebebasan dan kemerdekaan) yang keluar dari keringat seorang perempuan pejuang? Bisakah anda merasakan spirit penegakan 74

H. Tiro. 1978. “The Drama of Achehnese History”, dalam Catatan Qahar Muzakar: Mengenang Dua Tahun Meninggalnya Hasan Tiro. Berita on-line ‘TheAtjehPost.com’, Minggu, 03 Juni 2012. Dialog tersebut adalah salah satu bagian cerita dari The Drama of Achehnese History, yang ditulis Hasan Tiro tahun 1978, saat ia bergeriliya di Gunung Petisah, Pidie, Aceh.

BAB 5 HMI dan Ideologi: “Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP)”

195

keadilan, perlawanan, ketabahan, dan kesabaran yang memancar dari keriput fisik sang pahlawan? Bukankah begitu jelas ruh ihsan, kemuliaan, kesucian dan rasa tanggungjawab yang tinggi kepada Tuhan dan bangsanya yang dipercontohkan oleh salah satu perempuan terbaik bangsa ini? Bisakah anda nilai semua yang terpancar dari diri beliau ini dengan ukuran materi dan uang? Tidak. Anda tidak akan pernah mampu membeli insan-insan ilahiyah seperti ini. Karena mereka telah ‘menjual’ harta dan jiwa hanya kepada Tuhan:

“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan Itulah kemenangan yang besar” (QS. atTaubah -9: 111). Dari drama non-fiksi tersebut terlihat bagaimana ketauhidan melahirkan keikhlasan. Jiwa yang ikhlas (merdeka) adalah “jiwa yang tidak tunduk dan patuh kepada apapun, kecuali kepada Allah swt.” Mereka tidak tergoda oleh dunia. Mereka justru menaklukkan dunia. Nilai ini melampaui batas-batas sifat alamiah kebinatangan manusia serta berada di luar jangkauan nilai-nilai materialisme. Inilah akhlak paling mendasar yang harus dimiliki oleh setiap kita. Anda bisa melihat, bahwa mereka yang memiliki nilai ketauhidan bersedia menghadapi lapar, tidak berbaju, dan hidup dibawah kondisi yang keras, dengan harapan mereka tidak diperbudak oleh manusia lain dan dapat hidup secara bebas, serta berusaha membebaskan manusia-manusia lainnya dari penjajahan dan ketidakadilan. Visi hidupnya hanya untuk membangun dunia yang beradab, penuh etika dan keindahan. Ini semua wujud rasa tanggungjawabnya sebagai hamba Tuhan.

196

SAID MUNIRUDDIN

Sistematika Penjelasan Lima Nilai Dasar Perjuangan. Berikut penjelasan masing-masing nilai dasar perjuangan, serta keterkaitan antara satu nilai dengan lainnya75: (1) Tauhied - atTauhied wal Ma’rifah (Oneness of God). Ini merupakan nilai paling utama, akar dari segala-galanya. Pada tahap paling awal, seorang kader harus menemukan kesadaran tauhied, yang bermula dari mengenal Allahswt (ma'rifatullah); baik secara rasional, skriptural, empiris, maupun intuitif. Inilah yang disebut “iman”: sikap percaya, sadar dan yakin akan adanya Tuhan Yang Esa. Sikap ini menumbuhkan “taqwa” yaitu rasa cinta dan syukur kepada-Nya dalam bentuk keinginan alamiah (fitrah) untuk secara terus menerus taqarrub kepada-Nya melalui ibadah, baik dalam bentuk ibadah formal individual maupun ibadah-ibadah sosial.76 (2) Bebas dan Merdeka – alIkhlas (freedom and freewill). Efek dari pemahaman dan internalisasi nilai-nilai Tauhied di atas akan membebaskan dan memerdekakan seseorang dari berbagai belenggu penyembahan, baik itu dari pengaruh ‘berhala-berhala psikologis’ (tuhan-tuhan internal: nafsu dan ego diri lainnya) maupun ‘berhala-berhala sosio-politis’ (tuhan-tuhan eksternal: alam, manusia dan materi). Manusia yang jiwanya telah tertanam nilai-nilai kemerdekaan tidak takut kepada apapun dan siapapun, kecuali kepada murka-Nya. Kader yang jiwanya merdeka akan memiliki sikap “pasrah”, atau “tunduk patuh” hanya kepada Allah swt. Tunduk patuh inilah yang disebut “Islam”. Salah satu bentuk ketundukan dan kepasrahan ini dibuktikan dengan kejujuran dan penyembahan intensif kepada-Nya melalui ibadah-ibadah formil ‘ubudiyah (i.e sholat). Kader-kader yang berjiwa merdeka memiliki karakter “ikhlas”, yaitu kemurnian pengabdian, dimana segala sesuatu dilakukan hanya untuk Kebenaran, yaitu Allah swt. Inilah akhlak paling mendasar yang harus tumbuh dalam diri seseorang, ikhlas beribadah dan mengabdi semata-mata hanya untuk-Nya.77 S. Muniruddin. 2011. Bintang ‘Arsy: Visualisasi Skematis NDP HMI. BPL HMI Cabang Banda Aceh: Banda Aceh. 76 Prinsip “kepatuhan terhadap hukum” (rule of law) dalam tata kelola yang baik (good governance) merupakan bagian dari ketaatan kepada ‘hukum-hukum’ Tuhan. Bahwa ketika kita menjadikan Tuhan sebagai tujuan, maka ada sejumlah hukum-hukumnya yang harus dipatuhi, baik berupa hukum alam yang ‘terpaksa’ harus dipatuhi, serta hukum-hukum syar’i yang menjadi ‘pilihan wajib’ untuk ditaati guna kebaikan manusia sediri. Demikian juga dengan ketundukan kepada sunnah/ hukum/ aturan/ janji/ aqad merupakan wujud ketaatan kepada Tuhan: (1) “Hai orang-orang yangberiman, taatilah Allah, Rasul, dan Ulil Amri diantara kamu…” (QS. anNisa -4: 59); (2) “Hai orang-orang yang beriman, taatilah janji-janji [aturan atau hukumhukum] yang telah kalian sepakati…” (QS. alMaidah -5: 1). Individu dan masyarakat yang taat hukum adalah wujud individu dan masyarakat bertauhied. 77 Prinsip “transparansi” (transparency) dalam tata kelola yang baik (good governance) adalah bagian dari nilai ini. Karena kemerdekaan jiwa, maka tidak ada sesuatu yang ia rasa perlu disembunyikan. Ia bersikap terbuka kepada semua ‘stakeholder’: Tuhan dan publik. 75

BAB 5 HMI dan Ideologi: “Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP)”

(3) Keadilan – asShidqu wal ’Adl (justice, equity and equilibrium). Seorang kader yang memiliki jiwa merdeka, yaitu yang telah memiliki keikhlasan dan kesadaran tauhied yang tinggi, tidak akan pernah berhenti berjuang untuk memerdekakan dunia dari segala bentuk kejahatan, perbudakan, kedhaliman, kesewenangwenangan, pembodohan, korupsi, syirik atau kapitalisme. Perjuangan tersebut merupakan sesuatu yang benar (ash-Sidqu) karena dilakukan berdasarkan pancaran kecintaan kepada Tuhan; bukan karena nafsu, balas dendam atau kepentingan rendah lainnya. Perjuangan yang benar ini disebut penegakan keadilan (al-‘Adl), jihad, amar ma'ruf nahi munkar atau amal shaleh. Tujuannya untuk membela orang-orang tertindas (marginal atau mustadh’afin). Para pejuang ini juga memiliki totalitas hidup yang “seimbang” atau “adil”. Yaitu seimbang antara kehidupan pribadi dan sosial, duniawi dan ukhrawi, intelektual dan spiritual. Mereka berjuang dengan strategi dan taktik, bersama-sama, dalam satu kesatuan barisan yang terpimpin, seimbang dan kokoh. Para pejuang ini juga jenis pemimpin yang memiliki jiwa “seimbang” atau “adil”. Yaitu, sabar sekaligus proaktif, tabah sekaligus energik, tegas kepada yang ingkar, serta lemah lembut kepada yang beriman. Bagi mereka pekerjaan adalah kesenangan. Dan dalam pengorbananlah mereka memperoleh kebahagiaan. Mereka juga tidak diskriminatif dan rasis.78 (4) Ihsan – alKamal wal Jamal (benevolence). Segala bentuk perjuangan, penegakan keadilan atau amal saleh dilakukan dalam rangka perubahan terus menerus, untuk membangun peradaban yang semakin hari semakin baik dan semakin benar. Manusiamanusia seperti ini memiliki cita rasa yang sangat tinggi terhadap “kebaikan”, “keindahan”, “kesempurnaan” dan “kesucian”; yang merupakan pancaran kecintaan kepada Tuhan. Mereka ini manusia penuh rasa cinta, simpati, empati, dan kedermawanan. Inilah ihsan (benevolence). Apapun yang diusahakannya merupakan dorongan untuk mengaplikasikan nilai “etis” dan “estetis”, mempertinggi nilai seni dan memperindah dunia dalam proses perwujudan masyarakat yang ideal: masyarakat adil makmur, bertauhied, berilmu pengetahuan dan berperadaban. Pada pekerjaan dan perbuatannya terpancar nilai kamal dan jamal, sempurna dan indah.79

Prinsip “partisipasi” (participation) dan “keadilan” (fairness) yang digunakan dalam menilai tata kelola yang baik (good governance) merupakan bagian dari nilai-nilai keadilan atau keseimbangan. 79 Pada nilai ini terkandung prinsip tata kelola pemerintahan atau keorganisasian yang baik (good governance) seperti “efisiensi” (efficiency) dan “efektifitas” (effectivitas). Bahwa sesuatu harus dicapai dengan ‘sebaik-baiknya’ dengan maksimalisasi resources yang ada. 78

197

198

SAID MUNIRUDDIN

(5) Tanggungjawab – atTaklif (responsibility). Segala ikhtiar, yaitu

usaha memperbaiki dan memperindah dunia ini (membangun peradaban) pada dasarnya tumbuh dari kesadaran akan hakikat keberadaan dirinya, bahwa ia diutus Tuhan sebagai Khalifah fil Ardh. Yang tanggungjawabnya adalah untuk memakmurkan bumi. Sebagai makhluk merdeka, ia sadar akan tanggungjawab pribadi dan komunal untuk menjaga diri sendiri dan bumi dari pengaruh nafsu yang bisa mendatangkan kehancuran, malapetaka, atau azab Tuhan. Dengan kata lain, segala sesuatu yang dikerjakan adalah bentuk tanggungjawab (taklif) untuk diri sendiri, orang lain, dan lingkungan atau alam semesta.80

Kelima nilai ini merupakan “nilai-nilai ilahiyah”, yaitu nilai-nilai yang lahir dari keimanan kepada Allahswt. Nilai-nilai ini juga disebut dengan “nilai-nilai Islam”, yaitu nilai-nilai yang menjadi kerangka model kepasrahan atau ketundukan kepada Tuhan. Nilai-nilai ini disari dari alQuran. Nilai-nilai inilah yang sejatinya terimplementasi dalam berbagai aktifitas amal kehidupan, guna melahirkan kebaikan, keindahan dan kemajuan peradaban. Dengan demikian, nilai ini disebut juga dengan nilai-nilai kemanusiaan. Namun setiap kerja kemanusiaan yang berdasar pada nilai-nilai ilahiyah ini akan tidak berguna, jika tidak dilandasi oleh “ilmu dan pengetahuan” yang benar tentang nilai-nilai tersebut. Begitu juga dengan ilmu pengetahuan, akan menjadi absurd jika hanya sekedar diketahui namun tidak di “imani” serta tidak diwujudkan dalam “amal kemanusiaan”. Oleh sebab itu, ber-iman, ber-ilmu dan ber-amal merupakan tiga totalitas kemanusiaan. Atau dapat juga diistilahkan dengan iman, islam dan ihsan: tiga totalitas kesempurnaan hidup. Inilah inti dari NDP HMI. Mereka yang hidup secara total dengan tiga prinsip ini disebut “insan kamil”, manusia sempurna.

80

Prinsip akuntabilitas (accountability) yang digunakan dalam tata kelola merupakan bagian dari nilai at-Taklif ini. Namun akuntabilitas yang sesungguhnya bukan hanya kepada manusia, tetapi juga kepada Tuhan. Kesadaran personal atas segala pekerjaan sangat penting. Karena kelak pada hari qiyamat atau hari kebangkitan (ma’ad), semua akan dipertanggungjawabkan secara personal di hadapan Tuhan.

BAB 5 HMI dan Ideologi: “Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP)”

199

Ilustrasi Aktualisasi Nilai. Dari catatan sejarah, peristiwa sehari-hari, kisah-kisah sufi, cerita-cerita fiksi dan non fiksi; dapat kita temukan beragam kisah yang melukiskan bagaimana sebuah nilai teraplikasi. “Aku hanya Punya Cinta dan sebuah Jendela” Suatu ketika, ada dua laki-laki yang keduanya menderita sakit parah. Mereka menempati kamar yang sama di sebuah rumah sakit. Salah satu dari mereka diizinkan dokter untuk duduk di ranjang selama satu jam setiap sore guna mengeringkan cairan yang ada di paru-parunya. Ranjangnya kebetulan tepat berada di satu-satunya jendela ruangan tersebut. Sementara laki-laki satu lagi menempati sudut lain ruangan tersebut, dan harus menghabiskan seluruh waktunya dengan terlentang di atas ranjang. Kedua mereka menjadi akrab, bersahabat. Mereka berbicara berjamjam tanpa henti. Mereka saling berbagi tentang keluarga, istri, rumah, pekerjaan serta keterlibatan mereka dalam usaha yang menyebabkan mereka harus lumpuh seperti sekarang ini. Setiap sore, ketika laki-laki di ranjang dekat jendela dapat kesempatan untuk duduk, dia akan menghabiskan waktu menceritakan kepada kawan sekamarnya tentang segala hal yang dapat ia lihat di luar jendela. Pria yang terbaring di ranjang satu lagi mulai merasa hidup kembali selama satu jam tersebut, dimana dunianya mulai terbuka dan bergerak dengan semua aktifitas dan warna dunia luar yang diceritakan oleh sahabat dekat jendela. Sahabat dekat jendela terus berbagi pemandangan. “Dari jendela terlihat sebuah taman yang luas dengan danaunya yang sangat indah. Itik dan angsa bermain di air, sementara anak-anak mengayuh perahu-perahu kecil yang dibimbing orang tua mereka. Para kekasih yang baru menikah dan saling jatuh cinta berjalan saling bergenggaman tangan di tengah taman bunga yang beraneka warna. Sekumpulan burung terbang saling kejar dan hinggap dari satu ranting ke ranting lainnya. Lebih ke utara terlihat sebuah sungai kecil yang sangat jernih mengalir pelan. Bebatuan pun menonjol keluar dari arus-arusnya. Sejumlah orang terlihat gembira bermain, mandi

200

SAID MUNIRUDDIN

dan berenang di dalamnya. Tidak jauh di seberangnya sejumlah remaja saling kejar, tertawa dan berguling-guling di rerumputan hijau yang lembut. Sementara jauh di seberang taman dan hutan kecil terlihat indah sayup-sayup gedung-gedung megah pencakar langit tersapu kabut senja”. Ketika laki-laki dekat jendela menceritakan semua detil keindahan ini, sahabatnya yang di sudut lain ruangan menutup mata dan mulai membayangkan setiap panorama indah seluru penjuru taman itu. Pada satu sore yang cerah, laki-laki dekat jendela menjelaskan sebuah parade yang sedang lewat. Meskipun sahabatnya tidak dapat mendengar alunan musik dan suara marching band, namun ia dapat melihatnya melalui mata pikiran sebagaimana kawan dekat jendelanya menceritakan dengan beragam untaian kata. Hari-hari terus berjalan. Hari berubah minggu. Minggu menjadi bulan. Bulan demi bulan pun berlalu. Itulah yang terjadi setiap hari. Pada satu pagi, seorang perawat yang bertugas memeriksa pasien menemukan tubuh tak bernafas dari laki-laki dekat jendela. Ternyata ia telah meninggal setelah kemarin seharian menceritakan semua pemandangan luar kepada temannya. Dalam empati dan kesedihannya, perawat yang sangat dekat dengan pasiennya ini memanggil dokter lalu memindahkan mayat tersebut. Kini tinggallah laki-laki lumpuh yang tidak pernah bangun itu. Kini ia sendirian. Tidak ada lagi teman bicara. Tidak lama berselang, ia minta dipindahkan ke ranjang dekat jendela yang pernah ditempati sahabatnya. Dengan senang hati sang perawat menuruti permintaannya. Setelah memastikan ia nyaman dengan ranjang dan posisi barunya, perawat pun meninggalkan ia sendirian. Secara perlahan dengan menahan rasa sakit yang luar biasa, ia memaksakan diri untuk duduk dengan bertumpu pada satu bahu. Hal ini dilakukan hanya untuk mencoba melihat secara nyata dunia yang ada di luar jendela. Dunia yang sebelumnya hanya di dengar dari temannya yang telah tiada. Dengan terpatah-patah, perlahan ia memutar badan dan kepalanya, berusaha melihat keluar jendela. Namun apa yang terjadi? Ia hanya melihat tembok tinggi!! Ia tercengang. Terkejut dan kecewa. Tak percaya dengan apa yang baru dilihatnya, ia pun bergerak pelan dari ranjang, lalu terjatuh ke lantai. Ia bangun lagi. Secara perlahan ia berjalan tertatih ke luar ruangan mencari perawat dan dokter. Ajaib, laki-laki lumpuh ini telah berjalan! Begitu bertemu dokter, ia menanyakan apa penyebab hilangnya semua panorama dan keindahan di luar jendela yang pernah diceritakan almarhum sahabatnya.

BAB 5 HMI dan Ideologi: “Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP)”

201

Dokter menjawab, bahwa sebenarnya, sahabatnya yang telah tiada itu buta. Ia bahkan sama sekali tak bisa melihat tembok tersebut. Dokter menambahkan, “Ia ingin menyemangati, agar suatu ketika kamu mampu berdiri dan sembuh dari lumpuh. Ia tau hidupnya tidak lama lagi, namun ia ingin sahabatnya bisa hidup lebih lama dari dia. Ia memahami bahwa tidak ada batasan untuk bisa membahagiakan orang lain, meskipun dia sendiri dalam keterbatasan”. Inilah yang disebut ikhlas. Sebuah nilai yang lahir dari rasa Syukur yang tinggi kepada Tuhan. Manusia sejati (Insan Kamil) senantiasa memancarkan rasa Syukur dan Ikhlas, dari kondisi dan situasi apapun yang sedang dialami dan rasakan. Inilah manusia bertauhied, pribadi merdeka. Cacat fisik dan kekurangan harta, baginya bukanlah penghalang untuk memancarkan cahaya Tuhan; berbuat kebaikan dan keadilan bagi manusia di sekelilingnya. Dokter melanjutkan, “Pernah suatu ketika saya menanyakan kepadanya, "mengapa kamu terus menceritakan hal-hal yang tidak pernah kamu lihat kepada teman mu?". Lalu ia berbisik kepada saya, “Kebahagiaan bersumber dari keikhlasan. Yaitu keikhlasan dalam membahagiakan, membantu dan memajukan orang lain. Aku tidak punya uang untuk membelinya obat-obatan. Aku tidak memiliki kekuatan untuk membantunya berjalan. Aku juga tidak punya mata untuk melihat penderitaannya. Tapi aku punya cinta dan sebuah jendela untuk menyembuhkannya”. Cinta adalah mazhab tertinggi dalam Islam, yang di atasnya nilai-nilai kemanusiaan terbangun. Inilah mazhab Nabisaw, Keluarga, sahabat, dan pengikutnya; mazhab rahmat bagi semesta alam. Ini juga yang (seharusnya) menjadi mazhab kami di HMI. Allahumma sholli 'ala muhammad, wa 'ala Aali Muhammad. (Sumber: Unknown). Cerita diatas hanya sebuah kisah yang tidak dapat ditelusuri kejadiannya dimana dan pelakunya siapa. Tapi setidaknya memberi inspirasi tentang makna “ikhlas” sebagai salah satu nilai paling penting dalam Islam. Itulah manfaat dari metode cerita dalam training-training, yang salah satunya bermaksud menggali nilai-nilai dan bagaimana hal tersebut diaktualisasikan oleh pribadi-pribadi mulia semisal Nabisaw, para sahabat, imam, pejuang, intelektual, dan orang-orang setelah atau sebelumnya. Melalui metode ilustrasi seperti ini seorang kader akan lebih mudah memahami penjabaran dari sebuah nilai. Dan kumpulan semua nilai-nilai inilah yang membentuk seorang “manusia sejati” (insan kamil).

202

SAID MUNIRUDDIN

Konsep Manusia Sempurna dalam berbagai Pandangan Dunia (Worldview). Sebuah ideologi memberikan jawaban tentang model manusia ideal menurut filsafat dan keyakinan mereka. Setiap ideologi memiliki nilai-nilai, yang dengannya konsepsi “manusia sempurna” didefinisikan. Misalnya, apakah dikatakan sempurna seseorang ketika ia mampu menaklukkan musuhmusuhnya dan berhasil membangun kekuasaan yang tidak tergoyahkan? Jika itu standarnya, maka ruhullah Isa as bukan jenis manusia sempurna. Karena ia ‘kalah’ dengan penguasa Romawi dimasanya. Ia bahkan ‘disalib’ dan harus ‘diangkat’ ke langit oleh Tuhan dari kejaran dan usaha “Proportions of Ideal Man”, karya Leonardo Da Vinci (1490) pembunuhan oleh kaumnya. Jika keberhasilan membangun imperium pada periode yang panjang dijadikan indikator kesempurnaan dan kemuliaan seseorang, maka sosok seperti Imam Ali juga bukan insan kamil. Karena ia hanya memerintah selama lima tahun, dan bahkan terbunuh pada akhir periode singkat kekhalifahannya. Demikian juga jika kalah dalam politik menjadi alat penilai ketidaksempurnaan seseorang, maka sayyid assyuhada seperti Imam Husen bukan manusia sempurna. Karena ia bersama puluhan keluarga Nabisaw dan pengikutnya tewas dalam perlawanan di Karbala. Dalam perspektif Islam, “kesempurnaan” bukan pada faktor seperti kekuatan fisik dan keberhasilan membangun kekuasaan. Jika ini standarnya, maka kita akan terjebak dalam pandangan humanismepositivisme. Filsafat ini menilai keagungan seseorang dari pengaruh kekuatan dan kekuasaan. Sehingga tokoh-tokoh brutal dan kerajaannya begitu luas seperti Fir’aun, Caesar, Mu’awiyah, Yazid, Jenghis, Hitler, Lenin, Stalin, Mao, dan Bush menjadi manusia sempurna. Demikian juga jika menilai kecerdasan intelektual sebagai faktor utama kesempurnaan; maka Darwin, Einstein dan Hawking dapat disebut manusia sempurna. Jika yang dinilai adalah sejauh mana tingkat kebebasan yang dimiliki sebagai penyebab kesempurnaan seseorang;

BAB 5 HMI dan Ideologi: “Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP)”

203

maka penganut nudisme, free-sex dan aktifis pengusung liberalisme, feminisme, dan lainnya menjadi sekelompok manusia sempurna. Atau jika kekayaan yang menjadi tolak ukur kesempurnan manusia; maka dalam pandangan kapitalisme ini, sejumlah investor dan pengusaha kaya seperti George Soros, Bill Gates, raja dan emir negaranegara arab yang hidup bergelimang perempuan dan harta menjadi contoh manusia-manusia sempurna. Islam tidak menggunakan standar humanisme, liberalisme, dan kapitalisme sebagai kesempurnaan konsepsi ideologi. Meskipun Islam memiliki dan mengakui nilai-nilai humanis, liberal, individual, dan kepemilikan personal kapital dalam ajarannya; namun Islam lebih menempatkan “kesetiaan kepada fitrah” sebagai faktor penentu kesempurnaan manusia. Kesempurnaan diperoleh dari keteguhan mengimplementasikan prinsip-prinsip dasar Islam; walaupun dengan itu kita menderita, miskin, bahkan tewas dalam perjuangan. Ada nabi yang miskin dan lemah fisiknya. Ada nabi yang ditangkap dan dipenjara. Ada nabi yang diusir oleh masyarakatnya. Ada nabi yang terbunuh dalam medan dakwah. Apakah dengan demikian mereka menjadi pecundang? Sama sekali tidak. Komitmen, konsistensi, dan keseimbangan mereka untuk hidup dan berjuang di atas nilai-nilai ketuhanan telah membuat mereka menjadi prototype abadi insan kamil bagi milyaran manusia pada masanya dan sesudahnya Tentu tidak semua nabi terusir, kalah dan tewas dalam medan juang. Ada sejumlah mereka yang memenangkan kekuasaan dan memperoleh kekayaan. Namun sekali lagi, bukan itu yang meyebabkan mereka sempurna, melainkan bagaimana mereka menjadikan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan lebih tinggi dari itu semua. Oleh sebab itu, menjadi menarik untuk mengkaji figur seperti Muhammad saw karena eksistensinya sangat fenomenal. Ia seorang nabi yang berhasil “membangun kekuasaan” (raja dunia Arab) juga “akses yang luas terhadap kekayaan” (pemegang otoritas wilayah, harta rampasan perang dan baitul mal). Ia kaya dan berkuasa. Dari aspek ini ia dinilai sebagai nabi yang “sukses”. Meskipun demikian, alQuran melihat akhlakul karimah sebagai faktor penyebab ke-kamil-an dirinya.

204

SAID MUNIRUDDIN

Inilah yang menjadi tujuan ideologis setiap ‘institusi Islam’ (termasuk HMI), melahirkan manusia sempurna (menyempurna) atau insan kamil yang keseluruhan akhlaknya terbangun dari nilai-nilai Quran. Mereka ini boleh saja kuat secara fisik, kaya secara materi, berkuasa secara politis, cerdas secara intelektual, bebas dalam berekspresi (Islam mendukung semua ini); namun basisnya adalah “kemuliaan akhlak”. Tujuan Ideologis HMI: Terbinanya “Insan Kamil”. Seperti halnya rumusan tujuan HMI (Pasal 4 AD HMI) yang hendak melahirkan manusia-manusia terbaik, ideologi HMI (NDP) juga demikian. Hanya saja istilah teknis yang digunakan sedikit berbeda. Tafsir Tujuan HMI cenderung menggunakan istilah “insan cita”, untuk menyebut model manusia yang ingin terbentuk dalam proses ber-HMI dan aktifitas pengabdian setelahnya.

Muhyiddin Ibnu Arabi

Sementara ‘kitab’ ideologi HMI (NDP) menggunakan istilah “insan kamil”, yang merupakan istilah teknis tasawuf tentang wujud “manusia sejati” yang awalnya diperkenalkan oleh grand sufi Muhyiddin Ibnu ‘Arabi (560-638H/1165-1240 M). Istilah “insan kamil” disebutkan sebanyak 1 kali dalam NDP, yaitu pada Bab 2 “Pengertian-Pengertian Dasar Kemanusiaan”, paragraf ke-6:

Seorang manusia sejati (Insan Kamil) ialah yang kegiatan mental dan fisiknya merupakan suatu keseluruhan. Kerja jasmani dan kerja rohani bukanlah dua kenyataan yang terpisah. Malahan dia tidak mengenal perbedaan antara kerja dan kesenangan; kerja baginya adalah kesenangan dan kesenangan ada dalam dan melalui kerja. Dia berkepribadian, merdeka, memiliki dirinya sendiri, menyatakan ke luar corak perorangannya dan mengembangkan kepribadian dan wataknya secara harmonis. Dia tidak mengenal perbedaan antara kehidupan individu dan kehidupan komunal, tidak membedakan antara dia sebagai perorangan dan sebagai anggota masyarakat. Hak dan kewajiban serta kegiatan-kegiatan untuk dirinya adalah juga sekaligus untuk sesama ummat manusia. Baginya tidak ada pembagian dua (dichotomy) antara kegiatan-kegiatan rokhani dan jasmani, pribadi dan masyarakat, agama dan politik ataupun dunia akherat. Kesemuanya dimanifestasikan dalam suatu kesatuan kerja

BAB 5 HMI dan Ideologi: “Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP)”

205

yang tunggal pancaran niatnya, yaitu mencari kebaikan, keindahan dan kebenaran (Qs. alBayyinah -98:5).81 Sementara istilah “manusia sempurna” -padanan kata “insan kamil”disebutkan pada Bab IV Ketuhanan Yang Maha Esa dan Perikemanusiaan” paragraf ke-4: “Manusia tauhid adalah manusia yang sejati dan sempurna yang kesadaran akan dirinya tidak mengenal batas. Dia adalah pribadi manusia yang sifat perorangannya dari keseluruhan (totalitas) dunia kebudayaan dan peradaban. Dia memiliki seluruh dunia ini dalam arti kata mengambil bagian sepenuh mungkin dalam menciptakan dan menikmati kebaikan-kebaikan peradaban dan kebudayaan.” Diperkenalkannya konsepsi “insan kamil” atau “manusia sempurna” oleh Cak Nur dan para pendahulu HMI dalam rumusan ideologi HMI, merujuk pada basis knowledge yang dibangun Ibnu ‘Arabi, menunjukkan adanya dimensi rasional-sufistik yang diharapkan terbangun dalam berorganisasi. “Akhlakul karimah” yang juga menjadi tujuan HMI, merupakan produk dari totalitas dua dimensi ini. Akhlakul karimah adalah sebuah kondisi dimana seseorang telah menjalani hidup secara utuh dan seimbang dalam berbagai aspek kemanusiaan: otak dan hati, mental dan fisik, jasmani dan rohani, kerja dan kesenangan, individu dan komunal, hak dan kewajiban, agama dan politik, dunia dan akhirat. Menurut konsepsi ideologis NDP HMI, “manusia paripurna” atau “insan kamil” akan lahir jika telah mampu menjawab dan mengaktualisasikan pertanyaan-pertanyaan filosofis yang telah disebutkan dimuka. Dengan demikian mereka menjadi insan yang hidup secara total dalam iman, ilmu dan amal. Dengan kata lain, mereka memiliki karakter iman, islam dan ihsan. Artinya, “insan kamil” adalah seseorang yang telah berhasil secara terus menerus menginternalisasi dan mengimplementasi keseluruhan nilai-nilai Islam dalam kehidupan pribadi dan sosialnya. Insan seperti ini tentu sangat mengenal Tuhan dan dirinya, serta memahami relasi antara diri dengan Tuhannya. Ia tahu persis mengapa ia diutus ke bumi, juga mengetahui ‘jalan-jalan’ yang harus ditempuh untuk kembali kepada Tuhannya.

81

N. Madjid. 1971. “Nilai-Nilai Dasar Perjuangan HMI”, Bab II Pengertian-Pengertian Dasar tentang Kemanusiaan, paragraf ke-6, hal. 14, PB HMI: Jakarta.

206

SAID MUNIRUDDIN

Dalam terminologi lainnya, “insan kamil” adalah mereka yang kepribadiannya secara harmonis memancarkan lima cahaya Bintang ‘Arasy: cahaya tauhied, cahaya kemerdekaan, cahaya keadilan, cahaya ihsan, dan cahaya tanggungjawab. Tauhied adalah nilai paling mendasar, akar dari keseluruhan nilai. Tauhied yang benar (ma’rifah) melahirkan nilai-nilai suci lainnya. Dengan demikian. Ke-tauhied-an yang berdasarkan ke-ikhlas-an akan mengantarkan seseorang ke ‘Arasy. Sebagaimana dijelaskan Imam Ali: Ibnu Kawwa’ berkata kepada Amirul Mukminin: “Engkau berkata, ‘Bertanyalah kepadaku sebelum engkau kehilanganku.’ “Berapakah jarak antara tempatmu dan ‘Arasy?” Imam Ali menjawab, “Anda bertanya tidak untuk mengerti, tetapi anda bertanya untuk mencoba. Bertanyalah untuk mengetahui, jangan bertanya untuk mencoba. Tetapi selama anda bertanya maka aku harus menjawabnya. Jarak dari tempatku ke ‘Arasy Allah adalah, seseorang yang mengatakan dengan ikhlas la ilah illa Allah.”82 Demikian fungsi dasar konsepsi tauhied La ilaha illa Allah dalam Islam, dengan keikhlasan maka konsepsi ini menjadi pintu yang mengantar seseorang ke puncak tertinggi derajat kemanusiaan, ke ‘arasy. Adakah orang-orang yang memiliki totalitas keikhlasan dalam ber-tauhied, sehingga keseluruhan nilai-nilai kebenaran terpancar darinya? NDP HMI Kosong dari Contoh-Contoh. Apa yang telah dirumuskan dalam NDP HMI karya Cak Nur hanya berbentuk pembahasan nilai-nilai yang bersifat normatif. Di sana tidak diberikan role model, cuplikan kejadian, sejarah, kisah, atau cerita yang menjelaskan bentuk-bentuk kepribadian dan perilaku yang merupakan wujud dari implementasi nilai-nilai. Padahal, mengajar dengan mengupas contoh-contoh adalah model pembelajaran yang efektif. Dikarenakan ketiadaan contoh, menjadi salah satu alasan bagi kader-kader muda HMI, mengapa NDP susah dipahami. Ada yang mengatakan, membaca teks NDP cukup ‘membingungkan’. Isinya susah

82

Biharul Anwar, Juz 10, hal. 122 dalam A.J Amuli, Rahasia-Rahasia Ibadah, hal. 139. Penerbit Cahaya: Bogor, 2001.

BAB 5 HMI dan Ideologi: “Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP)”

207

dipahami. Sehingga NDP menjadi mitos. Sebagian lainnya, terutama yang minim pengetahuan filsafat dan agama, akan kesulitan memahami NDP lalu meng-klaim-nya sebagai bacaan yang ‘membosankan’. Bagi perumusnya sendiri Cak Nur, hal ini memang disengaja. NDP itu sebuah rumusan yang bersumber dari alQur’an dan alHadist. Dengan demikian, NDP memang diperuntukkan sebagai bahan bacaan yang bersifat normatif. Sesuatu yang normatif tentunya akan awet, bersifat terbuka dan dapat ditafsirkan oleh siapa saja. 83 Terbukti NDP sudah berumur 40 tahun sejak disahkan pada Kongres X di Palembang tahun 1972. Namun sampai saat ini NDP belum mengalami perubahan, karena masih digunakan sebagai bahan bacaan formal, karena nilai-nilainya bersifat universal. Meskipun diakui oleh perumusnya sendiri, NDP sendiri masih terbuka untuk diubah dalam arti dikembangkan. Dan hari-hari ini ada sejumlah kader yang berusaha untuk me-reformulasikannya.84 Buku ini juga dengan ‘kitab’ Bintang ‘Arasy ini, punya spirit yang sama: memberi apresiasi yang mendalam terhadap NDP karya Cak Nur, serta secara kritis mengajukan beberapa pandangan untuk mempertajam isinya. NDP punya kelebihan. Meskipun tanpa contoh, sajiannya cukup sistematis, sarat makna dan bersifat global. Namun perumusnya sendiri sadar, bahwa kebutuhan akan contoh-contoh, menjadi sesuatu yang sangat mendasar dalam upaya memahami NDP. Oleh sebab itu, dalam Pengantar NDP Nurkholish Madjid menyebutkan: “Dan mengingat perumusan NDP ini dibuat begitu rupa sehingga sejauh mungkin merupakan semata-mata pegangan “normatif”, maka kepada para instruktur atau penceramah juga diharapkan keterampilannya untuk dapat mengemukakan contoh-contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari, baik yang positif (yaitu bersesuaian dengan nilai yang dimaksud) atau yang negatif (yaitu yang bertentangan). Dengan begitu penghayatan norma-norma itu akan semakin mendalam”.85 Maka kemudian menjadi sangat penting dalam berbagai syarah, tafsir, diskusi atau penjelasan NDP untuk menyajikan berbagai sample yang A.A. Tarigan. 2003. Islam Universal: Kontekstualisasi NDP HMI dalam Kehidupan Beragama di Indonesia, hal. viii, Cita Pustaka Media: Bandung. 84 Ibid, hal.1 dan 26. 85 N. Madjid. 1971. “Nilai-Nilai Dasar Perjuangan HMI”, dalam Pengantar PB HMI. PB HMI: Jakarta. 83

208

SAID MUNIRUDDIN

relevan dengan nilai-nilai yang sedang diperjuangkan. Contoh-contoh tersebut dapat berupa sejarah dari masa lalu ataupun sesuatu yang terjadi disekitar kita. Metode pembelajaran yang diiringi contoh-contoh akan lebih cepat dipahami dan lebih membekas daripada penyampaian yang bersifat teoritis an sich. Pada bab 7 buku ini akan kita bahas contoh seorang ‘kader’ yang menjadi prototype insan pejuang paripurna. Karena himpunan ini adalah Himpunan Mahasiswa Islam, dan nilai-nilai dasar yang dianut adalah nilai-nilai Islam; maka kita tidak perlu susah payah mencari contoh sempurna dari figur-figur Islam. Yang akan kita nukilkan adalah mereka para ‘pemilik’ agama dan nilai-nilai Islam. Karena pada inti dari ‘rumah besar Islam’ terdapat “insan kamil” orangorang yang setiap hari dalam sholat kita bershalawat kepada mereka: Allahumma sholli ‘ala Muhammad wa ‘ala Aali Muhammad. Pada beberapa bab setelah ini (seperti dalam Bab 6 “Aktualisasi NilaiNilai: Profil Insan Pejuang Paripurna”, Bab 8 “Manajemen Berbasis Spiritual: Tasbih Fatimah”, dan Bab 9 “Leadership: Jamal dan Jalal”) akan dibahas beberapa profil yang menjadi wujud dari nilai-nilai alQuran yang legacy mereka terwariskan sampai hari ini.86 “Bismillahirrahmanirrahim”: Upaya Re-Formatisasi NDP HMI. Yang terdapat dalam NDP HMI adalah nilai-nilai pandangan dunia (worldview) serta konsepsi bagaimana cara mengaplikasikannya (ideology). Sebenarnya, NDP berupa kumpulan nilai-nilai dari alQur’an (juga hadist) yang diformulasikan oleh Cak Nur dan direview oleh kawan-kawannya, guna menjawab kebutuhan perkaderan dan perjuangan kader HMI pada periode 1970-an. Yang saat itu, perseteruan ideologis dengan kaum materialis-komunis masih sangat terbuka dan intensif. Berpuluh tahun kemudian, hari ini, muncul gerakan intelektual untuk memformat kembali ideologi HMI. Nilai-nilai yang dibahas Cak Nur dalam NDP-nya seperti tauhied, kemerdekaan manusia, keadilan, ihsan, dan tanggungjawab, tentu tidak pernah berubah karena sifatnya universal. Hanya penjelasannya dapat dikonsepsikan dalam bentuk-bentuk 86

“Wahai manusia, sesungguhnya Aku meninggalkan dua hal [al-Tsaqalain], yang jika kalian berpegang teguh kepada keduanya, kalian tidak akan tersesat selama-lamanya sepeninggalku, yaitu Kitabullah dan ‘Idrati Ahli Baiti [alQuran dan Ahlul Baitku]. Keduanya tidak akan berpisah hingga dikembalikan kepadaku di telaga [al-Haudh]” (Shahih Muslim, juz, 2, hal. 237, juz 7, hal. 122; Sahih al-Tirmidzi, juz 2, hal. 219, 220 dan 307; al-Nasai, Kasha’ish, hal. 30, Musnad Ahmad bin Hambal, juz 3, hal. 13 dan 17, juz 4, hal. 26 dan 59, hal. 182 dan 189).

BAB 5 HMI dan Ideologi: “Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP)”

209

baru. Maka lahir beberapa konsep ‘NDP baru’ seperti yang diajukan sejumlah kelompok di HMI. Meskipun memiliki beberapa pendekatan berbeda, namun konsep tersebut masih kental dengan struktur lama. Disatu sisi memang agak susah menawarkan konsep-konsep NDP baru. Sosok Cak Nur sudah begitu men-‘dewa’ di HMI. NDP-nya sudah di‘keramat’-kan sedemikian rupa. Disatu sisi memang penting bagi sebuah organisasi termasuk HMI untuk menjaga identitas yang telah lama dibangunnya, dimana NDP Cak Nur salah satunya. Dan akan sangat ‘menyakitkan’ jika identitas-identitas yang telah secara emosional mengikat para kader dan alumninya kini coba dikutak-katik. Sementara disisi lain, NDP bukanlah alQuran. Dia itu hanya sebuah konsepsi intelektual pada masanya. Ideologi adalah sesuatu yang dapat saja berubah. Ketika kita pada kondisi-kondisi terkini, sudah lebih dari 40 tahun, tidak mampu menghasilkan karya-karya serupa, maka benarlah sinyalemen bahwa HMI bukan lagi organisasi intelektual. Tentu tidak akan berdosa jika mampu dihasilkan karya-karya ideologis terbaru guna menyegarkan kembali prinsip-prinsip, yang tentunya memiliki kandungan nilai universal tentang akidah, akhlak dan kemaslahatan umum yang relevan untuk konteks organisasi perkaderan dan perjuangan seperti HMI. Cak Nur sendiri telah ‘mempersilahkan’ kita untuk melakukan inovasi ideologis tersebut. Oleh sebab itu, jikapun NDP benar-benar ingin dikonsepsikan kembali, maka kelihatannya, langkah paling bijak adalah mengembalikannya kepada ‘struktur hakiki’. Struktur tersebut adalah “Bismillahirrahmanirrahim”. Bagi yang pernah mengkaji basmallah, disana terdapat ‘pengetahuan rahasia’ tentang pandangan dunia Ilahi dan ideologi. Semua konsepsi teoritis tentang Tuhan, alam dan manusia serta konsepsi praktis tentang akhlak, ibadah dan kemaslahatan umum yang pernah dibahas Cak Nur dkk dalam NDP-nya, telah jauh hari terkandung dalam kalimah basmallah yang sederhana ini. Sekilas, “Bismillahirrahmanirrahim” merupakan resumè asma-asma Tuhan. Tetapi ketika dibedah secara rinci -seperti pernah dilakukan oleh Imam Ali kepada sahabat-sahabatnya87, pada basmallah terdapat

87

Disebutkan oleh al-Allamah al-Qunduziy bahwa Abbas berkata, “Imam Ali menggenggam tanganku pada suatu malam bulan purnama, lalu menuju Baqi’ setelah ‘Isya, dan berkata: ‘Bacalah wahai Abdullah!’. Lalu aku membaca bismilahirrahmanirahim, maka dia berbicara kepadaku mengenai

210

SAID MUNIRUDDIN

pandangan, ajaran, keyakinan, kepercayaan, pemikiran, konsep atau nilai-nilai dasar Islam tentang Wujud yang menjadi asal dan tujuan segala sesuatu. Pada basmallah tersimpan beragam petunjuk universal praktis (akhlak dan syariat) dalam berhubungan dengan alam dan manusia, cara hidup maksimal, serta cara kembali kepada-Nya. Pada kalimah ini terdapat petunjuk untuk mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan abadi, yang menjadi cita-cita semua manusia. Pada basmallah termuat berbagai mazhab pengetahuan dalam Islam: rasional, empiris dan iluminatif. Tersimpan di dalam kalimah ini berbagai ‘jalan pengetahuan’ menuju Tuhan. Basmallah juga mem“Bismillahirrahmanirrahim” adalah Resumè NDP beritau tentang “siapa” dan “bagaimana” menjadi manusia sempurna. Basmallah memiliki makna sangat filosofis sekaligus irfani. Kalimah ini sangat singkat, tapi menjelaskan segala-galanya (the history of everything).88 “Bismillahirrahmanirrahim” inilah Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) dalam wujud paling sejati. Oleh sebab itu, dalam semangat perubahan yang sedang berkembang ini, penting bagi kader-kader HMI untuk mengkaji dan merekonstruksi NDP dalam ‘kerangka suci’ ini. Jika ini dapat dilakukan, akan menjadi prestasi intelektual tersendiri bagi HMI. Jika berhasil, Cak Nur pun akan “tersenyum bahagia” di alam sana. Karena pada basmallah inilah terdapat format ideologi Islam universal. Cukup dengan tiga bab (“Bab Basmallah”, “Bab arRahman”, dan Bab arRahim”) keseluruhan 8 bab NDP Cak Nur dapat tersederhanakan. Kajian Basmallah sebagai “ideologi Islam universal” akan kita bahas pada kesempatan lain.

rahasia huruf ‘ba’ sampai terbit fajar; dalam S.M al-Musawi. “Mazhab Pecinta Keluarga Nabi: Kajian alQuran dan Sunnah”, hal. 796-797. MPress: Bandung, 2009. 88 Sesungguhnya seluruh rahasia kitab-kitab samawi tersimpul dalam alQur’an. Rahasia seluruh alQur’an tersimpul dalam alFatihah. Rahasia alFatihah terdapat pada basmallah [Bi ism Allah arRahman arRahim]. Dan rahasia basmallah [Bi ism Allah ar-Rahman arRahim] terdapat pada sebuah titik di bawah huruf ‘ba’ (Hadist diriwayatkan oleh Al-Hafiz bin Sulaiman bin Ibrahim Al-Qunduzy dalam Yanabi al-Mawaddah Bab 14, dikutip dari al-Darr al-Munadzam karya Ibn Thalhah al-Halabiy al-Syafi’i).

BAB 5 HMI dan Ideologi: “Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP)”

211

KESIMPULAN Gambar 5.3: Insan Kamil (Bintang ‘Arasy), Man of Principles

@ Said Muniruddin 2013

“Islam” merupakan “wahyu Ilahi”. Keseluruhan nilai-nilai ilahiyah tersebut terkandung dalam alQur’an. Dari keseluruhan nilai-nilainya; tauhied, ikhlas -kemerdekaan, adil, ihsan, dan tanggungjawab disimpulkan menjadi “lima nilai dasar ideologi HMI”. Melalui lima nilai ideologis inilah terjelaskan darimana kita berasal, mengapa kita disini, dan kemana kita akan pergi. Melalui lima kerangka nilai ini pula segala aktifitas dan gerak perjuangan himpunan diproyeksikan. Setiap kader yang totalitas kepribadian dan perilakunya merefleksikan lima nilai ini dinamakan “insan kamil”. Yaitu manusia, yang setiap sudut kepribadian dan perilakunya secara harmonis memancarkan ‘lima cahaya langit’. Manusia-manusia seperti ini memancarkan ‘cahaya Tuhan’ tersebut melalui ilmu, iman, dan amalnya. Sebut saja mereka “Bintang ‘Arasy”, “Bintang yang menjadi sumber cahaya pada lambang HMI.” Meskipun contoh figur penuh nilai ini tidak dibahas dalam NDP HMI, namun berbagai literatur Islam menceritakan bagaimana Muhammadsaw beserta Keluarga Sucinya menjadi role model “insan kamil” dalam Islam. Tentang wujud profil manusia-manusia paripurna tersebut terbahas pada bab-bab selanjutnya.*****

212

SAID MUNIRUDDIN

BAB

6

Aktualisasi Nilai-Nilai: “Profil Insan Pejuang Paripurna” Adakah Figur Sempurna? Telah disebutkan di muka, baik pada pembahasan ideologi maupun kajian tujuan HMI dari perspektif “rational” dan “spiritual”, model manusia yang dicita-citakan terbina dalam proses berorganisasi adalah insan kamil atau insan cita. Semua konsep ini merujuk pada sosok “manusia ideal”. Yaitu, manusia yang berhasil menginternalisasi dan mengimplementasi nilai-nilai alQur’an. Semua nilai-nilai dasar Islam ini hidup secara harmonis dalam kepribadian dan perilakunya. Jika ini terjadi, maka manusia tersebut menjadi manifestasi dari sifat Tuhan yang feminin (jamal) dan maskulin (jalal). Oleh sebab itu, manusia sempurna adalah wujud dari Asmaul Husna, sehingga disebut juga “insan ilahiyah”. Manusia seperti ini nilai-nilai kemanusiaannya (akhlak) begitu agung, sehingga menjadi suri tauladan, sumber motivasi dan inspirasi bagi masyarakatnya. Kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual terintegrasi secara utuh dalam satu diri. Ia hidup dalam totalitas iman, ilmu, dan amal. Keseluruhan sikap, perilaku, tutur kata dan kerjanya merupakan wujud dari nilai-nilai kebenaran, kebaikan, kesucian, dan keindahan. Setiap sudut kepribadiannya memancarkan “cahaya” yang menerangi manusia untuk menuju Tuhan. Itulah Bintang ‘Arasy“cahaya Tuhan” untuk kemanusiaan, “pelita” di tengah kegelapan.

214

SAID MUNIRUDDIN

MUHAMMADSAW: MANUSIA SEMPURNA Puncak dari Hirarki Kesempurnaan. Menyimak pemikiran para filsuf dan sufi tentang insan kamil (“manusia sempurna”), kelihatannya konsep “sempurna” sangat utopis, hanya ada dalam tataran ide dan sulit direalisasikan. Namun tidak demikian. “Sempurna” itu sendiri sebuah konsep yang memiliki gradasi. Di atas sempurna ada yang lebih sempurna. Sehingga konsepsi “insan kamil” juga dipahami sebagai “manusia menyempurna”: sempurna dan semakin sempurna. Sama dengan makna ihsan, semakin lama semakin baik. Puncak dari kesempurnaan adalah Khalik itu sendiri. Bagaimana dengan makhlukNya, adakah puncak dari kesempurnaan pada ciptaan-Nya? Apakah ada “manusia sempurna”? Apakah terlalu utopis jika ada yang namanya “manusia sempurna”? Tuhan Maha Adil. Dia tidak bersifat omong kosong. Tuhan tidak sekedar berteori. Ketika berfirman tentang nilai-nilai kesucian dan kesempurnaan, Dia juga menumbuhkan di bumi sosok-sosok untuk menyampaikan serta Muhammad Rasulullah menjadi tauladan tentang kesucian dan kesempurnaan.1 Para nabi adalah sosok-sosok itu. Dari semua mereka, Muhammadsaw adalah puncak dan hakikat kenabian, “puncak kesempurnaan”. Seluruh kualitas kenabian yang dipunyai nabi-nabi terdahulu adalah kualitas-kualitas sejati yang telah ada pada diri Muhammadsaw.2 Beliaulah contoh manusia yang dirujuk sufi agung Ibnu ‘Arabi sebagai insan kamil, yang menjadi konsepsi manusia dalam citacita HMI. Muhammadsaw adalah sebaik-baik ciptaan Allahswt (khaira khalqillah), makhluk paling sempurna, bukti kesempurnaan Tuhan. Muhammadsaw adalah realitas kesempurnaan universal di tengah manusia (“manusia universal”, al-insan al-kulli), yang tercipta dari nafas Rahman (Maha 1

2

“Dan sesungguhnya, kami telah menurunkan kepada kamu, ayat-ayat yang menerangkan dan menjelaskan, dan contoh tauladan orang-orang yang telah lalu sebelum kamu, serta nasihat pengajaran bagi orang-orang yang bertaqwa” (QS. anNur -24: 34). M.M Qaem. 2006. “The Gospel of Ali, Penghargaan Islam atas Yesus”, dalam Pendahuluan: Pengantar Edisi Bahasa Indonesia oleh M.M Marhaban, hal. XXIV-LXIII. Penerbit Citra: Jakarta.

BAB 6 Aktualisasi Nilai-Nilai: “Profil Insan Pejuang Paripurna”

215

Kasih)-Nya.3 Beliau pemimpin para nabi, penghulu alam, khalifah Tuhan yang diutus membangun ummah dengan nilai-nilai ketuhanan. Muhammadsaw juga hamba Tuhan yang paling berhasil memadukan seluruh nilai-nilai dalam sikap dan perilakunya. Jika alQuran menjadi “Buku Teks” kumpulan nilai-nilai ilahiyah, maka Muhammadsaw merupakan “Wujud Hidup” dari Teks Suci itu. Nabi kita itu figur dari keseluruhan nilai-nilai universal. Kendati para nabi berwujud manusia, namun hakikat mereka adalah “ruh”, “pelita” atau “cahaya Tuhan”. Meskipun hidup dan berjalan di kerendahan bumi, intelektualitas dan spiritualitasnya membumbung tinggi di atas sana. Nabi kita itu manusia langit yang tumbuh di bumi. Beliau manifestasi dari “keagungan” dan “keindahan” Tuhan di alam semesta, rahmatal lill’alamin. Muhammadsaw itu Sang Mesiah dan raison d’atre, alasan bagi terciptanya alam semesta. Dijelaskan dalam sebuah hadist, “Engkaulah pilihan-Ku dan wali bagi Cahaya dan Petunjuk-Ku. Lantaran kamu Aku ciptakan langit dan bumi, pahala dan siksa, surga dan neraka”.4 Di hadist lain disebutkan: “Kuntu nabiyyan wa adama bainal maa-i wadthini” (Aku adalah Nabi ketika Adam masih antara air dan tanah - HR. atTurmuzi dan Hakim). Muhammadsaw merupakan rangkuman keseluruhan “Nama-Nama Ilahiah”. Beliaulah Makhluk Sempurna, “Gambaran Allah pertama”, atau Nur Muhammad (“Citra Tuhan”) yang diciptakan sebelum makhlukmakhluk yang lain. Begitu menyatunya baginda Nabi saw dengan AsmaAsma Tuhan, sehingga sebuah hadist menyebutkan: “Ana ahmad bi la mim, wa ana ‘arabbi bi la ‘ain” (Aku adalah Ahmad tanpa mim maksudnya “Ahad”, dan aku adalah ‘Arab tanpa ‘Ain -maksudnya “Rabb”). Insan kamil adalah jenis manusia yang hidup dengan nilai-nilai ilahiah (man of values). Cinta, hikmah, intelektual, kebebasan, pelayanan, penyembahan, tanggungjawab dan sebagainya; masing-masing ini merupakan nilai. Namun siapakah manusia sempurna? Apakah seorang pecinta sejati? Seorang sufi sejati? Seorang filsuf sejati? Seorang ‘abid sejati? Seorang negarawan sejati? Seorang politisi sejati? Seorang yang

3

4

L. Bakhtiar. 2008. Mengenal Ajaran Kaum Sufi: dari Maqam-Maqam hingga Karya Besar Dunia Sufi, hal. 30, Penerj. Purwanto. Penerbit Marja: Ujungberung. Y.T. Al-Jibouri. 2003. Konsep Tuhan Menurut Islam, cetakan 1, hal. 557. Penerbit Lentera: Jakarta.

216

SAID MUNIRUDDIN

terlahir bebas merdeka? Tidak masing-masing mereka!5 Insan kamil adalah jenis manusia yang keseluruhan nilai-nilai tersebut terbangun secara seimbang dalam totalitas hidup. Muhammadsaw adalah kumpulan semua nilai-nilai tersebut. Sebegitu sempurna-kah Muhammadsaw? Sebagian orang merasa skeptis, bahkan menentangnya. Di dalam Islam sendiri, ketika Muhammadsaw dibicarakan sebagai manusia suci, ada yang menolaknya. Mereka mengatakan, Muhammadsaw adalah manusia biasa yang juga “berbuat salah”, “terkena santet”, dan juga “pelupa”. Bahkan disebut juga “berbuat dosa” dengan “bermuka masam” kepada orang miskin (lihat ayat: abasa watawalla). Ayat yang diturunkan guna menegur Abdullah bin Maqtum itu ditafsirkan sebagai kritik Tuhan untuk Rasulsaw. Padahal, “bermuka masam” bukan karakternya pemilik “akhlak yang agung” (khuluqin ‘adhim).6 Juga bukan bagian dari personalitas sang “suri tauladan” (uswatun hasanah).7 Apalagi karakternya “manusia yang disucikan” (thahir)8, yang “kata-katanya merupakan wahyu yang diwahyukan” (illa wahyuy yuuha)9, yang “Allahswt dan malaikat pun bersholawat kepadanya”.10 Ada riwayat-riwayat yang menukilkan dosadosa Rasulsaw. Muhammadsaw memang seorang manusia biasa11, dalam arti ia juga jalan-jalan dan hidup dikeramaian, makan-minum12, dan

M. Muthahhari. 2003. “Perfect Man”, Ch. 1 Perfect Man, Trans. Aladdin Pazargadi, Ed. Shah Tariq Kamal. Foreign Department of Boyad Be'that. 6 “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung” (QS. alQalam -68: 4). 7 “Sesungguhnya adalah bagi kamu pada Rasulullah itu teladan yang baik; Bagi barangsiapa yang mengharapkan Allah dan Hari Kemudian dan yang banyak ingat kepada Allah” (QS. alAhzab -33: 21). 8 “… Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya” (QS. alAhzab -33:33). 9 “Demi bintang ketika terbenam. kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quraan) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan” (QS. anNajm -53: 1-4). 10 “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya” (QS. alAhzab -33: 56). 11 [1] Katakanlah:"Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku…” (QS alKahfi -18: 110); [2] Katakanlah:"Maha suci Rabbku, bukankah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi rasul" (QS. alIsra’ -17: 93). 12 [1] Dan mereka berkata:"Mengapa Rasul ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar. Mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang malaikat agar malaikat itu memberikan peringatan bersama-sama dengan dia” (QS. alFurqan -25: 7); [2] “Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelum kamu, melainkan mereka memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar. Dan Kami jadikan sebahagian kamu cobaan bagi yang lain. Sanggupkah kamu bersabar Dan Rabbmu Maha Melihat” (QS. alFurqan -25: 20). 5

BAB 6 Aktualisasi Nilai-Nilai: “Profil Insan Pejuang Paripurna”

217

berkeluarga.13 Namun potensi kemanusiaan dan kualitas spiritualnya, telah mengangkat sosok ini suci dari pikiran dan perilaku bernoda, sehingga menempatkannya pada derajat tertinggi sebagai wakil dari Yang Maha Suci. Adakah Profil lain se-Sempurna Muhammadsaw? Adakah manusia yang keseluruhan sifat dan personalitasnya seperti Muhammad saw? Adakah yang mampu mencapai derajat kesempurnaan Muhammadsaw? Para filsuf dan sufi menyatakan tidak ada makhluk yang dapat mencapai martabat Muhammadsaw. Beliau insan kamil yang berada pada puncak dari hirarki kesempurnaan para makhluk. Meskipun tidak ada yang dapat mencapai hakikat Muhammadsaw, kita diperintahkan terus-menerus menauladaninya, atau “menyempurna”. Kita bukan sebatas makhluk dunia material seperti sangkaan kaum materialis. Kita juga makhluk langit, yang spirit atau jiwa kita tidak pernah binasa. Sebagai makhluk spiritual, hanya melalui “kesadaran psikologis” (akal dan hati) manusia mencapai keadaan fitrah dan kehanifan sebagai makhluk yang semakin suci dan sempurna. Nabisaw sendiri tidak pernah final kesempurnaannya. Beliau mengalami evolusi. Dari hari kehari, kesadaran psikologis (intelektualitas dan spiritualitasnya) semakin tinggi. Beliau sendiri berkata: “Orang beruntung adalah yang hari ini lebih baik dari kemarin, orang rugi adalah yang hari ini sama dengan kemarin, sementara orang celaka adalah yang hari ini lebih buruk dari kemarin” (HR. Bukhari). Melalui takhalli dan tahalli manusia mengalami proses tajalli menjadi insan kamil, insan ilahiyah. Seperti kata alJili (Abdul Karim ibnu Ibrahim alJaili, 767-832H/1366-1430M), “manusia sempurna” adalah alam saghir (microcosmos) dari “citra Tuhan”; yang dzat, asma, sifat, dan perbuatannya terus menyempurna.14 Keempat kesejatian karakter ilahiyah tersebut teraktualisasi secara harmonis dalam aktivitas keduniaan. Kita semua dimandatkan untuk berevolusi menuju kesempurnaan, “(Tuhan) Yang menciptakan dan menyempurnakan” (QS. ”Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan” (QS. arRa’ad -13: 38). 14 A.K. alJaili. 2009. Insan Kamil: Ikhtiar Memahami Kesejatian Manusia dengan Sang Khalik hingga Akhir Zaman, diterjemahkan oleh Misbah el-Majid dari “Insan Kaamil fi Ma’rifah al-Awahir wa al-Awail”. Pustaka Hikmah Perdana: Surabaya. 13

218

SAID MUNIRUDDIN

al’Ala -87:2). Bahkan semua wujud berevolusi menuju Yang Maha Sempurna, “Sesungguhnya dari Allah kita berasal dan kepadanya kita kembali” (QS. alBaqarah -2: 156). Meskipun tidak mampu merebut posisi Muhammad saw –sang citra tertinggi Tuhan di alam semesta, namun kita dapat menjadi “kaderkader Tuhan” pada era dan wilayah masing-masing. Kita dapat menjadi kader-kader yang merefleksikan kesempurnaan Muhammad saw dalam perilaku berorganisasi, bermasyarakat dan bernegara. Karena sejarah Islam sendiri telah melahirkan figur-figur paripurna, yang merefleksikan akhlak Muhammadsaw. Salah satunya adalah seorang pemuda bernama Ali. Hati-hati memilih tokoh. Seringkali kita fanatik kepada Karl Marx, Che Guevara, Sukarno serta tokoh-tokoh lainnya. Namun gagal memahami pribadi-pribadi agung, yang keunggulan mereka melampaui sekat ruang dan waktu. Dalam sejarah perjuangan Islam telah lahir sederetan sosok mengagumkan. Mereka ini sekelompok kecil orang yang dibina secara khusus untuk tujuan-tujuan tertentu. Karena sangat intelek dan profesional, mereka disebut-sebut sebagai kader-kader terbaik ummah pada zamannya. Dalam pedoman perkaderan HMI, kader didefinisikan dengan, “a small group of people specially trained for a particular purpose or profession”.15 Dapat juga diartikan dengan “a small group of trained people who form the basic unit of a military, political, or business organization”.16 Rasulsaw melakukan kaderisasi. Banyak dari pengikutnya yang menjadi “pejuang paripurna”. Dari semua mereka, kita temukan satu sosok paling menonjol dalam semua sisi, imam Ali bin Abi Thalib. Sebagai organisasi kader, menjadi penting bagi anggota HMI untuk mendalami kepribadian anak muda yang satu ini (tanpa menutup diri untuk juga terus menggali karakter tokoh-tokoh lainnya). Ibnu Sina -Avicenna- sendiri menyebutnya sebagai salah satu mukjizat Rasul, “Imam Ali dan alQuran merupakan dua mukjizat Nabisaw. Kehidupannya pada setiap fase sejarah Islam menjadi sebuah cermin, layaknya cerminan kehidupan Nabi”. 17

Oxford Dictionaries Online: http://oxforddictionaries.com Cambridge Dictionaries Online: http://dictionary.cambridge.org 17 S.M. Jafari Askari. 2007. Gold Profile of Imam Ali. Pustaka Iman: Depok. 15 16

BAB 6 Aktualisasi Nilai-Nilai: “Profil Insan Pejuang Paripurna”

219

ALI BIN ABI THALIB: CONTOH KADER PARIPURNA Ali: Man of Values. Seringkali suatu kelompok masyarakat tergiring dalam bangunan asketis, cenderung pada kehidupan “akhirat”. Mimbarmimbar ceramah di isi tema-tema religius, dan ajakan melupakan dunia. Sekelompok masyarakat lainnya justru hidup dengan bangunan “Muhammad” dan “Ali” materialis, cenderung pada dimensi “duniawi”, bisnis dan politik. Masing-masing kelompok mempraktikkan sejumlah nilai yang mereka anggap penting, lalu melupakan nilai-nilai lain. Ada yang cenderung dalam dunia cinta lalu larut dalam “sufisme” dengan mengabaikan intelektualitas. Ada yang menganggap tasawuf sebagai ilusi mistik, lalu memilih hidup dengan “logika dan filsafat”. Ada yang merasa berdagang di pasar lebih utama lalu mengabaikan dzikir di masjid, atau sebaliknya. Tidak ada dari kedua kelompok manusia ini yang berakhir pada kesempurnaan. Masing-masing hidup dengan sebuah nilai dan mengabaikan nilai-nilai lainnya. Hal pincang seperti ini tidak ditemukan pada pribadi Ali. Nahjul Balaghah, kumpulan khutbah, pidato, nasehat, kata-kata, dan surat Amirul Mu’minin Ali bin Abi Thalib; disebut-sebut sebagai kompilasi hukum Islam tertinggi setelah alQur’an dan Hadist. Dalam buku ini ditemukan berbagai sisi berbeda dari kehidupan Imam Ali. Tema-tema bahasan beliau meliputi dunia ibadah, muamalah, falsafah, mistisisme, militer, peradilan, hukum Islam, dan sebagainya. “Ali tidak pernah absen dari berbagai sisi kehidupan manusia”, kata Sayyid al-Razi (359406H/970-1015M) penyusun kitab ini.18 Pada diri laki-laki yang paling pertama berada dalam rumah kenabian ini, ditemukan keseimbangan semua nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan seperti tauhied, kemerdekaan (ikhlas), keadilan, kebaikan (ihsan), dan rasa tanggungjawah hidup secara

18

Nasab Penyusun Kitab Nahjul Balaghah: al-Razi bin Abu Ahmad Husain Tahir al-'Awhad Dhu alManaqib bin Musa bin Muhammad bin Musa bin Ibrahim al-Mujab bin Musa al-Kazim bin Ja’far alSadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib; dalam “Lineage of al-Razi and his Life”, Nahjul Balaghah: Sermons, Letters, and Sayings of Ameer al-Mu'mineen, the Commander of the Faithful, Imam Ali ibn Abi Talib.

220

SAID MUNIRUDDIN

harmonis dalam kepribadiannya. Demikian juga dengan sifat-sifat feminin (jamaliah) dan maskulin (jalaliah) ilahiyah, teraktualisasi secara sempurna dalam perilakunya. Pada malam hari, ketika sedang bermunajat kepada Tuhan, tidak ada satu sufi pun di muka bumi ini yang dapat menandinginya dalam hal kefanaan. Kedalaman hatinya tak membuat ia terganggu oleh rasa nyeri sekalipun. Bahkan cabutan panah beracun dari kaki tidak mampu mengusik kekhusyukan sholatnya. Di siang hari ia menjadi sosok yang lain lagi. Tidak seperti umumnya ahli ibadah dan pemimpin yang berusaha menciptakan kesan wajah berwibawa, Ali justru begitu luwes dalam pergaulan, kelihatan ceria dan selalu gembira ketika duduk bersama sahabat-sahabatnya. Begitu mudahnya beliau tersenyum sehingga Amru bin Ash mengkritiknya, bahwa beliau tidak cocok menjadi Khalifah. Seolah-olah menjadi khalifah harus tampil keras dan berwajah garang. Sifat periangnya juga dipelintir oleh Mu’awiyah sebagai kelemahannya. Mendengar ini Qais bin Saad menjawab, “Wataknya periang dan roman mukanya menyenangkan, namun ia memiliki wibawa singa yang lapar. Wibawanya lahir dari kesalehan, bukan dari kekuasaan seperti yang kau miliki atas Syiria”.19 Di medan perang sekalipun, wajahnya senantiasa tersenyum. Namun tidak ada perang yang dia pimpin yang tidak dimenanginya. Manusia Sempurna: “Perpaduan Pribadi yang Bertentangan”. Pada diri murid terbaik Nabisaw ini ditemukan kombinasi harmonis beragam nilai kemanusiaan. Penyair abad-6 Hijrah, Safiyuddin Hilli, mengatakan, “Pada dirinya kita temukan semua jenis pertentangan”.20 Beliau adalah pribadi yang berdaya ganda; penguasa sekaligus sangat bijak, rendah hati sekaligus tegas, lembut sekaligus keras, Ahli ibadah sekaligus pekerja, miskin tapi paling

19 20

S.M. Jafari Askari. 2007. Gold Profile of Imam Ali, hal. 150. Pustaka Iman: Depok. Ibid.

BAB 6 Aktualisasi Nilai-Nilai: “Profil Insan Pejuang Paripurna”

221

murah hati.21 Siang hari ia mengaum-ngaum seperti singa. Malam hari menangis tersedu-sedu di hadapan Tuhannya. Beliau kader Rasulsaw yang paling berilmu, panglima perang, hakim, pekerja, orator, sufi, zahid, filosof, guru, dan penulis. Dari banyak sahabat Nabisaw, Ali terkenal miskin. Bagaimana mungkin orang miskin dapat disebut manusia sempurna. Kata beliau, “Nilai manusia bukan pada kaya atau miskin, tapi pada syukur dan sabar”. Sebuah konsep hidup yang luar biasa. Ada perbedaan makna antara “sempurna” dengan “lengkap”. “Sempurna” merupakan derajat perkembangan individual ke arah vertikal. Perjalanan transenden intelektual dan spiritual. Sementara “lengkap” lebih kepada perkembangan horizontal. Derajat eksistensi fisik dan materi. Kaya dan miskin bagian dari konsepsi “lengkap”. Sementara syukur dan sabar bagian dari konsepsi “sempurna”. Dalam Islam, hakikat manusia terletak pada dimensi intelektual-spiritual. Sehingga “sempurna” lebih mendefinisikan letak “kemuliaan manusia”.22 Apakah dengan demikian Ali tidak mampu mencapai kelengkapan dunia dengan cara memperkaya diri? Sebegitu tidak produktifkah dia? Disebutkan oleh Salman al-Farisi, seandainya ia dan keluarganya menggunakan sepersepuluh saja dari harta yang mereka salurkan, mereka akan hidup mudah dan nyaman. 23 Manusia ulet dan disiplin seperti Ali mampu dengan mudah menumpuk harta lalu kaya raya. Apalagi jika memanfaatkan posisinya sebagai tangan kanan Rasul saw, pemimpin militer, bahkan sebagai penguasa. Namun hal ini tidak dilakukan karena ia menganut gaya hidup instrukturnya, Muhammad saw. Suatu ketika Rasulsaw didatangi Jibril as: “Ya Muhammad, Tuhanmu menyampaikan salam”. Muhammad menjawab salam. Jibril melanjutkan, “Tuhanmu menanyakan, hidup seperti apa yang engkau inginkan ya Muhammad? Apakah engkau ingin seperti Sulaiman yang “kaya raya” atau ingin seperti Aiyyub yang “miskin papa”? Pertanyaan ini sengaja diajukan Tuhan, mengingat M. Muthahhari. 2002. Karakter Agung Ali bin Abi Thalib. Pustaka Zahra: Jakarta. M. Muthahhari. 2003. “Perfect Man”, Ch. 1 Perfect Man, Trans. Aladdin Pazargadi, Ed. Shah Tariq Kamal. Foreign Department of Boyad Be'that. 23 S.M. Jafari Askari. 2007. Gold Profile of Imam Ali, hal. 28-29. Pustaka Iman: Depok. 21 22

222

SAID MUNIRUDDIN

Muhammad adalah kekasihNya. Tuhan akan memberikan apapun yang diminta Muhammad. Dalam sejarah terdapat nabi-nabi yang memiliki banyak harta. Juga ada nabi-nabi yang hidup dalam kekurangan. Tuhan ingin menjadikan Muhammad sosok nabi seperti apapun keinginan Beliau. Pada dasarnya, Muhammad dapat memilih menjadi “nabi yang kaya”, atau “nabi yang miskin”. Namun baginya, memilih salah satu kondisi tersebut tidaklah etis. Jika memilih kaya, berarti menafikan kezuhudan Aiyyub. Jika memilih miskin, maka seolah-olah kaya itu tidak baik. Padahal Muhammad menyuruh ummatnya bekerja keras dan tidak terjebak dalam kemiskinan yang berpotensi kufur. Lalu apa jawaban Muhammad? “Aku ingin menjadi Nabi, yang hidupnya sehari kenyang, sehari lapar”.24 Terdapat nilai filosofis yang sangat tinggi pada jawaban singkat ini. Muhammadsaw menginginkan hidup “kaya” ala Sulaiman as (‘sehari kenyang’), namun juga ingin merasakan “kemiskinan” Ayyub as (‘sehari lapar’). Kenyataannya, Muhammadsaw itu perpaduan dua kutub kayamiskin: Sulaiman dan Aiyyub. Pada satu sisi, beliau menjadi nabi yang paling sukses membangun kekuasaan. Seorang yatim piatu yang jadi raja. Dengan kekuasaan ini dapat dikatakan, Arab miliknya. Beliau pantas dinobatkan sebagai orang paling kaya. Namun anehnya, hidupnya lebih banyak dihabiskan dengan berpuasa daripada memakan semua harta yang berada dibawah otoritasnya. Bahkan ketika wafat, kepemilikannya sangat sedikit. Hidupnya seperti orang miskin. Hal serupa terjadi pada Ali, seorang khalifah (penguasa) namun terkenal tidak punya harta. Meskipun demikian, mereka berdua ini, Muhammad saw dan Ali kwh, tidak anti kaya. Mereka mendorong ummat untuk kaya raya, namun tidak melupakan yang miskin papa. Mereka menyuruh kita memiliki banyak hal, namun jangan lupa “berbagi” dan “berpuasa”. Ini konsep hidup Muhammadsaw yang diadopsi oleh amirul mukminin (pemimpin orangberiman) Ali bin Abi Thalib. Ini wujud manusia sempurna, “manusia paradoks”, hidup pada titik keseimbangan antara dua nilai yang bertentangan. Miskin sekaligus kaya, sabar sekaligus syukur. Sehingga terkenal kata-katanya, “Ya Allah, aku tidak tau apa yang terbaik bagiku, apakah menjadi kaya atau miskin. Bisa jadi kalau kaya aku sombong. Bisa pula kalau miskin aku berburuk sangka kepada-Mu. Terserah Engkau ya Allah mau Kau jadikan aku kaya atau miskin. 24

Riwayat tentang ini diantaranya dapat ditemukan dalam tariqah alawiyah.

BAB 6 Aktualisasi Nilai-Nilai: “Profil Insan Pejuang Paripurna”

223

Yang penting jadikan aku selalu sabar dalam kekurangan dan senantiasa bersyukur dalam kelebihan.” Nabisaw berkata, “iman itu memiliki dua bagian, sebagian berupa sabar dan sebagian berupa syukur”.25 Suatu hari Suwayda bin Ghafla menemui Ali di istana pemerintahan. Saat itu waktu sarapan. Di depan Imam hanya ada secangkir susu dan beberapa roti gandum yang sudah kering, apek, keras, dan tidak mengandung mentega atau minyak sedikitpun. Imam bersusah payah memotongnya. Suwayda menceritakan, “Aku melirik ke budak pelayan Imam”. Lalu berkata, “Fizza, tidakkah kau kasihan dengan majikanmu? Kenapa tidak kau beri roti yang lebih lunak dan menambah sedikit mentega”. Si pelayan menjawab, “Kenapa aku harus kasihan, dia sendiri tidak kasihan pada dirinya. Ia perintahkan kami untuk tidak menambahkan apapun pada rotinya, sementara kami para pelayan disuruhnya memakan roti yang lebih baik dari yang dimakannya”. Mendengar ini Suwayda berkata kepada Ali, “Kasihanilah dirimu. Perhatikan umurmu, perhatikan betapa berat tanggungjawabmu, perhatikan juga pola makanmu”. Ali menjawab, “Suwayda, engkau tidak tau apa yang dimakan Nabisaw, dia pernah tidak makan tiga hari berturut-turut”.26 Ini jawaban seorang khalifah yang sebenarnya mampu membeli semua makanan yang ada di Arab, tetapi memakan apa yang dimakan seorang pengemis di pinggir jalan. Ingatannya tentang Nabisaw yang pernah kelaparan selama tiga membuatnya tidak berselera dengan kemewahan makanan. Abdullah ibnu Zuharah pernah diajak Ali menemaninya makan pada hari raya. Ibnu Zuharah terkejut dengan kesederhanaan menu makanan, “Tuan, engkau khalifah, orang paling kaya. Aku berharap makanan mewah terhidang di depan kita. Namun apa yang ku lihat?”. Imam menjawab, “Ibnu Zuharah, pernah kau dengar kisah raja-raja yang hidup mewah? Di hadapanmu adalah orang yang berbeda. Aku adalah raja yang menjalani kehidupan orang miskin dalam kesahajaan, seperti kuli rendahan”.27 Inilah manusia sempurna, berada seimbang diantara dua paradoks. Raja, tapi hidup dengan standar umum rakyatnya. S.A. Al-Jailani. 2012. “Menjadi Kekasih Allah”, hal. 198, cet. XII, diterjemahkan oleh M. Ahmad dari judul asli al-Fathur Rabbani wal Faidlur Rahmani. Citra Media: Yogyakarta. 26 Musnad Ahmad bin Hambal, dalam S.M. Jafari Askari. 2007. Gold Profile of Imam Ali, hal. 53-54. Pustaka Iman: Depok. 27 Mathalibus Sual, Allamah Kamaluddin M. Ibn Taha Syafi’i dalam S.M.A Jafari. 2007. Gold Profile of Imam Ali, hal. 54. Pustaka Iman: Depok. 25

224

SAID MUNIRUDDIN

Pada waktu yang lain, Ibnu Abi Rafi mempertanyakan, “Apakah Allah melarang anda makan makanan yang lebih baik?”. Ali menjawab, “Aku ingin menyantap makanan seperti yang dimiliki orang termiskin di daerah ini. Makananku adalah apa yang mampu dibeli oleh orang-orang paling melarat sehari-hari. Aku akan meningkatkan kualitas makananku, setelah aku berhasil meningkatkan kemakmuran rakyatku. Saat ini biarkan aku menjalani hidup dan merasakan penderitaan mereka”.28 Inilah Ali, kader sempurna, lulusan leadership training LK-I sampai dengan LK-III “baitunnubuwwah”, yang juga keturunan orang-orang mulia. Ali, Keturunan Orang-Orang Mulia. “Ali” merupakan nama yang diberikan Muhammadsaw kepadanya, berasal dari Asma Allahswt yang berarti “Tinggi”. Meski saat ia lahir alQur’an belum turun, tapi salah satu Nama Tuhan sudah ditaqdirkan melekat padanya.29 Awalnya ketika lahir ibunya menamai ia “asad” yang artinya “singa”. Keluarganya yang lain menamainya “haidar” yang juga bermakna “singa”. Nama-nama ini tetap melekat sebagai nickname-nya. Bahkan semua nama ini menjelma menjadi karakter dirinya yang “pemberani” dan “memiliki derajat pengetahuan serta spiritual yang sangat tinggi”. Beliau ini dari lahir sudah istimewa. Saat itu, ibunya Fathimah binti Asad sedang thawaf di Baitullah. Lalu merasa ingin melahirkan dan dibawa masuk ke dalam Ka’bah. Tidak ada manusia yang pernah lahir dalam Pusat Kiblat, kecuali Ali.30 Ia lahir 3 tahun sebelum pernikahan Nabisaw dengan Khadijah. Tepatnya 13 Ra’jab, sekitar 23 tahun sebelum Hijrah. Atau sekitar tahun 610 M, atau 30 tahun Gajah. Tidak hanya secara spiritual, secara kekerabatan Ali juga dekat dengan Rasulsaw. Ali satu keturunan dengan Nabisaw. Ia sepupu Nabi. Abu Thalib

Sirah Milani dan Musnad Ahmad bin Hambal dalam S.M.A Jafari. 2007. Gold Profile of Imam Ali, hal. 55. Pustaka Iman: Depok. 29 Syarah Bukhari, Imam Nudi; Tazkirah Khawashul A’immah; Sibt ibn Jauzi, dalam S.M. AlMusawi. 2009. Mazhab Pecinta Keluarga Nabi: Kajian alQuran dan Sunnah, hal 680-685. Mpress: Bandung. 30 Hakim dalam Mustadrak; Allamah Ibnu Shabagh dalam al-Fushul al-Muhimmah, pasal 1, hal. 14; Allamah Abu Adbillah Muhammad bin Yusuf alQurasyi al-kanji al-Syafi’I dalam Kifayatu al-Thalib, bab-7, tentang kelahiran Ali. 28

BAB 6 Aktualisasi Nilai-Nilai: “Profil Insan Pejuang Paripurna”

225

-ayahnya31, dan Abdullah -ayah Nabisaw, merupakan anak Abdul Muthalib. Ibunya anak dari Asad, yang juga saudara Abdul Muthalib. Jadi ayah dan ibu Imam Ali adalah saudara sepupu. Sementara Abdul Muthalib anak dari Hasyim yang terkenal itu. Untuk seterusnya nasab mereka bersambung kepada Ibrahim as: Ali bin Abu Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdu Manaf bin Qusay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fahr bin Malik bin Nadhar bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nazzar bin Ma’ad bin ‘Adnan ibnu ‘Addin bin Adad bin Alyasa’ bin al-Humais bin Banati bin Salaman bin Hamal bin Qaidar bin Ismail bin Ibrahim bin Tarikh 32 bin Tahur bin Syaru’ bin Abarghu bin Taligh bin Abbir bin Syalih bin Arfakhasdzi bin Sam bin Nuh bin Lamak bin Matusyalakh bin Akhnuh bin Barid bin Mahlail bin Qainan bin Anusy bin Syits bin Adam.33 Muhammadsaw dan Ali kwh keturunan mulia. Keduanya mewarisi genetik orang-orang hanif, para pendiri, penjaga dan pemegang kunci “Rumah Allah” (Ka’bah). Semuanya mukmin, yang tidak pernah menyekutukan Tuhan. Dari sulbi mereka ini, turun temurun meneruskan dzat-dzat suci, lalu memunculkan manusia-manusia agung yang juga suci nama, sifat dan perbuatannya. Kekuatan Fisik dan Keberanian Mental. Tidak seperti umumnya sahabat nabi, pertanyaan “Kapan Ali masuk Islam” tidak relevan. Sejak kecil ia sudah dirawat dan dididik Nabisaw. Ali tinggal dan tidur bersama

Abu Thalib adalah seorang “mukmin”, tidak seperti kepercayaan sebagian orang yang menyebutnya meninggal dalam keadaan musyrik. Tentang keimanan Abu Thalib telah dijelaskan oleh banyak ulama Sunni dan Syiah. Diantaranya Ibnu Abi al-hadid dalam Syarh nahjul balaghah juz 14, hal. 65 cetakan Ihya al-Turats al-‘Arabi, Jalaluddin as-Suyuthi, Ibnu al-Atsir dalam Jami’ al-Ushul, dan lainnya. Dari kalangan Mu’tazilah juga menyatakan demikian adalah Abu Qasim al-Balkhi, Allamah Abu Ja’fare al-Iskafi, dan lainnya. 32 Ayah kandung Ibrahim adalah Tarikh, seorang yang tidak pernah mempersekutukan Tuhan. Sementara yang kemudian menjadi ayah angkatnya adalah pamannya sendiri, Azar, seorang pembuat berhala. AlQuran juga menyebut Azar sebagai ayah bagi Ibrahim. Pada ayat lain, paman juga mendapat sebutan ‘ayah’, seperti dalam QS. alBaqarah -2: 133 ”Dan ketika (ya’qub) berkata kepada anak-anaknya ‘apa yang akan kalian sembah setelah aku?’ mereka berkata, ‘kami menyembah tuhanmu dan tuhan bapak-bapakmu Ibrahim, ismail dan ishaq, Tuhan Yang satu”. Padahal, Ismail paman dari Ya’qub. Sedang ayah Ya’qub adalah Ishaq. Sedangkan Ibrahim kakeknya Ya’qub. Namun, paman dan kakek pun dalam ayat ini mendapat sebutan ayah. 33 S.M al-Musawi. 2009. Mazhab Pecinta Keluarga Nabi: Kajian alQuran dan Sunnah, hal. 631. Mpress: Bandung. 31

226

SAID MUNIRUDDIN

Nabisaw. Beliau yang menyuapi Ali, memandikan dan memakaikan pakaian, bahkan menggendongnya dengan kain setiap kali bepergian. 34 Demikian juga Ali, senantiasa menemani Nabisaw bahkan sampai ke gua Hira’. Sehingga Ali disebut sebagai orang pertama yang melihat Cahaya Wahyu dan mencium semerbak aroma kenabian. Ketika Muhammadsaw menerima wahyu, Ali diperkirakan berusia 13 tahun. Ia yang pertama beriman, dan ikut sholat bersama Rasulsaw.35 Loyalitas kepada kenabian Muhammadsaw sudah tumbuh sejak dini. Pada usia 14 tahun ia telah menjadi pengawal Nabi saw. Sering anak-anak Mekkah, atas anjuran orang tua mereka, melempari Nabisaw. Ali tak sungkan-sungkan melawan, bahkan yang lebih tua darinya. Keberaniannya mengemuka sejak belia. Sehingga waktu kecil ia digelar Qadhim, “tukang banting”. Walaupun Ali sendiri sering terluka, banyak lawannya yang dibanting, dijewer telinga, robek hidung, dan rontok gigi, ketika berduel dengannya. Akibatnya, tidak ada lagi anak-anak yang berani menggangu Nabisaw ketika ia mendampinginya. Kedekatan lahir batin sejak kecil ini, memudahkan kita memahami pernyataan Nabi, “Kedudukan Ali di sisiku seperti Harun di sisi Musa. Hanya saja tidak ada lagi nabi sesudahku”.36 Keberanian dan kesetiaan Ali untuk Islam bukan dongeng sejarah. Kemenangan selalu menyertai setiap perang yang dia sebagai komandannya. Tokoh-tokoh besar musyrik dan Yahudi yang pernah tercatat sejarah, bertumbangan ditangannya. Badar, Uhud, Khandaq, Khaybar, dan Hunain adalah sebagian dari kisah keimanan dan kepahlawanannya. PERANG BADAR. Setelah Nabisaw dan pengikutnya hijrah, kafir Quraish menyusun kekuatan dan melakukan invansi ke Madinah. Dengan hanya 313 prajurit, Nabisaw keluar dari Madinah menghadapi 1000 musuh.

Ithbatul Wasiyah, Mas’udi, hal. 119. Hadis dari ibnu abbas, dalam kifayah a-thalib bab 25, Allamahal-kanji, dalam S.M al-Musawi. 2006. Mazhab Pecinta Keluarga Nabi: Kajian al-Quran dan Sunnah, hal. 280. MPress: Bandung. 36 Al-Bukhari, Shahih, juz 3, dari kitab al-Maghazi, bab Ghazwah Tabuk, dan dari kitab Bid al-Khuluq dalam bab Manaqib ‘Ali; Muslim bin hajjaj, Sahih, juz 2, hal. 236-237 cetakan Mesir 1290 H, dan dalam kitab fadhl al-Shahabah, bab fadha’il Ali; Imam Ahmad bin Hambal, Musnad, juz 1, hal. 97, 118, dan 119 dalam bahasan Tasmiyah al-Husain, dan lainnya, dalam S.M al-Musawi. 2009. Mazhab Pecinta Keluarga Nabi: Kajian al-Quran dan Sunnah, hal. 180. MPress: Bandung. 34 35

BAB 6 Aktualisasi Nilai-Nilai: “Profil Insan Pejuang Paripurna”

227

Peta Perang Badar

Terjadilah perang Badar, perang pertama pada Ramadhan tahun kedua Hijrah. Pasukan Islam masih pemula, tidak terlatih, dan bersenjata sangat sederhana, sehingga kurang rasa percaya diri. Nabisaw bersama Ali membangkitkan semangat mereka. Di Badar, Ali menghabisi 36 pasukan Quraish. Diantara mereka adalah panglima-panglima terkenal. Sebagian yang tewas ditangannya adalah mereka yang mengepung rumah Nabisaw ketika hijrah. Meskipun terluka, Ali dengan jiwa ksatria mempersembahkan kemenangan pertama untuk Islam. Dalam perang ini Abu Jahal menemui kematiannya. 37 Dengan kemenangan ini, sosok Muhammadsaw dan pengikutnya yang dulu disepelekan, kini mulai diperhitungkan. PERANG UHUD. Kalah di Badar, kafir Quraisy semakin geram. Mereka bersumpah menuntut balas. Musyrik Quraish berhasil mendapat dukungan suku Tahama dan Kinama. Maka pada 13 Syawal 3 Hijrah meletuslah perang Uhud. Nabisaw mengerahkan 700 pasukan yang dikomandoi Hamzah dan Ali. Sementara musuh yang dipimpin Abu Sufyan serta wakil-wakilnya seperti Khalid bin Walid, Ikrimah bin Abu Jahal, dan Amru bin Ash; mengerahkan 3000 invanteri dan 2000 kavaleri.

37

Ibn Hisham. 2009. “Sirah Nabawiyyah Ibnu Hisham”, Jilid 1, terjemahan as-sirah an-nabawiyah li ibni Hisyam. Penerbit Darul Falah: Bekasi.

228

SAID MUNIRUDDIN

Pasukan Islam yang ditugaskan Nabi untuk mengamankan bukit yang strategis, turun ke bawah, tergoda untuk mengumpulkan harta perang. Pasukan kafir mengambil alih dan berhasil membalas. Pasukan Muhammadsaw bertumbangan. Sebagian besar lari dari medan perang38. Ditengah gentingnya suasana, Rasul bertanya kepada Ali: “Mengapa engkau masih disini, sementara yang lain pada lari”. Ali yang telah berdarah hanya menjawab, “Ya Muhammad, haruskah aku menjadi kafir setelah beriman?”. Rasulsaw saat itu juga terluka terkena lembing musuh. Disini salah satu singa Nabisaw, Hamzah, menemui kesyahidannya. Tercatat empat orang yang tersisa melindungi Nabi: Ali, Zubair, Thalhah (ada yang menyebut Dhakwan), dan Abu Dujanah. Semuanya terluka parah. Ali sendiri robek di 90 tempat. Air liur Nabisaw yang kemudian jadi obatnya.39 Drama Uhud terekam dalam Q.S Aali ‘Imran: 140-179. Saat itu Ali berumur 25 tahun. Ia baru setahun menikahi Fathimah yang baru saja melahirkan Hasan. Sebagai pemuda yang baru berumah tangga, biasanya akan menghindari Peta Perang Uhud perang dan memilih hidup nyaman. Namun Ali hanya memiliki satu cita-cita, syahid. Suatu ketika Muhammadsaw bertanya kepada Ali, "Berapa besar keberanian yang mampu kau tunjukkan dalam mencari kesyahidan?” Ali berkata, “Jangan tanya berapa besar keberanian ku untuk mati di jalan Tuhan. Tanyakan berapa besar rasa syukur yang kumiliki jika dapat mati di jalan-Nya”.40

Tentang larinya pasukan islam dari Uhud diceritakan dalam QS. al-Anfal -8: 15-16. Tentang Uhud dan banyak pasukang islam yang melarikan diri disebutkan oleh Bukhari, Shahih, juz 3, hal. 67, cetakan Isa al-Babi al-Halabi: Mesir; fakhrurrazi, mafatih al-Ghayb, juz 9, Hal. 52; al-Alusi, Ruh al-Ma’ani, juz 4, hal. 99; al-Nisaburi, Gharaib al-Quran dalam catatan pinggir tafsir al-Thabari, juz 4, hal. 112-113; al-Suyuthi, al-Durr al-mantsur, juz 2, hal. 88-89; al-Thabari, jami’ al-bayan, juz 4, hal. 95-96. 40 M. Muthahhari. 2003. “Perfect Man”, Ch. 2 The Nature of Man, Trans. Aladdin Pazargadi, Ed. Shah Tariq Kamal. Foreign Department of Boyad Be'that. 38 39

BAB 6 Aktualisasi Nilai-Nilai: “Profil Insan Pejuang Paripurna”

229

Inilah “tauhied”. Sebuah kekuatan yang melahirkan jiwa yang “bebas dan merdeka”, jiwa yang tidak memiliki rasa takut dan ketundukan kepada apapun, kecuali kepada Tuhan. Dalam kasus Ali, bukan hanya ia tidak punya rasa takut, bahkan rasa takut itu sendiri yang takut kepada Ali. Karena mentalitas inilah Ali, selain Hamzah, digelar Rasul asadullah (“Singa Allah”). Mentalitas ini terlihat dalam Uhud. Ketika sebagian pasukan muslim mulai meregang nyawa dan lainnya melarikan diri, Ali justru lari ke arah musuh dan menerjang mereka sambil terus berteriak, “Rasul masih hidup!”. Keberaniannya memberi inspirasi kepada mereka yang menyangka Nabi telah tewas, untuk kembali ke medan juang. Inilah yang menyelamatkan kaum muslim dari kekalahan brutal. Sebanyak 28 prajurit tersohor musyrik Quraish, 17 diantaranya terkenal jagoan, terbunuh di tangan Ali. Pada peristiwa Uhud Nabi mengatakan, “Jibril memuji Ali seraya berkata: La fata illa Ali, la syaifa illa Zulfaqar”. Tidak ada pemuda selain Ali, tidak ada pedang selain Zulfakar.41 Ketauhidan dan kesatriaan Ali terwarisi dalam simbol-simbol perjuangan pada generasi setelahnya. Zulfaqar pedang Ali, mewarnai hampir semua bendera dan panji-panji perlawanan. Tahun 1940 misalnya, pasukan Belanda mengepung pantai Barus Aceh. Mereka berhasil menyita kelengkapan perang mujahidin. Ditemukan sepotong bendera bergambar bulan dan pedang, yang kini tersimpan di Rijksmuseum Amsterdam (inv. nr. NG-1977-279-2). Di bendera tersebut tertulis:

41

Hadist diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asakir melalui sanandnya dari Jabir bin ‘Abdillah al-Anshari dan alhafizh al-Khathib al-Baghdadi; Ibn Abi al-hadid dalam syarh Nahj al-balaghah, Juz 13, Hal. 293. Allamah al-kanji al-Qarasyi al-syafi’i, Kifayah al-Thalib, Bab 67; dalam S.M al-Musawi. 2009. Mazhab Pecinta Keluarga Nabi: Kajian al-Quran dan Sunnah, hal. 306 dan 341. MPress: Bandung.

230

SAID MUNIRUDDIN

Panji Jihad Aceh, Rijksmuseum Amsterdam

“Bismillahi majriha wa mursaha, inna rabbi laghafurun rahim. Nasrun minAllah wa fathun qarib, wa basysyiril mukminin. Bismillahir rahmanirrahim. Asadullahil ghalib, Ali ibnu Abi Thalib, karamallahu wajhah. Nadi Aliyyan muzhiral ’aja’ib. Tajib awnan laka. Bikulli hammin wa ghammin sayajil. Binubuwwatika ya Muhammad wa biwilayatika ya Ali. Khairu khalqil-rahmani, kabirul-mukminin. Ya huwa kabiran azim. Ya man huwa. Ya man La ilaha illa huwa”. (Artinya: Dengan nama Allah diwaktu berlayar dan berlabuh, Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Pengampun dan Maha Penyayang, Pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat dan sampaikanlah berita kepada orang-orang yang beriman. Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Singa Allah yang perkasa, Ali ibnu Abi Thalib, semoga Allah senantiasa memuliakan wajahnya. Panggilah Ali orang yang dapat melahirkan berbagai keajaiban. Anda akan mendapatkan pertolongan dalam kesusahan. Bagi tiap-tiap kegelisahan dan duka cita akan lenyap. Dengan berkat kenabian mu ya Muhammad dan dengan pimpinanmu ya Ali. Tidak ada pemuda selain Ali, tidak ada pedang selain Zulfaqar. Makhluk yang paling baik dari Tuhan yang Maha Pemurah! Orang-orang yang paling besar di antara orang-orang mukmim. Wahai Dia, yang Maha Besar lagi Maha Agung. Wahai Dia. Wahai Dia, tiada ada Tuhan melainkan Dia.)

BAB 6 Aktualisasi Nilai-Nilai: “Profil Insan Pejuang Paripurna”

231

Berabad-abad lamanya Alam Zulfaqar menjadi bendera kerajaan Aceh. Bendera berlogo pedang sayyidina Ali menjadi spirit kemajuan dan kemenangan. Demikian juga halnya di daerah-daerah lain di Indonesia. Cirebon misalnya, memiliki panji “Macan Ali”. Disebutkan, bendera ini dibawa tentara Cirebon keBendera “Macan Ali” Cirebon tika menaklukan Sunda Kelapa pada 1527 M dibawah pimpinan Tu Bagus Pasei alias Fatahillah atau Falatehan. Terdapat tulisan “bismillah” dalam panji tersebut dan ayat-ayat al-Quran untuk menunjukan keagungan Allah Swt. Disitu juga terdapat dua bintang yang mengandung 8 sisi, yang melambangkan Muhammad dan Fatimah. Diantara “bismillah” dan dua bintang terdapat dua gambar singa kecil dan besar dan pedang bercabang dua yang melambangkan pedang Zulfaqar milik Imam Ali. Setelah Zulfaqar terlihat singa besar, yaitulah Asadullah, alias singa Tuhan. Dalam bahasa Indonesia, singa Ali diterjemahkan dengan “Macan Ali”. Di Aceh ikut dibahasakan dengan “Rimueng Auliya”, Macan-nya para Wali. Bahkan di negeri Batak, bendera perjuangan Sisingamangaraja XII juga menggunakan “Alam Zulfaqar”. Dipercayai, Sisingamangaraja ini kemudian hari menganut ajaran Islam setelah pergi mencari bantuan dan bersentuhan dengan rajaraja dan pejuang Aceh. Bahkan sejumlah tentaranya merupakan pejuang-pejuang yang diutus dari Pidie, yang kemudian banyak syahid di Pulau Samosir. Warna panji dinasti Sisingamangaraja ini juga diartikan sebagai “keadilan dan keberanian” (merah) dan “iman yang suci” (putih), warna yang merepresentasikan nilainilai “Hasan” dan “Husein” dalam tradisi Ahlul Bait Nabi. Bendera ini juga mengadopsi gambar bulan dan bintang delapan segi sebagaimana yang ada dalam panji-panji di Aceh, Cirebon, dan banyak daerah lainnya. Bendera “Alam Zulfaqar” Sisingamangaraja XII

Rasulsaw ketika mengingat awal-awal dakwah yang hanya didukung segelintir orang dari keluarga dan masyarakatnya, beliau berkata, “Tidak tegak Islam ini kalau bukan karena harta Khatijah dan pedang Ali”. Sebenarnya bukan pedang yang memenangkan. Tetapi orang yang memegangnya. There is a power of faith behind the sword.

232

SAID MUNIRUDDIN

Ada kekuatan tauhied dibalik pedang. Kekuatan yang membuat setiap senjata hidup dan memenangkan perjuangan. PERANG KHANDAQ. Kalah di Uhud, Abu Sufyan mengerahkan kembali hampir 10.000 bala tentara. Kini ia mengajak kabilah Bani Nazir, Bani Ghatafan, Bani Salim, Bani Kinanah, dan Bani Khaza’ah. Terjadilah perang Khandaq (parit) atau Ahzab pada 23 Dzulqa’idah 5 Hijrah. Pasukan muslim hanya berjumlah 2000 orang. Pasukan musyrik Quraish memiliki jagoan utama sebagai panglima mereka, namanya Amru bin Abdiwud.

Peta Perang Khandaq

Suatu ketika ia melompat ke parit, dan berkali-kali menantang kaum muslim untuk menghadapinya. Sudah dua kali Ali meminta izin Rasulsaw untuk menghadapinya, namun tidak diizinkan. Yang lain pun tidak ada yang berani menerima duel tersebut. Begitu terkenalnya keperkasaan Amru bin Abdiwud di tengah bangsa Arab, sehingga alQuran menggambarkan, “Mata mereka melongos amat ketakutan dan jantung mereka berdegup kencang, hingga mereka berfikir untuk melarikan diri” (QS.

alAhzab -33: 10). Ketiga kalinya si musuh berteriak menantang, akhirnya Rasul saw mengizinkan Ali. Kaum muslim sendiri mengira Ali bakal tewas. Ternyata dari kecamuk debu duel, Ali keluar dengan selamat. Ia bahkan menghabisi beberapa jagoan pendamping Amr bin Abdiwud, seperti Abdullah ibnu Mughirah dan Nafal ibnu Abdullah. Diceritakan, saudari perempuan Amr bin Abdiwud sendiri bangga dengan kematian saudaranya. Karena yang membunuhnya adalah Ali, lawan yang tepat baginya. Pada perang ini, Ali membunuh sekitar 70 orang musuh, sebagian besarnya prajurit-prajurit kenamaan.42

42

Izalatul Khifa, Shah Waliullah Dehlavi; Tarikh Kamil, ibnu Athir; Tarikh Tabari; dan Durrul Mantsur, Suyuti.

BAB 6 Aktualisasi Nilai-Nilai: “Profil Insan Pejuang Paripurna”

233

PERANG KHAYBAR. Disamping gagah berani menghadapi kafir quraish, keperkasaan Ali juga terlihat dalam menghadapi Yahudi. Karena sering berbuat jahat, Yahudi pernah terpaksa di usir Nabi saw dari Madinah. Kemudian berkumpul kembali di Khaybar. Mereka mulai membentuk pasukan dalam jumlah besar, terdiri dari 10.000 sampai 12.000 orang. Khaybar merupakan sebuah daerah yang ditinggali Yahudi sejak terusir dari Palestina. Di sebuah bukitnya yang curam, terdapat sebuah banteng besar bernama Qamus.43

Peta Benteng Khaibar

Mendengar Yahudi ingin menyerbu Madinah, Nabisaw mengirim 3000 tentara menghadapi mereka di Khaybar. Perang Khaybar terjadi pada Muharram tahun-7 Hijrah. Dalam beberapa perang kecil, pasukan muslim yang dikomandoi beberapa prajurit senior berhasil menang. Namun hari-demi hari, Qamus tidak pernah bisa ditaklukkan. Abu Bakar diserahkan bendera oleh Nabisaw. Tetapi beliau kembali tanpa kemenangan. Kemudian Rasul menyerahkan bendera ke Umar. Ia pun pulang dengan kekalahan. Hal ini meredupkan semangat pasukan muslim dan menambah keberanian tentara Yahudi. Ditengah kegelisahan yang mendera pasukannya, tiba-tiba Nabisaw berkata, “Besok akan kuserahkan panji perang kepada seorang pemberani, yang tidak pernah menyerah, yang mencintai Allah dan Nabinya, dan ia juga dicintai Allah dan Nabinya. Dan ia tidak akan kembali kepadaku tanpa membawa kemenangan”. Semua sahabat berharap mendapatkan

43

S.A. Ali. 2003. “The Spirit of Islam: A History of Evolution and Ideals of Islam with a Life of the Prophet”. Kessinger Publishing: Montana.

234

SAID MUNIRUDDIN

panji itu. Saat itu Ali sedang absen dari perang karena mengalami demam berat, sakit kepala dan sakit mata.44 Tidak ada yang menyangka ternyata esoknya panji itu diserahkan ke Ali. Dalam keadaan demam Ali dipanggil Rasul saw. Nabisaw mengusap dengan tangannya kedua mata Ali yang merah seraya berdo’a, “Ya Allah, jagalah ia dari panas dan dingin”. Mukjizat inilah yang menyembuhkan Ali. Bahkan diriwayatkan, setelah itu Ali dalam hidupnya tidak pernah lagi kedinginan di musim dingin serta tidak lagi kepanasan diterik siang. Ali meluncur ke benteng Yahudi. Disebutkan, ketika Ali menghadapi Yahudi, sebagaimana diperintahkan Nabisaw, ia memperkenalkan diri, “Aku adalah Ali bin Abi Thalib”. Mendengar nama ini, Yahudi mulai gemetaran. Karena dalam kitab-kitab mereka tersebutkan bahwa akan ada seseorang yang bernama “Eliya” yang akan menghancurkan dan menaklukkan banteng mereka. Kata Nabi, “Itulah engkau, wahai Ali”. Marhab, Antar, Murra, dan Harith merupakan 4 panglima Yahudi yang diselesaikan Ali dalam duel di Khaybar. Kematian mereka menciutkan nyali kaum Yahudi lainnya. Melalui sebuah kekuatan yang sulit dijelaskan, dengan satu tangan Ali mencabut pintu banteng Qamus dan menjadikannya sebagai tameng dari hujan anak panah. Pasukan Islam terlindungi dan menyerbu ke dalam. Dalam 4 jam banteng tertaklukkan. Sekali lagi, Ali kader Nabi yang menaklukkan Yahudi. Kemenangan ini semakin menaikkan prestise kaum muslim.45 FATHU MAKKAH. Setahun kemudian, pada Ramadhan tahun 8 Hijrah, kemenangan ini berpengaruh terhadap penaklukan kota Mekkah yang tongkat komandonya juga Rasulsaw berikan ke Ali. Kaum muslim menaklukkan Makkah tanpa perang. Keberanian bukan sesuatu yang harus terus diperlihatkan dalam keperkasaan membunuh musuh. Keberanian juga sebuah mentalitas yang juga harus ditunjukkan dalam kemampuan mema’afkan lawan. Ditengah keinginan banyak kaum mukmin untuk membalas kejahatan musyrik Mekkah, Muhammadsaw dan Ali memilih untuk tidak memberi hukuman. Secara massal penduduk Makkah yang Sahih Bukhari, Juz 2, Hal. 100, Cetakan Mesir tahun 1320H; Sahih Muslim, Juz 2, Hal. 324, cetakan Mesir tahun 1320H, dalam S.M al-Musawi. 2009. Mazhab Pecinta Keluarga Nabi: Kajian alQuran dan Sunnah, hal. 303-304. MPress: Bandung. 45 Tentang Khaibar dan hadist-hadist berkenaan dengannya diriwayatkan oleh Ibn al-Shabbagh dalam al-fushul al-Muhimmah mengutip hadist dari Muslim; Imam al-Nasa’I dalam Khasha’ish al-Imam Ali, Hal. 7, cetakan Mathba’ah al-taqaddum, kairo, dalam Ibid., hal. 309-312. 44

BAB 6 Aktualisasi Nilai-Nilai: “Profil Insan Pejuang Paripurna”

235

dulu pernah melempar, menghina, meneror, memfitnah, menyakiti, bahkan berusaha membunuh Nabisaw dan pengikut-pengikutnya kini diampuni. Makkah terkuasai. Abu Sofyan dan kroninya pun kehilangan kekuasaan, dan tidak ada pilihan kecuali ‘merapat’ ke Islam.46

Makkah

Setelah fathu makkah, Ka’bah menjadi milik kaum muslim. Rasul saw memimpin penghancuran berhala. Sebagian berhala terpasang di tempat yang tinggi dan tidak terjangkau tangan Nabisaw. Beliau perintahkan Ali naik kepundaknya untuk menghancurkan berhala-berhala itu. Nabisaw bertanya, “Bagaimana perasaanmu Ali?”. Berdiri di bahu Nabi saw, Ali menjawab, “Wahai Nabi Allah, aku temukan diriku di atas tempat begitu tinggi, seolah-olah tanganku menggapai ‘Arasy Allah”. PERANG HUNAIN. Seringkali kemenangan membuat orang lupa daratan. Ini juga terjadi pada pasukan Islam. Setelah fathu Makkah, sejumlah suku yang sebelumnya menjadikan Masjidil Haram sebagai pusat berhala dan peribadatan, menyusun kekuatan untuk merebut kembali Ka’bah. Mereka adalah suku Badui pedalaman yang kuat, seperti Bani Hazazin dan Bani Tsaqif. Mereka bersekongkol dengan Bani Nasr, Bani 46

Musnad Ahmad ibn Hanbal, vol I, 151, dalam S.M.A Jafari. 2007. Gold Profile of Imam Ali, hal. 55. Pustaka Iman: Depok.

236

SAID MUNIRUDDIN

Sa’d dan Bani Hilal. Secara diam-diam dan cepat berhasil dibentuk 20.000 prajurit yang berkonsentrasi di Thaif. Menghadapi ini, Nabisaw menyusun 15.000 pasukan yang dipimpinnya sendiri. Kali ini, kebanyakan tentara nabisaw terdiri dari budak-budak yang dimerdekakan ketika fathu makkah. Keislaman mereka banyak yang diragukan, bahkan cenderung munafik. Mereka berjalan dalam keadaan congkak, bangga dengan kekuatan dan besarnya jumlah pasukan. Di Hunain, ternyata pasukan musuh telah terlebih dahulu menyembunyikan pemanah mereka di dua bukit. Pasukan Muslim yang sedang bergerak dihujani anak panah. Pasukan Muslim kucar-kacir. Pertahanannya ditembus dari depan dan belakang. Khalid bin Walid yang saat itu masih musyrik, menjadi komandan batalion musuh yang pertama menyerang pasukan Islam. Pasukan Islam cerai berai dan melarikan diri. Diriwayatkan, dari 15.000 tersisa 10 yang bersama Nabisaw. Delapan diantaranya dari Bani Hasyim; yaitu Abbas dengan 2 anaknya, Imam Ali, Agil, dan 3 sepupu Nabisaw lainnya.47 Abbas menyeru yang lari, menuntut kesetian dan ikrar mereka. Tapi sia-sia. Lagi-lagi, Ali mati-matian melindungi Nabisaw. Ia membagi sisa pasukan dalam 3 divisi. Divisi I terdiri dari 3 orang: Abdullah ibnu Mas’ud, Abbas ibnu Abdul Muthalib, dan kemenakannya Abu Sufyan bin Harist. Divisi II juga 3 orang yang bertugas melindungi Nabisaw. Divisi III juga 3 orang, yang bertugas menjaga pasukan dari belakang.48 Anda mungkin pernah menonton “The 300” (The Three Hundreds), sebuah film Hollywood karya Steven Spielberg. Dia mengangkat cerita 300 pasukan Sparta yang gagah berani menghadapi pasukan Persia, namun berujung kekalahan. Apa yang terjadi di Hunain adalah “The 10”. Kisah nyata sepasukan kecil Islam, yang atas ijin Allahswt berakhir dengan kemenangan. Ali bersama sembilan sisa pasukannya menyerang musuh tanpa rasa takut. Ia terluka, namun masih berduel dengan Abu Jardal. Dzulfaqar-nya membabat komandan musuh ini, sehingga nyali lainnya menciut. Ali menewaskan 40 orang, sementara pasukannya membantai 30 lainnya. Kedahsyatan Ali dan sembilan pasukannya menggetarkan musuh,

47 48

Rauzatus Safa, vol.II, hal. 137; Tarikh Anbiya, hal. 388, dalam Ibid. Abul Fida, hal. 349; Rauzatus Safa, vol.II, hal. 136; Tarikh Anbiya, hal. 389, dalam Ibid.

BAB 6 Aktualisasi Nilai-Nilai: “Profil Insan Pejuang Paripurna”

237

dan mengembalikan semangat pasukan Islam yang lari.49 Perang ini terjadi pada Syawwal tahun 8 Hijrah, dan diabadikan dalam alQur’an:

“Sesungguhnya Allah telah menolong kamu di medan peperangan yang banyak, dan peperangan Hunain, yaitu diwaktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak pernah memberi manfaat kepadamu sedikitpun dan bumi yang luas itu terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari kebelakang dengan bercerai berai” (atTaubah-: 25) Itulah “kader”. Jumlahnya sedikit, namun memiliki spirit tidak terbatas untuk menjemput kemenangan bagi nilai-nilai, kebahagiaan abadi. Begitulah awal dakwah Islam. Disamping pendekatan emosional dan intelektual, juga harus siap membela diri dengan pedang. Ini juga bermiripan dengan periode awal kelahiran dan perjuangan HMI yang tidak lepas dari revolusi fisik melawan Belanda dan komunis. Eksistensi dan ideologi Islam pada periode Makkah berada pada titik krusial, karena benih yang baru tersemai harus ditegakkan ditengah dominasi musyrik dan penjajah. Musuh-musuh begitu jelas. Pada masa-masa ini muncul kader-kader pemberani di medan dakwah Islam, yang tidak hanya kuat secara fisik, tetapi luar biasa secara intelektual dan spiritual. Salah satu yang terdepan dalam barisan ini adalah seorang pemuda belia bernama Ali. Sementara di HMI, diantara “Ali-Ali muda” pada periode fisik tercatat seperti Lafran Pane, Ahmad Tirtosudiro, A. Dahlan Ranuwihardjo, dan lainnya. Mereka berani, serta meninggalkan warisan pemikiran sampai hari ini bagi himpunan dan bangsanya. Hari ini setting sejarah sudah berubah. Perang fisik telah berlalu, walaupun HMI pada awal berdirinya juga terlibat dengan agresi Belanda II, serta bersitegang langsung dengan komunis. Namun sampai hari ini “perang” masih berlangsung. Dalam bentuknya yang lebih halus dan menyulitkan, hari ini bangsa ini harus menghadapi sekelompok munafik 49

Rauzatus Safa, vol.II, hal. 136; Sirah ibn Hisyam, vol.II, hal. 621; Kanzul Ammal, vol.V, hal. 307, dalam Ibid.

238

SAID MUNIRUDDIN

yang menggerogoti negara. Mereka adalah para politisi, birokrat, aktifis, pebisnis, jurnalis, dan berbagai kelompok masyarakat yang perilakunya tidak bertuhan. Yang cara berfikir, kebijakan, dan tindakan mereka hanya untuk kepentingan diri. Kerjaannya hanya mengakumulasi kekayaan, korup. Mereka kapitalis dalam berbagai profesi. Oleh karena itu, bangkit melawan mereka menjadi sebuah keniscayaan tauhied. Sebab, “diam” saja termasuk lari dari tanggungjawab. Bersikap “acuh” termasuk perilaku munafik. Menolak berjihad sama artinya dengan lari dari barisan Nabisaw. Bersiaplah untuk dibangkitkan di akhirat dalam barisan kaum munafik, yang lari dari medan juang. Perjuangan Islam adalah perjuangan berkelanjutan. Nilai-nilai seperti tauhied, keberanian, keteguhan, optimisme, antusiasme dan keikhlasan tidak pernah berubah. Hanya penekanannya yang berbeda. Oleh sebab itu, pada kondisi ke-kini-an dan ke-disini-an, tetap dibutuhkan pemberani-pemberani sejati, yang memiliki militansi mental dan moral dalam menghadapi musuh-musuh kemanusiaan. Para pemberani adalah manusia-manusia tauhied. Yakni orang-orang yang meyakini, bahwa meninggal dalam perjuangan menciptakan dunia yang penuh keadilan dan ihsan (amar ma’ruf nahi munkar) adalah model kematiannya orang-orang terhormat. Mengutip Imam Ali, “Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada dalam genggamannya, aku bersumpah, bahwa mati disayat seribu pedang lebih nikmat rasanya daripada mati tua sendirian di atas dipan”.50 Itulah Ali, “Singa Allah”, “insan pejuang paripurna” yang keberanian moral dan mentalnya sulit ditemukan padanannya. Rasa Kemanusiaan dan Kasih Sayang. Meskipun ganas di medan perang, ternyata Ali juga seorang manusia yang ketinggian sifat kasih sayangnya mengguncang ‘Arasy. Nilai-nilai kebaikan pada dirinya begitu tinggi. Rasa kemanusiaannya tidak hanya diperoleh para pengikut, bahkan juga musuhnya.

50

S. F. al-Hai’ri. 1998. Tanyalah Aku sebelum Kau Kehilangan Aku. Pustaka Hidayah: Bandung.

BAB 6 Aktualisasi Nilai-Nilai: “Profil Insan Pejuang Paripurna”

239

Dalam Uhud, Ali berduel dengan Talhah ibnu Abi Talhah. Si musuh berkali-kali terhuyung dan terjatuh terkena pukulan. Dalam keadaan tersungkur berat, Ali meninggalkannya. Pasukan Ali meneriaki agar sang Imam segera menghabisi musuh paling jahat yang sudah tidak berkutik itu. Ali menjawab, “Musuh atau bukan, ia sudah tidak berdaya. Aku bukan tipe orang yang suka menyerang orang yang tidak berdaya. Biarkan dia tetap hidup selagi masih berumur”.51 Dalam perang Jamal, budaknya bernama Qambar membawa air kepada Ali. “Tuan, minumlah terlebih dahulu, matahari sangat terik, sementara engkau akan terus bertempur”. Sambil melihat ratusan orang yang terluka, Ali menjawab, “Beri minum mereka semua”. Si budak berkata, “Tuanku, mereka musuh kita”. Ali menimpali, “Meskipun musuh, mereka manusia. Pergi dan rawat mereka”. Kemurah hatiannya di luar logika. 52 Dalam perang Siffin, pasukan Ali kehausan setelah pasukan Muawiyah tiba lebih awal lalu memblokade sungai Eufrat. Ali mengutus orang, meminta kepada Muawiyah agar pasukannya yang kehausan diberi akses minum. Dengan arogan Muawiyah berkata, “Perang adalah perang”. Mendengar ini lalu Ali mengatakan kepada pasukan musliminnya, “Apakah kalian kira hidup itu berjalan, makan, dan tidur? Sedangkan mati itu terkubur dibawah tanah?”. Ali menjelaskan, “Tidak! Hidup adalah mati dengan kemuliaan. Sedangkan mati adalah hidup dalam kutukan dan perbudakan.” Lalu ia berteriak kepada pasukannya, “Puaskan dulu dahaga pedang kalian dengan darah iblis-iblis yang ada di depan, baru kemudian puasi dahaga kerongkongan kalian”.53 Dipimpin olek Husain anaknya, sungai Eufrat akhirnya berhasil direbut. Kini giliran Muawiyah yang kehausan. Ia memohon minum kepada Ali. Pasukan Ali mengingatkan sang Imam, bahwa merekalah yang sebelumnya membuat kita kehausan. Imam menjawab, “Mereka manusia, sekalipun tidak manusiawi. Aku tidak mencontoh perilaku

S.M.A Jafari. 2007. Gold Profile of Imam Ali, hal. 32. Pustaka Iman: Depok. Ibid. 53 M.Muthahhari. 2003. “Perfect Man”, Ch. 2 Nature of Man, Trans. by Aladdin Pazargadi, ed. Shah Tariq Kamal. Foreign Department of Boyad Be'that. 51 52

240

SAID MUNIRUDDIN

mereka. Aku tidak menolak memberi makan dan minum manusia, sekalipun mereka musuh pedangku”.54 Kejahatan yang dibalas dengan kebaikan ini mengingatkan kita pada Rasulsaw. Setiap pergi sholat Subuh dilempari kotoran oleh seorang Yahudi. Sampai suatu ketika hal itu tidak terjadi lagi. Nabisaw heran, dan bertanya ke mana si Yahudi ini. Diberitahukan ia sedang sakit, Rasul saw menjenguknya, jauh sebelum keluarga dan sahabat-sahabatnya sendiri datang membesuk. Nabi membawa makanan. Sambil tersenyum Rasul saw menyuapi dan mendo’akan kesembuhan baginya. Bedanya, si Yahudi masuk Islam dengan kebaikan Rasulsaw. Sementara Muawiyah tidak pernah berubah dari watak jahatnya, meski dilimpahi seribu kebaikan. Dalam duel perang Naharwan, musuh Imam kehilangan pedang. Ia berdiri di depan Ali dalam keadaan putus asa. Ali mengangkat pedang ingin membabatnya. Namun tiba-tiba di undurkan, ketika melihat si musuh gemetaran dalam keadaan tidak bersenjata. Lalu sang Imam berkata, “Larilah kawan, engkau dalam posisi tidak bisa mempertahankan diri”. Sikap Ali memunculkan keberanian si musuh untuk bertanya, “Mengapa tidak kau bunuh saja aku, agar musuhmu berkurang satu”. Ali menjawab, “Kau sedang mengemis kehidupan yang layak kau dapatkan”. Si kafir semakin berani, “Ku dengar engkau tidak pernah menolak permintaan pengemis. Sekarang aku mengemis pedangmu. Bolehkah aku mendapatkannya?”. Ali memberikan pedangnya. Lalu musuhnya berkata, “Ali, sekarang siapa yang akan menyelamatkanmu dari seranganku?”. Ali menjawab, “Allah! jika Dia berkehendak. Dia yang menetapkan ajalku, melindungiku dan mengirimkan malaikat untuk mengawalku. Tak seorang pun dapat mencelakakanku sebelum waktunya. Dan tak seorang pun dapat menyelamatkanku jika maut sudah tiba”. Keagungan sikap Imam membuat musuh terharu. Tiba-tiba si musuh berlari mencium kekang kuda Ali dan berkata, “O tuan! Sungguh engkau manusia agung. Tak hanya kau biarkan musuhmu hidup, tapi juga kau berikan mereka pedangmu. Bolehkah aku menjadi pengawalmu dan berperang membelamu?”. Ali menjawab, “Sahabatku, berperanglah untuk kebenaran dan keadilan, jangan untuk individu”.55

54 55

Ibid. S.M.A Jafari. 2007. Gold Profile of Imam Ali, hal. 34-36. Pustaka Iman: Depok.

BAB 6 Aktualisasi Nilai-Nilai: “Profil Insan Pejuang Paripurna”

241

Ali adalah contoh “manusia paradoks”, “manusia sempurna”, yang sifat keras mereka terpadu harmonis dengan kasih sayang. Pembunuh dirinya sekalipun mendapat belas kasihannya. Seorang khawarij bernama Abdurrahman ibnu Muljam berhasil menebas kepala Imam Ali ketika sedang sujud Subuh di Masjid Kufah. Meskipun berusaha lari, si penebas berhasil ditangkap. Ia dibawa kehadapan Imam yang bersimbah darah. Imam tau bahwa beliau tidak akan bertahan dengan luka beracun itu dan ajalnya sudah dekat. Berbaring di pangkuan putra-putranya, Imam melihat jerat borgol yang begitu menyayat tangan si penebas. Sambil melirik kaum Muslim yang hadir, Imam berkata, “Seharusnya kalian tidak kejam terhadap sesama. Kendorkan talinya. Tidakkah kau lihat tali ini melukai dia dan membuatnya kesakitan?”. Yang hadir menjerit dalam isak tangis mendengar Imam yang dalam sekaratnya masih peduli pada rasa sakit yang diderita oleh pembunuhnya. Sementara Imam sendiri mengerang perih karena tebasan pedangnya. Ketika racun semakin menjalar di tubuhnya, segala makanan yang disajikan tidak mampu dicicipinya. Sang imamul muhtadin Ali bin Abi Thalib berkata, “Berikan makanan ini kepada yang menebasku. Pastikan ia selalu dalam keadaan kenyang”. Menjelang ajal, ia berpesan kepada putranya Hasan dan Husain, “Wahai anakku, kuserahkan pembunuhku kepada kalian. Islam menganjurkan maaf. Jika bisa kau maafkan, maafkan dia. Jika pun engkau hendak membunuhnya, maka lakukan dengan sekali tebas, sebagaimana ia lakukan terhadapku. Jika setelah sekali tebas ia masih hidup, bebaskan dia”. Ini salah satu wasiat keadilan yang keluar dari lisan manusia suci menjelang ajalnya. Begitu agung kepribadiaannya. Begitu luhur budinya. Begitu lembut hatinya. Begitu tulus ucapannya. Betapa agungan jiwanya. Murid terbaik Muhammad saw sepanjang masa. Jika musuh saja mendapat percikan kemuliaannya, konon lagi kaum mukmin pengikutnya. Pernah suatu ketika, seorang perempuan setengah baya tertatih-tatih mengangkut air. Ali melihatnya dan mengira, perempuan ini pasti sendirian sehingga memaksa ia melakukan tugas berat. Ia dekati perempuan itu. Dengan sopan ia tawarkan bantuan. Ketika akan sampai di rumah, Ali bertanya apakah ia tidak punya suami yang dapat membantunya. Tanpa mengenal orang yang

242

SAID MUNIRUDDIN

sedang bertanya, perempuan ini menjawab, “Suamiku telah terbunuh dalam perjuangan membantu amirul mukminin pemimpin kami Ali bin Abi Thalib”. Mendengar ini, badan Ali gemetar. Dengan perasaan pilu, semalaman ia tidak memejamkan mata. Keesokan pagi, bersama sahabatnya ia membawa sejumlah bahan makanan ke rumah perempuan tersebut. Ia masak daging, lalu memberi makan anak yatim serta mengurus keperluan mereka. Kepada keluarga ini Imam berkata, “Maafkan Ali yang telah mengabaikan kalian”. Ali menghidupkan tungku api lalu mendekat untuk merasakan jilatan panasnya. Kepada dirinya sendiri ia berkata, “Ali, rasakan panasnya api ini, sehingga engkau tidak melupakan panasnya neraka akibat tindakanmu mengabaikan anak yatim dan fakir miskin”.56 Setelah Ali wafat, terbongkar sebuah rahasia. Orang-orang baru tau jika ia sering bepergian ke luar kota, ke tempat penampungan seorang penderita kusta. Rumah itu dibangun oleh Ali sendiri. Sang Imam sering ke sana untuk memandikan, membalut luka, dan menyuapi si penderita kusta yang telah kehilangan kedua tangannya. Tidak hanya membereskan ranjangnya, Imam juga sesekali memapah ia keluar untuk menikmati udara segar. Tanpa sengaja, tempat penampungan penderita kusta ini diketemukan oleh keluarga dan teman-teman Ali. Si penderita kusta shock berat dan meninggal tidak lama setelah mendengar sang Imam telah tiada dan baru saja dikuburkan. Sebelum meninggal ia meringkih, “O Tuhan, dari siapa lagi akan kudapatkan kebaikan, setelah pemimpinku tiada?”.57 Rasa peduli dan empati Ali kepada rakyat begitu dalam. Sehingga rakyat dan pengikutnya sendiri memiliki emosi yang kuat dengannya, sampai hari ini. Imam Ali memiliki dua budak laki-laki, Sa’id dan Qambar. Mereka juga menjadi saksi ketinggian jiwa sang Imam. Sa’id menceritakan, pada suatu hari yang terik, Imam sedang menulis surat. Dia memanggilku berkali-kali untuk memanggil pegawainya guna diutus mengantarkan suratnya. Tapi aku diam saja tidak menjawab. Dia pergi mencariku, lalu menemukanku tidak jauh darinya. Beliau bertanya mengapa tidak menjawab panggilannya. Aku menjawab, “Tuan, aku ingin mendapati kapan dan bagaimana engkau marah”. Beliau tersenyum dan berkata,

M.Muthahhari. 2003. “Perfect Man”, Ch. 2 Nature of Man, Trans. by Aladdin Pazargadi, ed. Shah Tariq Kamal. Foreign Department of Boyad Be'that. 57 S.M.A Jafari. 2007. Gold Profile of Imam Ali, hal. 50-51. Pustaka Iman: Depok. 56

BAB 6 Aktualisasi Nilai-Nilai: “Profil Insan Pejuang Paripurna”

243

“Kau tidak akan membuatku marah dengan cara kekanak-kanakan seperti itu”. Mengapa dan bagaimana Ali marah justru dialami oleh Qambar. Dia menceritakan, “Suatu kali dan hanya sekali dia marah kepadaku. Itu adalah saat aku memperlihatkan uang hasil penghasilanku dari Baitul Mal serta kumpulan hadiah dari keluarga Ali. Tidak banyak, hanya sekitar 100 dirham. Ketika kutunjukkan padanya, ia jadi jengkel. Dan yang membuatku tambah sedih adalah ketika melihat wajahnya tampak sangat sedih. Aku bertanya kenapa beliau sedih. Beliau berkata, “Qambar, jika kau tidak membutuhkan uang ini, tak adakah yang lebih membutuhkannya? Sebagian mereka mungkin sedang lapar dan sakit, apakah kau tak bisa membantunya? Aku tak menyangka hatimu begitu kejam, dan mencintai harta demi kepentinganmu sendiri. Qambar, aku khawatir engkau tidak mengambil pelajaran dari Islam. Coba usaha lagi dengan lebih tulus dan sungguh-sunguh. Ambillah keping dari kantongmu, dan sedekahkanlah”. Lalu aku pergi ke Masjid Kufah dan membagikan uang itu kepda fakir miskin yang mengais rejeki disekitar itu. Kecerdasan Intelektual dan Spiritual. Tidak hanya menjadi keluarga (Ahlul Bait), menantu, washi, dan sahabat; Ali juga menjadi penerus ilmu dan hikmah Nabisaw. Tidak tanggungtanggung, Rasulsaw menyatakan, “Aku adalah kota ilmu dan Ali “Ana madinatul 'Ilm wa 'Aliyyun babuha" pintunya. Barang siapa menghendaki ilmu, maka hendaklah ia mendatangi pintunya”.58 Seperti ensiklopedia, ia menguasai berbagai bidang ilmu. Bahkan secara mendalam ia menguasai agama, logika, filsafat, bahasa, retorika, matematik, hukum, ilmu alam, strategi dan taktik, sampai kepada ilmuilmu ma’rifat. Semua ia peroleh baik melalui proses belajar mapun pemberian langsung dari Tuhan (laduni). Karena kepemilikan ilmu ma’rifat ini, hampir semua tarikat dalam Islam menjadikan Ali sebagai 58

Diriayatkan oleh Al-Suyuthi dalam Jam’ al-Jawami’ dan al-jami al-Shaghir, juz 1, hal. 374; al-Hakim alNaysabury dalam Mustadrak al-Shahihayn, juz 3, hal. 126, 128, 226, Imam Ahmad dalam al-manaqib wa al-Musnad, al-Turmudzy dalam Sahih-nya, juz II, hal. 214; almuttaqiy dalam Kanz al-umal, juz 6, hal.401; abu Nu’aim alhafidz dalam Hilayh al-Awliya, juz I, hal. 64; dan diriwayatkan oleh banyak ulama lainnya, dalam Mazhab Pecinta Keluarga Nabi, S.M alMusawi, hal. 770-778. M.Press, Bandung, 2009.

244

SAID MUNIRUDDIN

referensi atau mursyid tertinggi dalam menggapai ilmu-ilmu hikmah (“kota Nabi”). Hanya naqsyabandiyyah saja yang bermursyid pada Abubakar, selebihnya kepada Ali. Tiga khalifah pertama dalam Islam memberi pengakuan dan menyatakan keunggulan ilmu Ali. Mereka selalu memanggilnya untuk menjawab berbagai persoalan. Sehingga terkenal ucapan Abubakar asSiddiq, “Maafkanlah aku, maafkanlah aku. Aku bukanlah yang terbaik diantara kalian selama ada Ali ditengah-tengah kalian”. Umar bin Khattab juga mengatakan, “Allah tidak membiarkan aku dalam kesulitan, selama masih ada Abul Hasan”.59 Banyak sekali kasus hukum yang dihadapi para khalifah yang diselaikan Ali. Salah satunya seperti diriwayatkan berikut: Dua orang laki-laki mendatangi seorang perempuan Quraisy. Kedua laki-laki menitipkan uang seratus dinar kepadanya. Mereka berkata, “Janganlah kau berikan uang ini kepada siapapun dari kami kecuali jika kami datang bersama-sama”. Berlalulah waktu satu tahun. Kemudian, salah seorang dari laki-laki itu datang kepada perempuan tadi. Ia berkata, “Kawanku telah meninggal dunia. Karenanya, berikanlah uang itu kepada ku.” Tetapi perempuan itu menolak memberikannya. Namun, keluarganya terus mendesaknya sehingga ia memberikan uang itu kepada laki-laki tersebut. Berlalu lagi satu tahun. Laki-laki yang lain datang kepadanya. Ia berkata, “Serahkanlah uang itu kepadaku.” Tetapi perempuan itu menjawab, “Kawanmu telah datang kepadaku dan mengatakan bahwa engkau telah meninggal dunia, sehingga aku serahkan uang itu kepadanya.” Mereka membawa masalah itu kepada Umar. Ia ingin menyelesaikan masalah itu dan berkata kepada perempuan tersebut, “Aku tidak melihatmu, kecuali sebagai penjamin.” Artinya, Umar meminta perempuan itu bertanggungjawab. Perempuan itu berkata, “Demi Allah, engkau tidak menyelesaikan masalah kami. Karenanya, kami akan membawa masalah ini kepada Ali bin Abi Thalib.” Masalah itu dibawa kepada Ali bin Abi Thalib. Ali mengetahui bahwa kedua laki-laki itu hendak menipu perempuan tersebut. Imam Ali bertanya kepada laki-laki itu, “Bukankah kalian telah mengatakan, ‘Janganlah engkau memberikan uang itu kepada salah seorang dari kami kecuali kami datang bersama-sama?”. Laki-laki itu menjawab, “Benar”. Imam Ali berkata, “Uangmu ada pada kami. Sekarang, 59

as-Suyuthi. Tarikh alKhulafa, hal. 66. dalam Ibid., hal. 298.

BAB 6 Aktualisasi Nilai-Nilai: “Profil Insan Pejuang Paripurna”

245

pergilah dan bawalah kawanmu sehingga kami menyerahkan uang itu kepada kalian.” Berita itu sampai kepada Umar, karenanya ia berkata, “Semoga Allah tidak mengekalkanku sepeninggal Ali bin Abi Thalib”.60 Ali sangat cerdas. Kadar keilmuannya mampu memberi pencerahan terhadap berbagai kasus keilmuan. Banyak sekali persoalan yang diterangkan olehnya. Jawaban-jawabannya selalu memuaskan bagi orang-orang yang memiliki akal. Seperti disebutkan berikut, Ali pernah meredakan kegelisahan Umar: Dalam suatu perjalanan, Ali bertemu Umar. Tampak kemarahan pada wajah Umar. Karenaya Ali bertanya, Apa yang membuatmu marah wahai Umar?”. Umar menjawab, “Aku tadi bertemu dengan Hudzaifah bin al-Yaman dan bertanya kepadanya, ‘Apa kabarmu pagi ini?’. Tetapi ia menjawab, ‘Pagi ini aku membenci al-haq.’ Ali menjawab, “Ia benar, ia membenci kematian. Kematian itu adalah alhaq.” Umar berkata, “Ia juga mengatakan, ‘Aku mencintai fitnah.’ Ali menjawab, “Ia benar, karena ia mencintai harta dan anak.’ Harta dan anak adalah fitnah [ujian]. Allah berfirman, … hartamu dan anakanakmu itu hanyalah sebagai cobaan… (QS. alAnfal -8: 28).” Umar berkata, “Wahai Ali, ia juga mengatakan, ‘Aku bersaksi dengan sesuatu yang tidak aku lihat.’ Ali menjawab, “Ia benar. Ia bersaksi kepada Allah dengan ke-Esaan-Nya. Ia juga bersaksi dengan kematian, kebangkitan, kiamat, surga, neraka, dan al-sirath. Semua itu tidak ia lihat.” Wahai Ali, ia juga berkata, ‘Sungguh aku menghafal selain mahkluk.’ Ali menjawab, “Ia benar. Ia menghafal Kitab Allah alQuran, dan alQuran itu bukan makhluk.” Umar berkata, Ia mengatakan, ‘Aku shalat tanpa berwuduk.’ Ali menjawab, “Ia benar. Ia bershalawat kepada putra pamanku, Rasulullah, tanpa berwudhu.” Umar berkata, “Wahai Abul Hasan, ia mengatakan yang lebih keras dari itu.” Ali bertanya, “Apa itu?”. Umar menjawab, “Ia mengatakan, ‘Di bumi aku punya sesuatu yang tidak dimiliki Allah di langit.’ Ali berkata, “Ia benar. Ia memiliki istri. Maha Tinggi Allah dari memiliki istri dan anak.”

60

Diriwayatkan dari Hunasy bin Mu’tamar dalam Ibn al-Jawzi, al-adzkiya’, hal. 18 dan al-Zharraf, hal. 19; Muhibuddin al-Thabari, Riyadh al-Nadhrah, Juz 2, hal. 197 dan Dzakha’ir al’-Uqba, hal. 80; alKhatib al-Khawarizmi, al-manaqib, hal. 60; Sabath bin al-Jawzi, Tazkirah al-Khawwash, hal. 87; dalam Ibid., hal. 300.

246

SAID MUNIRUDDIN

Umar berkata, “Hampir-hampir Umar bin Khattab binasa kalau saja tidak ada Ali bin Abi Thalib”.61 Begitu jeniusnya Ali. Apapun pertanyaan, dalam hal apapun, ia selalu punya jawaban yang memberi ketenangan bagi orang yang memiliki hati. Karena kejeniusan ini, Umar bin Khattab sendiri terheran-heran. Cendekiawan besar Maufiq bin Ahmad al-Khawarizmi dalam al-Manaqib meriwayatkan: Pada suatu hari khalifah Umar bertanya kepada Imam Ali, dan dilihatnya Imam Ali menjawab semua pertanyaan dengan cepat tanpa berfikir terlebih dahulu. Lalu Umar bertanya, “Wahai Ali, bagaimana anda menjawab setiap pertanyaan dan masalah secara cepat dan spontan?”. Ali mengulurkan tangannya dan bertanya pada Umar, “Berapa jumlah jari-jari tangan ini?”. Umar menjawab dengan cepat dan spontan, “Lima!”. Lalu Ali berkata, “Bagaimana anda bisa menjawab secepat itu tanpa berfikir terlebih dahulu?” Umar menjawab, “Ah! Itu jelas sekali, tidak perlu berfikir untuk menjawabnya”. Ali berkata, “Ketahuilah, bagi saya segala sesuatu tampak jelas, sehingga tidak perlu berfikir untuk menjawab setiap pertanyaan”. Ini dinamakan kemampuan “laduni”. Disamping kaya dengan ilmu-ilmu yang dipelajari, Ali juga kaya dengan ilmu-ilmu batin, yang langsung diperoleh dari Tuhan. Abu Hamid al-Ghazali meriwayatkan dalam kitabnya ketika menjelaskan ilmu laduni Ali. Amirul Mukminin berkata: “Sesungguhnya Rasulullah telah meletakkan lisannya di bibirku dan memberikan ludahnya sehingga dibukakan bagiku seribu pintu ilmu, yang masing-masing pintu dibukakan bagiku seribu pintu”.62 Tentang keluasan ma’rifat Ali juga disampaikan oleh al-Qunduzi alHanafie dalam manaqib-nya. Diriwayatkan dari Ammar ibnu Yasir: Saya bersama Imam Ali dalam suatu perjalanan dan melewati sebuah lembah yang penuh dengan semut. Saya bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, apakah anda mengetahui satu dari makhluk Allah yang mengetahui jumlah semut?” Ali menjawab, “Ya ammar, saya tau seseorang yang mengetahui jumlah semut, dan ia tau berapa jumlah semut yang laki-laki dan yang perempuan”. Lalu saya bertanya lagi, 61 62

Allamah Muhammad bin Yusuf al-qarasyi al-Kanji, Kifayah al-Thalib, Bab-57, dalam Ibid., hal. 300. Al-Allamah al-Ghazali dalam Yanabi al-Mawaddah bab ke-14; dalam Ibid.

BAB 6 Aktualisasi Nilai-Nilai: “Profil Insan Pejuang Paripurna”

247

“Siapa orang itu?”. Ali menjawab, “Wahai Ammar, apakah kamu tidak membaca ayat alQuran surah Yasin ayat 12 [Dan segala sesuatu kami kumpulkan dalam kitab induk yang nyata -lauh al-Mahfudz]”. Saya berkata, “Betul wahai pemimpinku”. Lalu Imam Ali berkata, “Akulah yang dimaksud dengan Kitab Induk yang nyata itu”. 63 Penguasaan atas “ilmu hikmah” menempatkan Ali sebagai pemimpin para ilmuan, ulama, dan wali. Titik di bawah ‘ba’ pada Basmallah juga ditafsirkan berhubungan dengan Ali sebagai kunci ilmu-ilmu rahasia. Sebuah hadist menyebutkan, “Sesungguhnya seluruh rahasia kitab-kitab samawi tersimpul dalam alQur’an. Rahasia seluruh alQur’an tersimpul dalam alFatihah. Rahasia alFatihah terdapat pada basmallah [Bi ism Allah ar-Rahman arRahim]. Dan rahasia Basmallah [Bi ism Allah arRahman arRahim] terdapat pada sebuah titik di bawah huruf ‘ba’. Lalu Ali menjelaskan, “Aku adalah titik di bawah huruf ba pada basmallah”. 64 Karena keluasan ilmu, Ali adalah orang yang pada zamannya mampu memenuhi kebutuhan akal dan spiritual para pendengar. Ia sanggup menyanggah segala keraguan Yahudi dan Nasrani. Ketika berdebat dengan Yahudi, ia menghafalkan ayat-ayat Taurat yang mereka sendiri tidak mengingatnya. Sehingga banyak dari mereka yang masuk Islam. Berdebat dengan Nasrani, ia sebutkan ayat-ayat dari Injil yang membuat mereka tercengang. Dalam jiwa Ali terdapat tidak hanya lembaran alQur’an, melainkan juga kitab-kitab lain dari Tuhan. Pidato-pidato Ali begitu memukau karena kekayaan bahasa dan kedalaman isi. Tahun 8 Hijrah misalnya, dilakukan misi merebut kembali suku Yaman dari Bani Hamadan kepangkuan Islam. Ketika pasukan Islam gagal, lalu Ali di utus Nabisaw ke Yaman. Beliau melaksanakan misinya dengan sukses. Khutbah-khutbahnya menghipnotis penduduk Yaman. Tanpa gemerincing pedang, setelah melalui dialog dan diskusi panjang, Bani Hamdan bulat memeluk Islam. Mereka menerima rasionalitas Islam. Mendengar ini Rasul melakukan sujud syukur dan berkata, “Keselamatan bagi Ali dan Bani Hamadan”.65 Bukan hanya orator, Ali juga penulis. Al-Qur’an yang kita baca di Indonesia hari ini tertulis dengan huruf naskhi. Dalam kaligrafi Islam Ibid, hal. 812. Hadist diriwayatkan oleh Al-Hafiz bin Sulaiman bin Ibrahim Al-Qunduzy, dalam Yanabi al-Mawaddah Bab 14, dari al-Darr al-Munadzam karya Ibn Thalhah al-Halabiy al-Syafi’I; dalam Ibid. 65 S.M.J Askari. 2007. Gold Profile of Imam Ali, hal. 96-97. Pustaka Iman: Depok. 63 64

248

SAID MUNIRUDDIN

terdapat puluhan jelis tulisan diantaranya tsulust, farisi, diwani, dan riq’i. Semua ragam huruf ini berevolusi dari induknya koufi. Dalam huruf kuna kubisme inilah awalnya al-Quran dituliskan. Atas perintah Rasul, Ali menuliskan sekaligus pengumpul al-Quran generasi pertama pada masa nabisaw. Bangsa padang pasir ini kaya akan sastra, tetapi tidak dalam hal tulis menulis. Bahkan banyak bangsa lain yang saat itu lebih tinggi peradabannya dalam penulisan (kaligrafi). Misalnya mesir dengan hieroglyph-nya, India dengan Devanagari-nya, Jepang dengan kaminomoji-nya, Indian dengan azteka-nya, dan Assiria dengan fonogram (huruf paku)-nya. Kehadiran al-Qur’an melahirkan revolusi kebudayaan Arab dan menjadi dasar peradaban Islam. Aksara awal yang ikut dituliskan Ali dikembangkan oleh kaligrafer-kaligrafer kemudian seperti Syekh Hamdullah al-Amasi (w.520M), Ibnu Muqlah (w.940M), Ibnu al-Bawwab (w.1022), Yaqut alMusta’shimi (w.1298M), al-Hafizh usman (w.1698M), Mir Ali Tabrizi (w.1416M), Imaduddin al-husayni (w.1615), Hamid al-Amidi (w.1982M), dan Hasyim al-Baghdadi (w.1972M). Hari ini tidak ada tulisan yang begitu indah dan sering dilombakan kecuali kaligrafi Islam.66 Proporsi Huruf Pada bulan Zulqa’idah tahun 6 Hijrah, terjadi perjanjian Hudaibiyah. Nabisaw beserta 1400 pengikutnya tanpa senjata pergi berhaji ke Baitullah, tapi di hadang musyrikin Quraish. Di oase bernama Hudaibiyah, terjadi perundingan yang dipihak musuh diwakili Urwah. Isinya, niat haji tahun ini harus diurungkan, dan baru dibolehkan tahun depan. Perjanjian ini dilanggar kafir Quraish, sehingga kemudian pada tahun 8 Hijrah Nabi melakukan fathu Makkah. Ketika di Hudaibiyah, Ali yang menulis isi piagam perjanjian. Bahkan Ibnu Abi al-Hadid menyebutkan, Ali adalah orang yang menciptakan dan mengembangkan ilmu nahwu dan bahasa Arab, lalu mendiktekan kepada Abu al-Aswad al-Duali kumpulan dan sumbersumbernya. Secara global disebutkan bahwa kalam itu ada tiga bagian: isim, fi’il, dan huruf. Dari ilmu nahwu itu pula kalimat dibagi pada 66

A.T. Charlie. “Dinamika Kaligrafi Islam Nusantara”, Tabloid GENTA ANDALAS, edisi khusus Musabaqah Tilawatil Quran Mahasiswa Nasional (MTQ-MN) XIII, Universitas Andalas, No. 3, 26 Juni 2013.

BAB 6 Aktualisasi Nilai-Nilai: “Profil Insan Pejuang Paripurna”

249

makrifah dan nakirah, serta pembagian baris menjadi empat: rafa’, nash, jar, dan jazm. Dan ini hampir disebut mukjizat sebab kekuatan kemanusiaan tidak akan mampu mencapai ini serta tidak akan berdiri dengan istimbath ini.67 Sementara sebagai konseptor, Ali mencetuskan banyak gagasan substantif termasuk penanggalan Hijrah. Sampai tahun 17 Hijrah tidak ada kalender pasti yang digunakan kaum muslim. Kadang-kadang memakai Ammul Fil (Tahun Gajah, tahun pasukan Abesinia-Ethiopia menginvansi Makkah). Ada yang menggunakan kalender Perang Fijar (perang antar suku Arab sebelum Islam). Sebagian lain berpedoman pada masa perbaikan Ka’bah sebagai permulaan hitungan. Ummat menjadi bingung. Umar meminta nasihat Ali untuk menuntaskan masalah ini. Ali menyarankan peristiwa hijrah Nabi saw dari Mekkah ke Yatsrib (Madinah) sebagai dasar penanggalan Islam. Ada spirit perubahan dan nilai-nilai transenden dari peristiwa ini. Ide Ali dilaksanakan Umar.68 Meskipun Ali memiliki pemikiran-pemikiran cemerlang, tidak semua diterima. Ketika Amru bin ‘Ash menaklukkan Mesir, dia bertanya apa yang harus dilakukan terhadap pustaka Iskandaria. Di sana tersimpan 5000-7000 buku dari papyrus dan perkamen. Koleksi yang luar biasa menurut standar pendidikan saat itu. Literatur pustaka mencakup kimia, astronomi, teknik, fisika, filsafat, dan agama. “Jika buku-bukunya sesuai al-Quran maka kita butuhkan, jika tidak maka harus dibakar”, demikian perintah Amru bin Ash waktu itu.69 Menilai ini sebagai warisan pagan pra-Islam, Amru bin Ash menjadikan buku-buku ini sebagai bahan bakar di 1000 pemandian air panas di Alexandria. Ali terkejut mendengar ini. Ia mengejar mereka untuk mencabut perintah. Ali berkata: “Buku-buku ini merupakan perbendaharaan ilmu pengetahuan, dan kandungannya tidak bertentangan dengan al-Qur’an. Sebaliknya, isinya merupakan komentar atas Kitab Suci yang selanjutnya akan membantu dan menolong dalam menjelaskan berbagai pengetahuan

S.M al-Musawi. 2009. “Mazhab Pecinta Keluarga Nabi: Kajian alQuran dan Sunnah”, hal. 803-804. MPress: Bandung. 68 S.M. Jafari Askari. 2007. Gold Profile of Imam Ali, hal. 167. Pustaka Iman: Depok. 69 Akhbarul Ulama wa Akhbarul Hukama, Ibnu Qufti, hal. 232-233, printed in Egypt and Germany. 67

250

SAID MUNIRUDDIN

sebagaimana dikemukakan Nabisaw ‘Ilmu pengetahuan menjadi modal dan hak bagi setiap manusia yang tidak boleh dimusnahkan”.70 Ekstrim keagaamaan sering begitu. Mudah sekali membumi hanguskan literatur yang dianggap berbeda dengan persepsi mereka. Hal serupa terjadi di depan Masjid Raya Baiturrahman Aceh. Karya-karya Hamzah al-Fansury dibakar atas fatwa Nuruddin ar-Raniry. Banyak ulama dan akademisi yang berfikir sempit. Tidak seperti Ali yang pandangan akademiknya bermiripan dengan Iskandar Dzulkarnain (Alexander the Great), yang mengkampanyekan integrasi ilmu-ilmu yang ada di “timur” dan “barat” (masyriq wal magrib). Mereka bukan saja manusia pedang, tapi jenis makhluk paling peduli pada restorasi khazanah ilmu pengetahuan. Tahun 11 sampai 34 Hijrah, sejak Abubakar as-Siddiq sampai kepada Usman bin Affan, Ali tidak begitu berperan dalam urusan politik. Namun tetap memberikan nasehat-nasehat tentang tata cara pemerintahan yang baik, adil dan transparan. Terutama pada masa Usman. Namun tensi politik terus meninggi, bahkan berakhir dengan pembunuhan para khalifah termasuk Usman. Dalam kecamuk politik dan pertikaian internal inilah Ali banyak menghabiskan waktu di Madinah. Di sana beliau berusaha keras memberikan pencerahan intelektual demi kemajuan bangsa Arab. Di masjid Madinah, Ali menyampaikan ceramah-ceramah mingguan seputar filsafat, logika, sejarah, hukum, retorika, syarah hadist dan ayat. Beliau menjadi peletak dasar gerakan intelektual dan irfan yang melahirkan tokoh-tokoh besar kemudian hari. Empat puluh tahun setelah ketiadaannya, semua ceramah dan khutbahnya berhasil dihimpun kembali dalam sebuah kitab. 71 Namun banyak manuskripnya hilang. Sebagian terkompilasi dalam Nahjul Balaghah. Beliau satusatunya khulafaur rasyidun yang pemikiran dan spiritualitasnya terekam dalam kitab monumental ini.

Nahjul Balaghah

Begitu tinggi rasa tanggungjawab keilmuan sayyidul muslimin, imamul muttaqin ini. Disamping selalu mengajarkan, ia juga senantiasa mengharapkan orang

Taqabatul Umum, Qazi Said Undulusi; Ayatul Bayyinah, Mohsinul Mulk; The History of Muhammad ibn Abduh, yang diedit oleh Rasyid Ridha, editor of Almanar, jil. I, hal. 535. 71 Rijal al-Kabir; dalam S.M.J Askari. 2007. Gold Profile of Imam Ali. Pustaka Iman: Depok. 70

BAB 6 Aktualisasi Nilai-Nilai: “Profil Insan Pejuang Paripurna”

251

untuk bertanya kepadanya. Tidak ada sahabat Nabi saw yang berani berkata “Tanyalah kepadaku tentang segala sesuatu”, kecuali Ali. Beliau gudang ilmu Nabisaw. “Bertanyalah kalian kepadaku sebelum kalian meninggalkanku. Karena sesungguhnya diantara tulang-tulang rusuk ini ada ilmu yang melimpah, ini ilmu yang agung, ini ludah Rasulullah, ini adalah suapan-suapan Rasul kepadaku”, kata Ali.72 Keutamaan Rasulsaw dan ketinggian derajat Ali serta Ahlul Bait lain membuat mereka menjadi manusia-manusia agung sepanjang masa. Imam Ahmad bin Hambal suatu ketika ditanyai oleh anaknya Abdullah, “Ayah, siapa sahabat paling utama”. Beliau menjawab, “Abubakar, Umar, Usman.” Kemudian beliau terdiam. Ia bertanya lagi, “Ayah, bagaimana dengan Ali bin Abi Thalib?”. Beliau menjawab, “Ia dari Ahlul Bait. Tidak seorang pun dapat dibandingkan dengan mereka”. 73 Demikian juga dengan Umar bin Abdul Aziz -khalifah paling bijaksana dari dinasti Umayyah berkata, “Saya tidak mengetahui seorangpun dalam umat ini yang lebih zuhud setelah Rasulullah selain dari Ali bin Abi Thalib”.74 Ketaqwaan Ahlul Bait tinggi sekali. Pada subuh 19 Ramadhan, Imam Ali keluar rumah menuju masjid. Imam sudah punya pengetahuan, inilah terakhir kali ia akan memimpin jama’ah subuh. Tanda-tanda kewafatannya sebagaimana pernah diberitakan kepadanya oleh Rasulsaw telah ia rasakan. Ahlul Bait lain juga mengetahuinya, sehingga menawarkan pengawal kepadanya. Bahkan beberapa pengikutnya memintanya agar kali ini tidak ke masjid. Namun Ali menolak. Subuh itu Imam sendiri yang memanggil orang-orang beriman ke masjid. Setelah mengumandangkan azan, beliau ucapkan salam perpisahan kepada fajar, “Wahai fajar, pernahkan sehari saja engkau menemukan Ali tertidur? Jika iya, maka itulah hari ketika matanya telah tertutup selamanya”.75 Kata-kata ini menyiratkan bagaimana ia selalu bangun sebelum keluarnya fajar subuh. Ia tidak pernah meninggalkan sholat Muhibuddin al-Thabari dalam al-Riyadh al-Nadhrah, juz II, hal. 198; Ibnu hajar dalam al-Shawaiq di bawah judul 76 fasal 3 fitsana’I al-shahabah wa al-salafi alaihi, Jalaluddin al-Suyuthi dalam Tarikh alKhulafa, hal. 124; dan lainnya, dalam S.M al-Musawi. 2009. Mazhab Pecinta Keluarga Nabi: Kajian alQuran dan Sunnah, hal. 276. MPress: Bandung. 73 Diriwayatkan oleh Mir Sayid Ali al-Hamadani al-Syafi’-i dalam Mawaddah ketujuh dari kitabnya Mawaddah al-Qurba, dari Ahmad bin Muhammad al-Karzi al-baghdadi; dalam Ibid. 74 Ibnu Abil Hadid alMu’tazili dalam syarah nahjul balaghah; Sabath bin al-Jauzi dalam Tadzkiratu alKhawash, bab 5; Muhammad bin Thalhah al-adwi al-Nashibi dalam Mathalin al-Su’al, pasal ke-7; dalam Ibid., hal. 685-686. 75 M.Muthahhari. 2003. “Perfect Man, Ch. 2 The Nature of Man, Trans. Aladdin Pazargadi, Ed. Shah Tariq Kamal. Foreign Department of Boyad Be'that. 72

252

SAID MUNIRUDDIN

subuh selama hidupnya. Mencontoh kehidupan para nabi, ia telah mewajibkan tahajud bagi dirinya. Nilai-nilai ibadah ini terus mengangkat derajat dirinya semakin tinggi hari demi hari, sampai ke penghujung nafasnya. Cucunya sendiri (anak dari Husain) yang bernama Ali Zainal Abidin yang terkenal sebagai ahli ibadah, dimana setiap malamnya mengerjakan shalat sebanyak seribu rakaat, namun masih mengatakan, “Ibadahku jauh tertinggal apabila dibandingkan dengan ibadah Ali”.76 Pada masa permusuhan terhadap Keluarga Nabi saw dan pengikutpengikutnya, menyebut keagungan Ali beserta Ahlul Bait lainnya menuai kecurigaan dan dapat berakibat fatal. Banyak ulama yang dihukum oleh penguasa karena ini. Sebagian besar terpaksa menyembunyikan kecintaan mereka. Muhammad bin Idris atau dikenal Imam Syafi’i pernah ditanya tentang keutamaan Ali bin Abi Thalib. Beliau menjawab: “Saya katakan tentang seseorang yang keutamaan-keutamaannya disembunyikan oleh musuh-musuhnya karena kebencian. Dan juga disembunyikan oleh pencintanya karena ketakutan dan kecemasan. Ia dituduh dengan berbagai aib, padahal keutamaannya memenuhi timur dan barat”. 77 Banyak yang iri atas kelebihan mereka, sehingga memilih diam dari menyampaikan kebenaran.78

SHOLAWAT KEPADA RASULSAW DAN KELUARGANYA Sholawat: Sebuah Doktrin Perkaderan. Sikap positif seperti memberikan testimony dan applause kepada orang lain, banyak diajarkan dalam buku-buku pengembangan kepribadian. Di rumah, seorang anak harus menuturkan bahasa yang santun pada orang tuanya. Begitu juga dalam konteks organisasi, seorang kader mesti “apresiatif” terhadap para pendahulunya.

Al-Irsyad al-Mufid, hal. 256; I’lam al-Wara, hal. 255; Bihar al-Anwar, jld 46, hal. 62. S.M al-Musawi. 2009. Mazhab Pecinta Keluarga Nabi: Kajian al-Quran dan Sunnah, hal. 276. MPress: Bandung. 78 Rasul saaw pernah berkata kepada Ali, “Tidak ada yang mencintaimu kecuali orang mukmin, dan tidak ada yang membencimu kecuali orang munafik.” Hadist hasan shahih ini diriwayatkan oleh banyak perawi seperti Ahmad bin Hambal alam Musnad, juz 6, hal. 192, cetakan Maimuniyah Mesir; Baihaqi dalam al-Mahasin wa al-Masawi, hal. 41, cetakan Beirut dan lainnya; Muslim dalam Shahih-nya, juz 1, hal. 60, cetakan Muhammad Ali shabih, Mesir; dan lainnya, dalam Ibid., hal. 604 dan 704. 76 77

BAB 6 Aktualisasi Nilai-Nilai: “Profil Insan Pejuang Paripurna”

253

Dalam bermasyarakat dan bernegara juga demikian, “penghargaan” wajib diberikan kepada siapa saja yang berjasa dalam pembangunan. Berbagai “sertifikat” dan “piagam penghormatan” diberikan kepada orang-orang yang dianggap berjasa bagi nusa dan bangsa. Dalam beragama, sikap “respek” sekalipun disuruh berikan kepada orang yang tidak dikenal. Begitu pentingnya sikap apresiatif dalam kehidupan yang berkeadaban. Maka sangat wajar jika kemudian intensitas respek atau salam berupa “sholawat” kepada insan kamil, Rasulsaw dan Keluarganya, menjadi indikasi keimanan. Terutama bagi masyarakat intelektual seperti HMI yang mengaku sebagai pewaris Nabi saw, “apresiasi verbalspiritual” kepada Rasulsaw dan Keluarganya menjadi keniscayaan. Sholawat merupakan statement ideologis penauladanan Muhammadsaw dan Keluarganya sebagai “role model nilai”. Sholawat juga bentuk ikatan, ungkapan cinta, salam, syukur, dan do’a kepada sosok-sosok suci kekasih Tuhan (QS. alAhzab -33: 33). Sholawat juga bentuk ‘bayaran’ kita terhadap jasa-jasa yang telah diberikan Nabisaw. Allah memerintahkan Muhammadsaw untuk menagih kita dengan berkata:

“… Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upah pun atas seruanku kecuali kasih sayang terhadap keluargaku …” (QS. asSyura -42: 23). Iman dan Islam merupakan dua nikmat terbesar yang setiap hari harus kita syukuri. Dua hal ini memang datang dari Allah swt. Tapi sadarkah kita, melalui lisan dan perjuangan siapa kita memperoleh semua ini? Melalui Nabi-Nya! Kita harus hargai dan bayar itu. Maka jika harus membayar, berapa uang yang mesti dikeluarkan untuk nikmat seperti ini? Seluruh isi langit dan bumi tidak akan cukup untuk menghargai jasajasa Nabisaw. Maka nikmat Tuhan yang mana lagi yang kita dustai? ‘Bayarlah’ Nabisaw sebagaimana beliau sebutkan, “Aku seorang pekerja. Setiap pekerja mengharapkan bayarannya. Maka bayarlah aku dengan sholawat kepada ku dan keluargaku” (hadist). Bukan beliau tidak ikhlas atas pekerjaannya, apalagi mengurangi kemuliaannya sebagai Nabi. Karena pada hakikatnya semua itu juga untuk diri kita. Allahswt sendiri yang akan membalas kebaikan Nabisaw:

254

SAID MUNIRUDDIN

“Katakanlah: "Upah apa pun yang aku minta kepadamu, maka itu untuk kamu. Upahku hanyalah dari Allah, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu" (Q.S Saba -34: 47). Rasa syukur (ungkapan terima kasih) kita kepada Nabisaw dan Keluarganya harus dibangun sedemikian ikhlas. Karena tidak bisa dipungkiri, dasar kelahiran HMI membawa spirit untuk melanjutkan cita-cita perjuangan Muhammadsaw dan manusia-manusia suci setelahnya. Jika syukur dan ikhlas kepada Tuhan dibangun dengan ritual ibadah, maka kepada Muhammadsaw dan Keluarga dilakukan dengan -salah satunya- sholawat. Kelompok agnostik seperti ateis meragukan peran-peran ritual ibadah sebagai alat pembangun jiwa. Demikian juga dengan beberapa kelompok skeptis dalam Islam (seperti ekstrim salafi), menganggap hal-hal praktis seperti sholawat dan tawasul sebagai sesuatu yang tidak berguna atau bid’ah. Bahkan ada yang meragukan atau menolak segala konsep tentang “kesucian manusia”. Padahal mereka sendiri menerima konsep-konsep tentang manusia yang dilahirkan dalam keadaan suci. Sebenarnya mereka bahkan kita semua mengakui adanya wujud aktual dari nilainilai suci. Pada prinsipnya kita semua suci, hanya saja kita tidak tau apakah kesucian itu terpelihara dengan baik atau sudah terkikis seiring perjalanan waktu. Bersama dengan keluarga, kita diperintahkan Tuhan untuk menjaga kesucian itu agar kelak tidak perlu ‘disucikan’ lagi di neraka.79 Namun kita tidak tau, sejauh mana tingkat kesucian kita dan keluarga kita dibandingkan tingkat kesucian Nabisaw beserta Keluarga yang dibangunnya itu. Nabisaw yang satu ini begitu spektakuler. Tidak hanya berhasil membangun dirinya sebagai suri tauladan (rasul al-amien), ia juga mampu membangun Keluarga panutan (ahlul bait), bahkan sebuah model masyarakat idaman (madani, civil society). 79

“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaga-penjaganya malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (QS. atTahrim -66: 6).

BAB 6 Aktualisasi Nilai-Nilai: “Profil Insan Pejuang Paripurna”

255

Islam adalah agama yang mementingkan ketauladanan. Sholawat kepada tauladan-tauladan suci itu menjadi bagian dari ke-Iman-an dan ke-Islaman, wujud praktis dari syukur dan ikhlas. Dengan sholawat menjadi tegas siapa role model kita. Akan kering spirit sebuah organisasi Islam, jika tidak pernah dibasuh dengan sholawat. Akan redup “Bintang” himpunan ketika akarnya tidak disiram sholawat. Sholawat adalah do’a dan ikrar yang dengannya ibadah dan perjuangan menjadi sempurna. Sholawat adalah pintu ikatan batin kita dengan the founding fathers of Islam, para kekasih suci kita. Agenda PB HMI sering berlarut-larut dan berakhir ricuh. Kongres XXIII di Jakarta pada Maret 2013 menyebabkan aset asrama haji Pondok Gede terbakar. Antar peserta saling pukulan. Batu-batu beterbangan. Ini bukan dinamika mahasiswa Islam. Ini dinamika kader penyusup yang berafiliasi dengan iblis dan setan. Orientasi uang sejumlah oknum telah merusak citra himpunan. Jiwa kebinatangan begitu hidup manakala tidak dibasuh dengan lafaz spiritual. Tanpa semangat kecintaan kepada Muhammad saw dan Keluarga Sucinya, kita akan mudah dibeli dan dikotori oleh “Sholawat”, interest kekuasaan. Karena banyaknya buih-buih yang anti Akar Spiritualitas sholawat, akhirnya forum yang seharusnya diwarnai diskusi Himpunan ilmiah menjadi tegang dan saling gontok-gontokan. Yang dihasilkan harusnya pemikiran-pemikiran cemerlang untuk memajukan organisasi dan bangsa; bukan adu fisik, sampah dan arang. Supaya gerakan politik dan intelektual kembali ke khittah perjuangan, sholawat harus dihidupkan. Karena sholawat lebih memberi ruang kepada perkembangan intelektualitas, daripada keliaran nafsu dan emosi hewani. Allahumma sholli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad. Allahswt dan Malaikat Bersholawat kepada Nabi saw. Mengapa kita harus bersholawat? Pertama, karena Allah swt dan malaikat sendiri bersholawat kepada Nabisaw:

256

SAID MUNIRUDDIN

“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikatnya bersholawat kepada Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bersholawatlah kepada Nabi dan ucapkan salam penghormatan kepadanya” (QS. alAhzab -33: 56). Dalam ayat tersebut, Allahswt menggunakan kata “yushallu”. Ini bentuk present continuous tense, artinya “sedang dan akan terus” bersholawat kepada Muhammad kekasih-Nya (habibullah). Sholawat itu ibadah unik. Ketika Tuhan memerintahkan kita untuk sholat, puasa, zakat dan naik haji; Tuhan sendiri tidak melakukannya. Sementara untuk sholawat, sebagaimana tersebut di atas, sebelum Dia memerintahkan kita, Dia sudah terlebih dahulu melakukannya. Sholawat Allahswt kepada Muhammadsaw mengandung arti pelimpahan kecintaan-Nya yang tak terbatas kepada wujud maha karya-Nya itu. Sementara sholawat kita kepada Muhammadsaw bermakna ungkapan cinta kepada beliau, sekaligus mengharapkan cinta Allah swt kepada kita. Karena mencintai Allahswt mengharuskan kita mencintai kekasih-Nya. Ini juga makna dari pernyataan syahadat, “Bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah, dan bersaksi Muhammad sebagai Rasul dan Kekasihnya”. “Syahadat” dan “sholawat” adalah statement iman yang harus kita ekspresikan melalui lisan. Sholawat kepada Nabisaw dan Keluarganya dijelaskan lebih lanjut oleh Tuhan. Dalam surah asShaffat, Allahswt menyampaikan salam kepada para Nabi: “Salam sejahtera atas Nuh di seluruh Alam” (QS. asShaffat -37: 79). “Salam sejahtera asShaffat -37: 109).

atas

Ibrahim”

(QS.

“Salam sejahtera atas Musa dan Harun” (QS. asShaffat -37: 120). Dalam surah asShaffat ini, Allahswt tidak pernah menyampaikan sholawat kepada sebuah keluarga, kecuali kepada Keluarga Yasin. “Salaamun ‘ala Aali YaaSin –Salam sejahtera untuk Keluarga Yasin” (QS. asShaffat -37: 130). Yasin adalah salah satu nama

BAB 6 Aktualisasi Nilai-Nilai: “Profil Insan Pejuang Paripurna”

257

Muhammadsaw dalam alQur’an; selain Thaha, Nun, Abdullah dan Ahmad.80 Jadi, Allahswt dan malaikat bersholawat kepada Nabisaw dan Keluarganya. Berkenaan dengan ini Rasulsaw mengatakan, “Janganlah kalian bersholawat dengan sholawat buntung”. Seorang Sahabat bertanya, “Seperti apa sholawat buntung itu ya Rasul?”. Nabisaw menjawab, “Kalian bersholawat kepadaku tapi tidak bersholawat kepada keluargaku”.81 Oleh sebab itu, bacaan sholawat yang benar telah menjadi bacaan dalam sholat kita, “Allahumma sholli ‘ala Muhammad, wa ‘ala Aali Muhammad” (Ya Allah, limpahkan sholawat kepada Muhammad dan Keluarganya). Berkaitan dengan ini, Imam Syafi’i mengatakan, “Tidak sah sholat kalian kalau tidak bersholawat kepada Nabi dan Keluarganya”. Bahkan sholawat kepada lima Bintang di ‘Arasy ini, Rasul dan Keluarganya, merupakan bentuk tawasul atau etika berdo’a. Rasulullahsaw menjelaskan: “Ketika Allah menciptakan Adam dan meniupkan ruh-Nya ke dalam dirinya, Adam melihat ke sisi kanan ‘Arsy. Di sana ia menyaksikan lima sosok bermandikan cahaya dalam keadaan sujud. Adam berkata, “Ya Allah, apakah Engkau telah menciptakan makhluk lain dari tanah sebelum penciptaanku?” Terdengar jawaban, “Tidak, Aku tidak menciptakannya.” Adam bertanya, “Aku melihat lima sosok yang mirip dalam bentuk dan rupa, siapakah mereka itu?” Allah berfirman, “Lima sosok ini berasal dari keturunanmu. Jika mereka tidak ada, Aku tidak menciptakanmu. Nama-Nama mereka diambil dari Nama-Ku. Jika lima sosok ini tidak ada, Aku takkan menciptakan surga dan neraka, langit dan bumi, serta malaikat dan jin. Aku adalah Mahmud (Yang Maha Terpuji) dan ini Muhammad. Aku adalah al-‘Aliyyu (Yang Maha Tinggi) dan ini Ali. Aku adalah al-Fathir (Yang Maha Mencipta) dan ini adalah Fathimah. Aku adalah al-Ihsan (Kebaikan) dan ini adalah Hasan. Dan Aku adalah al-Muhsin (Yang Maha Berbuat Baik) dan ini adalah Husain. Demi keagungan-Ku, seseorang membenci salah seorang diantara mereka, meskipun sebesar biji sawi, niscaya kulemparkan mereka ke dalam api neraka. Lima sosok ini adalah manusia pilihan-Ku. Keselamatan dan kebinasaan bergantung pada cinta dan benci terhadap mereka. Wahai Adam, setiap kali engkau memohon kebutuhan pada-Ku, maka jadikanlah mereka perantara 80 81

Dalam Ibid. Ibnu Hajar, al-Shawaiq, hal. 87; dalam Ibid.

258

SAID MUNIRUDDIN

dalam berdo’a pada ku.” Rasulullah melanjutkan, “Kami, Ahlul Bait, adalah bahtera keselamatan. Barangsiapa bersama kami, niscaya selamat. Dan barang siapa meninggalkan kami, niscaya binasa. Barangsiapa memohon hajat kepada Allah dengan perantaraan kami, Ahlul Bait, niscaya Allah mengabulkan permohonannya”.82 Begitu sentral posisi Ahlul Bait dalam ajaran Islam. Kita menghadirkan manusia-manusia sejarah seperti mereka dalam hati, lisan, dan memori kolektif, sama sekali bukan sebagai usaha glorifikasi mazhab tertentu, “penuhanan figur”, atau romantisme Islam. Melainkan sebagai sikap kritis dan pembelajaran apresiatif atas kiprah sejarah kolektif kita sebagai kader umat yang menjadikan nilai-nilai Islam sebagai landasan teologis perjuangan. Ada puluhan, ratusan, bahkan ribuan figur yang dapat dan memang harus ditauladani. Namun khusus untuk mereka, Nabisaw berkata: “Wahai manusia, sesungguhnya Aku meninggalkan dua hal (alTsaqalain), yang jika kalian berpegang teguh kepada keduanya, kalian tidak akan tersesat selama-lamanya sepeninggalku, yaitu Kitabullah dan ‘Idrati Ahli Baiti (alQuran dan Ahlul Baitku). Keduanya tidak akan berpisah hingga dikembalikan kepadaku di telaga (al-Haudh)”.83 Banyak arahan Nabisaw untuk merujuk mereka dalam perjalanan menuju Tuhan. Berulang kali Nabi mengingatkan kita untuk menaiki “kendaraan” yang benar untuk mencapai tujuan. Kata Beliau saw, “Permisalan Ahlul Baitku seperti perahu Nuh. Barangsiapa menaikinya akan selamat, dan barangsiapa meninggalkannya akan binasa”. 84 Melalui Lima Bintang ‘Arasy inilah alQuran dan asSunnah terus hidup. Melalui sahabat dan pengikut mereka, ilmu dan hikmah terus berlanjut. Kader dan Alumni HMI sejatinya juga menjadi Bintang ‘Arasy, menjadi bagian dari baitunnubuwwah, menjadi penerus ajaran kenabian; menjadi untuk Indonesia yang cemerlang.

Abbas Azizi, 2005. Kisah Fathimah az-Zahra, cetakan-I, hal. 39-40. Penerbit Qarina. Shahih Muslim, juz, 2, hal. 237, juz 7, hal. 122; Sahih al-Tirmidzi, juz 2, hal. 219, 220 dan 307; al-Nasai, Kasha’ish, hal. 30, Musnad Ahmad bin Hambal, juz 3, hal. 13 dan 17, juz 4, hal. 26 dan 59, hal. 182 dan 189; dan lainnya; dalam catatan Sayyid Muhammad alMusawi, Mazhab Pecinta Keluarga Nabi: Kajian alQuran dan Sunnah, hal. 158, MPress, Bandung, 2009, lebih dari 66 kitab telah menukilkan hadist ini. 84 Musnad Ahmad bin Hambal, juz 3, hal. 13, 17, dan 26; Mstadrak al-Hakim, juz 3, hal 150, juz 2, hal 343; alQunduzi, Yanabi’ul Mawaddah, bab 4, hal 56; Ibnu Hajar, Shawa’iq al-Muhriqah, hal. 234, Traikh atThabari, Tarikh Bagdadi, dan lainnya. Lebih dari seratus ulama besar dan para ahli hadist mengutip hadist ini, dalam Ibid., hal. 122-123 dan 158-159. 82 83

BAB 6 Aktualisasi Nilai-Nilai: “Profil Insan Pejuang Paripurna”

259

KESIMPULAN

”Lima Cahaya ‘Arasy”

Tujuan dari proses ideologisasi di HMI adalah terbinanya insan kamil, insan ilahiyah, atau “insan cita”. Insan yang akhlaknya memancarkan 5 cahaya baitunnubuwwah: tauhied, ikhlas, adil, ihsan dan bertanggungjawab. Telah berlalu dalam sejarah para suri tauladan:

“Dan sesungguhnya, kami telah menurunkan kepada kamu, ayat-ayat yang menerangkan dan menjelaskan, dan contoh tauladan orang-orang yang telah lalu sebelum kamu, serta nasihat pengajaran bagi orang-orang yang bertaqwa” (QS. anNur -24: 34). Sebagian mereka diabadikan Tuhan dalam alQur’an sebagai contoh kebenaran, kebaikan, keindahan dan kesucian (QS. alAhzab -33: 33 & 56). Pada Nabisaw dan Keluarga Suci beliau misalnya, kita temukan beragam kualitas agung “insan pejuang paripurna”. Mereka model manusia yang kita cita-citakan di HMI. Merekalah hakikat Bintang ‘Arasy, “cahaya” perjuangan Islam, “pelita”, personifikasi dari “bintang” yang menjadi lambang alam Islam. Dan melalui sholawat sedikit tidaknya kita menunjukkan aqidah, iman dan hubungan kita dengan mereka sebagai suri tauladan nilai. Allahumma sholli ‘ala Muhammad, wa ‘ala Aali Muhammad.*****

260

SAID MUNIRUDDIN

BAB

7

Visioning dan Operasionalisasi Tujuan: “Peta Hidup Bintang ‘Arasy” MISSION HMI: PEMBUMIAN NILAI-NILAI DALAM KONTEKS INDONESIA Universalitas Nilai, Tujuan dan Nama HMI. Sekilas tujuan HMI terlihat global. “Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allahswt” (Pasal 4 AD HMI).1 Disamping secara spesifik mesti menyebutkan “apa” perubahan atau pencapaian yang diinginkan terjadi di masa depan, sebuah visi juga harus menentukan “dimana” perubahan itu terjadi. Dari pernyataan visinya, HMI memang menyebutkan “apa” perubahan yang diinginkan, namun tidak menuliskan “di negara mana” perubahan ingin dicapai. Tidak seperti organisasi kemahasiswaan lainnya, HMI bahkan tidak menyebut “Indonesia” sebagai bagian dari namanya. HMI adalah “Himpunan Mahasiswa Islam”, bukan “Himpunan Mahasiswa Indonesia”. Juga bukan “Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia”. Dari nama dan 1

PB HMI. 2010. “Tujuan HMI”, dalam Hasil-Hasil Keputusan Kongres HMI X di Palembang. PB HMI: Jakarta.

262

SAID MUNIRUDDIN

visinya, HMI berkarakter global. Memang demikian spirit Islam, tidak boleh terpenjara dalam sekat-sekat lokal. Dalam cita-cita Islam, yang hendak dibangun adalah “ummah”, sebuah model masyarakat universal yang adil dan makmur. Namun demikian, kemudian dalam misinya, HMI mempertegas “konteks Indonesia” sebagai lahan perjuangan. Karena secara historis, HMI lahir berkaitan dengan persoalan kebangsaan. Meskipun misi HMI bertapak di Indonesia, namun perkembangan dunia hari ini, serta universalnya nilainilai Islam, mengharuskan HMI untuk membangun sebuah misi keummatan yang bersifat global. Dari “Nasionalisme” ke “Internasionalisme”, Kenapa Tidak? Pada tahun-tahun awal kelahirannya, 1947-1957, HMI berkutat dengan isu nasionalisme, mempertahankan Indonesia. Saat itu, keberadaan Indonesia sebagai sebuah negara masih terancam oleh agresi Belanda. Sementara dunia hari ini sedang mengarah kepada internasionalisme. Sekarang kita sedang menyaksikan dunia yang semakin ‘rata’ dan ‘tidak berbatas’. AlQuran menyebutnya sebagai, “bumi yang terhampar” 2, yang kemudian diterjemahkan dengan “the World is Flat”. 3 Aliran manusia dan kapital semakin bebas. Teknologi informasi membuat dunia semakin terintegrasi. Semua saling terkoneksi. Disadari atau tidak, apa yang terjadi di Indonesia merupakan bagian dari kejadian dibelahan dunia lain. Apa yang dirasakan oleh penduduk lokal adalah efek dari sebuah perubahan yang terjadi secara global. Dunia sudah saling terkait. Pada alam seperti ini, keberlangsungan hidup tergantung dari kemampuan kita menjadi “warga dunia”, bukan dengan mengisolasi diri hanya sebagai “warga Indonesia”. Pada situasi seperti ini, seorang leader idealnya memiliki kapasitas global. Menjadi rakyat Indonesia saja tidak memberikan arti bagi kemajuan bangsa. Kita harus menjadi “ummah” atau “warga dunia”. Pada iklim kekini-an yang seperti inilah tujuan HMI harus kembali dimaknai. “Membangun kesadaran dari nasionalisme ke internasionalisme menjadi [1] “Bukankah telah Kami jadikan bumi itu terhampar (mihaada)?” (QS. anNaba’-78: 6); [2] “Dialah yang telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan (firasy) bagimu” (QS. alBaqarah -2: 22); [3] “Dan bumi bagaimana dihamparkan?” (QS. alGhasyiyah -88: 20); [4] Dan kami hamparkan bumi itu…” (QS. alQaf -50: 7); [4] “Dan Kami telah menghamparkan bumi… (QS. alHijr -15: 19). 3 T.L. Friedman. 2005. The World is Flat: A Brief History of the Twenty-First Century, 1st ed,. Farrar, Straus and Giroux: New York. 2

BAB 7 Visioning dan Operasionalisasi Tujuan: “Peta Hidup Bintang ‘Arasy”

263

penting bagi eksistensi bangsa pada era global”, sebut Anies Baswedan 4. Karena kita, dari sisi luas wilayah dan jumlah penduduk, adalah bangsa besar. Sejatinya jiwa kita juga besar. Disamping berani mengaku diri sebagai bangsa Indonesia, kita harus memiliki mental “menguasai” (mewarnai) dunia. Kita adalah umat terbaik, yang diutus Tuhan untuk memperindah dunia. Karena dari sisi nama dan formulasi tujuan, seperti tersebut di muka, HMI sendiri memiliki spirit sebagai entitas global. Maka tujuan perubahan masyarakat yang menjadi cita-cita HMI berada dalam dua konteks, “lokal” dan “global”. Sehingga tujan HMI dapat dipahami menjadi: “Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur [masyarakat Indonesia dan masyarakat dunia] yang diridhai Allahswt”. Ada beberapa implikasi dari perluasan penekanan konteks perjuangan: Pertama, spirit perjuangan HMI, selain berada pada dimensi nasional, juga mengarah kepada scope global. Dari segi nama, HMI mengandung spirit yang tidak terikat oleh ruang dan waktu. Organisasi ini mempunyai misi ke-Islam-an yang universal. Sementara Indonesia hanyalah sebuah tempat dimana ia lahir, sehingga misi “ke-Islaman-an” dalam konteks “ke-Indonesia-an” merupakan sebuah pilihan perjuangan rasional, sesuai tantangan masa itu. Sementara, misi ke-Islam-an universal yang bersifat “global” menjadi pilihan sekarang yang sangat kontekstual. Artinya, berjuang membangun Indonesia, kemudian menyuarakan dan menyebarkan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran universal ke berbagai belahan dunia mesti menjadi paradigma baru perjuangan bangsa pada era arus informasi dan komunikasi ini. Kedua, dengan paradigma “masyarakat dunia”, HMI telah mempersiapkan kadernya untuk memiliki ikatan emosi dengan dunia yang lebih besar dengan mentransformasi diri menjadi 4

A. Baswedan. 2013. “Memenangkan Masa Depan Bangsa”, disampaikan dalam Dialog Publik dan Pelantikan MN KAHMI Periode 2012-2017, Plenary Hall JCC Jakarta: 5 Februari 2013.

264

SAID MUNIRUDDIN

global leaders. Usaha-usaha membangun universal brotherhood atau ukhuwah insaniyyah dan islamiyah harus menjadi visi dalam konteks kekini-an. Apa yang terjadi dibelahan dunia lain harus menjadi perhatian kita. Penderitaan muslim dan non-muslim di Timur Tengah, Afrika, Asia dan belahan dunia lain mesti mendapat respon dari seorang pemimpin global. Secara nasional kita memang memiliki banyak masalah, namun persoalan internal jangan menjadikan kita picik memahami masalah global yang sebenarnya juga masalah internal umat Islam. Jika dalam konsep nasionalisme, masalah umat Islam di Indonesia kita sebut sebagai “masalah intern”, maka dalam konsep Islam universal (tanpa memandang batas-batas wilayah, suku dan bangsa) masalah umat Islam dan non-Islam se-dunia adalah masalah intern kita yang sesungguhnya. Akan semakin nyata, dalam konteks global lah perjuangan menegakkan keadilan kemakmuran harus dilakukan. Musuh Islam adalah “kapitalisme”. Semuanya mendapat wujud dalam individualisme, liberalisme, sosialisme, diktatorisme, imperialisme, kolonialisme, fasisme, materialisme dan segala hal yang bersifat koruptif dan eksploitatif (kufur, syirik, dan tiranik). Pada level global kita temukan eksistensi “zion”; negara, lembaga, dan korporasi yang menjadi pelopor kemungkaran internasional. Para penjahat ini tidak memiliki batas negara dan nasionalisme. Mereka melihat dunia sebagai wilayah yang harus dijajahnya. Ada beragam cara untuk menyerang. Ada yang efektif dengan intervensi melalui lembagalembaga donor melalui berbagai bantuan, advice dan project untuk mempengaruhi kebijakan. Ini dilakukan ketika mempengaruhi Indonesia pada era teknokrasi Orde Baru. Ada yang harus menyewa pejabat dan warga lokal sebagai agen untuk mengacaukan situasi nasional, bahkan sampai kepada upaya pembunuhan petinggi-petinggi lokal yang berseberangan dengan kepentingan luar. Hal ini dilakukan di banyak negara latin. Jika tidak ada jalur lain, sebagian bahkan dilakukan dengan menganeksiasi langsung negara tersebut melalui peperangan, seperti yang dilakukan di Irak dan Afghanistan. 5 Cara lain yang cukup efektif untuk jangka panjang adalah dengan strategi bisnis, seperti 3F: Fashion, Food dan Fun. Melalui “fashion” 5

J. Perkins. 2005. Confessions of an Economic Hit Man. Plume: New York.

BAB 7 Visioning dan Operasionalisasi Tujuan: “Peta Hidup Bintang ‘Arasy”

265

mereka mempengaruhi kita untuk merasa tidak cantik dan tidak hebat jika belum memakai produk-produk mereka; mulai dari pakaian, elektronik, gadget sampai otomotif. Perempuan-perempuan kita diajari mulai dari cara telanjang sampai kepada cara penuh padat dengan perhiasaan, sekaligus berani pamer kepada orang-orang. Melalui “food” diperkenalkan junk food dan alcohol yang mengalahkan keberadaan makanan dan minuman sehat lokal. Melalui “fun” dipengaruhi alam bawah sadar kita untuk tergoda dengan entertainment, infotainment dan berbagai propaganda musik, film, games, artis, kehidupan malam, dan gaya hidup hedon lainnya. Maka, jihad politik dan intelektual untuk melawan kapitalis global yang sedang membodohi kita untuk menjadi masyrakat konsumtif ini menjadi sangat relevan dengan misi “universal Islam” dan “lokal kebangsaan”. Ketiga, ketika memilih visi dan misi yang lebih global, maka proses perkaderan harus dirancang sedemikian rupa, sehingga melahirkan “insan berkelas dunia”. Penguasaan bahasa asing menjadi keniscayaan dalam kurikulum perkaderan formal dan informal. Ikhtiar ini akan mentransformasikan wujud HMI yang hari ini hanya berputar-putar pada perspektif lokal, kepada wawasan dan kompetensi internasional. Ini dapat menjadi quantum perkaderan, lompatan baru untuk menjadikan organisasi ini kembali berada pada garis terdepan. Selama ini hanya forum advance training (LK-III) saja yang memberi wawasan internasional. Ke depan wawasan global dapat menjadi paradigma sejak basic training (LK-I). Menarik untuk mengikuti sebuah inovasi yang dilakukan oleh HMI Komisariat Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh.

266

SAID MUNIRUDDIN

HMI International Leadership Basic Training, Faculty of Economics - Syiah Kuala University Banda Aceh: April 29th - May, 3rd 2010

Pada 29 April - 3 Mei 2010, dilaksanakan “International Leadership Basic Training” (HMI-ILBT), sebuah Basic Training atau LK-I berbahasa Inggris. Calon peserta merupakan mahasiswa-mahasiswi yang memiliki kemampuan berbahasa Inggris. Sekarang ini banyak sekali mahasiswa yang memiliki kompetensi berbahasa asing, ini menjadi input yang bagus bagi HMI. Screening test dilakukan dengan bahasa inggris. Pembukaan acara juga demikian. Kata sambutan, baik dari ketua panitia, ketua komisariat, ketua cabang, dan alumni, juga dengan bahasa inggris. Demikian juga dengan proses training, penyampaian materi dan fasilitasi oleh instruktur; semuanya berbahasa inggris. Sebagian pembicara adalah alumni lulusan luar negeri. Master of Training (MoT) dan instruktur juga kader-kader HMI yang mempunyai keahlian berbahasa inggris. Kreatifitas seperti ini dapat kita nilai sebagai perwujudan “insan pencipta”, manusiamanusia kreatif-inovatif yang berusaha agar “hari ini lebih baik, atau tidak sama dengan kemarin”. Meskipun kegiatannya sama, tetapi ada pola, metode, warna dan rasa baru dalam melakukan sesuatu. Ada upaya mendorong kader-kadernya untuk menguasai bahasa asing.6 LK-I internasional produk HMI Cabang Banda Aceh ini dinilai sebagai salah satu ikhtiar untuk membawa HMI keluar dari ‘cangkang’ Indonesia menuju alam bebas, dunia global. Dan menjadi global leaders tidak berarti harus keluar dari isu dan wilayah Indonesia. Kita tetap hidup dan bekerja dalam ke-indonesia-an, tetapi memiliki interaksi dan terlibat 6

S. Muniruddin. 2010. Laporan Pelaksanaan International Leadership Basic Training. HMI Cabang Banda Aceh: Banda Aceh.

BAB 7 Visioning dan Operasionalisasi Tujuan: “Peta Hidup Bintang ‘Arasy”

267

dalam membangun dunia yang lebih besar. Namun model training seperti ini menjadi tantangan tersendiri. Kesiapan dan kecukupan sumberdaya pengelola menjadi faktor paling krusial untuk kontinuitasnya. Misi setiap Manusia, Membumikan Nilai-Nilai Universal dalam Konteks Lokal. Namun demikian, betapapun universalnya nilai yang kita anut; kita tumbuh dan hidup dalam konteks lokal tertentu. Nabi Muhammadsaw sendiri, meskipun diutus sebagai rahmat bagi semesta alam, namun hidup dan berjuang dalam komunitas dimana beliau dilahirkan. Dari sanalah nilai-nilai suci yang bersifat universal digemakan ke seluruh dunia. Maka, alih-alih ingin menjadi pemimpin dunia, sebaiknya setiap kita berfikir saja bagaimana menjadi orang “terpuji” (al-hamid) dan “terpercaya” (al-amien) dalam masyarakat dimana kita berada. Pemimpin-pemimpin besar yang kita kenal, mereka semua fokus berjuang pada konteks tantangan yang dihadapi kaumnya. Namun aura “keberanian”, “ketajaman visi” dan “rasa kemanusiaan” mereka menjalar ke penjuru dunia. Adalah Muhammad Yunus. Konsep “social entrepreneurship”-nya telah diadopsi oleh lebih dari 250 lembaga di 100 negara, dan terus bertambah. Namun, pengabdiannya dimulai di tengah lokalitas masyarakat miskin Bangladesh, di seputaran Universitas Chittagong tempat ia mengajar. Sejak tahun 1972, di usia 32 tahun, ia mulai serius mencari solusi pengentasan kemiskinan untuk desa-desa miskin di sekelingnya. Muhammad Yunus, Tanggungjawab keilmuan dan rasa Pendiri “Grameen Bank” kemanusiaan yang tinggi, memunculkan Pemenang Nobel Prize 2006 keberaniannya untuk membangun masyarakat adil makmur. Berpuluh tahun ia berjuang, dengan beragam strategi dan taktik, secara sistematis dan terorganisir. Tidak pernah menyerah, ia bangkit dari satu tantangan ke tantangan lainnya. Dari sanalah, lebih dari 30 tahun kemudian, nilai-nilai ekonomi nonriba mikro kredit Grameen Bank-nya menyebar ke berbagai benua. Keteguhan sekaligus kelembutan gaya perjuangannya sukses membongkar kepalsuan yang bersembunyi di balik institusi negara, perbankan, lembaga pendidikan, agama dan kebudayaan yang selama ini membiarkan kemiskinan. Kini pada sisa usianya, ia berhasil

268

SAID MUNIRUDDIN

membuktikan kepalsuan kapitalisme, musuh terbesar kemanusiaan, sekaligus mengajari dunia sebuah model bisnis baru yang humanis, adil dan beradab. Dia adalah seorang muslim sederhana, yang ‘menaklukkan’ dunia. Ini sebuah model gerakan pada level sangat lokal, yang nilai-nilai ibadah (perjuangan) di sektor muamalah kemudian meng-global, melampaui sekat-sekat ras, gender, dan agama. Ia mampu membangun sebuah “mazhab ekonomi” yang bernilai universal; yang teori dan praktiknya sarat dengan prinsip-prinsip tauhied, ikhlas, adil, ihsan, dan tanggungjawab. Misi HMI: Kontekstualisasi Nilai-Nilai Universal Islam dalam Lokal Indonesia. Oleh sebab itu, meskipun HMI dan visi keislamannya bernilai universal, namun sebagian besar aksinya berorientasi lokal. Seperti telah dijelaskan di muka, hal ini terkait dengan “motivasi dasar” kelahiran organisasi yang berkeinginan mengimplementasikan nilainilai Islam dalam membangun Indonesia. Dari 19 kata yang membentuk rumusan tujuan atau visinya, HMI menerjemahkannya secara singkat dalam dua misi atau tugas utama: (1) ke-Islam-an atau keummatan, dan (2) ke-Indonesia-an atau kebangsaan. Dua hal ini menjadi “kerangka” atau “konteks” yang melalui, atau dengannya, tujuan dilaksanakan. Dengan kata lain, visi masa depan HMI adalah (1) terbinanya 5 kualitas insan cita dan (2) terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allahswt, yang dicapai melalui kontinuitas misi atau perjuangan membumikan nilai-nilai Islam universal (seperti keadilan dan ihsan) dalam wilayah geografis yang bernama Indonesia. “Misi HMI” adalah menjadikan Islam sebagai “ruh” dalam gerak-gerik berorganisasi (perkaderan), berbangsa dan bernegara (perjuangan). HMI mengemban tugas “mewarnai” dan “menggarami” Indonesia dengan nilainilai universal Islam, bukan dengan ego suku dan golongan. Sehingga, Mission HMI adalah “islamisasi” Indonesia melalui berbagai gerakan intelektual, politik dan sosial. Melalui

BAB 7 Visioning dan Operasionalisasi Tujuan: “Peta Hidup Bintang ‘Arasy”

269

gagasan-gagasan (teoritis) dan tindakan (praktis), diharapkan kader dan alumni HMI dapat memecahkan beragam persoalan keummatan dan kebangsaan di bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, agama, budaya, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Layaknya gerakan para nabi; nilai-nilai ketuhanan (tauhied dan keikhlasan) dan kemanusiaan (keadilan, ihsan dan tanggungjawab) mestilah sesuatu yang mewarnai berbagai ide dan gerakan perubahan di Indonesia. Lahan perjuangannya dapat berupa kampus, masjid, organisasi sosial kemasyarakatan, lembaga politik, pemerintahan dan birokrasi, bisnis, pers, dan lainnya.

270

SAID MUNIRUDDIN

Gambar 7.1: Misi HMI, “ke-Islam-an” dan “ke-Indonesia-an”

@ Said Muniruddin 2013

BAB 7 Visioning dan Operasionalisasi Tujuan: “Peta Hidup Bintang ‘Arasy”

271

“PETA HIDUP BINTANG ‘ARSY”: OPERASIONALISASI TUJUAN Ketika membangun Indonesia melalui berbagai sisi dan profesi (politik, birokrasi, ekonomi, bisnis, hukum, sosial, budaya, kemasyarakatan, pendidikan, kesehatan, keagamaan, kepemudaan, dan lainnya) disamping harus mengakar pada “nilai-nilai Islam” sebagai motivasi dasar pengabdian; juga mesti bersandar pada realitas heterogenitas bangsa. Tidak hanya terdapat banyak aliran keyakinan (bahkan dalam satu agama saja terdapat beragam sekte dan mazhab), secara sosial Indonesia yang populasinya ke-empat terbesar di dunia juga sangat plural dengan kelompok-kelompok kesukuan; dengan budaya, seni, bahasa, dan cara berfikir yang berbeda. Fenomena ini menjadikan Indonesia sebuah entitas yang unik dibandingkan dengan bangsa-bangsa (negara) dunia lainnya. Sehingga model masyarakat yang menjadi misi perjuangan haruslah sebuah bentuk masyarakat universal, adil makmur, dan madani “khas Indonesia”; yang mempertimbangkan segala kemajemukan ini. Sebagai sebuah bangsa besar, maka tidak perlu “memaksa” budayabudaya asing menjadi identitas kita. Namun diapresiasi perlu diberikan, bahwa budaya-budaya luar telah memperkaya khazanah peradaban bangsa dan sebagian terintegrasi/berasimilasi menjadi adab lokal. Bahkan banyak keturunan Arab, India, Eropa, dan Cina yang mereka bersama tradisi-tradisinya telah mewarnai wajah nusantara. Ruang bagi semua etnik dan budaya tentu harus di buka. Walaupun demikian, perlu disadari; secara geografis dan kultural, Indonesia kaya dengan wisdomwisdom lokal, serta ke-khas-an lain yang jika dipelihara dan dikembangkan dapat menjadi kekayaan nasional –bahkan menjadi warisan dunia (world heritage). Jadi, “Islam” dan “Indonesia” merupakan dua sisi dari satu mata koin bangunan bangsa. Disamping Indonesia sebagai sebuah bangsa besar yang sangat beragam dari sisi kultur dan pemikiran, Islam juga telah secara unik memberi “bentuk” dan “rasa” terhadap identitas bangsa. Perpaduan “nilai-nilai Islam” dan “pluralitas Indonesia” inilah yang menjadi titik keseimbangan mission (perjuangan) HMI.

272

SAID MUNIRUDDIN

Operasionalisasi Visi dan Misi HMI, dari Level Organisasi sampai Tingkat Individu. “Visi” (tujuan) merupakan konsep abstrak tentang dunia ideal masa depan. Demikian juga dengan “misi”, masih sebatas konsep umum, penjabaran tentang bagaimana visi masa depan ingin dicapai. Oleh sebab itu, langkah taktis untuk pencapaian tujuan perlu dirumuskan. Perlu konsep praktis untuk itu. Dalam manajemen strategis, sebuah visi diturunkan lebih lanjut dalam misi. Dari misi dirumuskan berbagai strategi, serta struktur organisasi yang tepat untuk mampu melaksanakannya. Di berbagai struktur ini, lahir program dan kegiatan dengan jumlah anggaran yang diperlukan. Dari struktur dan kegiatan organisasi juga teridentifikasi jenis sumberdaya manusia yang dibutuhkan dengan uraian tugas (job description) yang relevan. Melalui rincian tugas inilah tujuan awal organisasi (visi) diproyeksikan dapat tercapai. Pada saat bersamaan, guna keteraturan organisasi, juga dirumuskan hukum-hukum, statuta atau konstitusi (AD/ART), serta berbagai standard operational procedures (SOP), nilai-nilai atau prinsip lainnya (ideologi). Demikian pula dengan HMI, dalam konteks keorganisasian telah memiliki seperangkat konsep, perencanaan strategis serta aturan-aturan organisasi, mulai dari Pengurus Besar sampai ke tingkat Komisariat. Semua ini bertujuan agar visi dan misi himpunan dapat dicapai pada masing periode kepengurusan atau keanggotaan. Sayangnya, sebagian menyangka, visi dan misi HMI berakhir seiring berakhirnya masa keanggotaan atau kepengurusan. Padahal, visi dan misi HMI merupakan sesuatu yang diemban oleh setiap kader, tanpa mengenal batas tempat dan waktu. Karena yang sesungguhnya sedang diperjuangkan adalah misi suci (mission sacree) untuk membentuk jati diri insan kamil, serta perjuangan seumur hidup untuk mewujudkan “masyarakat Indonesia dan masyarakat dunia yang adil makmur”. Oleh sebab itu, visi HMI yang juga visi besar Islam, merupakan doktrin perjuangan seumur hidup. Visi ini harus terinternalisasi dalam setiap jiwa anggota dan mesti dioperasionalkan sepanjang hayat.

BAB 7 Visioning dan Operasionalisasi Tujuan: “Peta Hidup Bintang ‘Arasy”

273

“Visioning 5KIC: Peta Hidup Bintang ‘Arasy”. Sebuah metode praktis operasionalisasi Tujuan HMI, dinamai “Visioning 5KIC: Peta Hidup Bintang ‘Arasy”. Konsep ini awalnya muncul dalam Advanced Training (LK-III) BADKO HMI Aceh tahun 2010.7 Melalui skema ini, kader diajak memvisualisasi masa depan dalam bingkai Tujuan HMI. Yang menjadi harapan di sini adalah, bagaimana selama hidupnya setiap kader dapat terus-menerus mentransformasikan diri menjadi “insan cita”, pada saat yang sama dapat membangun sebuah komunitas atau “masyarakat ideal” di lingkungan ia berada. Keseluruhan pencapaian tersebut mesti mendapat perkenan dari Allah swt. Untuk memperoleh ridha-Nya, setiap gerak langkah perjuangan tentu harus berlandaskan nilai-nilai ketuhanan (bernafaskan Islam). Gambar 7.2: “Visioning 5KIC: Peta Hidup Bintang ‘Arasy”

@ Said Muniruddin 2013

7

S. Munirudddin. 2010. Kitab LK-III. Badko HMI Aceh: Banda Aceh.

274

SAID MUNIRUDDIN

Seperti terlihat pada gambar di atas, asumsikan standar maksimal usia seseorang (merujuk pada umur Nabisaw) lebih kurang 63 tahun. Pertanyaannya, apa yang bisa kita capai dalam usia tersebut? Untuk menjawab ini, umur terlebih dahulu kita pecah dalam beberapa periode. “Sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat” (QS. alInsyiqaq -84: 19). Dalam simulasi ini kita sederhanakan dalam tiga tingkatan, atau jangka waktu:  “Jangka Pendek” (20-30 tahun);  “Jangka Menengah” (30-40 tahun);  “Jangka panjang” (40-63 tahun). Periodesasi ini disusun untuk memetakan jenjang pencapaian tujuan. Sepanjang periode ini, diharapkan secara perlahan terbangun dan pada akhirnya terwujud sebuah model masyarakat yang dicitakan. Sementara ridha Allah di yaumul akhir menjadi level akhir dari segala cita-cita, puncak segala tujuan. Pada masing usia atau periode ini harus dipetakan atau direncanakan lima komponen prestasi: (1) (2) (3) (4)

akademis -intelektualitas, pencipta -inovasi, pengabdi -pelayanan sosial, nilai-nilai ke-Islam-an yang ingin dikembangkan, yang kesemua ini menjadi daya dukung untuk merealisasikan tanggungjawab mewujudkan; (5) model masyarakat cita. “Peta” ini merupakan bentuk lain logical framework dari program hidup para kader pejuang, seperti tergambar di bawah.

BAB 7 Visioning dan Operasionalisasi Tujuan: “Peta Hidup Bintang ‘Arasy”

275

Gambar 7.3: Logical Framework Tujuan Hidup Kader Pejuang

@ Said Muniruddin 2013

Sebagaimana terlihat, hasil yang kita capai dalam hidup mengikuti “sunnatullah” berupa hukum causalitas (sebab-akibat). Taqdir kita adalah apa yang kita usahakan (QS. anNadjm -53: 39). Puncak tertinggi dari semua tujuan usaha adalah memperoleh “Ridha Allah swt”. Hal ini hanya bisa diperoleh dengan melakukan sejumlah “aktifitas mendasar” (basic activities) selama hidup. Dari kegiatan-kegiatan dasar ini tercapai “tujuan antara” (intermediary goals) yang berupa kualifikasi personal yang akademis, pencipta, pengabdi, dan bernafaskan Islam. Untuk selanjutnya, melalui kualifikasi individu-individu seperti inilah dapat terwujud tanggung jawab sosial berupa pembentukan “masyarakat ideal” yang merupakan “tujuan lanjutan” (advanced objective) dari hidup seorang muslim. Sedangkan puncak tujuan (the ultimate goal) adalah Tuhan. Pesan alQur’an tentang Perencanaan dan Perjuangan Hidup. Pentingnya perencanaan hidup untuk kebahagiaan di masa depan telah Tuhan ingatkan diberbagai ayat dalam al-Qur’an. Tuhan tidak akan merubah nasib kita kecuali kita sendiri yang merubahnya8. Kita tidak

8

“…Sesungguhnya Allah tidak mengubah apa yang ada pada sesuatu kaum sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri…” (QS. arRad -13: 11).

276

SAID MUNIRUDDIN

akan memperoleh apapun selain hasil dari pekerjaan kita sendiri. 9 Demikian juga diakhirat nanti, tidak ada yang jadi penolong kecuali apa yang telah kita persiapkan sejak di dunia. 10 Selanjutnya, Tuhan menciptakan kita untuk menyembahnya. 11 Oleh sebab itu, hidup yang benar adalah hidup ikhlas, yaitu hidup dengan mengerjakan kebaikan-kebaikan.12 Dari al-Quran dan kehidupan para nabi kita mendapat petunjuk dan jalan yang terang tentang apa yang harus kita lakukan.13 Buatlah kebajikan, sekecil apapun akan dibalas. Demikian juga kalau berbuat buruk, juga dibalas. 14 Setiap kita mesti beramal sesuai potensi, bakat, minat, spesialisasi 15, atau bawaan jiwa.16 Tuhan tidak menyukai orang-orang yang hanya pandai bicara tetapi tidak bekerja.17 Kita harus berbuat, dan serahkan kepada Allah swt untuk memberi nilai atas pekerjaan tersebut.18 Yakinlah pada janji Tuhan. Orang yang beriman dan beramal shaleh akan memiliki kehidupan yang lebih baik dan balasan yang lebih.19 Setiap yang berjuang di jalan Allah, sesungguhnya sedang berjuang untuk “Dan bahwa sesungguhnya tidak ada (balasan) bagi seseorang melainkan (balasan) apa yang diusahakannya (QS. anNadjm -53: 39). 10 “Dan jagalah dirimu dari hari (yang pada hari itu) tidak satu orangpun dapat membela orang lain, walau sedikitpun; dan (begitu pula) tidak diterima syafa’at dan tebusan daripadanya, dan tidaklah mereka akan ditolong” (QS. alBaqarah -2: 48). 11 Dan (ingatlah) Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan untuk menyembah dan beribadah kepadaKu” (QS. azDzariyat -51: 56). 12 Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus...” (QS. anNisa -4: 125). 13 “…Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang…” (QS. alMaidah 5: 48). 14 “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula” (QS. azZalzalah -99: 7-8). 15 “Sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda” (QS. alLail -92: 4). 16 “Katakanlah (wahai Muhammad): “Tiap-tiap seorang beramal menurut pembawaan jiwanya sendiri; maka Tuhan kamu lebih mengetahui siapakah (di antara kamu) yang lebih betul jalannya” (QS. alIsra -17: 84). 17 “Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang kamu sendiri tidak melakukannya! Amat besar kebenciannyadi sisi Allah – kamu mengatakan sesuatu yang kamu sendiri tidak melakukannya” (QS. asShaf -61: 2-3). 18 “Dan katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu’min akan melihat perkerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberikan-Nya kepada kamu apa yang kamu kerjakan” (QS. atTaubah -9: 105). 19 “Siapa yang beramal saleh, dari lelaki atau perempuan, sedang ia beriman, maka sesungguhnya Kami akan menghidupkan dia dengan kehidupan yang baik; dan sesungguhnya kami akan membalas mereka, dengan memberikan pahala yang lebih dari apa yang mereka telah kerjakan” (QS. anNahl 16: 97). 9

BAB 7 Visioning dan Operasionalisasi Tujuan: “Peta Hidup Bintang ‘Arasy”

277

kebaikan diri sendiri.20 Disamping berjuang untuk diri sendiri, agama juga mengajarkan kita untuk memperjuangkan orang lain terutama kaum yang lemah. Kita diajarkan untuk membela mereka, dan sematamata hanya untuk mendapat ridha Allah, bukan untuk ucapan terima kasih dari manusia.21 Dari itu, tugas kita adalah bersungguh-sungguh dan pantang penyerah, walaupun orang-orang berusaha menjatuhkan kita.22 Dalam mencari keridhaan, berkorbanlah di jalan Allah.23 Akan ada balasan atas setiap kebajikan, baik di dunia, konon lagi di akhirat. 24 Contoh Visioning. Contoh visioning berikut diambil dari salah seorang kader yang ikut dalam sebuah up-grading Tujuan HMI. Melalui bantuan skema “Visioning 5KIC: Peta Hidup Bintang ‘Arsy”, ia coba memvisualkan masa depan, beserta tahap pencapaiannya. Apa yang ingin dicapai disesuaikan dengan “latar belakang akademik”, “bakat minat”, “cita-cita”, dan “analisa kebutuhan/perubahan sosial”. Ia menempuh studi di sekolah bisnis disebuah universitas. Bakat minatnya ada di bidang marketing dan media. Pertama, melalui “analisa kebutuhan dan perubahan sosial”, ia mencoba memahami peran dan fungsi media, serta dampak yang seharusnya diberikan terhadap masyarakat. Kemudian secara global coba dianalisis kondisi terkini dari peran media. Secara lebih spesifik, pada level nasional dan lokal, juga dianalisis beragam pengaruh media tv terhadap bangsa. Dari sini kemudian dicarikan model-model media alternatif untuk membangun bangsa. Dalam perjuangan tersebut ia menjelaskan sejauh mana peran (role), fungsi (function), posisi (position), kekuatan (force), dan kekuasaan (power), yang harus dimiliki dan dimainkannya. “Dan siapa yang berjuang (di jalan Allah) maka sesungguhnya dia berjuang untuk kebaikan dirinya; sesungguhnya Allah Maha Kaya daripada sekalian makhluk” (QS. alAnkabut -29: 6). 21 “Mereka juga memberi makan kepada yang dikehendaki dan disukainya, kepada orang miskin dan anak yatim serta orang tawanan. (Sambil berkata dengan lidah atau dengan hati): “Sesungguhnya kami memberi makan kepada kamu semata-mata karena Allah; kami tidak menghendaki sedikitpun balasan atau ucapan terima kasih dari kamu” (QS. alInsan -76: 8-9). 22 “Katakanlah: “Wahai kaumku (yang masih larut dalam kekufurannya)! Buatlah sesuka kalian (untuk menentang agama Islam yang aku sampaikan itu), sesungguhnya aku tetap berusaha dengan sungguh-sungguh; kemudian kamu akan mengetahui kelak” (QS. azZumar -39: 39). 23 “Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya” (QS. alBaqarah -2: 207). 24 “…Orang-orang yang berbuat kebaikan di dunia ini beroleh balasan yang baik, dan sesungguhnya balasan negeri akhirat itu lebih baik lagi…” (QS. anNahl -16: 30). 20

278

SAID MUNIRUDDIN

Dari perjuangan dan strategi “islamisasi media” ini, ia memproyeksikan model diri dan masyarakat ideal yang akan terwujud. Kemudian, ia mendisain “peta perjuangan” (karir personal dan pengabdian sosial) untuk mencapai impiannya. Visualisasi pencapaian dilakukan tahun demi tahun. Berikut deskripsi analisis perubahan sosial dan peta perjuangannya: NAMA LATAR AKADEMIK BAKAT MINAT CITA-CITA

: (anonim) : Sekolah Bisnis : Media dan Marketing : Menjadi Pengusaha Media

ANALISA KEBUTUHAN MASYARAKAT/ PERUBAHAN SOSIAL:

Peran media. Media sangat berpengaruh terhadap pembentukan cara berfikir. Segala informasi yang disajikan akan menjadi konsumsi massa. Selain media cetak, salah satu yang paling berpengaruh adalah televisi. Media telekomunikasi ini memiliki dampak sosial yang besar. Secara perlahan, apa yang ditonton akan masuk ke alam bawah sadar, lalu merubah pola pikir dan membentuk perilaku audien. Untuk itu, media seharusnya menjadi alat untuk membentuk karakter bangsa. Namun berbagai kepentingan telah merubah fungsi media. Pada masa Orde Lama, “Bintang Timoer” menjadi alat perjuangan komunis. Kemudian muncul “Kompas” yang modal dan kepemimpinannya dibawah kontrol Katolik. TV pun digunakan sebagai corong kapitalis. Sebagian besar media didirikan untuk tujuan-tujuan jahat. Ketimbang berperan sebagai alat kontrol sosial yang mengibur, mendidik, dan menyuarakan kebenaran; kebanyakan media menipu dan membodohi.

Kondisi media secara global. Ada banyak media massa yang edukatif. Sementara ada banyak channel besar yang misleading dan provokatif. Saluran televisi global BBC dan CNN misalnya, senantiasa diarahkan untuk menyudutkan Islam dan membela negaranegara penjahat perang seperti Amerika, Inggris, Perancis dan sekutusekutunya. FOX network di Amerika juga demikian, difungsikan untuk melakukan propaganda, mencuci otak rakyatnya. Berita di supply untuk menutupi kejahatan kemanusiaan pemerintah dan anjing-anjing perangnya. Untuk membungkam kritisisme warganya, sejumlah media cetak dan televisi Inggris juga melakukan hal yang sama.

BAB 7 Visioning dan Operasionalisasi Tujuan: “Peta Hidup Bintang ‘Arasy”

Media-media Amerika, Inggris, Eropa, Asia dan Australia dikuasai Rupert Murdoch, berupaya menjaga kepentingan zionisme dan kapitalisme dengan beragam kebohongan. Penipuan berkelanjutan inilah yang kemudian bagi masyarakat dianggap sebagai kebenaran. Menguasai media dapat berarti menjadi penguasa global di era informasi dan komunikasi. Setelah perang dunia kedua, penguasaan media menjadi strategi paling efektif untuk propaganda politik dan memenangkan kepentingan kapitalistik. Semua isme dunia dibangun dan dikampanyekan dengan media.

Kondisi media nasional. Penyakit yang sama melanda Indonesia.

Belum ada media cetak islami nasional yang menguasai pasar Indonesia. Republika masih kalah dengan Kompas yang dimodali dan di komandoi Katolik. Pun belum ada media TV islami di negara mayoritas muslim ini. Televisi nasional dijalankan oleh orang-orang kufur. Media ini menjadi alat sekelompok orang untuk mencapai tujuan rendahan. Hampir semua televisi menyajikan hal-hal yang bertolak belakang dengan nilai-nilai ketuhanan. Para pemiliknya kelihatan seperti tidak bermoral, tidak punya komitmen untuk membangun karakter bangsa. Pekerja-pekerja media juga tidak punya motivasi dan tidak mengenal nilai-nilai yang lebih tinggi dari uang dan materi, seperti sekumpulan hewan yang –dalam bahasa Maslow“hidupnya terhenti di fisiological needs”. Lihat saja siaran-siaran di RCTI, MNC TV, Indosiar, Trans TV, TV7, TVOne, MetroTV, dan lainnya. Berita dan cerita dibuat campur baur. Kelompoknya kepentingannya dipuji dan dibesarkan. Menjelang Pemilu, lawan politik yang tidak disukai di adu domba dan dihancurkan. Yang benar dan yang salah dipadukan dalam satu layar. Aura hedon dihidupkan. Panggung-panggung televisi siang malam live dengan erotisme kampungan. Nyanyian pun tidak karuan. Lirik-lirik lagu mencerminkan kemerosotan jiwa. Hampir semua TV mempertontonkan sinetron murahan. Artis seperti pelacur yang tidak bisa menjual apapun selain tubuhnya. Pelacur-pelacur ini kemudian mendadak alim di bulan Ramadhan. Film dan drama pun mengangkat kisah-kisah percintaan yang antara laki dan perempuan tidak ada batas pergaulan. Ciuman, pegangan, rabaan, elusan, dan pelukan menjadi adegan standar di hampir semua sinetron. Expose aurat terjadi di semua advertorial. Kemuliaan perempuan digadaikan untuk melariskan bermacam barang dagangan. Menariknya lagi, ketika jadwal sholat semua TV menyiarkan adzan. Setelah itu, usaha-usaha menghancurkan moral bangsa kembali dilanjutkan. Setelah 23 jam sinetron tentang tata cara berpacaran, lalu ditutup dengan 1 jam tausiyah dan do’a oleh ustadz-ustadz seleb.

279

280

SAID MUNIRUDDIN

Generasi kita sedang diajari seks dan pergaulan bebas. Inilah hedonisme, anak dari faham materialisme tak bertuhan. Budaya ini (dibiarkan) tumbuh subur di negara Pancasila yang mengaku ber“Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ketika diingatkan, mereka berkelit bahwa kita harus “menjunjung demokrasi” yang mempromosikan “kebebasan”. Iya, kebebasan versi humanisme Barat yang meludahi risalah-risalah langit. Percayalah, tidak ada bencana bagi entitas Indonesia yang lebih besar dari ini. Tsunami dan gempa hanya mampu membunuh fisik kita. Tetapi materialisme, humanisme, positivisme, hedonisme, dan konsumerisme mencincang habis akidah dan moralitas bangsa. Tahukah anda siapa yang melakukannya? Diantara mereka terdapat para politisi dan pemimpin-pemimpin negara yang memiliki media. Bangsa ini sedang disuguhi racun oleh segelintir mereka who know nothing but profit. Lama kelamaan, pornografi dan benih pelacuran ini dianggap biasa. Berita-berita selebriti menjadi konsumsi harian. Para pelacur ibukota menjadi headline. Dari gencarnya berita, seolah-olah merekalah panutan bangsa. Ketauladanan apa yang dapat dipetik dari tayangan tidak bermoral yang diperankan para pelacur dan badutbadut ibukota? Bangsa ini akan berubah menjadi “sepasukan singa” yang berani, bermoral, berpengetahuan, dan proaktif merealisasikan keadilan dan ihsan jika yang selalu ditampilkan dilayar kaca adalah tokoh-tokoh inspiratif yang sarat nilai, kebaikan dan kepahlawanan. Sayangnya, pelacur laki dan perempuan yang disuguhi sebagai pusat perhatian. Inilah informasi-informasi bodoh yang dikonsumsi bangsa Indonesia dari pagi sampai malam. Dibawah kepemimpinan seperti ini, generasi generasi potensial bangsa ikutan menjadi ‘pelacur’. Republik Ketuhanan Yang Maha Esa ini semakin terdeviasi dari transendensi nilai-nilai etika dan estetika. Masyarakat semakin bejat, tidak bermoral. Konon lagi, masyarakat kita tidak punya kemampuan membela nilainilai prinsipil fitrah kemanusiaan ketika dikepung siaran-siaran menyesatkan. Bangsa Indonesia menjadi sekumpulan binatang; yang seks bebas, perkosaan, penindasan, penipuan, dan kejahatan lain merupakan bagian dari lifestyle harian –bahkan semakin berani dan terbuka dilakukan oleh anak kecil, pelajar SMP dan SMA. Merekalah (media-media nasional dan lokal) yang paling bertanggungjawab terhadap berbagai kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual terhadap perempuan dan anak. Pemerintah yang bertahta di istana negara serta politisi senayan pun tidak punya visi ilahiah. Mereka sampai mati terkooptasi dengan interest pribadi dan hawa nafsu rendahan lainnya. Jika ini terus berlanjut, kapan bangsa ini menjadi masyarakat adil makmur yang diridhai Tuhan? Padahal Dia menjanjikan:

BAB 7 Visioning dan Operasionalisasi Tujuan: “Peta Hidup Bintang ‘Arasy”

“Sekiranya penduduk negeri itu beriman dan bertaqwa, tentulah Kami limpahi mereka berkah dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan (nilai-nilai ilahiyah) itu. Maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (QS. alA’raf -7: 96). Peran dan fungsi saya. Mengharapkan pemerintah nasionalissekuler-pancasilais yang “impoten” untuk melakukan perubahan adalah pekerjaan sia-sia. Menunggu kelompok keagamaan minoritas lainnya untuk terlibat dalam gerakan nilai seperti ini juga sama dengan menunggu kiamat. Bangsa ini suatu ketika dulu dibentuk oleh dominasi sejarah perjuangan dan identitas Malay Islam. Maka demikian juga dengan masa depannya. Jika tidak ada sekelompok muslim-intelektual-profesional yang mengarahkan kembali mindset bangsa ke arah yang benar, maka Indonesia akan semakin terseret ke jurang kehancuran. Indonesia merupakan negara di dunia yang paling banyak muslimnya. Jika 240 juta rakyatnya berkarakter mulia, kita akan menjadi bangsa berpengaruh di dunia. Ini potensi kita. Media memiliki peran strategis untuk mencapai tujuan itu. Harus ada sebagian kita yang mengabdikan hidup untuk ini. Mesti ada media-media baru, yang punya daya pikat dan kekuatan untuk membangun pola pikir dan perilaku bangsa ke arah tauhied dan ihsan. Saya akan mendedikasikan hidup untuk ini, membangun media yang bermoral guna membentuk bangsa yang “berakhlakul karimah”. Saya harus menjadi orang terdepan dalam kampanye dan perjuangan ini. Dan saya akan mati untuk ini. Model media yang ingin dibangun. Apa yang harus dibangun adalah media-media yang informatif, entertaining dan edukatif, “tontonan” yang menjadi “tuntunan”, “syair-syair” yang berisi “syiar”. Pertama sekali, semua anasir jahat bisnis yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam, harus dibersihkan dari lembaran media dan kaca pertelevisian. Segala bentuk pornografi, erotisme, seks, pamer aurat, dan ghibah harus bersih dari segala berita dan tayangan. Semua pesan-pesan hedon untuk meruntuhkan moral bangsa harus ditiadakan. Apa yang disajikan adalah murni elemen-elemen yang memperkaya jiwa. Semua program bersifat menghibur sekaligus mendidik bangsa untuk berkarakter mulia. Banyak sekali film, seni, musik, tarian, dialog, hiburan, yang dapat diolah untuk mencapai tujuan ini. Film dan sinetron harus yang benarbenar memiliki pesan moral, dan mendidik jiwa ksatria. Musik dan

281

282

SAID MUNIRUDDIN

tarian sufi misalnya, dapat dikemas menjadi pertunjukan bernilai spiritual. Perdebatan lintas agama sekaliber Ahmad Deedat dan Zakir Naik dengan pendeta-pendeta Kristen misalnya, dapat menjadi media pencerahan rasionalitas bangsa dalam bertuhan. Dialog-dialog sosial, politik dan kemasyarakatan juga bersifat kritis, tajam dan mencerahkan. Tayangan sains dan ilmu pengetahuan juga sesuatu yang pada ujungnya menggambarkan Keagungan Tuhan. Semua berita, siaran, dokumenter, dan cuplikan harus memperkaya emosi, intelektual dan spiritual. Apa yang dilakukan pemerintah Malaysia melalui TV “Alhijrah”-nya dapat menjadi inspirasi bagi bangsa kita. Tayangan islami harus menarik perhatian dan menjangkau kebutuhan segala lapisan masyarakat, laki-perempuan, tua-muda, sampai ke anak-anak. Media ini dapat mendorong rumah-rumah produksi Islami untuk menghasilkan program-program, film-film (cartoon, dokumenter, sinetron, dan sinema), iklan, dan modelmodel bisnis pertelevisian yang beretika dan islami. Intinya, jaringan media seperti ini harus menguasai penerbitan dan pertelevisian nasional dan internasional. Tidak kalah pentingnya adalah mendirikan sekolah-sekolah bisnis media berbasis spiritual. Sehingga insan media tidak lagi menjadi para idiot yang sehari-hari mengabdi pada tuan, tetapi menjadi hamba-hamba yang tunduk patuh, “pasrah” hanya pada Tuhan. Model masyarakat yang diharapkan terbangun. Melalui peran insan dan model media tersebut, diharapkan memberi dampak signifikan terhadap perobahan pola pikir dan perilaku bangsa. Pertama, bangsa kita menjadi masyarakat intelek yang kritis dan rasional. Masyarakat mampu membedakan antara kebenaran dengan kesalahan, kebaikan dengan keburukan, propaganda dengan objektifitas. Kedua, rakyat Indonesia memiliki mentalitas dan keberanian moral untuk maju. Bangsa kita tumbuh menjadi bangsa yang bersikap positif dan berjiwa optimis, tidak lagi menjadi bangsa yang lalai dengan tayangan-tayangan hantu atau ketawa-ketiwi. Ketiga, bangsa kita menjadi bangsa yang kaya dengan nilai-nilai spiritualitas, menjadi bangsa beradab, cinta etika dan estetika yang bersumber pada nilai-nilai ilahiah. Sederhananya, bangsa Indonesia menjadi bangsa yang bertauhied, memiliki ma’rifah, berakhlak, cenderung bertindak benar dan adil, memiliki inovasi-inovasi yang indah dan sempurna, serta memiliki rasa tanggungjawab untuk membangun agama, ummat dan bangsa. Inilah model “masyarakat cita” yang ingin saya wujudkan, sebelum dipanggil Tuhan.

BAB 7 Visioning dan Operasionalisasi Tujuan: “Peta Hidup Bintang ‘Arasy”

283

Peta Pencapaian Tujuan: UMUR 20-25 Tahun

(1) AKADEMIS  Selalu hadir dalam forum-forum ilmiah  Belajar dan menguasa i tata cara penulisan ilmiah dan popular.  Mengikuti berbagai karya tulis ilmiah  Menulis di berbagai media massa  Membaca semua buku tentang sejarah perjuanga n Rasul, Keluarga, sahabat, dan tokoh –tokoh Islam lainnya  Membaca ratusan buku tentang keislaman dan keilmuan lainnya  Mempelaj ari ilmu logika dan filsafat Islam  Mempelaj ari teknik debat dan diskusi

(2) PENCIPTA  Membangun kelompokkelompok kajian/diskusi  Menciptakan berbagai web  Menciptakan ide dan memulai wirausaha

   

  

(3) PENGABDI Aktif dalam kegiatankegiatan HMI Menjadi ketua panitia LK-I Menjadi Ketua LAPMI HMI Cabang Menjadi pemateri diskusidiskusi Menjadi penceramah (khutbah, dll) Menjadi imam sholat Ikut aktif dalam kegiatan kemahasiswa an, sosial dan kemasyarakat an Terlibat dalam gerakangerakan kritik dan perubahan

 

 

(4) KE-ISLAM-AN Mendalami fiqh Taat melaksanakan ibadah formil/fardhu Membunuh semua sifat-sifat tercela/penyaki t hati Rajin menjaga kesehatan badan Menghafal 10 juz Quran

284

SAID MUNIRUDDIN

25-30 Tahun

 Belajar dan menguasa i bahasa Arab dan Inggris  Mengikuti seluruh jenjang training di HMI (LK I, LK II, LK III, dan SC)  menyeles aikan kuliah dengan predikat cumlaude  Menulis 1 buku  Belajar dan menguasa i bahasa Cina dan Perancis  menempu h S2 (di luar negeri)

 Mengembangka n usaha  Membangun jaringan kerja dengan semua pengusaha media lokal.

 Membangun nalar kritis masyarakat terhadap propaganda media  Terlibat dalam gerakangerakan perubahan

 Membangun nalar kritis masyarakat terhadap propaganda media  Terlibat dalam gerakangerakan perubahan  Merintis sekolah media Islami  Membangun yayasan yang fokus pada pendidikan jurnalisme dan media Islami

30-35 Tahun

 Belajar dan menguasa i Jerman  Menulis 2 buku  Menempu h S3 (di luar negeri)

 Melakukan ekspansi usaha  Membangun jaringan kerja dengan seluruh pengusaha media nasional.

35-40 Tahun

 Menulis 3 buku

 Memperkuat jaringan bisnis  Membangun jaringan kerja dengan pengusahapengusaha media internasional.

 Mendalami tasawuf/irfan  Tidak ketinggalan ibadah formil  Rajin melakukan ibadah sunnah  Menghidupkan semua sifatsifat terbaik/AsmaAsma Tuhan.  Menghafal 20 juz Quran  Berkeluarga  Naik haji bersama keluarga  Tidak ketinggalan ibadah formil  Memperbanyak amalan sunnah  Menghafal 25 juz Quran  Tidak ketinggalan ibadah formil  Mempertinggi ibadah sunnah  Membentuk akhlak mulia, zahir dan batin  Menghafal 30 juz

BAB 7 Visioning dan Operasionalisasi Tujuan: “Peta Hidup Bintang ‘Arasy”

40-50 Tahun

50-63 Tahun Dunia Akhirat

 Menulis 5 buku

 Menjadi pengusaha tangguh, mengelola berbagai media di Indonesia  Menjadi pengusaha berbagai media dunia (memiliki jaringan media di Asia, Eropa, dan Amerika).

 Terlibat dalam gerakangerakan perubahan  Membangu n sekolah media Islami  Membangu n rumah produksi film-film Islami  Memberika n beasiswa kepada anak-anak tidak mampu untuk belajar tentang media islami  Membangun nalar kritis masyarakat terhadap propaganda media

285

Quran

 Mempromosik an kebenaran Islam kepada warga dunia  Memelihara akhlak mulia, zahir dan batin

(5) TANGGUNGJAWAB: “TERWUJUDNYA MASYARAKAT CITA” RIDHA ALLAHSWT

“Skema” di atas adalah sebuah perencanaan. Tidak ada hasil yang seluruhnya sama dengan apa yang telah direncanakan. Pepatah mengatakan, “Semuanya pasti, sampai kemudian dilaksanakan”. Artinya, yang pasti itu hanya ada di perencanaan. Semuanya berubah ketika diimplementasikan. Karena banyak faktor di luar diri kita yang tidak dapat kita kendalikan, yang menyebabkan rencana-rencana harus disesuaikan. Meskipun demikian, skema ini tetap penting. Karena “perencanaan” adalah “awal kesuksesan”. Karena, “gagal merencanakan sama dengan merencanakan kegagalan”. Sebuah rencana adalah sebuah bangunan mimpi atau cita-cita. Jika tidak direncanakan, maka hanya tinggal sebatas angan-angan. Melalui skema ini, setiap kader diajak memetakan jalur hidupnya. Masing-masing mendisain masa depan sesuai bakat minat dan latar

286

SAID MUNIRUDDIN

keilmuan (ekonomi, keuangan, hukum, pendidikan, kesehatan, sosial, lingkungan, pertanian, agama, seni, budaya, olah raga, komunikasi, politik, pemerintahan, dan sebagainya). Sangat penting bagi seseorang untuk memvisualisasikan dirinya, tentang apa yang secara personal ingin dicapai semasa hidupnya, serta model masyarakat seperti apa yang di ikhtiarkan terbangun. “Model masyarakat” tersebut boleh jadi berada pada level organisasi, kampus, kampung, kota, provinsi, atau negara. Tidak perlu semua bercita-cita bekerja pada level nasional. Menjadi pekerja pada level komunitas bawah juga sebuah model hidup yang mengagumkan. Tidak perlu semua bercita-cita melakukan sesuatu yang wah! Terkadang berjuang untuk melakukan pemberdayaan ekonomi anak-anak jalanan, mendidik kaum marjinal yang tidak punya akses terhadap pendidikan, menghijaukan daerah-daerah gersang, membela korban kekerasaan, membangun pesantren untuk orang-orang yang mengalami gangguan mental, membentuk kelompok analis keuangan daerah dan advokasi kebijakannya, mendirikan rumah hafalan alQuran, bahkan menjadi ibu rumah tangga yang fokus mempersiapkan generasi-generasi terbaik untuk masa depan bangsa; menjadi sederetan kerja yang sangat mulia. Ada 1001 jalan pengabdian. “Skema” di atas juga sebuah “peta politik” (peta perjuangan ideologis). “Berpolitik” adalah untuk mencapai tujuan-tujuan ideologis bidang ilmu, bakat, dan minat masing-masing untuk kemaslahatan umum. Dengan demikian, menjadi anggota DPR (berpartai) sebagaimana kecenderungan umum para aktifis, bukanlah satu-satunya lahan politik. Apalagi jika berpolitik ditujukan untuk menggaruk “uang” dan “kekayaan”, itu sudah sesat. Karena tujuan sesungguhnya adalah untuk mewujudkan berbagai konsep teoritis dan praktis berbasis ilahiyah (ekonomi, hukum, demokrasi, pendidikan, kesehatan, dan lainnya) dalam kehidupan masyarakat. Untuk mewujudkan ini semua maka tidak harus dengan menjadi anggota dewan. Justru dapat lebih efektif dilakukan dengan menjadi profesional di bidang masing-masing. Maka untuk tidak sesat, menjadi penting untuk kembali memahami tentang konsepsi “ideal” tentang diri.

BAB 7 Visioning dan Operasionalisasi Tujuan: “Peta Hidup Bintang ‘Arasy”

287

Persoalan-Persoalan Ideologis tentang “Konsepsi Diri”. Peta Bintang ‘Arasy adalah konsepsi ideologis tentang diri sendiri. Dimulai dari mengenal diri -dengan segala potensi yang dimiliki, sampai kepada langkahlangkah strategis untuk berevolusi menjadi insan yang semakin hari semakin baik; dalam konteks individual dan sosial. Maka penting sekali sebelum merumuskan perjalanan hidup, memahami konsepsi “manusia ideal”. Tentang “manusia sejati”, “insan kamil”, “ideal man”, “perfect man”, atau “insan cita” ini telah kita bahas dalam bab-bab terdahulu. Jelas sekali bahwa Islam tidak menggunakan konsepsi-konsepsi “materialis” dalam profil manusia sempurna, melainkan lebih kepada ketaatan intelektualitas dan spiritualitas seseorang kepada nilai-nilai luhur alQuran dan asSunnah. Secara umum terdapat beberapa persoalan tentang konsepsi diri. Pertama, “memiliki konsepsi diri yang salah”. Seperti tersebut di atas, ada orang-orang yang memahami diri yang “ideal” dalam filosofi materialisme. Bagi mereka, “sukses” adalah kaya, mewah, berpenampilan seksi, terkenal, dan sebagainya. Kedua, “menganggap dirinya sudah ideal”. Termasuk dalam kelompok ini adalah orang-orang bodoh dan tertipu. Karena “ideal” adalah proses perbaikan tanpa henti, bukan sesuatu yang sudah dipunyai. Ketiga, “memiliki konsepsi ideal yang benar, tetapi impoten dalam meraihnya”. Mereka ini adalah orang-orang Islam yang malas, penakut, lemah, mudah tergoda, nafsuistis, munafik, dan suka kepada yang munkar. Keempat, “Mempunyai konsepsi ideal, bersedia untuk terus berubah, dan membutuhkan role model”. Ini kecenderungan alamiah banyak orang untuk memiliki contoh-contoh terbaik (best practices) dalam kehidupan. Mereka inilah “Islam pembelajar”. Berusaha menemukan model-model terbaik untuk diikuti, membaca biografi dan menelusuri rekam jejak orang-orang sukses. Atas dasar inilah Rasulsaw dikrim sebagai “tauladan nilai” bagi manusia. Memahami Sirah Nabawiyah. Ketika melakukan analisa sosial dan menyusun peta perjuangan, penting untuk menelusuri jejak hidup dan perjuangan Rasulsaw. Karena dalam sirah nabawiyah ditemukan bagaimana tahun demi tahun, dari kecil sampai usia 62 tahun, baginda Nabisaw berhasil membangun kredibilitas personal yang luar biasa. Sejak

288

SAID MUNIRUDDIN

belia sudah di training untuk profesional, ulet, terpuji dan terpercaya. Kemudian ia berlahan membangun gerakan politik, dari yang awalnya dibantu oleh jumlah anggota keluarganya yang terbatas, sampai memperoleh dukungan luas dan berhasil men-transform “masyarakat jahil” menjadi “ummah”. Secara “personal”, ia berkembang menjadi sosok teragung, paling berpengaruh sepanjang sejarah.25 Secara “kekeluargaan”, ia sukses membangun sebuah keluarga tauladan (Ahlul Bait), yang Tuhan pun mensucikan dan memuliakan mereka. Secara “sosial”, masyarakat yang pernah dibangunnya pun menjadi model civil society (komunitas madani) yang berlokasi di Madinah. Sebuah model masyarakat yang tunduk pada aturan, serta kaya nilai-nilai intelektual dan spiritual. Melalui rekam jejak perjalanan Nabisaw dan pemetaan personal ini, seorang kader digugah kesadarannya untuk terus berjuang, siang dan malam, tanpa kenal lelah. Kader didorong untuk mencari lahan perjuangan sesuai tantangan zaman. Semua dimotivasi untuk optimis melakukan perubahan dan perbaikan. Tugas kita hanya menyusun perencanaan, berjuang, dan berdo’a. Biar Allahswt yang menentukan hasil akhir dari semua ikhtiar. Tugas kita berjihad, sampai titik darah dan tinta penghabisan. Hidup untuk meraih kesuksesan. Sukses tidak diukur dari materi yang kita dapatkan. Jika “materi” yang menjadi ukuran sukses, ini namanya “berjuang untuk hidup” atau “mencari penghidupan”. Ini ukuran sukses para hamba sahaya, budak, pembantu, atau TKI. Sukses diukur dari “keberanian hidup untuk berjuang di atas nilai-nilai Kebenaran”. Inna sholati, wanusuki, wa mahyaya, wa mamati, lillahi rabbil ‘alamin (QS. alAn’am -6: 162).

25

M.H. Hart. 1978. The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History. Hart Publishing Company: New York.

BAB 7 Visioning dan Operasionalisasi Tujuan: “Peta Hidup Bintang ‘Arasy”

289

STRATEGI DAN TAKTIK Perjuangan Islam adalah Perjuangan Politik. Telah jelas, tujuan dari perjuangan kita adalah menegakkan keadilan dan ihsan. “Sesungguhnya Allah memerintahkan Keadilan dan Ihsan –usaha perbaikan masyarakat” (QS. anNahl -16: 90). Karena perjuangan yang dilakukan adalah perjuangan yang bertujuan ideologis, yaitu membangun “masyarakat adil makmur”, maka perjuangan tersebut adalah “perjuangan politik”. Namun kelompok-kelompok ideologi sesat seperti zionisme, liberalisme, fasisme, kolonialisme, diktatorisme, feodalisme, komunisme dan segala variannya, sangat antipati terhadap wujud masyarakat bertauhied, adil dan sejahtera. Ideologi-ideologi ini pro kapitalisme atau syirik. Mereka semua, apakah yang masih dalam wajah asli, atau sudah menjelma dalam wajah Islam dan nasionalis, karakternya sama: “korup” dan “dhalim”. Mereka ini musuh nomor satu misi suci (mission sacree) keummatan dan kebangsaan. Perjuangan Islam adalah perjuangan memberantas syirik atau kapitalisme. Diperlukan ‘tangan’ atau kekuatan (force) yang efektif untuk membasmi ideologi-ideologi setan ini: “Jika engkau melihat suatu kemungkaran maka cegahlah dengan tanganmu. Jika tidak mampu, maka dengan lisanmu. Jika tidak mampu juga maka dengan hatimu, yang demikian adalah selemahlemah iman” (HR. Muslim). Salah satu sumber kekuatan (force) ada pada kekuasaan (power). Kekuasaan terbesar terdapat pada posisi-posisi strategis (position). Oleh sebab itu, perjuangan politik didefinisikan sebagai “perjuangan memperoleh jabatan (position) dan kekuasaan (power)”. Begitu pentingnya position dan power untuk mencegah kemungkaran, sehingga “perjuangan Islam” disebut sebagai “perjuangan politik”. Karena pada jabatan dan kekuasaan itulah terdapat ‘tangan yang kuat’ - atau kekuatan besar (force) untuk melakukan perubahan (change). Perlu juga digaris bawahi, supaya kekuasaan berfungsi efektif, jabatanjabatan strategis mesti berada ditangan pemimpin (leader) yang efektif pula. Yakni pemimpin-pemimpin yang visioner, punya moral dan etika,

290

SAID MUNIRUDDIN

atau ideologis. Tentang kepemimpinan yang efektif akan kita bahas pada bab leadership. Politik adalah Puncak Perjuangan Para Nabi dan Manusia-Manusia Suci. Berikut ilustrasi usaha politis seorang Nabi untuk memperoleh jabatan (position) dan kekuasaan (power):

“Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan” (Yusuf -12: 55). Pada ayat ini dikisahkan bagaimana Yusuf as berjuang meyakinkan raja dan rakyatnya untuk memperoleh kekuasaan. Dengan strategi dan taktik, beliau mengkampanyekan diri “jadikan aku…”, untuk mendapatkan jabatan sebagai “bendahara negara”. Dengan tugas meliputi pengumpulan, penggudangan dan distribusi logistik, jabatan tersebut mungkin hari ini setara dengan Menteri Ekonomi, Keuangan dan Kesejahteraan Rakyat. Mengapa Yusuf as “berpolitik” untuk mendapatkan jabatan itu? Kata A. Dahlan Ranuwihardjo, “Orang yang tau dan tau bahwa ia tau, patut menjadi pemimpin”.26 Hal ini ada pada Yusuf as. Ia sadar betul akan potensi dirinya. Pertama, beliau tau dirinya beriman, amanah, dan bertanggungjawab (“pandai menjaga”). Kedua, beliau tau dirinya memiliki ilmu dan keahlian di bidang itu (“lagi berpengetahuan”). Ketiga, beliau tau jika jabatan tersebut tidak beliau dapatkan, akan ada orang lain yang berusaha mendapatkannya. Bayangkan jika yang memperoleh jabatan dan kekuasan itu adalah orang jahat, para neo-lib kapitalis. Maka sengsaralah rakyat Mesir yang waktu itu akan menghadapi resesi pangan yang luar biasa. Jadi, ada dorongan dalam dirinya, untuk memperoleh jabatan dan kekuasaan guna mengaplikasikan secara efektif prinsip-prinsip Keadilan dan Ihsan di tengah masyarakat. Yusuf as adalah contoh “pemimpin ideologis”, yang

26

A.D. Ranuwiharjo. 2000. Menuju Pejuang Paripurna, Aspek Ideologi dari Islam menuju Terbinanya Insan Pejuang Paripurna: Leadership, Strategi dan taktik dalam Perjuangan Politik, hal. 66, (ed. Anjas Taher), KAHMI Wilayah Maluku Utara: Ternate.

BAB 7 Visioning dan Operasionalisasi Tujuan: “Peta Hidup Bintang ‘Arasy”

291

kekuasaannya juga tergunakan secara efektif, sehingga rakyat Mesir pada masanya terlepas dari krisis ekonomi. Oleh sebab itu, sejarah para Nabi adalah sejarah perjuangan politik. Ibrahim as menantang Namrud. Musa as melawan Pharaoh. Daud as melawan Goliath. Demikian juga halnya dengan Muhammadsaw menghadapi kafir dan kaum musrik. Mereka semua orang-orang beragama, yang paham tentang hak-hak masyarakat serta membangun gerakan untuk mencapai itu. Ada yang berpolitik dengan cara “mewarnai” dan “menggarami”, seperti Yusuf as. Ada yang menggagas “perang” dan “revolusi” seperti Daud as dan nabi-nabi lainnya. Tergantung konteks dan kebutuhan. HMI juga demikian. Pernah hidup dalam revolusi fisik, dan kini dalam perjuangan politik dan intelektual. Politik: Hak Para Nabi, Wali, Ulama dan Intelektual. Imam Khumaini secara sangat baik menjelaskan relasi ulama dengan politik27: Allah Mengambil Sumpah Ulama. Bukankah Allahswt telah mengambil sumpah dari ulama bahwa mereka tidak boleh diam dan tenang menyaksikan kezaliman dan terjadinya kejahatan? "Wa Maa Akhdza Allahu Ala al-Ulamai Ayatullah Khoemaini Alla Yuqarru Ala Kizzhati Zhalimin Wa Laa Saghabin Mazhlumin". Bukankah Allah telah mengambil janji dari ulama untuk tidak diam menyaksikan kerakusan para pelaku kezaliman dan kelaparan orang-orang tertindas? (Nahjul Balaghah, Khutbah 3, Syiqsyiqiah). Bukankah ulama merupakan hujjah para nabi dan maksumin as di atas bumi? Bila memang demikian, hendaknya ulama, cendekiawan dan peneliti mengiyakan panggilan Islam dan menyelamatkannya dari keterasingan yang menyelimutinya. Jangan biarkan Islam menanggung kehinaan lebih dari ini. Mereka harus menghancurkan berhala kepemimpinan yang dipaksakan dari pelahap dunia. Mereka harus menampakkan wajah penuh cahaya dan kekuatan mereka dengan kepekaan hati dan politik (Pesan haji Imam Khomeini ra 6/5/1366 Hs, Sahifah Nour, jilid 20, hal. 127).

27

“Rouhaniyat va Siyasat az Didgah Imam Khomeini ra”, Rasoul Saadatmand, Qom, Tasnim, 1378, cetakan pertama, dapat diakses melalui IRIB Indonesia, “Pemikiran Imam Khomeini ra: Ulama dan Politik (Bagian 1-6)” oleh Saleh Lapadi.

292

SAID MUNIRUDDIN

Penting Mereformasi Pemikiran Hauzah. Kita harus berusaha keras memperbaiki pemikiran dan moral kalangan hauzah. Kita harus melenyapkan dan melawan dampak pemikiran dan semangat yang muncul dari propaganda dan dogma pihak asing dan kebijakan negara-negara pengkhianat dan despotik. Dampak dari pemikiran dan semangat ini dengan mudah dapat disaksikan. Sebagai contoh, kita melihat sebagian pelajar hauzah hanya duduk dan berbicara dengan yang lain bahwa kita tidak diciptakan untuk kerjaan yang semacam ini. Apa hubungannya dengan kita? Kerjaan kita adalah berdoa dan berbicara tentang masalah syariat. Pemikiran seperti ini muncul dari propaganda dan dogma yang disampaikan pihak-pihak asing. Hasil dari propaganda keji ini adalah ratusan tahun imperialisme yang telah merasuki kedalam hauzah Najaf, Qom, Mashad dan hauzah yang lain. Pemikiran ini telah menciptakan depresi, kelemahan dan kemalasan. Fenomena ini tidak memberi kesempatan adanya pertumbuhan. Secara periodik mereka meminta maaf bahwa masalah politik bukan urusannya (Velayat Faqih, hal. 126). Terlibat Urusan Politik Puncak Ajaran Nabi. Mereka menebar provokasi dan propaganda luas agar kita semakin terisolasi. Artinya, mereka bahkan mampu membaca isi otak kita dan kita sampai percaya bahwa kita tidak boleh mencampuri urusan politik. Tidak! Tidak benar! Masalah utamanya bukan ini. Karena masalah terlibat urusan politik berada di puncak ajaran para nabi. Masalahnya adalah perang dan mengangkat senjata menghadapi orang-orang yang tidak bisa menjadi manusia dan ingin menghancurkan kehidupan rakyat. Ini merupakan puncak dari seluruh program para nabi. Tapi kita meninggalkan ajara para nabi. Kita justru mengamalkan bagaimana untuk tidak terlibat dalam urusan politik dan sosial. Yang kita pelajari hanya shalat, sementara yang lainnya kita tinggalkan. Apakah mungkin seorang menyebut dirinya Islam dan hanya melaksanakan shalat, puasa, haji dan kewajiban yang seperti ini, sementara ia tidak mencampuri usuan umat Islam? Bila tidak ada orang orang memperhatikan urusan Muslimin, maka ia bukan seorang Muslim. Ini sesuai dengan riwayat dari Nabi Muhammad saw (Pidato di hadapan para imam shalat Jumat, provinsi Khorasan, 18/6/1360. Sahifah Nour, jilid 15, hal 147). Faktor dan Latar Belakang Pemisahan Ulama dari Politik. Rencana masalah pemisahan politik dari ulama bukan hal yang baru. Masalah ini telah diterapkan sejak masa Bani Umayah dan semakin

BAB 7 Visioning dan Operasionalisasi Tujuan: “Peta Hidup Bintang ‘Arasy”

menguat di zaman Bani Abbasiah. Sementara di masa-masa terakhir, ketika negara-negara asing semakin mudah memasuki dan menjajah negara-negara Islam, mereka tidak tinggal diam, tapi juga menyebarkan masalah pemisahan ulama dari politik. Sayangnya sebagian tokoh agamis dan ulama yang memiliki komitmen juga percaya bahwa bila seorang alim terjun ke masalah politik, maka hal itu akan merugikannya. Satu dari strategi besar para penjajah adalah ini dan sebagian orang justru mempercayainya (Pidato Imam Khomeini ra di depan para imam shalat Jumat di kota Bushehr, Sahifah Nour, jilid 16, hal. 248). Strategi Pemisahan Ulama dari Politik. Satu strategi lain untuk mengosongkan hauzah ilmiah dari politik adalah masalah campur tangan ulama dalam urusan politik. Setiap ulama yang terjun di dunia politik akan dinilai sebagai aib besar. Sangat mungkin sekali sampai saat ini, sebagian orang masih menganggap campur tangan ulama dalam urusan politik sebagai hal yang tabu. Mereka mengatainya, "Mengapa si fulan mencampuri urusan politik? Apa urusan kita dengan apa yang terjadi di dunia? Jelas ini adalah strategi yang dipaksakan kepada kita! (Pidato Imam Khomeini ra di hadapan para imam shalat Jumat seluruh negeri, 22/7/1361, Sahifah Nour, jilid 17, hal. 53). Rencana 300 Tahun Barat. Semua ulama dan rakyat harus berpartisipasi dalam urusan politik. Bila sebagian anasir saat ini terkadang menyatakan bahwa para ulama silahkan pergi ke majelis dan madrasah mereka serta menyibukkan dirinya di sana, sementara kami yang harus berbicara tentang politik, maka mereka ini pada dasarnya tidak memahami inti masalah. Saya harus mengatakan bahwa sebagian dari mereka tidak sadar dan atau terkadang justru menjadi boneka mereka yang telah melakukannya di masa Reza Khan. Sepanjang sejarah, kira-kira sekitar 300 tahun, mereka mendogma kepada bangsa ini dan kepada para ulama bahwa kalian tidak boleh mencampuri urusan politik. Sayangnya ulama kita percaya akan hal ini. Akhirnya, bila ada satu masalah yang berhubungan dengan urusan politik yang menguntungkan bangsa, sementara ulama berusaha melakukan hal itu, sebagian dari kalangan ulama berkata, "Ini urusan politik! Apa urusannya dengan kita?" Mereka menarik diri dan meninggalkan urusan politik. Mereka yang seperti ini telah percaya bahwa ulama hanya boleh berbicara dalam sebagian masalah dan tidak boleh membahas beragam urusan. Bila berbicara tentang semua masalah, kita tahu bahwa kebanyakan buku fiqih berbicara tentang politik, tapi mereka telah keburu percaya. Rakyat juga percaya akan hal ini.

293

294

SAID MUNIRUDDIN

Ini adalah propaganda yang dilakukan ketika Barat menjejakkan kakinya di Iran. Mereka telah melakukan penelitian terlebih dahulu. Mereka tahu bahwa para ulama adalah kalangan masyarakat yang berbahaya dan harus disingkirkan. Harus ada upaya untuk membuat para ulama ini hanya sibuk dengan dirinya sendiri dan rakyat harus dipisahkan dari mereka. Bila salah seorang dari ulama ingin memasuki arena politik, sebisa mungkin diusahakan agar masyarakat tidak menyetujuinya. Mereka harus didogma bahwa ini urusan politik dan tidak ada hubungannya dengan ulama. Kita tahu bahwa semua kalangan masyarakat, khususnya ulama harus terlibat dalam urusan politik negara. Mereka harus tahu apa yang sedang terjadi di negara. Apakah itu di parlemen, pemerintah atau lainnya. Dan pada saat yang sama, mereka tidak boleh melepaskan tanggung jawab dan kerja yang sedang ditekuni. Jangan membayangkan bahwa kita tidak boleh mencampuri urusan politik , sebelum ini ada anggapan demikian. Sekarang ketika kita boleh turut campur urusan politik, kerjaan kita melulu hanya mencampuri urusan politik. Tidak demikian! Apa yang terjadi sebelumnya bahwa kita tidak mencampuri urusan politik adalah salah, begitu juga hanya mencampuri urusan politik bagi kita sebagai ulama juga bukan pekerjaan yang benar (Pidato Imam Khomeini ra di hadapan ulama dan para Imam Jumat seluruh negeri, Sahifah Nour, jilid 12, hal. 228). Pemisahan Agama dan Ulama dari Politik Merupakan Proyek Asing. Mayoritas orang, cendekiawan dan bahkan ulama punya keyakinan Islam dan politik harus dipisahkan. Islam dan politik terpisah. Ini adalah keyakinan yang ditanamkan oleh setiap pemerintahan ke dalam benak kita bahwa apa hubungannya seorang ulama dengan politik? Lebih buruk lagi, ketika pemerintah ingin mencari-cari kesalahan seorang ulama, mereka mengatakannya sebagai ulama politik. Mereka mengatakan bahwa Islam harus dipisahkan dari politik. Agama punya urusan sendiri, begitu juga politik punya urusan sendiri. Pada dasarnya mereka tidak mengetahui tentang Islam. Ketika di masa Rasulullahsaw, beliau membentuk pemerintahan yang adil. Setelah itu, ketika pemerintahan Islam berada di tangan Imam Ali as masalah keadilan kembali diterapkan. Sebuah pemerintahan Islam ditetapkan dengan politik di segala bidang. Memangnya apa yang dimaksud dengan politik? Hubungan kita antara penguasa dan bangsa, hubungan kita antara penguasa dan pemerintah-pemerintah lain dan begitu juga upaya

BAB 7 Visioning dan Operasionalisasi Tujuan: “Peta Hidup Bintang ‘Arasy”

mencegah terjadinya kerusakan, semuanya ini adalah politik! Hukumhukum politik Islam lebih banyak dari hukum-hukum ibadah. Bukubuku Islam yang membahas politik lebih banyak dari buku-buku yang mengulas masalah ibadah. Ini sebuah kesalahan yang dipaksakan ke dalam benak kita, sehingga menjadi satu keyakinan. Dengan berani mereka mengatakan bahwa Islam terpisah dari politik. Ada hukum-hukum ibadah yang mengatur hubungan kita dengan Allah. Dalam melaksanakan hukum ibadah, kita umat Islam harus pergi ke masjid dan meminta apa saja yang diinginkan lewat doa. Bacalah al-Quran sesuai dengan keinginan kalian. Kami tidak punya urusan dengan kalian. Tapi ketahuilah bahwa apa yang digambarkan itu bukan Islam! Karena agama Islam senantiasa memerintahkan pengikutnya untuk melawan setiap kezaliman. Untuk itu ada hukum jihad, hukum qisas. Dalam menghadapi orang-orang kafir dan mereka yang berani menghina agama Islam, maka Islam punya hukum tersendiri. Begitu banyak hukum tentang masalah seperti ini. Dengan hukum jihad, apakah berarti Islam jauh dari politik!? Apakah kalian pikir Islam terbatas pada pergi ke masjid, membaca alQuran dan melaksanakan shalat? Ini bukan Islam. Islam memiliki hukum terkait politik dan harus diterapkan! (Pidato Imam Khomeini tentang peran hukum politik dan ibadah dalam membangun jiwa manusia, Sahifah Nour, jilid 1, hal. 239-240). Konspirasi Pemisahan Agama dari Politik. Masalah pemisahan agama dari politik merupakan konspirasi yang telah direncanakan sejak lama. Mereka merencanakannya sedemikian rupa, sehingga kita pun sering terperosok dalam kesalahan. Bahkan kata Akhond Siyasi (ulama politik) dipahami sebagai ungkapan cacian. Ketika dikatakan kepada seorang ulama sebagai Akhond Siyasi, berarti kita tengah menghinanya. Sebagian ulama lupa bahwa dalam doa sering diungkapkan tentang Saassah al-Ibad. (Saassah merupakan bentuk plural dari Saais yang berarti politikus dan manajer. Ungkapan ini dapat ditemukan dalam Ziarah Jami'ah Kabirah dan begitu juga buku hadis Man Laa Yahdhuruhu al-Faqih, jilid 2, hal. 370) Tapi dogma yang disuntikkan sedemikian kuatnya sehingga kita percaya seorang ulama tidak boleh terjun ke dunia politik. Betapa mereka telah berbuat banyak untuk menggiring opini publik dan bahkan ulama sendiri. Akhirnya kita, para ulama percaya bahwa seorang ulama tidak boleh terjun ke dunia politik.

295

296

SAID MUNIRUDDIN

Seorang Akhond harus pergi ke mihrab, sementara Shah tetap sibuk melakukan pekerjaan aslinya, mencuri kekayaan negara! (Pidato Imam Khomeini di hadapan ulama, Sahifah Nour, jilid 5, hal. 19). Ulama Politik! Ada satu malah yang telah diketahui semua orang dan kami juga mengetahuinya. Setan Besar dan Kecil serta mereka yang menginginkan seluruh dunia di bawah kekuasaannya dan menjarah semua kekayaan alam bangsa-bangsa, telah lama membuat skenario yang aneh. Sayangnya banyak kalangan yang lalai akan hal ini. Termasuk dari skenario ini adalah ulama tidak boleh mencampuri urusan politik. Tugas mereka hanya memberi petunjuk kepada masyarakat bagaimana melaksanakan shalat, puasa dan semacamnya. Tempat dan kerja mereka di masjid dan rumah. Mereka datang ke masjid dan melaksanakan shalat, kemudian kembali ke rumah untuk beristirahat. Masalah ini begitu dipropagandakan, sehingga banyak yang percaya. Akhirnya mencampuri urusan politik bagi seorang ulama berarti sebuah penistaan terhadap para ahli ilmu. Bila mereka mengatakan seseorang adalah Akhond Siyasi (ulama politik), artinya mereka tengah menghinanya. Tidak hanya masyarakat, tapi juga para ulama banyak yang meyakini masalah ini. Bila pembicaraan telah menyerempet urusan sosial, atau yang ada hubungannya dengan masyarakat, sebagian mengatakan bahwa kami tidak ikut campur dalam urusan politik. Bila seorang ulama berbicara mengenai urusan politik bangsa dan maslahat negara, mereka mengatakan kepadanya bahwa ini urusan politik dan bertentangan dengan norma-norma yang ada. Mereka begitu mempropagandakan masalah ini, baik di dalam maupun di luar negeri. Tentu saja tidak mudah masalah ini dapat segera keluar dari benak masyarakat. Mereka ingin mengisolasi kalangan ulama, yang menjadi panutan masyarakat. Setelah itu mereka mengambil posisi para ulama. Mereka mengatakan, "Pemerintahan adalah milik kita. Sementara shalat jamaah yang kering dan tidak ada pembicaraan mengenai masalah sosial dan politik adalah milik kalian!" (Pidato Imam Khomeini di hadapan para Imam Jumat seluruh negeri, Sahifah Nour, jilid 13, hal. 216). Logika Para Nabi. Saya berharap Allahswt merahmati dan menyadarkan kita. Semoga Allah menyadarkan kita akan hukumhukum Islam dengan segala kelengkapannya dan segala dimensinya. Jangan berkhayal bahwa Islam hanya sepenggal ini; hanya shalat dan puasa. Tidak benar yang demikian itu!

BAB 7 Visioning dan Operasionalisasi Tujuan: “Peta Hidup Bintang ‘Arasy”

Bila memang Islam hanya terbatas pada hal-hal seperti itu, mungkin Nabi Muhammadsaw hanya duduk-duku saja di masjid dan puas hanya dengan melakukan shalat. Tetapi mengapa Nabisaw harus berusaha keras sepanjang umurnya. Beliau berperang, kena pukul, sempat kalah, memenangkan perang dan mengurusi hal-hal yang dapat dilakukannya. Imam Ali as juga demikian, begitu juga dengan yang lain. Hal yang sama dilakukan oleh orang-orang saleh. Mereka yang sadar pasti melakukan semua ini. Tidak benar bahwa mereka hanya duduk-duduk saja di masjid dan tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan ini. Tidak benar bahwa mereka hanya duduk di rumahnya dan tidak punya urusan dengan orang lain. Bila memang demikian, kita tidak punya kewajiban untuk melakukan sesuatu seperti ini! Bila logika para nabi seperti ini, maka Nabi Musa as tidak akan pergi menghadap Firaun, atau sebaliknya Firaun tidak perlu mencari-cari Nabi Musa as. Bila logika para nabi seperti ini, maka Nabi Ibrahim as tidak akan melawan Raja Namrud. Nabi Muhammadsaw juga tidak akan berperang dengan orang-orang Musyrik dan Kafir. Logika para nabi tidak demikian! Logika yang dipakai para nabi terkadang asyidda, bersikap keras terhadap orang-orang Kafir dan siapa saja yang anti nilai-nilai kemanusiaan. Sementara pada saat yang sama bersifat lemah lembut dengan sesama Muslim. Sikap keras itu juga pada hakikatnya adalah rahmat bagi mereka. Semoga Allahswt menyadarkan kita dan keselamatan dan kemenangan, Insya Allah.

menganugerahkan

Semoga Allahswt menyelamatkan manusia tertindas dari kekuatankekuatan besar dan melindungi agama dan dunia kita semua (Pidato di depan presiden, anggota dewan ahli kepemimpinan, 14 Bahman 1363, Sahifah Nour, jilid 19, hal. 96). Politik Hak Nabi, Wali dan Ulama. Saya harus mengatakan kepada kalian bahwa politik merupakan hak ulama, nabi dan wali Allah. Tapi perlu dicamkan bahwa politik yang mereka miliki berbeda dengan politik yang dimiliki Barat. Bila kita asumsikan bahwa ada seorang yang muncul untuk menerapkan politik yang benar, bukan dengan artian setan dan kefasadannya, sebuah pemerintahan, seorang presiden, sebuah negara yang melaksanakan politik yang benar dan tujuannya demi kebaikan rakyat, maka politik semacam ini merupakan dimensi dari politik yang

297

298

SAID MUNIRUDDIN

menjadi hak para nabi dan wali Allah. Sementara sekarang hak itu untuk ulama Islam (Pidato di hadapan para imam shalat Jumat, 3 Dey 1359, Sahifah Nour, jilid 13, hal. 217). Hubungan antara Agama dan Politik. Mengenai idiom "agama harus dipisahkan dari politik dan ulama jangan mengintervensi urusan sosial dan politik" adalah ucapan para imperialis dan mereka juga yang menyebarkannya. Ungkapan ini diucapkan oleh orang-orang yang tidak beragama. Apakah di masa Nabi Muhammadsaw politik dipisahkan dari agama? Apakah di masa itu sebagian ulama dan sebagian lainnya politikus? Apakah di masa khalifah, berhak atau tidak, di masa kekhalifahan Imam Ali as, politik terpisah dari agama? Apakah ada dualisme waktu itu? Ungkapan ini dibuat oleh para imperialis dan disebarkan oleh kaki tangan mereka agar agama dapat disisihkan dari urusan dunia dan mengatur masyarakat Islam. Selain itu, dengan ungkapan ini mereka ingin memisahkan ulama dari rakyat dan perjuangan di jalan kebebasan dan kemerdekaan. Hanya dalam kondisi ini mereka dapat menguasai rakyat dan menjarah kekayaan kita. Ini maksud dari ungkapan di atas! (Velayat Faqih, hal. 16). Rasulullah Penggagas Politik dalam Agama. Rasulullahsaw yang meletakkan prinsip-prinsip politik dalam agama. Beliau membentuk pemerintahan dan pusat-pusat politik. Mereka yang percaya dengan pemisahan agama dan politik harus menolak seluruh khalifah Islam di periode awal Islam, selama belum menyimpang. Mereka harus mengenyahkan para ulama istana, mereka harus menolak Nabisaw dan khalifah Islam dan mengatakan bahwa semuanya bukan muslim. Karena mereka semua mencampuri urusan politik. Politik yang ada di periode awal Islam merupakan politik universal. Nabi Muhammadsaw mengulurkan tangannya dan mengajak seluruh dunia kepada Islam dan politik Islam. Beliau membentuk pemerintahan dan khalifah setelahnya juga membentuk pemerintah. Di periode awal Islam, sejak masa Rasulullahsaw hingga ketika belum ada penyimpangan, politik dan agama bersatu. Ini semua akibat ulama istana dan istilah yang dibuat oleh Amerika dan Uni Soviet. Bila tidak, maka seluruh nabi dan khalifah para nabi harus disalahkan atau harus menyalahkan dirinya dan pemerintahannya. Bila istilah pemisahan agama dari politik itu benar, maka masalahnya terbatas pada dua kondisi ini, tidak ada yang ketiga (Pidato di hadapan Presiden, Ketua Parlemen dan para pejabat negara, Sahifah Nour, jilid 17, hal. 138).

BAB 7 Visioning dan Operasionalisasi Tujuan: “Peta Hidup Bintang ‘Arasy”

Islam Agama Politik. Keyakinan kami bukan hanya ulama saja, tapi semua kalangan masyarakat harus terlibat dalam urusan politik. Karena politik bukan masalah warisan milik pemerintah, parlemen atau kalangan tertentu. Politik itu sendiri bermakna kondisi segala sesuatu yang terjadi di sebuah negara dari sisi pengelolaan negara. Di sini, semua warga negara memiliki hak politik. Ibu-ibu berhak terlibat dalam urusan politik dan kewajiban mereka memang demikian. Ulama juga berhak untuk terlibat dalam urusan politik dan itu menjadi kewajiban mereka. Agama Islam merupakan agama politik dan segalanya memiliki dimensi politik, bahkan dalam urusan ibadah (Pidato di hadapan anggota Forum Pendidikan Tayebeh Pirasteh Langgaroud, Sahifah Nour, jilid 9, hal. 136). Memperhatikan Urusan Muslimin. Memperhatikan urusan umat Islam bukan bermakna saya melakukan shalat dan menjadi makmum seorang muslim lainnya. Ini bukan urusan Muslimin. Ini urusan Allah. Urusan Muslimin adalah urusan politik dan sosial Muslimin (Pidato di hadapan para Imam Jamaat Provinsi Khorasan, Sahifah Nour, jilid 15, hal. 146). Jangan Meninggalkan Bidang Politik. Kalian hendaknya berusaha untuk mensucikan jiwa, memperkokoh prinsip-prinsip Islam, memperkuat fiqih Islam dan memperluasnya. Karena fiqih Islam itu begitu kaya. Tidak ada di dunia ini yang menyamai fiqih kalian. Fiqih ini sangat kaya dan berusahalah untuk memperluasnya. Tapi pada saat yang sama, kalian sebagai faqih tidak boleh meninggalkan urusan politik. Berpikirlah dalam urusan politik dan terlibat di dalamnya. Tidak benar itu bila ada yang berkata, "Saya seorang faqih dan tidak ada urusan dengan masalah politik." Kalian adalah faqih dan ahli fiqih, tapi pada saat yang sama harus terlibat dalam urusan politik. Kalian harus terlibat dalam penentuan nasib rakyat. Kalian adalah penjaga Islam dan harus melindunginya. Semoga Allahswt menganugerahi kalian semua dengan taufik-Nya. Semoga Allah melindungi kita semua dalam naungan-Nya (Pidato di hadapan ulama dan santri Qom, Sahifah Nour, jilid 5, hal. 169). Generasi Muda Ulama Harus Serius Memikirkan Islam. Kalian generasi muda hauzah ilmiah dan ulama muda harus hidup dan menghidupkan perintah ilahi. Kalian generasi muda perlu menumbuhkan dan menyempurnakan pemikiran. Kalian harus menjauhkan diri dari pemikiran seputar kebenaran dan ketelitian ilmu. Karena ketelitian yang berlebihan akan menjauhkan kita untuk melakukan tanggung jawab yang penting. Bantulah Islam dan selamatkan umat Islam dari bahaya! Musuh sedang berusaha memusnahkan Islam dengan memakai nama hukum

299

300

SAID MUNIRUDDIN

Islam, atas nama Rasulullahsaw (Pidato di hadapan ulama dan santri Qom, Sahifah Nour, jilid 5, hal. 169). Fiqih, Pelajaran dan Pembahasan untuk Melindungi Islam. Fiqih, pelajaran dan pembahasan yang dilakukan harus bertujuan untuk melindungi Islam. Suatu hari ketika Islam membutuhkan para ahli fiqih untuk pergi ke medan perang, maka mereka harus pergi. Suatu hari ketika Islam membutuhkan agar hauzah diliburkan dan harus melakukan satu pekerjaan, maka demi melindungi pondasi Islam, mereka harus meliburkan pelajarannya (Pidato di hadapan ulama dan santri Qom, Sahifah Nour, jilid 5, hal. 146). Kewajiban Ulama. Apakah Rasulullahsaw dengan pidato panjangnya tidak tergolong mulla? Apakah Imam Ali as bukan seorang mulla dengan pidatonya yang begitu panjang? Tapi ketika sampai pada kita, mulailah kita membuat alasan. Karena kita tidak ingin melakukan sebuah kewajiban. Jangan sampai kalian dididik seperti ini! Kalian semua memiliki kewajiban untuk melayani dan berkorban demi Islam. Kalian berkewajiban tidak hanya untuk belajar. Karena ini juga bagian dari melayani Islam. Kalian berkewajiban mencampuri urusan terkait masalah yang dihadapi umat Islam. Bila terjadi umat Islam menghadapi masalah, kalian berkewajiban untuk ikut campur (Pidato bertepatan acara peringatan 2500 tahun, Sahifah Nour, jilid 1, hal. 173). Ulama Harus Menjadi Anggota Aktif Masyarakat. Tidak demikian bahwa manusia yang baik adalah orang yang duduk menyendiri, menghitung bulir-bulir tasbihnya dan berzikir di masjid. Bila orang baik didefinisikan sepert ini, Nabi Muhammad saw dan Imam Ali as juga melakukan hal itu. Kita tidak pernah menyaksikan dalam sejarah ada orang yang mengatakan bahwa Nabisaw dan Imam Ali as menyendiri, hanya duduk di masjid dan berzikir. Tapi kenyataan yang ada justru sebaliknya. Beliau hadir dan berpartisipasi di segala bidang. Dengan demikian, tidak benar bila sebagian orang yang hanya duduk menyendiri dan mengatakan kita harus mengisolasi diri dari kehidupan. Ulama harus menjadi anggota masyarakat yang aktif dan membimbing masyarakat. Kalian, wahai ulama, harus mengawasi apa yang terjadi di tempat tinggal kalian dan membimbing masyarakat (Pidato di hadapan para imam Jumat Provinsi Khorasan, Sahifah Nour, jilid 17, hal. 84). Kita Semua Harus Berkorban Demi Islam. "Kullukum Ra'in wa Kullukum Mas'ulun" atau kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban. Kata Ra'in yang berarti

BAB 7 Visioning dan Operasionalisasi Tujuan: “Peta Hidup Bintang ‘Arasy”

301

pemimpin untuk kalian dan lebih banyak mengarah kepada kalian. Kata itu untuk ulama dan kita semua bertanggung jawab. Bila kita dibantai secara berkelompok-kelompok, maka mereka yang akan datang belakangan akan mengambil tempat kita. Islam! Kita semua harus mengorbankan diri demi Islam. Nabi Muhammad saw juga mengorbankan dirinya demi Islam. Imam Husein as juga mengorbankan dirinya demi Islam. Harus dicamkan bahwa Islam adalah sesuatu yang paling besar yang diamanatkan kepada manusia. Kita harus menguatkan tekad kita untuk syahid di jalan ini dan ulama harus lebih dari yang lain (Pidato di hadapan ulama Tehran, Sahifah Nour, jilid 15, hal. 58). Kewajiban Terbesar Adalah Mendirikan Pemerintahan Hak. Apa yang sudah dikatakan dan akan dikatakan bahwa para nabi hanya berurusan dengan hal-hal spiritual dan tidak mengurusi pemerintahan dan urusan dunia, para nabi, auliya dan tokoh agama memalingkan diri dari dunia dan kekuasaan lalu kita mengambil kesimpulan bahwa kita juga harus melakukan hal yang demikian, maka ini satu kesalahan dan patut disayangkan. Akibat dari pemikiran ini adalah kebinasaan bangsa-bangsa Islam dan terbukanya jalan bagi para imperialis, penghisap darah manusia. Karena yang ditolak sebenarnya adalah pemerintahan setan, diktator dan kezaliman. Pemerintah untuk menguasai dengan motifasi menyesatkan dan punya tujuan duniawi yang telah dilarang dalam agama. Mereka hanya ingin mengumpulkan kekayaan, haus kekuasaan dan bersikap seperti taghut. Pada akhirnya, dunia yang membuat manusia lupa kepada Allah swt. Tapi kekuasaan dan pemerintahan hak yang didirikan demi kepentingan orang-orang lemah, mencegah kefasadan dan menegakkan keadilan sosial adalah kekusaan yang seperti dimiliki oleh Nabi Sulaiman bin Dawud dan Nabi Muhammad saw serta para Imam Maksumin as. Mereka berusaha untuk mendirikan pemerintahan hak. Karena itu adalah kewajiban terbesar dan mendirikan pemerintahan hak merupakan ibadah terbesar. Sebagaimana politik yang sehat menjadi kelaziman dari pemerintahan hak. Bangsa Iran yang sadar dan waspada dengan cara pandang Islam akan menggagalkan segala bentuk konspirasi ini serta para orator dan penulis yang memiliki komitmen akan membantu bangsa ini untuk memotong tangan para setan penggagas konspirasi (Vasiat Nameh Siyasi-Elahi Imam). Islam Kaffah: “Dzikir-Politik-Nuklir”. Jelas sudah, “Islam” dan “politik” adalah satu kesatuan yang utuh. Jika ada yang memisahkan politik dengan Islam, maka itu usaha melemahkan cita-cita ummat, yaitu

302

SAID MUNIRUDDIN

mewujudkan pemerintah yang hak. Pada abad 18, Snouck Hurgronje salah satu orientalis yang sadar bahaya jika Islam dan politik bersatu. Setelah lama meneliti sosiologi rakyat Aceh, ia memberikan beberapa rekomendasi strategi penaklukan Aceh kepada Pemerintah Hindia Belanda. Salah satunya adalah, memisahkan kehidupan politik dari kehidupan umat Islam. Untuk menjalankan ini, Belanda memfasilitasi semua kebutuhan keagamaan rakyat Aceh. Mereka merenovasi Masjid Raya Baiturrahman dan menyediakan kapal kepada orang-orang untuk naik haji. Pada saat yang sama, Belanda menanamkan paham bahwa politik itu urusan duniawi yang dibenci agama, suatu bidang ilmu yang terlepas dari akhirat, penuh kebohongan, pertikaian dan pertumpahan darah. Strategi ini bertujuan agar kekuatan politik dan dominasi imperialisme tidak terganggu. Prinsip penjajah, “Silakan masyarakat larut dalam ritual agama, asal tidak larut dalam politik”. Dalam abad modern dibahasakan dengan, “Silakan kalian larut dalam dzikir, asal jangan mengembangkan fasilitas nuklir. Karena kami para Setan Besar hanya takut dengan yang terakhir”. Habibie dan PT. Dirgantara Indonesia-nya pada akhir 1990-an pernah dirongrong kapitalis, yang didukung inlanders (antekantek lokal). Dianggap sangat berbahaya ketika muslim-muslim intelektual professional Indonesia telah menguasai teknologi tinggi. Melalui International Monetary Fund (IMF), pemerintah dan pejabat-pejabat B.J. Habibie bermental budak didikte untuk menghentikan pengembangan teknologi kebanggaan bangsa. CN-235 merupakan pesawat modern inovasi anak bangsa yang diprediksi akan mampu bersaing menguasai pasar dunia. Penghentian ini merupakan sebuah kebijakan jahat, Karena di Eropa sendiri, industri manufaktur tidak pernah untuk dihentikan. Bangsa yang menguasai dunia adalah mereka yang menguasai teknologi dan informasi. Setan Besar tentu tidak rela jika bangsa ini maju. Mereka menginginkan kita cukup sekedar menjadi produsen lampu teplok dan keset kaki. Oleh sebab itu, kita harus terus berjuang menjadi bangsa yang akademis, inovatif, dedikatif dan islami. Arena pengabdian yang

BAB 7 Visioning dan Operasionalisasi Tujuan: “Peta Hidup Bintang ‘Arasy”

303

sesungguhnya ketika menjadi alumni adalah “arena politik”. Jangan secara picik hanya dipahami melalui kontestasi politik saat Pemilu; melainkan dengan berbagai profesi, alumni berjuang secara strategis dan taktis untuk membangun masyarakat ideologis, adil dan sejahtera. Sejatinya, “dzikir-politik-nuklir” (iman-politik-teknologi) menjadi tiga kesatuan paradigma pembangunan hari ini, guna memenangkan masa depan umat dan bangsa. Pengetahuan Politik untuk Kader. Oleh sebab itu, disamping mendalami spiritualitas dan menguasai teknologi; belajar politik sangat penting. Baik itu yang murni pengetahuan politik (political knowledge) ataupun pengetahuan politik yang bersifat terapan/praktis (applied political knowledge). Untuk level mahasiswa, “pengetahuan politik praktis” hanya sebatas “pengetahuan” saja. Karena organisasi mahasiswa bukan untuk melakukan politik praktis. Definisi politik praktis adalah “politik untuk memperoleh kekuasaan negara/pemerintahan, atau turut dalam kekuasaan (memperoleh posisi politik). Mengapa pengetahuan ini penting? Karena disebutkan, “Siapa yang buta politik, maka akan dimakan oleh politik”. Atau, “Siapa yang buta ideologi, maka akan dimakan oleh ideologi”. Sebagai pejuang ideologi, wajib hukumnya membekali diri dengan pengetahuan siyasah (politik, strategi dan taktik). Dalam organisasi seperti HMI pun, ilmu ini baru boleh diajarkan, ketika kader telah memiliki iman yang teguh, ilmu yang cukup, ideologi yang jelas, serta organisasi yang rapi. 28 Berbahaya sekali jika mempelajari strategi dan taktik tapi imannya tipis, keilmuan di bidang masing-masing minim, serta ideologinya (nilai-nilai) lemah. Jika ini terjadi, maka akan lahir ovonturir (petualang politik), opportunist (bunglon), profiteurist (pencari keuntungan pribadi), political beggarist (gelandangan politik), dan political prostitute (pelacur politik). “Pejuang paripurna” adalah pribadi yang berfikir, berjuang dan bekerja dalam enam kerangka perjuangan yang utuh: (1) Imani; (2) Ilmiah; (3) Ideologis; 28

A.D. Ranuwiharjo. 2000. Menuju Pejuang Paripurna, Aspek Ideologi dari Islam menuju Terbinanya Insan Pejuang Paripurna: Leadership, Strategi dan taktik dalam Perjuangan Politik, hal. 34, (ed. Anjas Taher), KAHMI Wilayah Maluku Utara: Ternate.

304

SAID MUNIRUDDIN

(4) Organisatoris; (5) Strategis-taktis; dan (6) Teknis-teknologis. Jika iman sudah teguh dan ilmu sudah cukup, namun ideologi belum jelas, tujuan perjuangan menjadi tidak jelas. Demikian juga jika strategi dan taktik sudah dirumuskan, namun organisasi tidak rapi, maka perjuangan akan berantakan. Ke-enam syarat perjuangan tersebut harus tertangani secara simultan.29 Perjuangan Islam harus dengan Politik, Strategi dan Taktik. Tentang kesatuan Islam dengan politik, strategi dan taktik, sejatinya kita belajar pada Muhammadsaw. Beliau contoh yatim piatu yang berhasil membangun pemerintahan Islam (Islamic empire). Jarang ada nabi yang sukses menjadi “pemimpin agama” sekaligus “penguasa bangsa”. Sebagian nabi malah dikejar dan dikucilkan. Bahkan pada kasus Isa as, ia ‘dikalahkan’ (berusaha di salib) sebelum berhasil membangun kekuasaan. Muhammadsaw adalah sedikit diantara nabi yang siang dan malam juga dicari untuk dibunuh, namun sukses menanamkan pengaruh dan menjadi penguasa. Itulah “pemimpin paripurna”, pemimpin spiritual sekaligus pemimpin politik. Melalui pengaruhnya (leadership), Muhammadsaw dapat efektif menanamkan nilai-nilai ilahiyah dalam jiwa warganya. Melalui kekuasaannya (power), baginda Nabi juga sukses mengimplementasikan nilai tauhied, ikhlas, adil, ihsan, dan tanggungjawab dalam fungsi kemasyarakatan dan kenegaraan. Kesuksesan Muhammadsaw bukan sekedar “pertolongan” Allahswt. Keberhasilannya harus dipahami sebagai sejarah “perjuangan” seorang manusia. From nobody to somebody. Sekaliber Muhammadsaw pun, yang iman dan ilmunya sangat tinggi, jika berjuang tanpa strategi dan taktik tentu tidak akan pernah mencapai tujuan. Tidak ada yang namanya kehendak Tuhan untuk memenangkan beliau, tanpa beliau sendiri

29

Ibid.

BAB 7 Visioning dan Operasionalisasi Tujuan: “Peta Hidup Bintang ‘Arasy”

305

mengeluarkan fikiran, tenaga, harta, keringat dan darah. Perjuangan politik tidak cukup dengan do’a. Disini berlaku hukum, “Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa-apa yang ada pada diri mereka” (QS. arRa’d -13: 11). Pepatah Arab juga mengatakan, “Kebatilan yang terorganisir akan mengalahkan kebenaran yang tidak terorganisir”. Perjuangan ideologi tidak cukup dengan beriman, berilmu, memahami ideologi dan menyusun organisasi. Melainkan harus disertai dengan strategi dan taktik. Dalam perjuangan ideologis, menguasai strategi dan taktik (STRATAK) hukumnya “wajib”. Strategi adalah “bagaimana menggunakan peristiwa-peristiwa politik dalam jangka waktu tertentu untuk mencapai rencana perjuangan”. Sedangkan taktik “bagaimana menentukan langkah/sikap atau menggunakan kekuatan dalam menghadapi peristiwa politik tertentu pada saat tertentu”. Taktik merupakan bagian dari strategi. Sehingga setiap taktik harus tunduk dan mengabdi kepada strategi. Jika strategi jangka waktunya lebih bersifat panjang, taktik lebih bersifat fleksibel karena disesuaikan dengan kondisi objektif dan subjektif tertentu.30 Jika mau berhasil, prinsip “the end justifies the means” (tujuan menghalalkan segala cara) berlaku dalam perjuangan ideologi. Namun dalam Islam, penerapan prinsip itu haruslah sepanjang tidak bertentangan dengan hukum, aturan, ketetapan atau prinsip-prinsip agama. Sekilas ini terlihat sebagai kelemahan perjuangan ideologis berdasarkan agama. Tetapi keagungan perjuangan justru terletak pada adanya pembatasan-pembatasan tertentu untuk tidak menghalalkan sesuatu yang merugikan kemanusiaan. Diluar hal-hal yang sudah jelas halal, haram, sunnah, makruh, dan mubah tersebut; terdapat urusan dunia yang Nabisaw serahkan kepada kita: “Kamu lebih tau soal-soal keduniaanmu”. Dalam urusan-urusan inilah kita menggunakan STRATAK. Sebagai contoh, kita diceritakan bagaimana Nabisaw pernah ‘berbohong’. Ketika didatangi seseorang dengan pedang terhunus yang bertanya kepada beliau apakah ada melihat seseorang dengan ciri-ciri tertentu, yang ingin dibunuhnya. Tentu saja Nabisaw telah melihatnya. Namun beliau berniat untuk menyelamatkan nyawanya. Lalu Nabi saw menggeser 30

Ibid, hal. 87.

306

SAID MUNIRUDDIN

sedikit posisi berdirinya, dan dengan tenang menjawab, “Sejak berdiri disini, saya tidak melihatnya”. Ini bentuk siyasah. Pada dasarnya berbohong itu haram. Tetapi dalam perjuangan ideologis, tujuan-tujuan mulia dapat dicapai dengan white lies (“tipuan putih”, “pengalih”). Tentu banyak sekali perdebatan tentang moralitas dan etika dalam politik. Berikut juga beberapa strategi dan taktik yang Nabisaw lakukan: Ketika pengikutnya masih sedikit, Nabisaw memilih berdakwah secara sembunyi-sembunyi. Ketika pengikutnya telah bertambah, dakwah dilakukan secara terbuka. Ketika musyrik Quraisy yang kekuatannya masih kuat, menyerang Nabisaw dengan senjata, beliau menghindar. Ketika serangan mulai bertubi-tubi, nabi menghindar ke Madinah. Hijrah ini disebut dengan langkah mundur strategis (strategical retreat), guna menghimpun kekuatan untuk melakukan serangan balasan. Ketika kekuatan telah terbangun di Madinah, Nabisaw akhirnya menghadapi serangan dari musyrik Mekkah dengan kekuatan bersenjata (Badar-1). Tetapi di Uhud, kekalahan total hampir diterima pasukan Islam, ketika strategi yang disusun Nabisaw (menguasai bukit) tidak dipatuhi pasukannya. Perang terus terjadi; Khandaq, Khaybar, dan sebagainya. Ketika kemenangan demi kemenangan telah diperoleh, Nabi telah mampu mengukur kekuatan pasukannya dan kelemahan musuh-musuhnya. Kini beliau bertujuan menaklukkan Mekkah. Sebelum futuh Makkah, perjuangan diplomasi juga dimainkan. Dalam perjanjian Hudaibiyah misalnya, Nabisaw tidak menyertai pembubuhan gelar ‘Rasulullah’ pada tanda tangannya. Ini taktik untuk menghindari tensi dan mengurangi jumlah korban, sekaligus mempercepat penaklukan Makkah. Dalam berbagai perang, Nabi juga dibantu panglima-panglimanya yang ahli strategi seperti Ali dan Salman alFarisi. Mata-mata (spionage) dikirim untuk memantau pergerakan dan kekuatan musuh. Mereka menyusun beragam strategi dan taktik, yang menghasilkan banyak kemenangan di pihak Islam. Sikap lalai dan tidak disiplin terkadang juga dipraktekkan pasukan Islam. Akibatnya, penderitaan harus di alami, seperti pada perang Hunain paska penaklukan Makkah. STRATAK merupakan ilmu dan seni perang yang cukup luas dan kaya. Detilnya tidak akan kita bahas disini. Beberapa literatur cukup baik mengupas ini.31 Diskusi kita hanya sebatas pengingat, bahwa perjuangan 31

[1] R. Greene dan J. Elffers. 2000. The 48 Laws of Power. Penguin Books: London; [2] R. Greene. 2009. The 50th Law. Harper: New York; [3] R. Greene. 2003. The Art of Seduction. Penguin Books: London;

BAB 7 Visioning dan Operasionalisasi Tujuan: “Peta Hidup Bintang ‘Arasy”

307

mencapai tujuan-tujuan ideologis (visi masyarakat adil makmur) terutama setelah menjadi alumni- mengharuskan seorang kader menguasai politik, strategi dan taktik. Karena kemenangan tidak serta merta ditentukan oleh kuatnya iman, tingginya ilmu, jelasnya ideologi, organisasi yang rapi, dan teknologi yang canggih. Lebih sering faktor strategi dan taktik menjadi kunci kemenangan dari sebuah perang, tanpa mengabaikan faktor-faktor yang telah tersebutkan sebelumnya.

KESIMPULAN “Peta hidup Bintang ‘Arasy” ini hanya sebuah “metode” (tariqah) untuk mempermudah memahami tujuan hidup masing-masing. Tujuan hidup ini tentunya selaras dengan Tujuan HMI, yang merupakan cita-cita besar umat Islam dan bangsa Indonesia. Visioning atau “peta hidup” ini dapat menjadi alat kontrol atau evaluasi tahunan bagi seorang kader, sejauh mana pencapaian telah diperoleh atau mengalami deviasi. Tentu ada fleksibilitas untuk merubah strategi dan taktik perjuangan untuk mencapai tujuan. Tapi terkadang sering dijumpai, bahwa apa yang dicapai masih jauh dari yang dipetakan. Ini artinya, betapa dalam hidup ini kita belum memaksimalkan seluruh potensi dan mengorganisir diri untuk menjadi insan kamil. Kita sering lalai untuk konsisten pada jalan yang lurus, bahkan tergelincir pada kesibukan yang tidak penting. Sering kita jumpai orang yang sudah berumur namun tidak memperoleh kemajuan. Bahkan masih hidup dalam kebodohan, minim karya, kosong dari aktifitas pengabdian, [4] R. Greene. 2012. Mastery. Viking Adult: New York; [5] R. Greene. 2007. The 33 Strategies of War. Penguin Books: London; [6] N. Machiavelli. 2011. The Prince. Simon & Brown: Hollywood; [7] S. Tzu. 2013. The Art of War. Simon & Brown: Hollywood; [8] M. Mushashi. 2012. A Book of Five Rings. CreateSpace Independent Publishing Platform; [9] M.J. Overstreet. 2009. 71 Days: The Media Assault on Obama. BookSurge Publishing: Charleston, South Carolina; [10] C.V. Clausewitz. 2008. On War, J.J. Graham (trans.). Wilder Publication: Radford; [11] B.H.L. Hart. 1991. Strategy. Plume: New York; [12] M.T. Tung. 1963. The Selected Military Writings of Mao Tse Tung. Foreign Press: Peking; [13] J. Stalin. 1947. Problems of Lienism. Foreign Languages Publishing House: Moscow; [14] C.W. Thayer. 1965. Guerilla. The New American Library: New York; [15] M.T. Tung. 2009. On Guerilla Warfare. CreateSpace Independent Publishing Platform; [16] P. Paret, G.A Craig, and F. Gilbert. 1986. Makers of Modern Strategy: from Machiavelli to the Nuclear Age.Princeton University Press: New Jersey; [17] D. Galula. 2006. Counterinsurgency Warfare: Theory and Practice. Praeger: Connecticut; T.C. Schelling. 2008. Arm and Influence. Yale Press Universaity: Connecticut; [18] R. Taber. 2002. War of the Flea: The Classic Study of Guerilla Warfare. Potomac Books Inc.: Virginia; [19] D. Kilcullen. 2011. The Accidental Guerilla: Fighting Small Wars in the Midst of a Big One. Oxford University Press: Oxford; [20] H.V. Dach. 1992. Total Resistance. Paladin Press: Colorado; [21] J. Perkins. 2005. Confession of an Economic Hitman. Plume: New York.

308

SAID MUNIRUDDIN

serta tidak memiliki rasa tanggungjawab untuk membangun masyarakat yang lebih baik. Sebagian malah mendhalimi diri sendiri, lalu mati dalam kehampaan. Mungkin sebagian “sukses” menjadi “kaya” atau berkecukupan untuk dirinya, di tengah kemelaratan ummat dan bangsanya. Tetap saja mereka ini para “pecundang” yang “kalah” dalam perjuangan, karena mengabaikan nilai-nilai dan tanggung jawab sosial kemanusiaan. Karena hakikat “sukses” adalah “sakratul maut yang berselimut husnul khatimah (ridha Allahswt)”. Sedangkan “gagal” adalah “kematian yang terbelit su’ul khatimah”. Sukses atau gagal tergantung peta yang kita susun dan jalani untuk diri dan masyarakat kita:

“Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah. dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok. Dan betaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. alHasyr -59: 18). Oleh sebab itu, rencanakan hidup sejak dini untuk konsisten pada jalan yang lurus, jalan Islam, jalan para nabi, jalan para imam, jalan para pejuang suci, jalan tujuan HMI. Gunakan iman, ilmu bidang keahlian, nilai-nilai ideologis, politik-strategi-taktik, teknik dan teknologi untuk membangun dan mencapai visi Islam: menjadi pribadi-pribadi ideal dan membangun masyarakat ideal.*****

BAB

8

Manajemen Berbasis Spiritual: “Tasbih Fatimah” DEFINISI MANAJEMEN Menggali Nilai dari Pekerjaan: Menjadikan “Adat” bernilai “Ibadat”. Ilustrasi berikut menjadi pengantar tentang manajemen berbasis nilai: “Mengapa memilih menjadi akuntan?”. Pertanyaan ini diajukan seorang professor kepada mahasiswanya pada hari pertama di universitas. Hampir semuanya menjawab, “Karena mudah mendapat pekerjaan”. Beberapa lainnya mengatakan, “Karena gajinya besar”. Professor membalas, “Benar, jawaban-jawaban kalian cukup rasional, tetapi belum memperkaya jiwa”. Kemudian profesor menjelaskan alasan mengapa memilih menjadi seorang akuntan dalam sebuah perspektif yang rational sekaligus spiritual, “Pertama, benar bahwa bekerja adalah untuk mendapatkan uang. Namun ada yang lebih benar, bahwa pekerjaan akuntan sangat dibutuhkan oleh masyarakat, dan hal ini secara nyata ditegaskan oleh Tuhan. Baca alBaqarah 282. 1 1

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil;

310

SAID MUNIRUDDIN

Adalah Tuhan yang menjadi alasan tertinggi mengapa kita memilih menjadi akuntan. Oleh sebab itu, kita harus “merencanakan”, “mengorganisir”, “mengarahkan”, dan “mengontrol” semua pekerjaan ke-akuntansi-an dengan Nama-Nya dan untuk kebaikan manusia. Kita harus memenej profesi kita secara seimbang: demi Tuhan, untuk keuntungan diri, dan kebaikan masyarakat kita”. Sejak hari pertama, profesor telah menanamkan “nilai-nilai” kepada mahasiswa tentang “siapa kita”, “mengapa kita disini”, “kemana kita akan pergi”, dan “bagaimana cara terbaik untuk mencapainya”. Ini wordview dan ideologi, sebuah pandangan “teoritis” dan “praktis” yang utuh tentang dunia. Secara komprehensif (kaffah) profesor menjelaskan tentang eksistensi setiap profesi. Disamping terdapat alasan-alasan “sekuler-positivistik” (duniawi) mengapa kita harus melaksanakan sebuah pekerjaan, jauh dibalik itu semua terkandung “nilai-nilai Ilahiyah” (ukhrawi) yang menjadi fondasi segala aksi. Nilai-nilai ketuhanan ini merupakan sumber etika; basis dari semua fungsi manajemen, serta spirit yang membentuk kesempurnaan segala profesi dan pengabdian; apakah itu ekonom, akuntan, dokter, guru, ulama, pengacara, politisi, birokrat, teknokrat, jurnalis, saintis, dan lainnya. Mengapa Manajemen? "Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan ditanya tentang apa yang dipimpinnya" adalah pernyataan Muhammadsaw.2 Hadist ini sama maknanya dengan "Setiap anda adalah manajer, dan setiap manajer harus bertanggung jawab atas aktifitas manajerialnya". Pandangan ini menunjukkan “universalitas” kepemimpinan dan manajemen. Seperti disebutkan banyak ahli, ada beberapa alasan untuk mempelajari manajemen. Pertama, karena “universality” (universalitas) ilmu dan

2

dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS. alBaqarah -2: 282). Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslem.

BAB 8 Manajemen Berbasis Spiritual: “Tasbih Fatimah”

311

praktiknya. Sudah menjadi sebuah keniscayaan, manajemen diperlukan dalam semua jenis, ukuran, tingkatan, bidang kerja, dan semua organisasi, tidak peduli di mana mereka berada. Kedua, “work reality” (realitas kerja) menunjukkan bahwa siapa pun anda dan apa pun yang anda lakukan, anda akan mengelola (to manage) atau dikelola (be managed). Yang ketiga adalah “challenges and rewards” (tantangan dan imbalan) menjadi seorang manajer.3 Tantangan dapat berupa tujuan dan misi yang setiap orang harus capai dalam hidup atau di tempat kerja, sementara penghargaan bervariasi mulai dari pengakuan, status, uang dan bahkan keuntungan Ilahiah atau Ridha Allah. Ridha secara harfiah mengandung makna "perasaan senang atau puas, kepuasan, atau persetujuan".4 Dalam konteks agama, istilah ini diartikan sebagai satisfaction atau "kepuasan yang sempurna sesuai kehendak atau keputusan Allahswt".5 Ini alasan "mengapa mempelajari manajemen". Apa itu Manajemen? Tidak ada definisi universal tentang “manajemen”. Berbagai definisi telah diberikan, dari perspektif popular sampai yang ilmiah. MP Follet mendefinisikan manajemen sebagai: “Art of getting things done through others” (Seni mendapatkan sesuatu melalui orang lain).6 Definisi sederhana ini telah menjadi kutipan paling terkenal. Dengan nada bermiripan ditakan: “Whether you begin your career at the entry level or as a supervisor, your job as a manager is not to do the work, but to help others do theirs” (Apakah anda memulai karir di level awal ataupun sebagai pengawas, pekerjaan anda sebagai seorang manajer bukan untuk melakukan pekerjaan itu, tetapi untuk membantu orang lain melakukan pekerjaan mereka).7

3

4 5 6

7

S.P Robbins, and M. Coulter. 2009. Management, 10th ed., hal. 30-32. Pearson Prentice Hall: New Jersey. Almaany Dictionary. 2013. The Meaning of “Ridha“. A. Schimmel. 1975. Mystical Dimensions of Islam. The University of North Carolina Press: Chapel Hill. P. Graham. 1995. Mary Parker Follet –Prophet of Management: A Celebration of Writings from the 1920s. Harvard Business School Press: Boston. C. Williams. 2005. Principles of Management, 3rd ed, hal. 4. South-Western Cengage Learning: Ohio.

312

SAID MUNIRUDDIN

Dengan menempatkan efektivitas dan efisiensi “manajemen yang baik” didefinisikan sebagai:

dalam

proses,

“Working through others to accomplished tasks that help fulfills organizational objectives as efficiently as possible” (Bekerja melalui orang lain untuk mencapai tugas-tugas yang dapat membantu mencapai tujuan organisasi se-efisien mungkin).8 Hebat jika bisa melakukan pekerjaan seorang diri. Tetapi jauh lebih hebat kalau mampu menyelesaikan pekerjaan anda melalui bantuan tangan orang lain. Beberapa peneliti lainnya lebih lanjut mengaitkan manajemen dengan apa yang manajer lakukan. RL Katz misalnya9, menyarankan tiga pendekatan untuk menggambarkan apa yang manajer lakukan: “keterampilan” (skills), “peran” (roles), dan “fungsi” (functions). Pertama, berdasarkan keterampilan (skills), “manajemen” digambarkan melalui berbagai jenis keterampilan yang manajer perlukan, diantaranya: (1) Keterampilan teknis (technical skills), sangat dibutuhkan oleh manajer tingkat bawah, (2) Keterampilan manusia (human skills), keterampilan yang samasama penting untuk dimiliki bagi semua tingkatan manajer; (3) Keterampilan konseptual (conceptual skills), sesuatu yang paling penting dimiliki oleh manajer puncak. Kedua, berdasarkan peran (roles), H. Mintzberg mendefinisikan “manajemen” dengan mengacu pada tindakan tertentu atau perilaku yang diharapkan akan dilakukan di tempat kerja: (1) "peran antarpribadi" -interpersonal roles, (2) "peran informasi" -informational roles, dan (3) "peran putusan" -decisional roles, yang diperlukan dalam membuat keputusan.10 Selanjutnya akan kita bahas “manajemen” yang didefinisikan berdasarkan fungsi-fungsinya (functions).

Ibid. R.L. Katz. 1974. “Skills of an effective Administrator”, Harvard Business Review, September-October, hal. 90-102. 10 H. Mintzberg. 1980. The Nature of Managerial Work. Harper and Row: New York. 8 9

BAB 8 Manajemen Berbasis Spiritual: “Tasbih Fatimah”

313

Fungsi-Fungsi Klasik: Definisi Populer Manajemen. Pendekatan terakhir diakui sebagai cara terbaik mendefinisikan manajemen, yaitu dengan menjelaskan fungsi-fungsi yang dijalankan seorang manajer: “Management is a process of planning, organizing, leading and controlling of organizational activities to achieve organizational objectives using organizational resources” (Manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian kegiatan organisasi untuk mencapai tujuan organisasi dengan menggunakan sumber daya organisasi").11 Peneliti mendefinisikan “manajemen” dengan fungsi-fungsi yang agak berbeda. Ada yang menyebut planning, organizing, staffing, leading, dan controlling. Yang lain berpendapat bahwa fungsi-fungsi tersebut adalah planning, controlling, dan decision making.12 Lainnya menyarankan planning, directing and motivating, dan controlling.13 Beberapa lainnya telah memperpendek semua fungsi itu menjadi tiga: planning, implementing, dan evaluating. Berbedanya kategorisasi diakibatkan oleh perbedaan selera individu peneliti. Namun, empat fungsi klasik adalah kerangka paling populer dalam menggambarkan manajemen.14 Disebutkan: "Fungsi klasik memberikan metode yang jelas dan tegas dalam mengelompokkan ribuan kegiatan yang manajer laksanakan serta teknik yang digunakan dalam bentuk fungsi-fungsi yang mereka lakukan untuk pencapaian tujuan".15 Berbagai buku telah ditulis berdasarkan perspektif klasik ini. Diyakini, seorang Pengusaha Perancis bernama Henri Fayol (1841-1925) sebagai yang pertama kali pada 1916 mencetuskan bahwa semua manajer melakukan lima fungsi dalam pekerjaannya: planning, organizing, commanding, coordinating, dan controlling. Sekarang, fungsi-fungsi klasik telah teringkas dalam empat: planning, organizing, leading, dan controlling.

S.P. Robbins and M. Coulter. 2009. Management, 10th ed, hal. 24. Pearson Prentice Hall: New Jersey. D.R Hansen and M.M. Mowen. 2005. Management Accounting. Thomson Learning: Mason. 13 J.M. Folk, R.H. Garrison, and E.W. Noreen. 2002. Introduction to Managerial Accounting. Mc-Graw Hill: New York. 14 M.M. Hanafi. 2003. Manajemen, hal. 35. UPP YKPN: Yogyakarta. 15 S.J. Carrol, and D.A. Gillen. 1987. “Are the Classical Management Functions Useful in Describing Managerial Work?” Academy of Management Review, January, hal. 48. 11 12

314

SAID MUNIRUDDIN

Tabel 8.1: Fungsi-Fungsi Manajemen Klasik.16 Perencanaan (Planning) Mendefinisikan tujuan, merancang strategi, dan mengembangkan rencana untuk mengkoordinasi aktivitas.

Pengorganisasian (Organizing) Menentukan apa yang harus dilakukan, bagaimana hal tersebut dilakukan, dan siapa yang akan melakukannya.

Pengarahan (Leading) Memotivasi, mengarahkan, dan kegiatan lain yang berhubungan dengan orangorang

Pengendalian (Controlling) Memonitor aktivitas guna memastikan bahwa mereka melaksanakannya sesuai yang direncanakan.

Secara tradisional, seperti yang terlihat pada tabel di atas, “manajemen” adalah melakukan “empat fungsi”. Seberapa baik pendekatan fungsi ini dapat menggambarkan apa yang manajer lakukan? Apakah para manajer selalu merencanakan, mengorganisir, memimpin, dan akhirnya mengontrol? Pada kenyataannya, apa yang seorang manajer lakukan tidak selalu terjadi dalam urutan ini.17 Beberapa manajer berorientasi pada tindakan, dengan demikian, kurang dalam perencanaan. Beberapa bahkan melompat dari satu fungsi ke yang lain. Sejumlah lainnya melakukan seluruh fungsi secara interaktif dan mungkin secara bersamaan, tidak berurutan seperti yang diperintahkan teori. Sebagai contoh, ketika seseorang bekerja untuk menjaga agar anggota atau pegawainya termotivasi dan tetap terlibat, ini disebut mengarahkan atau memimpin (leading). Sementara ketika seseorang sedang berurusan dengan masyarakat yang sedang menyampaikan keluhan, dia harus mengontrol (controlling), memimpin (leading), dan mungkin berencana (planning). Terlepas dari urutan mana fungsi-fungsi ini dimulai, kenyataannya adalah bahwa manajer merencanakan, mengorganisir, memimpin, dan mengontrol. Bukti-bukti telah cukup jelas. Manajer melayani organisasi

16 17

S.P. Robbins and M. Coulter. 2009. Management, 10th ed, hal. 24. Pearson Prentice Hall: New Jersey. Ibid.

BAB 8 Manajemen Berbasis Spiritual: “Tasbih Fatimah”

315

mereka dengan baik ketika mereka melakukan planning, organizing, leading, dan controlling.18 Meng Up-Date Fungsi-Fungsi Klasik Manajemen. Beberapa penulis berpengaruh seperti Peter Drucker 19 dan Henry Mintzberg20 percaya bahwa fungsi-fungsi klasik yang diperkenalkan Henri Fayol tahun 1916 perlu di up-date. Perubahan yang luar biasa dan perkembangan yang dihadapi oleh organisasi modern adalah alasan untuk memiliki bentuk dan cara yang lebih baik dalam menerjemahkan manajemen. Manajer sedang menghadapi perubahan tempat kerja, ancaman keamanan, isu-isu etika, ketidakpastian ekonomi global dan politik, dan kemajuan teknologi.21 Fortune Magazine, misalnya, percaya bahwa permintaan untuk mendefinisikan kembali fungsi-fungsi klasik diakibatkan oleh perubahan filosofi manajemen, dari "lama" ke "baru". Ini termasuk perubahan "bos" ke "pimpinan tim", dari "hirarkis" ke "organisasi kurang hirarkis", dari "menyimpan" ke "berbagi ide", dari "ego sentris" ke "partisipasi", dan dari "orang-orang bekerja dengan manajer" ke "manajer bekerja dengan orang-orang.22 Perubahan-perubahan ini tidak berarti fungsi-fungsi klasik dari manajemen menjadi usang. Manajer masih bertanggung jawab untuk melaksanakan fungsi-fungsi tersebut. Fungsi-fungsi itu hanya dilakukan secara berbeda, dengan melompat dari satu ke yang lain sesuai kebutuhan. Boleh jadi dengan melakukan dua fungsi sekaligus, atau bahkan meng up-date fungsi-fungsi tersebut dengan cara me-reorganize dan menambahkan fungsi-fungsi manajemen yang baru, seperti terlihat pada tabel berikut.

[1] C. Williams. 2005. Management, 3rd ed, hal. 5. South-Western Cengage Learning: Ohio; [2] R. Stagner. 1969. “Corporate Decision Making”, Journal of Applied Psychology, Vol. 53, hal. 1-13; [3] D.W. Bray, R.J. Campbell, and D.L. Grant. 1993. Formative Years in Business: A Long-Term AT&T Study of Managerial Lives. Wiley: New York. 19 P. Drucker. 1998. “Management’s New Paradigms”, Forbes, 5 October, hal. 152. 20 H. Mintzberg. 1994. “Rounding Out the Manager’s Job”, Sloan Management Review, Vol. 36, hal. 80-84. 21 S.P. Robbins and M. Coulter. 2009. Management. 10th ed, hal. 85-100. Pearson Prentice Hall: New Jersey. 22 B. Dumaine. 1993. “The New Non-Manager Managers”, Fortune, 22 February, hal. 80-84. 18

316

SAID MUNIRUDDIN

Tabel 8.2: Fungsi-Fungsi Manajemen Modern.23

23

Fungsi-Fungsi Baru 1. Membuat sesuatu terjadi (Making things happen)

Fungsi-Fungsi Klasik Planning and Control

Isu

2. Menghadapi persaingan (Meeting the competition)

(Aspek baru dari manajemen)

 Manajemen global (Global management)  Strategi organisasi (Organizational strategy)  Inovasi dan perubahan (Innovation and change)  Mendisain organisasi yang adaptif (Designing adaptive organizations)

3. Mengorganisir orang, proyek, dan proses (Organizing people, projects, and processes)

Organizing

 Mengelola individu dan keragaman tenaga kerja (Managing individuals and a diverse of work force)  Mengelola team (Managing teams)  Mengelola sistem sumberdaya manusia (Managing human resource systems)  Mengelola pelayanan dan operasi produski (Managing service and manufacturing operations)

4. Mengarahkan (Leading)

(Leading)

 Motivasi (Motivation)  Kepemimpinan (Leadership)  Mengelola komunikasi (Managing communication)

 Merencanakan dan Mengambil keputusan (Planning and decision making)  Mengelola informasi (Managing information)  Mengendalikan (Control)

C. Williams. 2005. Management, 3rd ed, hal. 6. South-Western Cengage Learning: Ohio.

BAB 8 Manajemen Berbasis Spiritual: “Tasbih Fatimah”

317

MENGGALI MANAJEMEN BERBASIS TUHAN Apa yang Hilang dari Fungsi-Fungsi Klasik? Fungsi-fungsi yang dirilis Fayol telah memainkan peran penting dalam sejarah manajemen. Tidak hanya fungsi ini telah melayani berbagai kegiatan melalui kerangka teoritis sebuah pekerjaan, tetapi juga menunjukkan mengapa manajemen begitu penting. Namun, semua fungsi klasik tersebut merupakan konsep-konsep yang memiliki paradigma “positivistik”. Fungsi-fungsi tersebut bersifat ‘bebas nilai’, karena itu, tidak memiliki petunjuk tentang etika. Tidak jelas apakah fungsi-fungsi tersebut harus digunakan untuk melayani kegiatan yang baik atau untuk kegiatan buruk. Ketika seorang manajer harus merencanakan, mereka dapat saja merencanakan bisnisnya untuk mencari keuntungan dengan mengorbankan orang lain. Atau sebaliknya, membuat rencana untuk mencapai misi organisasi yang selaras dengan prinsip-prinsip moral. Tidak ada resep yang tegas pada fungsi-fungsi tersebut bahwa untuk mencapai sesuatu setiap kita harus bertindak dengan cara-cara etis. Fungsi-fungsi tersebut memang bersifat “rasional” dalam artian memberikan langkah-langkah yang jelas untuk mencapai hal-hal yang diinginkan. Artinya, prinsip-prinsip ini hanya sebuah pedoman "untuk melakukan sesuatu secara benar" (to do things right). Namun fungsifungsi ini tidak memiliki 'ruh', bahwa semua langkah tersebut harus dilakukan dengan cara yang etis. Pada prinsip-prinsip ini tidak terdapat pedoman "untuk melakukan hal-hal yang benar" (to do the right things). Berbagai skandal dan kecurangan yang terjadi pada berbagai institusi publik dan privat memperjelas kondisi menyedihkan dari etika manajerial yang kering dari nilai-nilai Ilahiyah.24

24

Sebuah studi pada 2004 menunjukkan, hanya 27 persen saja karyawan merasa bahwa kepemimpinan organisasi mereka sesuai dengan prinsip-prinsip etika (J. Schramm. 2004. “Perceptions on Ethics”, HR Magazine, November 2004). Studi lainnya pada 2007 yang dilakukan terhadap 1.324 pekerja, manajer, dan eksekutif yang dipilih secara acak di berbagai industri, hampir 48 persen dari mereka mengaku melakukan tindakan tidak etis atau ilegal dalam satu tahun terakhir (M. Jackson. 2007. “Workplace Cheating Rampant, Half of Employees Surveyed Admit They Take Unethical Actions”, Peoria Journal Star, 5 April 2007). Kasus Enron, WorldCom, Tyco, HealthSouth, Lehmann Brothers yang terjadi di negara-negara maju dan mempengaruhi iklim bisnis dunia, adalah bagian bukti masalah serius yang meluas akan miskinnya etika di dunia usaha saat ini.

318

SAID MUNIRUDDIN

Kecurangan dan penyalahgunaan uang publik sedang berlangsung di berbagai tingkatan pemerintahan. Praktek-praktek manajemen yang salah di berbagai sektor publik terjadi dari tingkat nasional sampai level lokal, sehingga merugikan rakyat sebagai pemangku utama kepentingan. Ini semata-mata terjadi karena etika dan moral manajer tidak tumbuh dengan baik. Banyak gubernur, bupati, anggota dewan, hakim, polisi, dan pejabat publik lainnya yang tertangkap basah atau ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), karena terlibat kasus suap, korupsi, gratifikasi, dan tindakan abuse of power lainnya.25 Materialisme vs. Moralitas Perspektif Islam: Penyatuan Etika dalam Fungsi. Etika dapat didefinisikan sebagai: "Seperangkat prinsip-prinsip moral atau nilai-nilai yang mendefinisikan benar dan salah bagi seseorang atau suatu kelompok".26 Sumber-sumber etika bervariasi. Boleh jadi dari perintah agama (religious injunctions), kebajikan pribadi (personal virtue), keadilan distributif (distributive justice), manfaat utilitarian (utilitarian benefits), hak-hak individu (individual rights), persyaratan pemerintah (government requirements), dan kepentingan pribadi jangka panjang (long-term self-interest).27 Darimanapun datangnya, etika menjadi perhatian terbesar dalam tata cara beinteraksi, berorganisasi, dan bernegara. Melalui metode epistemologi dan ontologi Islam dapat dibuktikan bahwa sumber etika tertinggi berdimensi Ilahiyah. Sebagaimana Allahswt adalah Kebenaran Mutlak, firman-Nya menjadi petunjuk utama moralitas. Apapun yang kita lakukan adalah karena Dia dan hanya demi-Nya. Sebagaimana terbahas dalam bab ideologi, setiap praktik hidup harus merupakan turunan dari Pandangan Dunia Ilahi.

S.A. Schuette. 2008. Fighting Corruption from Aceh to Papua: 10 Stories on Corruption Eradication in Indonesia. Partnership for Governance Reform in Indonesia: Jakarta. 26 C. Williams. 2005. Management, 3rd ed, hal. 70. South-Western Cengage Learning: Ohio. 27 L.T. Hosmer. 1995. “Trust: The Connecting Link between Organizational Theory and Philosophical Ethics”, Academy of Management Review, Vol. 20, hal. 379-403. 25

BAB 8 Manajemen Berbasis Spiritual: “Tasbih Fatimah”

319

Gambar 8.1: “Manajemen Berbasis Tuhan”

@ Said Muniruddin 2013

Ini terefleksi dari ucapan "Bismillahirrahmanirrahim" (dengan Nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang), sebuah ekspresi ideologis yang mendahului setiap aktifitas. Demikian juga dalam sholat, disana ada pernyataan yang diambil dari alQur’an: "Inna Shalati, wa nusuki, wa mahya ya, wa mamati, lillahi Rabbil 'alamin" (Katakan: Sesung-guhnya sholatku, ibadahku, hidupku, dan matiku karena Allah semata, Pemelihara alam semesta -QS. alAn’am -6: 162). Sebuah “sumpah”, bahwa semua kegiatan dan rutinitas hanya demi Allahswt. Ini adalah doktrin kebajikan Ilahi bahwa setiap pekerjaan harus direncanakan, diorganisir, dilaksanakan, dan dievaluasi dalam upaya untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Dalam ajaran Islam, “Allahswt” adalah kepentingan (interest) sekaligus tujuan (goal) yang setiap orang harus kejar. Islam menginginkan “terintegrasinya nilai-nilai Ilahiyah” dalam setiap “fungsi pekerjaan” (managerial functions). Inilah “manajemen berbasis Tuhan”, manajemen yang meng-‘islam’-kan pengetahuan Fayol. Manajemen Klasik: Terpisahnya Fungsi dengan Prinsip. Berbeda dengan perspektif Islam, empat fungsi klasik versi Fayol tidak menunjukkan adanya perspektif Ilahiah. Planning, organizing, actuating, dan controlling hanya sederet fungsi yang bersifat normatif, tanpa

320

SAID MUNIRUDDIN

adanya pesan-pesan ketuhanan di dalamnya. Karena gagal memunculkan nilai-nilai etika dalam proses wording (penyusunan bahasa), maka secara konseptual akan lebih baik untuk dirumuskan kembali fungsifungsi manajemen yang menyertakan prinsip-prinsip etika di dalamnya. Tentu akan lebih sempurna jika nilai-nilai yang dibawa oleh masing fungsi tersebut diderivasi dari nilai-nilai Ilahiah. Fayol sendiri seorang ateis, yang “gagal” menawarkan fungsi-fungsi manajemen berbasis spiritual. Meskipun positivistic, Ia sendiri sadar bahwa “nilai-nilai” sangat diperlukan dalam pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen. Sehingga untuk memastikan fungsi-fungsi manajemennya berjalan efektif, ia kemudian menciptakan satu set lain “prinsip-prinsip manajemen”.28 Empat belas prinsip manajemen Fayol tersebut terlihat pada tabel berikut. Table 8.3: 14 Prinsip Manajemen Fayol.29 1. 2. 3. 4. 5. 6.

7.

Pembagian Pekerjaan (Division of Work) Kewenangan dan Tanggung Jawab (Authority and Responsibility) Disiplin (Discipline) Kesatuan Komando (Unity of Command) Kesatuan Arah (Unity of Direction) Kepentingan Individu Harus Tunduk Pada Kepentingan Umum (Subordination of Individual Interest to the General Interest) Gaji (Remuneration)

8.

Pemusatan Wewenang (Centralization)

9.

Jenjang Bertangga (Scalar Chain)

adanya spesialisasi untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi tenaga kerja. Hak untuk memberi perintah dan dipatuhi Harus ada respek dan ketaatan pada peranan dan tujuan organisasi Setiap karyawan hanya menerima intruksi tentang kegiatan tertentu hanya dari seorang atasan Operasi dalam perusahaan yang mempunyai tujuan yang sama harus diarahkan oleh seorang manajer dengan penggunaan satu rencana Kepentingan perorangan dibawah kepentingan umum

Kompensasi untuk pekerjaan yang dilaksanakan harus adil baik karyawan maupun pemilik Pemusatan kekuasaan dan desentralisasi yang tidak berlebihan. Ada keseimbangan tergantung keadaan dan keterlibatan pekerja. Adanya garis wewenang dan garis perintah yang jelas

[1] H. Fayol. 1949. General and Industrial Management, Pittman & Sons: London; [2] M. Fells. 2000. “Fayol stands the Test of Time”, Journal of Management History, Vol. 6, hal. 345-360; [3] C. Rodrigues. 2001. “Fayol’s 14 Principles of Management Then and Now: A Framework for Managing Today’s Organization Effectively”, Management Decision, Vol. 39, hal. 880-889. 29 S.P. Robbins and M. Coulter. 2009. Management. 10th ed, hal. 45. Pearson Prentice Hall: New Jersey. 28

BAB 8 Manajemen Berbasis Spiritual: “Tasbih Fatimah” 10.

Ketertiban (Order)

11. 12.

Keadilan (Equity) Stabilitas Jabatan Pegawai (Stability of Tenure of Personnel) Prakarsa (Initiative)

13. 14.

Semangat korp (Esprit de Corps)

321

Bahan – bahan dan orang – orang harus ada pada tempat dan waktu yang tepat. Menempatkan orang pada posisi atau pekerjaan yang cocok untuk mereka Persamaan perlakuan Tingkat perputaran tenaga kerja yang rendah bawahan harus diberi kebebasan untuk menjalankan dan menyelesaikan rencananya , walaupun beberapa kesalahan mungkin terjadi Perlu memiliki kebanggaan, kesetian, dan saling memiliki

Dapat dilihat bahwa sebagian besar (bahkan keseluruhan) prinsipprinsip manajemen fayol tersebut merupakan “nilai-nilai” yang menjadi landasan etika untuk fungsi-fungsi manajerialnya. Prinsip-prinsip yang dibuatnya ini, sebenarnya juga “nilai-nilai” yang bersifat universal (‘islami’). Hanya saja, prinsip-prinsip ini tidak tercermin secara langsung dalam empat fungsi manajerialnya. Tantangan Dunia dan Kebutuhan akan Paradigma Manajemen yang Beretika. “Kerakusan” adalah tantangan terbesar bagi dunia kita.30 Kita memiliki cukup sumber daya untuk hidup di alam ini, karena setiap makhluk telah diciptakan dengan jaminan rizki. Sayangnya, “keserakahan” (nafsu yang tidak terkendali) telah menghancurkan keseimbangan ini.31 Kapitalisme adalah setan yang paling nyata bagi kemanusiaan. Bisnis yang eksploitatif tidak punya nilai-nilai keimanan dalam prinsip manajemennya. Mereka dapat menjadi sangat brutal.

[1] N. Madjid. 1971. Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP HMI), Bab 7 Keadilan Sosial dan Keadilan Ekonomi. PB HMI: Jakarta; [2] S. Suranovic. 2011. “Is Greed the Problem with Capitalism?”, Liberty, 19 April 2011. 31 [1] “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya” (QS. asSyams 91: 8); [2] “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang” (QS. Yusuf -12: 53); [3] “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim. Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin” (QS. alMa’un -107: 1-3); [4] “Tetapi orang-orang yang zalim, mengikuti hawa nafsunya tanpa ilmu pengetahuan; maka siapakah yang akan menunjuki orang yang telah disesatkan Allah? Dan tiadalah bagi mereka seorang penolongpun” (QS. arRum -30: 29); [5] “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. arRum -30: 41); [6] “Dan bila dikatakan kepada mereka: ’Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi’, mereka menjawab: ‘Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan” (QS. alBaqarah -2: 11); [7] “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdo'alah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik” (QS. al’Araf -7: 56); [8] “Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan” (QS. asSyu’ara -26: 183). 30

322

SAID MUNIRUDDIN

Mereka enggan bersandar pada etika yang diajarkan para prophets. Yang ada dikepalanya cuma ajaran tentang “maksimalisasi profits”. Oleh karena itu, kita butuh paradigma baru dalam aktifitas keorganisasian dan kemasyarakatan; yang pandangan ideologisnya dapat memberi kesadaran untuk menjauh dari perilaku koruptif. Kita harus menemukan satu set baru dari fungsi-fungsi manajemen yang mendorong pengembangan moral. Yang kita perlukan bukan hanya fungsi-fungsi manajerial yang bersifat “rasional”, tetapi juga fungsifungsi yang tumbuh dari kedalaman “spiritual”. Gabungan fungsi manajemen yang rasional-spiritual ini harus menjadi sesuatu yang memandu dunia kita menuju perwujudan masyarakat ilahiyah, adil dan makmur.

TASBIH FATIMAH: MANAJEMEN BERBASIS SPIRITUAL

“Ya Fatimatuzzahra”

Tasbih Fatimah. Dalam berbagai teks dan hadits ditemukan sekumpulan frasa yang sangat terkenal: "Subhanallah”, “Alhamdulillah, “La ilaha illa Allah”, “Allahu Akbar". Ini seperangkat dzikir yang dikenal dengan “Tasbih Fatimah” atau “Dzikir al-Zahra”. Dzikir berarti "doa", "pemuliaan", atau "mengingat" (Tuhan). Dzikir atau tasbih merupakan tindakan bakti untuk lebih dekat dengan Tuhan.

Nabisaw mengajarkan putri ter-cintanya Siti Fatimah al-Zahra tasbih ini.32 Menariknya, tasbih ini pertama kali diajarkan oleh Nabisaw untuk Fatimah ‘alaihassalam dalam kaitannya dengan pekerjaan putrinya. Satu set dzikir ini dikeluarkan guna memudahkan dan memberikan nilai kepada pekerjaan yang Fatimah sehari-hari lakukan.

32

[1] A. Azizi. 2006. “The Tasbih of Fatima Zahra”, Islamic Unitarian Service: Ontario, Canada; [2] A.M. Ordoni. 1987. Fatima the Gracious, Anssarian Publications: Teheran.

BAB 8 Manajemen Berbasis Spiritual: “Tasbih Fatimah”

323

Diriwayatkan, Fatimah terbiasa mengelola rumah tangganya tanpa banyak mendapat bantuan. Disebutkan, tangan Fatimah yang lembut itu terkadang terkelupas karena beratnya pekerjaan. Bekas tali membentuk dibahunya karena harus menjinjing beban air. Bajunya kotor karena mesti mengurus dan menyapu rumah. Banyak orang, termasuk tetangganya selalu menyarankan agar ia menjumpai ayahnya untuk meminta bekal dan pelayan yang dapat memudahkan rutinitasnya. Fatimah terlalu malu untuk meminta bantuan, sampai suatu hari ia memutuskan untuk memenuhi saran-saran tersebut. Maka berangkatlah ia ke rumah ayahnya sang penguasa Arab. Segera setiba disana ia mengetuk pintu. Baginda Nabi saw membukan pintu lalu mencium putri kesayangannya. Belum sempat Fatimah mengutarakan maksud kedatangannya, Nabisaw sudah menjawab: "Wahai Fatimah! Maukah engaku kuberikan sesuatu yang pemberianku ini lebih baik dari seorang pembantu maupun dunia beserta segala isinya? Fatimah menjawab. “Mau ayah”. Rasul melanjutkan, “Ya Fatimatuz Zahra, aku hadiahkan untukmu: subhanallah, walhamdulillah, wa la ilaha illallah, wallahu akbar".33 Perkataan Nabi Muhammadsaw ini dapat ditemukan dalam berbagai buku kompilasi hadits, diriwayatkan oleh ulama dari berbagai mazhab.34 Namun ada keragaman narasi tentang urutan “Tasbih Fatimah”.35 Syi’i meriwayatkan dimulai dari Allahu Akbar, lalu Alhamdulillah, diikuti Subhanallah, dan berakhir dengan Laa ilaaha illallah. Di Sunni, seperti tersaji dalam tulisan ini, meriwayatkan bahwa “Tasbih Fatimah” dimulai dengan Subhanallah, kemudian Alhamdulillah, lalu La ilaha illallah, dan diakhiri dengan Allahu Akbar. Meskipun terdapat perbedaan dalam urutan tasbih, baik Sunnah maupun Syi’ah setuju dengan elemen-elemen tasbih tersebut, meskipun dalam beberapa hadist ada juga yang hanya menyebutkan tiga elemen saja, tanpa La ilaaha illa Allah. Bunyi teks riwayat asal usul hadist juga sedikit berbeda, namun berkaitan dengan Fatimah dan tantangan kerja yang dihadapinya.

J. Al-Suyuti. 1997, Musnad Fatimah Al-Zahra, Trans. A.R. Siddiq (Hadith No. 240, 241, 242, 243, 245, 246, 247, 248, 249, 250, 251, 252, 253, 254, 255, 256). Pustaka FirdausL: Jakarta. 34 M.B. Majlisi. 2000. Biharul Anwar, The Open School: Chicago. 35 A.M. Ordoni. 1987. Fatima the Gracious, Anssarian Publications: Teheran. 33

324

SAID MUNIRUDDIN

Selanjutnya akan kita lihat, bahwa “hadiah Nabisaw” kepada Fatimah ini sebenarnya lebih kepada sebuah ajaran manajemen yang mengandung spiritual functions. Sebuah seni me-menej yang dapat membantu seseorang untuk mencapai sesuatu, yang nilainya lebih tinggi daripada uang, status, jabatan, dan kepentingan duniawi lainnya. Fungsi Esoterik dan Eksoterik dari Tasbih Fatimah. Dalam ajaran Islam, “Tasbih Fatimah” memiliki dua fungsi. Pertama berfungsi sebagai “mantra esoteris” (guna memperindah aspek batin). Kedua, berfungsi sebagai “praktik eksoteris” (untuk memperkuat sisi lahir).36 Sebagai mantra esoteris, tasbih ini awalnya dibaca secara lisan untuk kemudian diamati secara khusyu’ dalam diri. Dzikir esoterik ini merupakan jalan irfan untuk membantu para ‘pendendang’-nya agar terhubung dengan sesuatu Yang Maha Suci, Maha Terpuji, Maha Esa, Maha Besar. Dzikir terhadap sebuah Nama menguatkan kehadiran Ilahi. Kata-kata mempunyai hubungan khusus dengan jiwa. Melalui invokasi katakata ini kita dikembalikan ke keadaan asali kita, karena kita diciptakan melalui Firman Ilahi. Olah dzikir melalui sebuah Nama Tuhan menjadi rantai transmisi menuju Arasy Ilahi. Dzikir kita kepada Tuhan adalah totalitas keperiadaan kita. Manifestasi Kesempurnaan dan Kebaikan Allahswt akan terhujam dalam ruhani, terinternalisasi dalam karakter, ketika seseorang melakukan dzikir qalbi: “menyebutkan”, “menyebut-nyebut”, dan “mengingat Tuhan”. Secara misterius, Tuhan hadir dalam NamaNama-Nya karena Cinta-Nya kepada kita.37

J.L. Michon. 2008. Introduction to Traditional Islam: Foudations, Arts, and Spirituality. World Wisdom: Indiana. 37 L. Bakhtiar. 2008. Mengenal Ajaran Kaum Sufi: dari Maqam-Maqam hingga Karya Besar Dunia Sufi, Penerj. Purwanto, hal. 47-48. Penerbit Marja: Ujungberung. 36

BAB 8 Manajemen Berbasis Spiritual: “Tasbih Fatimah”

325

Kemudian, dzikir ini juga berfungsi sebagai praktek eksoteris, yang merupakan fungsi-fungsi rasional dari manajemen. Setiap kata yang berdimensi Ilahiah ini diterjemahkan ke dalam kegiatan sehari-hari dalam bentuk tindakan-tindakan ketaatan kepada Tuhan. Tajalli (manifestasi) dari ismul ‘azham (Nama-Nama Agung) dalam tindakan dan kepribadian seseorang inilah yang membentuk “manusia sempurna”, manajer atau pemimpin yang baik.38 Pada sisi dhahir, Dzikir Fatimah merupakan praktek atau fungsi-fungsi manajemen yang ‘menempatkan’ Allahswt di tengah-tengah dari semua fungsi yang dirumuskan Fayol. Setiap ‘adat’ (pekerjaan) akan bernilai ‘ibadat’ ketika Tuhan ‘hadir’ disana. Dalam spiritualitas Islam, ‘menghadirkan’ Tuhan dalam setiap kegiatan manajerial (dari perencanaan, pengorganisasian, kememimpinan sampai pengendalian) terformulasi dalam “Tasbih Sayyidah Fatimah Zahra”: "Subhanallah, Alhamdulillah, Lailaha illa Allah, Allahu Akbar". Berikut penjelasan lebih lanjut keempat fungsi manajemen berbasis spiritual tersebut. Subhanallah. Diriwayatkan, seseorang bertanya kepada Umar bin Khatab, “Apa tafsir kalimat Subhanallah?” Umar mengatakan, “Di kebun ini terdapat seorang lelaki yang jika kamu bertanya, niscaya akan dijawabnya; dan ketika kamu diam, dia akan mulai berbicara.” Orang itu pergi ke kebun dan menjumpai Imam Ali sedang sibuk berkerja. Dia lalu mendekati Imam Ali dan bertanya, ”Apa makna Subhanallah?” Imam Ali berkata, ”Subhanallah artinya mengagungkan kedudukan Allah yang Maha Tinggi dan Maha Mulia serta menyucikan Dzat-Nya dari sifat-sifat makhluk yang diyakini orang-orang musyrik. Ketika seorang hamba mengucapkan kalimat ini, seluruh malaikat mendoakan keselamatan baginya.” Subhanallah adalah suatu kata yang diterjemahkan sebagai "Maha Suci Allah". Subhanallah juga diartikan sebagai me-“murni”-kan, mem“bersih”-kan segala imajinasi tentang Allahswt. Juga mengandung arti, eksistensi-Nya terlepas dari segala bentuk kebatilan dan sifat-sifat nisbi

38

M. Muthahhari. 2003. Perfect Man, Foreign Department of Boyad Be'that: London.

326

SAID MUNIRUDDIN

makhluk. Itu berasal dari kata aslinya sabh, berarti tidak tercampuri. Jadi, Subhanallah mengandung arti pemurnian. Allahswt berada jauh di atas segala kekurangan atau ketidak sempurnaan. Dia Maha Suci, dan kesucian-Nya melampaui segala konsep tentang kesucian.39 Kata kunci dari Subhanallah adalah “suci”. Makna implikatifnya adalah, seorang manajer (atau pemimpin) harus ‘mensucikan’ atau ‘memurnikan’ dirinya sejak fase awal kehidupan. Segala jenis ‘setan’ yang bersemayam di hati harus ‘dibunuh’ atau ‘dilempar dengan batu’ agar menjauh, sebelum memulai kegiatan. Sebelum berkarya, pikiran harus bersih dari segala jenis kebejatan dan kekotoran. "Innamal a'malu binniyat", adalah niat yang mendefinisikan nilai kerja seseorang. “Kesucian niat adalah apa yang membawa seseorang kepada kebaikan sebuah pekerjaan”, kata Jafar Shadiq guru Imam Hanafi. Ketika anda merencanakan sesuatu, rencanakan untuk kebaikan umat manusia. Jangan melihat sebuah peluang (opportunity) hanya sebagai alat untuk memperhebat diri, untuk korup, untuk menipu, dan shortterm self-interest lainnya. Lakukan demi tujuan tertinggi kehidupan: untuk kemanusiaan, dan untuk Allahswt. Subhannallah adalah fungsi pertama dari manajemen yang beretika. Inilah fungsi yang berusaha memurnikan rencana, ide, atau niat. Semuanya “dari”, “oleh”, dan “untuk” Allahswt. Gagal menyucikan diri, berarti gagal memperoleh kebahagiaan abadi. Dalam bahasa agama yang sedikit keras, setiap jiwa yang kotor nantinya akan disucikan di neraka. Karena surga bukan tempat penimbunan sampah (jiwa-jiwa yang kotor). Penting sekali nilai-nilai kesucian ini. Berbagai persoalan keorganisasian, kemasyarakatan dan pemerintahan tidak muncul secara tibatiba. Masalah sudah timbul sejak awal sebuah kegiatan dirancang. Orang-orang cenderung merencanakan kegiatan dengan “pendekatan rasional”. Berbagai program yang fantastis, dengan success indicators yang indah-indah, dibahas sedemikian rupa lalu dituangkan dalam kertas. Kenyataannya, dibelakang otak mereka terdapat pikiran bagaimana mendapatkan untung dengan memanipulasi dan mengorbankan orang lain. Banyak manajer dan pemimpin secara diam-diam merencanakan tujuan kotor, jauh sebelum proyek dimulai. Di birokrasi pemerintahan, setiap 39

M.A. Al-Razi. 1993. Tartib Mukhtar al-Shihah. Dar al-Fikr: Beirut.

BAB 8 Manajemen Berbasis Spiritual: “Tasbih Fatimah”

327

tahun disusun kegiatan-kegiatan untuk pengembangan ekonomi, kesehatan, pendidikan, infrastruktur, dan sebagainya. Namun dibalik angka-angka itu, sudah tertanam pikiran bagaimana cara mengalirkannya ke kantong-kantong pribadi. Di DPR, dalam rapat-rapatnya terdengar teriakan-teriakan perjuangan untuk kemaslahatan umat. Tapi jauh sebelum itu diteriakkan, sudah ada rencana-rencana personal, kelompok dan kepartaian; bagaimana uang itu dapat dicuri. Seseorang dipastikan telah melakukan perbuatan “syirik” (idolatry) ketika menetapkan tujuan dari pekerjaannya tanpa substansi Ilahiyah dalam hati dan pikirannya.40 “Taqwa” yang merupakan inti beragama, adalah ‘rasa takut’ atau ‘kesadaran’ akan kehadiran Tuhan (omnipresent) dalam setiap aktifitas kehidupan. Sikap tauhied ini diperlukan untuk mengusir ilusi jahat yang dapat merusak fitrah manusia. Oleh karena itu, penyucian pikiran dari niat-niat kotor mulai sejak awal perencanaan sampai tahap pelaksanaan kegiatan, adalah makna dari fungsi manajemen Subhanallah. Fungsi ini menempatkan Allahswt di atas semua kebutuhan dan kepentingan. Alhamdulillah. Adalah sebuah kata yang berarti "Segala puji bagi Allah". Kata kuncinya “puji”. Mengandung arti, apapun yang ada -yang kita menyampaikan pujian, terima kasih, atau pemuliaan terhadapnya; hanya mampu terjadi karena rahmat Tuhan yang tak terbatas. Ketika memuji seseorang, pada hakikatnya pujian itu kepada Allahswt. Sebagai dzikir internal, Alhamdulillah untuk diucapkan dengan rasa cinta yang mendalam, penuh kekaguman, syukur, pemuliaan, serta rasa hormat kepada-Nya. Tidak ada keburukan yang berasal dari-Nya. Semua ciptaan mencerminkan kebaikan, keindahan, dan kesempurnaan Tuhan. Dia lah yang memberi kehidupan kepada alam semesta. Menyanjung-Nya menjadi kewajiban kita. Ketika menuangkannya dalam praktik, Alhamdulillah menjadi sebuah pendekatan positif terhadap manajemen. Ketika mengelola orang dan sumberdaya lainnya, kita harus bersikap positif dengan menghormati dan mengakui hal-hal terbaik yang ada pada mereka. "Appreciative

40

A. Syari’ati. 1988. Religion vs. Religion, Trans. Laleh Bakhtiar. Abjad: Albuquerque.

328

SAID MUNIRUDDIN

Inquiry" misalnya, merupakan sebuah pendekatan yang belakangan ini diperkenalkan oleh D.L. Cooperrider dan D. Whitney41, merupakan manajemen berbasis Alhamdulillah. Manajemen ini menempatkan metode penghargaan (appreciation) terhadap hal-hal terbaik yang dimiliki organisasi dan individu sebagai basis perjuangan. Menghargai dan memuji orang-orang dan sumberdaya lainnya dari sebuah organisasi merupakan aplikasi horizontal dari Alhamdulillah. Melalui metode ini, sumber daya di organize sedemikian rupa dengan cara menghargai, menghormati, menjunjung, mengangkat, atau berterima kasih; bukan dengan cara mengejek, mengkritik, meremehkan, dan sikap negatif lainnya. La ilaha illa Allah. Merupakan deklarasi keyakinan akan ke-Esa-an Tuhan, "Tidak ada Tuhan selain Allah". Pernyataan ini dikenal sebagai kalimah tauhid. Pada aspek esoteris, seseorang melafalkan kata-kata ini untuk membebaskan jiwa dari penyerahan diri kepada objek-objek yang menipu, berbagai berhala, atau ‘dewa-dewi’ dunia. Pada bentuk eksoteris, pernyataan ini menyiratkan “kesatuan gerak dan tujuan”. Dalam manajemen strategis, kalimah ini berfungsi sebagai “penyatu” arah dan tujuan organisasi. Setiap orang dalam organisasi harus bergerak pada tujuan yang sama, tidak bermain sendiri-sendiri. Kita semua pada prinsipnya “satu”, tidak boleh terpecah. Karena La ilaha illa Allah adalah desain “kesatuan” tujuan perjuangan. Pernyataan ini juga mencerminkan kesatuan tindakan, kesatuan semua etnis dan ras, mengakui adanya keragaman dengan meniadakan individualisme. Kalimah tauhied menyiratkan kesatuan sistem, keunikan tim. Anggota organisasi adalah “satu” sebagai kelompok, “satu” sebagai tim, “satu” dalam semangat. Ikatan “satu Tuhan” ini melampaui sekatsekat agama dan kesukuan. Nama Ilahiah ini menjadi dasar untuk membangun the unity of team work.

41

D.L. Cooperrider, and D. Whitney. 2000. Collaborating for Change: Appreciative Inquiry. BerrettKoehler Publishers: San Fransisco.

BAB 8 Manajemen Berbasis Spiritual: “Tasbih Fatimah”

329

Allahu Akbar. Ini takbir, yang artinya "Allah Maha Besar". Frasa ini digunakan dalam berbagai konteks. Dalam ibadah formal seperti sholat, kalimat ini berulang kali diucapkan sebagai ekspresi keimanan kepada Tuhan yang tidak terjangkau kebesarannya. Pada konteks pergerakan, kalimat ini mengekspresikan "tidak memiliki rasa takut terhadap apapun, selain kepada Allah". Pada kalimat ini juga terilham kebesaran, keberanian, komitmen, determinasi, keteguhan, sekaligus kemenangan. Allahu Akbar memiliki makna bahwa semuanya kecil, tidak ada yang dapat menandingi kehebatan Tuhan. Supremasi mutlak hanya miliki Allahswt. Kebesaran-Nya tidak ada bandingan. Semuanya kecil di hadapan Tuhan. Ungkapan ini berfungsi sebagai spirit ideologis untuk mencapai tujuan. Tidak peduli bagaimanapun situasi yang dihadapi, baik pada saat-saat penuh tekanan ataupun diwaktu sedang bersuka cita, takbir sebagai fungsi manajemen spiritual memberi energi yang tidak terbatas untuk menuntaskan pekerjaan. Fungsi takbir menunjukkan komitmen tertinggi untuk memenuhi misi organisasi. Tidak hanya memberi pelakunya kekuatan, tetapi juga daya yang tidak terkalahkan. Pada spirit “Allah Maha Besar” terkandung kekuatan yang tidak seorangpun dapat menghancurkan komitmen sejati anda. Bahkan anda bersedia berjihad untuk kebaikan, serta siap menyerahkan hidup untuk melawan kebatilan. Allahu Akbar adalah fungsi leading (memimpin), actuating (mengaktualkan), atau implementing (mengimplementasikan) sebuah amanah tanpa kenal lelah. Pada fungsi yang dahsyat ini menunjukkan persona diri terbaik, untuk memenuhi misi suci, untuk menjadi yang terhebat, menjadi pemenang -di dunia dan akhirat. Setelah Allahu Akbar, fungsi manajemen kembali ke Subhanallah, yaitu “pemurnian kembali” atau “evaluasi” pekerjaan. Ini untuk memastikan bahwa pekerjaan telah tercapai sesuai dengan perencanaan dan selaras dengan nilai-nilai Ilahiah atau moral etika. Pada saat yang sama juga berfungsi sebagai kontrol terhadap kegiatan. Setiap gerakan organisasi yang menyimpang dari jalan menuju ridha Tuhan harus kembali diluruskan. Keterkaitan ke-empat fungsi ini tergambar seperti berikut.

330

SAID MUNIRUDDIN

Gambar 8.2: Tasbih Fatimah, Manajemen berbasis Spiritual

@ Said Muniruddin 2013

Fungsi-fungsi ini saling berhubungan satu sama lain. Sebagaimana fungsi-fungsi manajemen klasik, mungkin saja pada satu waktu lebih dari satu fungsi yang terlakukan. Misalnya, ketika sedang “mengapresiasi” staf (Alhamdulillah), seorang manajer melakukannya secara “jujur” dan dengan “niat yang tulus” (Subhannallah). Ketika sedang beraktifitas, seorang manajer mungkin saja sedang membangun “kesatuan” dan “kekompakan” tim (La ilaha illa Allah), dan dilakukan dengan cara memberi “penghargaan” (alhamdulillah) serta “memotivasi” timnya untuk mencapai tujuan (Allahu akbar). Semua fungsi ini bersifat interconnected, saling terkait. Sejarah Manajemen: Mengapresiasi Muhammadsaw dan Fatimah dalam Literatur. Tulisan ini memberikan sebuah pengetahuan yang selama ini tidak terangkat. Bahwa berbicara tentang manajemen, Muhammadsaw adalah seorang ‘profesor’ yang sekitar tahun 600 Masehi telah memformulasikan fungsi-fungsi manajemen bersama nilai-nilai etikanya, jauh sebelum Henry Fayol menerbitkan fungsi-fungsi klasiknya

BAB 8 Manajemen Berbasis Spiritual: “Tasbih Fatimah”

331

pada 1916 Masehi. Temuan ini menunjukkan bahwa Muhammadsaw adalah “the prophet of ethical management”, Nabinya manajemen yang beretika. Oleh karena itu, penting untuk menghargai peran Beliau dalam sejarah ide dan praktik manajemen. Karena fungsi-fungsi manajemen ini pada awalnya diajarkan Bagindasaw kepada putrinya Fatimah al-Zahra, sehingga disebut “Tasbih Fatimah” atau “Dzikir al-Zahra”. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa Fatimah adalah “the mother of ethical management” (ibu dari manajemen yang beretika). Tasbih ini merupakan “fungsi-fungsi manajemen taslim”, manajemen yang bertendensi untuk “menyerahkan diri kepada Allah”; bukan kepada nafsu, iblis dan setan. Aplikasi yang baik terhadap fungsifungsi inilah yang membentuk seorang manajer yang baik atau pemimpin yang agung. Tasbih Fatimah dan Signifikansi terhadap Peradaban. Mewarisi fungsi-fungsi ini dari Nabisaw telah bagian dari alasan mengapa Fatimah dilabeli ayahnya sebagai sayyidatun nisa-il 'alamin (pemimpin perempuan di alam semesta), juga sayyidatun nisa-il ahlul Jannah (pemimpin perempuan di surga).42 Manajemen Fatimah kemudian menyebar ke seluruh dunia Muslim. Anak cucunya memiliki peran besar dalam pengajaran tasbih manajerial ini dalam berbagai kelompok intelektual dan ordo sufisme. Terbukti, sembilan puluh sembilan persen tarikat di dunia Islam memiliki mata rantai kepada para ulama dan imam keturunan Fatimah. Alam tarikat mengajarkan dzikir-dzikir substantif yang mengasah sisi terdalam kemanusiaan, untuk kemudian diaplikasikan dalam rutinitas pekerjaan. Tasbih ini telah mencerahkan banyak generasi muslim dalam proses maksimalisasi pekerjaan. Peradaban Islam selama the dark ages -abad kegelapan Eropa, terbangun sedemikian elegan; dimana Tuhan menjadi basis dari segala kemajuan. Saat itu banyak lahir intelektual dan praktisi 42

Bukhari dalam Shahih-nya, juz 4, hal. 64; [2] Muslim dalam Shahih-nya, bab tentang Keutamaan Fatimah, juz 2; [3] al-Hamidi dalam al-Jam’u baina al-Shahihain; [4] al-Abdi dalam al-Jam’u baina alShihah al-sittah; [5] Ibnu Abdul Barr dalam al-Isti’ab pada bagian tentang Fatimah; [6] Imam Ahmad dalam al-Musnad, juz 6, hal. 282; [7] Muhammad bin Sa’ad dalam al-Thabaqat, juz 2 pada bab tentang peristiwa sakitnya Rasulullah saw, dan dalam juz 8 pada bagian tentang Fatimah; [9] Ibnu Hajar alAsqalani dalam al-Ishabah; [10] Muhammad bin Thalhah al-Syafi’i dalam Mathalib al-Su’al, hal. 7.

332

SAID MUNIRUDDIN

yang tidak hanya menguasai dunianya, tetapi juga tinggi pada dimensi moral dan spiritual. Mereka itu dokter, ahli matematika, fisikawan, pakar astronomi, sejarawan, filsuf, kimiawan, sastrawan, dan profesi lainnya; tetapi mereka juga ahli irfan (tasawuf). Mereka manusia-manusia yang pada derajat tertentu telah memiliki keseimbangan yang baik antara sisi “filosofis keilmuan” (akal) dengan “gnostik keimanan” (qalbu). Inilah “manusia-manusia tasbih”, manusia yang memiliki keseimbangan antara dimensi lahir (eksoteris) dan batin (esoteris), dunia dan akhirat, serta iman-ilmu-amal. Pada ‘wajah-wajah Fatimah’ ini kita lihat ketinggian budi pekerti atau akhlakul karimah.

KESIMPULAN Tasbih Fatimah: Relevansi bagi Bangsa. Kekhawatiran akan praktikpraktik keorganisasian dan kenegaraan yang tidak beretika mengisyaratkan re-konseptualisasi fungsi-fungsi manajemen Fayol. Berbohong, menipu, mencuri, dan berbagai skandal penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan baik di organisasi publik maupun swasta, menunjukkan kurangnya perspektif ideologis dalam bekerja. Kita memerlukan ideologi praksis yang bersumber dari sebuah “Pandangan Dunia Ilahiyah (aqidah, worldview) yang rational dan spiritual untuk membimbing segala aktifitas. Manajemen Fatimah menjadi sesuatu yang kita butuhkan guna memberdayakan sisi kebatinan sekaligus memperbaiki praktik-praktik terluar keduniaan dalam mengelola berbagai resources, sebagaimana ringkasan berikut: (1) Subhanallah (penyucian ide, niat, atau rencana); (2) Alhamdulillah (mengapresiasi sumberdaya ketika meng-organize usaha); (3) La ilaha illa Alllah (mendesain gerak kepada satu tujuan), dan (4) Allahu Akbar (berjihad secara total, rela berkorban untuk mencapai tujuan). Intelektualitas bangunan anak muda HMI yang terkadang cenderung ‘usil’, suka miring ke kiri (rasional); harus lebih diseimbangkan posisinya dengan cara ber-“tasbih”agar kembali punya kemiringan ke kanan (spiritual). Nilai-nilai spiritualitas ini sejalan dengan tujuan HMI yang

BAB 8 Manajemen Berbasis Spiritual: “Tasbih Fatimah”

333

hendak membina kader “yang bernafaskan Islam” serta mencari “ridha Allahswt”. Baik secara personal maupun organisatoris, setiap kader mesti mengikat semua independensi aktifitasnya dalam “etika tasbih”, yaitu menempatkan nilai-nilai Ilahiyah dalam setiap nafas perkaderan dan pengabdian (perjuangan). Pada saat yang sama, masyarakat juga perlu terus menerus diperkenalkan model manajemen yang berbasis Tuhan. Pada akhirnya masyarakat Indonesia akan bermetamorfosa menjadi “ahlu dzikir” -menjadi sebuah bangsa yang selalu ingat Tuhan dalam gerak dan diamnya, bangsa yang progresif serta memiliki ketinggian moral dan etika. Dengan manajamen ini kita akan memenangkan masa depan bangsa.*****

Allaahumma Sholli 'ala Faatimah, wa Abiihaa, wa Ba'lihaa, wa Baniihaa, was Sirril Mustauda'i fiihaa, bi'adadi maa ahaatha bihi 'ilmuka. “Ya Allah, sampaikan sholawat kepada Fathimah, kepada Ayahnya, kepada Suaminya, kepada kedua Putranya, dan kepada Rahasia yang terkandung di dalamnya yang hanya ada dalam Ilmu-Mu” (Sholawat atas Fathimah).”

334

SAID MUNIRUDDIN

BAB

9

Leadership: “The Power of Jamal and Jalal” APA ITU PEMIMPIN? Leader dan Leadership. Pertengahan Maret 2013, Rektor Universitas Syiah Kuala Banda Aceh baru saja melantik dekan terpilih Fakultas Ekonomi. Komentar dari pada dosen terus memenuhi inbox mailing list fakultas. Semua berharap, kepemimpinan yang baru dapat membawa perubahan bagi institusi. Ditengah membanjirnya “ucapan selamat”, seorang dosen mem-posting sebuah tulisan -refleksi tentang makna “pemimpin” dan “kepemimpinan”: Pemimpin itu seperti apa ya? Waktu kecil, kepada Ayah saya pernah bertanya: “Ayah, pemimpin itu apa ya?” Ayah saya menjawab, “Pemimpin itu Bos,” jawabnya singkat dan asal-asalan. Saya makin bingung dan penasaran. “Bos itu seperti apa Yah?” Saya mengejar bertanya. Saya melihat sedikit kebingungan di wajah Ayah yang berusaha mencari cara untuk menjelaskan yang mungkin bisa dicerna oleh anak-anak seusia saya waktu itu. “Bos ituuuu…… yang seperti apa ya? Oh iya, yang seperti itu tu!” Ayah langsung menunjuk pesawat televisi yang sedang memutar sinetron mengenai seorang pria gagah, kekar berdasi dan sedikit botak yang

336

SAID MUNIRUDDIN

sedang marah-marah di kantor. “Ooh….” Saya mangut-mangut dan tersenyum. Ternyata pemimpin seperti itu ya. Sejak saat itu, saya mulai membayangkan seorang pemimpin itu adalah seseorang yang mempunyai kekuasaan, bisa perintah sana sini, dilayani dan ditakuti pengikutnya. saya juga pernah melihat di salah satu film, bos itu cara jalannya juga beda dengan orang biasa. Dia akan berjalan dengan bahu yang ditegakkan, dada yang dibusungkan dan dagu yang dimajukan. Serta kalau pemimpin memalingkan wajahnya, hanya dagunya yang miring sedikit dengan tatapan tajam melalui ekor mata. Kalau pemimpin tersenyum juga hanya mengangguk sedikit, menarik ujung bibirnya saja dengan posisi dada yang tegap dan dagu yang tetap sedikit menengadah. Wah, ternyata pemimpin itu orang hebat ya. Semakin saya beranjak dewasa, definisi “pemimpin” semakin berkembang. Saat pelajaran agama, saya diberitahukan oleh guru sebuah Hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi; dari Ibnu Umar, yang artinya: “Dari Nabisaw bahwa beliau bersabda: Ketahuilah! Masing-masing kamu adalah pemimpin, dan masing-masing kamu akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpin. Seorang raja adalah pemimpin bagi rakyatnya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya. Seorang suami adalah pemimpin anggota keluarganya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap mereka. Seorang istri juga pemimpin bagi rumah tangga serta anak suaminya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya. Seorang budak juga pemimpin atas harta tuannya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpinnya. Ingatlah! Masing-masing kamu adalah pemimpin dan masing-masing kamu akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya”. Wah, ternyata tanpa saya sadari Ayah saya seorang pemimpin. Ibu saya juga pemimpin. Kalau dikatakan “Masing-masing kamu adalah pemimpin dan masing-masing kamu akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang dipimpinnya…” semua orang pemimpin! Berarti saya juga dong. Tapi, anak SMP seperti saya memimpin apa dan bertanggungjawab atas apa ya? Pikir saya waktu itu. Definisi “pemimpin” kian bertambah begitu saya menginjak bangku kuliah, bekerja dan menikah. Suami saya adalah pemimpin keluarga yang senantiasa mencari nafkah, melindungi dan melayani kebutuhan saya dan anak-anak. Saya juga mulai memainkan peran saya sebagai pemimpin di dalam rumah yang lebih tepat dipanggil ibu dan istri, untuk memasak, mencuci, bersih-bersih, dan melayani segala kebutuhan anak dan suami, selain saya juga harus bekerja. Lamakelamaan, kata itu mulai hilang dan saya juga sudah tidak ambil peduli

BAB 9 Leadership: “The Power of Jamal and Jalal”

lagi dengan kata pemimpin yang dulunya kerap menggelitik pikiran saya. Tapi sekarang, kata itu muncul lagi saat saya harus berhadapan dengan beberapa pemimpin di lingkungan saya bekerja. Karakternya malah semakin beragam. Akhirnya, dua tahun belakangan ini saya menemukan arti pemimpin yang sebenarnya, “pemimpin sama dengan pembantu.” Lalu, apakah saya sebagai salah seorang pemimpin perlu menyombongkan diri dengan label pembantu yang sebenarnya saya sandang. Kalau saya ingin sukses sebagai pemimpin, berarti saya juga harus berusaha keras memperjuangkan kesuksesan itu dengan menjadi seorang pembantu yang handal. Saya harus mengerahkan pikiran dan tenaga untuk melayani setiap orang yang membutuhkan saya. Keluarga, rekan kerja, masyarakat, anak didik saya, bahkan melayani pemimpin-pemimpin saya sendiri yang ujung-ujungnya juga berprofesi sama dengan saya, sebagai pembantu. Ternyata begitu bahagianya menjadi seorang pembantu. Sungguh indah, melayani dengan senyuman untuk menciptakan kebahagiaan dan kenyamanan bagi orang yang dilayani. Bukan sebaliknya, melayani dengan muka tegang dan perilaku yang menakutkan, sehingga membuat orang yang dilayani merasa tidak dihargai dan menimbulkan benci. Pembantu yang baik tidak akan membeda-bedakan dan pandang bulu orang yang dilayani. Dia bisa merasakan kebahagiaan saat dia memberikan kebaikan kepada orang lain, merasakan kepedihan saat dia melihat kesulitan orang lain. Hal yang terpenting yang harus dimiliki oleh seorang pembantu adalah power, yang artinya kekuatan untuk melayani dan menolong. Bukan power yang artinya kekuasaan untuk bertindak sesuka hati. Power itu adalah budi pekerti yang baik, yang memancar dalam sifat dan perbuatan, dalam proses membangun dan melayani mahasiswa, masyarakat, umat dan bangsa. Marilah kita menjadi pembantu yang berakhlak mulia. Yang mau melayani semua orang yang membutuhkan bantuan kita. Kelak, kita akan terkenang di hati orang-orang sebagai salah seorang pembantu yang sukses. Seorang pemimpin yang diakhir hidupnya meninggalkan sebuah catatan kepada rakyatnya: “Maafkan saya yang tidak bisa melayani kalian lebih lama lagi. Seandainya umurku masih panjang, akan kusemir sepatu-sepatu kalian, akan kusisir rambut-rambut kalian, akan kusiapkan makanan untuk kalian”. Atau menjadi pemimpin

337

338

SAID MUNIRUDDIN

yang dipenghujung nafas, dengan ikatan batin dan kasih sayang, terus berkata, “Ummati…. Ummati….”.1 Cerita di atas menggambarkan perdebatan tentang “pemimpin”. Para ahli mendefinisikan pemimpin dari berbagai sudut pandang. Perbedaan pemaknaan lahir dari perbedaan objek penilaian. Fokusnya beragam mulai dari kepribadian, karakter fisik, sampai kepada perilaku. Begitu juga dengan “kepemimpinan”, juga sebuah fenomena kompleks yang melibatkan pemimpin, pengikut dan situasi. Ada yang mengkaji kepemimpinan pada hubungan antara pemimpin dengan pengikut. Sebagian lain mempelajari cara pemimpin bertindak dalam menghadapi suatu situasi. Karena kompleksitas hubungan pemimpin-pengikut-situasi, “kepemimpinan” didefinisikan beragam. Ada yang mengartikan sebagai “Proses seorang atasan mendorong bawahan untuk berperilaku sesuai keinginannya”.2 Lain menyatakan sebagai “Proses mempengaruhi sebuah kelompok yang terorganisir untuk mencapai tujuan”.3 Ada yang percaya sebagai “Proses mengarahkan dan mengkoordinasi kerja anggota kelompok”.4 Sebagian menyebutnya sebagai “Tindakan-tindakan yang menitikberatkan pada sumberdaya yang dimiliki kelompok untuk menciptakan peluang-peluang yang diinginkan”.5 Lain mendefinisikan “kepemimpinan” sebagai “Hubungan antar-personal yang di dalamnya setiap anggota patuh kerena mereka ingin patuh, bukan karena harus patuh”.6 Lain meyakininya sebagai “Proses menciptakan kondisi yang kondusif bagi kelompok agar dapat menjadi kelompok yang efektif”.7 Ada yang menyebutnya sebagai “Kemampuan membangun tim yang solid dan berorientasi tujuan, serta memunculkan

1

2

3

4 5 6 7

C. Afrianandra. “Pemimpin itu Seperti Apa ya?”, artikel di [emailprotected], mailing list dosen Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, 25 Maret 2013. W.G. Bennis. 1959. “Leadership Theory and Administrative Behavior: The Problem of Authority,” Administrative Science Quarterly, Vol. 4, hal. 259-260. C.F. Roach dan O.Behling. 1984. “Fuctionalism: Basis for an Alternate Approach to the Study of Leadership,” dalam Leaders and Managers: International Perspectives on Managerial Behavior and Leaderhip, ed. J.G. Hunt, D.M. Hosking, C.A. Schriesheim, and R. Steward. Pergamon: Elmsford, New York. F. Fiedler. 1967. A Theory of Leadership Effectiveness. McGraw Hill: New York. D.P. Campbel. 1991. Campbel Leadership Index Manual. National Computer System: Minneapolis. R.K. Merton. 1957. Social Theory and Social Structure. Free Press: New York. R.C. Ginnet. 1996. “Team Effectiveness Leadership Model: Identifying Leverage Points for Change,” Proceedings of the 1996 National Leadership Institute Conference. National Leadership Institute: College Park, MD.

BAB 9 Leadership: “The Power of Jamal and Jalal”

339

hasil dari anggota”.8 Ada juga yang mengartikan sebagai “Bentuk yang kompleks dari pemecahan masalah sosial”. 9 “Pemimpin” adalah “Pengaruh”. Dari semua definisi yang diberikan, ada satu kata yang dapat menjembatani semua gambaran tentang “pemimpin” dan “kepemimpinan”. Kata itu adalah “pengaruh” (influence). Pemimpin adalah pengaruh. Sedangkan “kepemimpinan” adalah “proses untuk mempengaruhi orang”. Setiap manusia memiliki “peran”, yang dalam perspektif agama disebut “tugas kekhalifahan” untuk menjalankan amanah Tuhan.10 Dalam bahasa hadist disebut “tanggungjawab”: “Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin bertanggungjawab atas apa yang di dipimpinnnya” (HR. Muslim). Karena setiap orang memiliki “peran”, “tugas” atau “tanggungjawab”, maka setiap orang punya tujuan. Artinya, setiap orang baik secara personal maupun secara sosial terus berinteraksi untuk mencapai tujuan. Karena adanya tanggungjawab personal dan interaksi sosial ini, maka setiap orang memiliki “pengaruh”, baik bagi dirinya ataupun bagi orang lain. Karena masing-masing punya “kadar pengaruh” bagi diri sendiri maupun bagi orang lain, maka setiap orang adalah “pemimpin”. Oleh sebab itu; seorang ayah, ibu, guru, dosen, ulama, ustadz, komandan, presiden, ketua, bupati, camat, motivator, mentor, senior, fasilitator, inisiator, bahkan seorang pembantu sekalipun disebut “pemimpin”. Karena semuanya memiliki peran dan pengaruh terhadap seseorang atau sekelompok orang. Hanya saja, kadar “kedalaman” dan “keluasan” pengaruhnya berbeda-beda. Seseorang mungkin sangat berpengaruh bagi sebagian kecil orang saja. Misalnya, ayah dan ibu punya pengaruh mendalam, tetapi hanya bagi anak-anaknya. Mereka berdua pemimpin besar bagi keluarganya. Ada R.T. Hogan, G.J. Curphy, dan J. Hogan. 1994. “What Do We Know about Personality: Leadership and Effectiveness?” American Psychologist, Vol. 49, hal. 493-504. 9 M.D. Mumford, S.J. Zaccaro, F.D. Harding, T.O. Jacobs, dan E.A. Fleishman. 2000. “Leadership Skills for a Changing World,” Leadership Quarterly, Vol. 11, No. 1, hal. 11-35. 10 “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi…” (QS. alBaqarah -2: 30). 8

340

SAID MUNIRUDDIN

juga yang pengaruhnya meliputi banyak orang. Katakanlah seorang imam, yang punya pengaruh bagi sekelompok pengikut mazhabnya. Oleh sebab itu, semakin luas pengaruhnya, semakin besar “kadar” kepemimpinannya. Semakin dalam pengaruhnya, semakin kuat “kadar” kepemimpinannya. Dari ini dapat dipahami, sosok seperti Muhammad saw adalah orang paling luas, paling dalam, bahkan paling lama pengaruhnya. Dari ini dapat disimpulkan, “semua orang adalah pemimpin”. Hanya saja, kadar kepemimpinannya (kemampuan memberi pengaruh) berbeda-beda. Kemampuan mempengaruhi ditentukan oleh kekuasaan/ kekuatan/ daya (power) yang dimiliki. Sebelum membahas tentang “daya” (power), terlebih dahulu kita lihat perbedaan “pemimpin” dengan “manajer”. Karena pada kedua jenis manusia ini, walau sama-sama memiliki power, namun berbeda karakternya pekerjaannya. Beda “Pemimpin” dengan “Manajer”. Pemimpin maupun manajer, keduanya sama-sama orang terdepan dalam sebuah perjuangan untuk mencapai tujuan. Hanya saja ada beberapa karakteristik pekerjaan, atau pendekatan cara mereka berhubungan dengan orang-orang yang berbeda. Jika pemimpin didefinisikan sebagai orang yang mampu atau pandai “mempengaruhi” dan “menggerakkan” orang lain untuk mencapai tujuan, maka Boss vs. Leader manajer diartikan sebagai orang yang bertugas “mengelola” dan “mengkoordinasikan” kegiatan dengan melaksanakan fungsi-fungsi manajemen. Perbedaan lebih lanjut terlihat pada tabel berikut:

BAB 9 Leadership: “The Power of Jamal and Jalal”

341

9.1: Pemimpin vs. Manajer.11 PEMIMPIN

MANAJER

Tidak selalu berada dalam organisasi

Berada dalam organisasi

Tampil karena pengakuan

Jabatan fungsional

Seseorang yang diikuti

Seseorang yang dipatuhi

Otoritas pengaruh/kualitas diri

Memiliki otoritas formal

Fokus pada orang

Fokus pada pekerjaan

Memiliki “pengikut”

Memiliki “bawahan”

Melakukan hal yang benar

Melakukan hal secara benar

Membuat perubahan

Mempertahankan kebiasaan

Berfikir radikal

“Berfikir dalam kotak”

Mengikuti intuisi

Mengikuti aturan formal

Memberikan inspirasi

Merencanakan

Mempengaruhi

Mengorganisir

Memotivasi

Mengarahkan

Membangun

Mengontrol

Secara umum dapat dilihat, sebagaimana tersebut dalam tabel di atas, “manajer” lebih bersifat “rigid” dan “hirarkis”. Sementara “Pemimpin” lebih “fleksibel” dan “non-hirarkis”. Disatu sisi, pemimpin juga melakukan aktifitas-aktifitas universal sebagaimana dilakukan seseorang dalam pencapaian tujuan, yaitu: merencanakan (planning), mengorganisir (organizing), mengarahkan (directing) dan mengendalikan (controlling). Hanya saja ada perbedaan aktifitas pada masing fungsi tersebut. Seperti terlihat pada tabel berikut: 9.2: Aktivitas Pemimpin vs. Manajer.12 PEMIMPIN

MANAJER (1) PLANNING

11 12

Menyusun strategi (devise strategy)

Merencanakan (Planning)

Menentukan arah (Sets direction)

Menyusun anggaran (Budgeting)

Menciptakan visi (Creates vision)

Menentukan sasaran (Sets targets)

disari dari berbagai sumber. disari dari berbagai sumber.

342

SAID MUNIRUDDIN Menyusun langkah secara rinci (Establishes detailed steps) Mengalokasikan sumberdaya (Allocates resources) (2) ORGANIZING Mengajak orang-orang untuk menyusun strategi (Gets people on board for strategy)

Membuat struktur (Creates structure)

Membangun Komunikasi (Communication)

Merumuskan uraian tugas (Job descriptions)

Membangun Jaringan (Networks)

Menentukan pelaksana (Staffing) Membangun hirarki (Hierarchy) Mendelegasikan (Delegates) Melatih (Training) (3) DIRECTING

Memberdayakan orang-orang (Empowers people)

Menyelesaikan masalah (Solves problems)

Menyemangati (Cheerleader)

Negosiasi (Negotiates) Membangun konsensus (Brings to consensus) (4) CONTROLLING

Memotivasi (Motivates)

Mengimplementasikan sistem pengawasan (Implements control systems)

Menginspirasi (Inspires)

Mengukur kinerja (Performance measures)

Memberikan rasa keberhasilan (Gives sense of accomplishment)

Mengidentifikasi penyelewengan (Identifies variances) Memperbaiki penyelewengan (Fixes variances)

Dari tabel tersebut dapat disimpulkan, “manajer berfokus pada pengelolaan detil aktifitas”. Sementara “pemimpin lebih kepada desain hal-hal strategis”. Maka kemudian pertanyaannya adalah, siapa yang lebih kita butuhkan? Apakah yang bekerja pada “wilayah rinci dan teknis” (manajer) atau mereka yang bermain pada “aspek umum yang motivatif” (pemimpin)?

BAB 9 Leadership: “The Power of Jamal and Jalal”

343

Jika memiliki “pemimpin yang baik” namun sosok “pengelola yang buruk”, diibaratkan seperti orang yang jelas mau pergi kemana dengan mobilnya, namun tidak bisa menyetir dengan baik. Sedangkan jika memiliki “pemimpin yang buruk” namun sosok “pengelola yang baik”, sama halnya dengan menyupir secara baik, hanya tidak jelas mau pergi kemana. Sementara jika memiliki “pemimpin yang buruk” sekaligus “pengelola yang buruk”, ini biang kehancuran organisasi. Tidak tau mau kemana dan tidak mampu mengerjakan apa-apa. Akan ideal sekali jika ada orang yang tau mau kemana dan memiliki keahlian untuk menuju kesana, “pemimpin yang baik” sekaligus sebagai “manajer yang baik”. Orang-orang seperti ini mampu melakukan sesuatu yang benar (do the right things) sekaligus melakukannya dengan benar (do things right). Mereka sanggup mendisain transformasi dan gerak, sekaligus mampu mengelola orang (man), uang (money), mesin (machine) dan penggunaan metode yang tepat (method) untuk mencapai itu. Dengan kata lain, “pemimpin yang manajerial” adalah orang-orang yang punya kemampuan konseptual dan interpersonal, sekaligus kecakapan teknis. Baik pemimpin maupun manajer sama-sama dibutuhkan. Bahkan akan ideal jika seseorang memiliki kedua hal ini, kaya kualitas kepemimpinan juga punya kecakapan manajerial. Namun tidak selamanya dua kualitas ini terpadu pada satu orang, atau tidak selalu dua-duanya dibutuhkan hadir pada satu orang pada saat bersamaan. Bicara “usaha” atau “perjuangan” adalah bicara “kerjasama”. Sehingga, seorang pemimpin tetap masih membutuhkan para manajer untuk mengeksekusi visinya kepada aspek yang detil. Seorang Muhammadsaw sekalipun memerlukan orang-orang seperti istrinya Khadijah (untuk mengatur kelengkapan logistik dakwah), putrinya Fatimah (untuk mengepalai tim ‘palang merah’), menantunya Ali (menjadi koordinator lapangan), serta sahabat-sahabatnya seperti Salman alFarisi (merumuskan detil strategi), ataupun lainnya seperti Abubakar, Umar, dan Usman untuk urusan-urusan lainnya. Jadi, pemimpin dan manajer sama pentingnya; tergantung tantangan dan kebutuhan pembagian peran. Sumber-Sumber Kekuatan atau Kekuasaan (Power). Seorang pemimpin ataupun manajer yang efektif, memiliki kekuatan dalam menjalankan perannya. Apalagi pemimpin yang dimaknai sebagai “pengaruh”, maka pengaruh merupakan “daya”, “kekuatan”, atau

344

SAID MUNIRUDDIN

“kekuasaan” (power). Dengan adanya power seseorang memiliki “pengaruh”, sehingga disebut “pemimpin”. Oleh sebab itu, “Kepemimpinan” didefinisikan sebagai “kemampuan, proses atau seni mempengaruhi orang”. Kepemimpinan akan efektif ketika seseorang memiliki power yang efektif. Karena melalui power seorang mampu menggerakkan, menggali visi, menginspirasi, mentransformasi, mengangkat hati, memerintah, membimbing, menghukum, atau membuat sesuatu terjadi. Darimana power ini diperoleh? Ada lima sumber power (otoritas, kekuatan, atau kekuasaan): Pertama, “legitimasi” (positional, legitimate power): menjadi pemimpin karena jabatan. Seorang raja atau presiden memiliki kekuasaan begitu besar untuk mengatur sebuah bangsa, karena ia secara politis ‘sah’ meraih kekuasaan, seperti melalui kesepakatan atau Pemilu. “Legitimasi” adalah sebuah sumber pengaruh. Namun berpengaruh hanya karena legitimasi kedudukan, dapat melahirkan fir’aunic leadership (Kepemimpinan Fir’aun). Tiga puluh dua tahun duduk di istana negara, telah menjadikan Suharto misalnya, semacam tuhan bagi Partai Beringin dan kroni-kroninya. Kedua, “paksaan” (coercive power): menjadi pemimpin karena punya kekuasaan untuk menghukum bahkan menghakimi. “Kekuasaan berasal dari laras senjata”, kata Mao.13 Seorang direktur atau manajer perusahaan mampu menekan stafnya untuk disiplin bekerja, karena ia punya kekuatan untuk memecat jika mereka berani menentangnya. “Paksaan” adalah sebuah sumber “Sumber-Sumber Kekuasaan” pengaruh. Namun berpengaruh hanya karena kemampuan memaksa, akan melahirkan hammanic leadership (Kepemimpinan Hamman). Melalui militer misalnya, Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) seperti LB Murdani punya kekuatan untuk menembaki rakyat yang mengkritisi pemerintah Orde Baru.

13

J. Man. 2010. The Leadership Secret of Genghis Khan. Azkia Publisher: Tangerang.

BAB 9 Leadership: “The Power of Jamal and Jalal”

345

Ketiga, “imbalan” (reward power): menjadi pemimpin karena kekayaan. Seorang majikan mampu menguasai orang-orang miskin untuk menjadi pembantu di rumahnya, karena punya uang untuk membayar mereka. “Kapital” adalah sebuah sumber pengaruh. Namun berpengaruh hanya karena modal, akan melahirkan qarunic leadership (Kepemimpinan Qarun). Betapa banyak pengusaha-pengusaha yang memperlakukan tenaga kerja tak ubahnya binatang pekerja. Mereka dijanjikan upah rendah untuk menghasilkan uang yang besar bagi majikannya. Pengusaha-pengusaha ini juga menyuap pejabat pemerintah untuk pengurangan pajak, perpanjangan izin tambang, pemenangan tender, serta kepentingan bisnis lainnya. Keempat, “kepakaran” (expertise power): menjadi pemimpin karena pengetahuan dan kecakapan. Seseorang diminta pendapatnya, didengar, dan diikuti karena punya pengalaman, pengetahuan dan keahlian. “Ilmu pengetahuan” dan “keahlian” adalah sumber pengaruh. Namun berpengaruh hanya karena pengetahuan dan keahlian, akan melahirkan bal’amic leadership (Kepemimpinan Bal’am). Betapa banyak ulama, profesor, ilmuan, dan praktisi yang punya kecerdasan untuk membimbing masyarakat kepada perubahan, tetapi justru mengabdi pada penguasa yang despotis (tiranik). Akademisi berbagai universitas ternama di Indonesia disekolahkan ke pusat-pusat pendidikan ternama di luar negeri. Sepulang dari sana justru menjadi penyambung ide-ide liberalisme dan kapitalisme. Pada masa politik etis-kolonialis banyak lahir kaum terpelajar, namun bergaya Belanda. Bahkan menjadi penyambung lidah ide-ide sekuler dan hukum-hukum positivistik mereka. Hari ini, di zaman global-kapitalis, juga lahir orang-orang terdidik dari dalam dan luar negeri. Tetapi kemudian mereka malah menjadi kebarat-baratan. “Keislamankeindonesiaan” adalah otensitas yang tidak semestinya hilang pada diri orang-orang cerdas. Kelima, “akhlakul karimah” (referent power): menjadi pemimpin karena memiliki akhlak batin (kepribadian) dan akhlak zahir (perbuatan). Secara personal pada dirinya terdapat kualitas-kualitas yang menjadi contoh moral. Pada sikapnya terpancar nilai-nilai kebenaran, kebaikan, keindahan, dan kesucian. Dari perbuatannya terpancar karakter tauhied, ikhlas, adil, ihsan dan rasa bertanggungjawab. Tidak hanya secara individu ia baik, secara sosial

346

SAID MUNIRUDDIN

juga aktif. Ia cerdas, dan kecerdasannya diabdikan pada jalan Tuhan. Karena kesalehan individual dan sosialnya, ia menjadi suri tauladan dan referensi bagi banyak orang. Aura personalnya menimbulkan bekas mendalam di hati kawan maupun lawan. Kepribadiannya merupakan wujud dari Asmaul Husna (sifat jalal dan jamal Tuhan). Dia ofensif sekaligus persuasif dalam mengubah jalannya sejarah. Semua power ini (legitimasi, paksaan, imbalan, keahlian, dan akhlakul karimah) adalah “alat” untuk “mempengaruhi”. Kuat sekali “sinar” anda jika mempunyai semuanya. Tetapi jarang seseorang memiliki segalanya. Menguasai satu saja dapat menjadikan seseorang sebagai pemimpin. Seorang tiran misalnya, hanya dengan memiliki kekuatan untuk memaksa (coercive) menyebabkan ia layak disebut leader. Tetapi ia tidak layak disebut pemimpin sejati (the true leader), karena mempengaruhi orang hanya dengan paksaan. 14 “Akhlakul Karimah”: Daya Kepemimpinan Para Nabi. Dalam konsepsi Islam, akhlakul karimah merupakan sumber energi utama untuk memimpin. Melalui akhlakul karimah semua daya politis lainnya (legitimasi, imbalan, paksaan, dan keahlian) tunduk kepada hukumhukum ilahiyah. Kesetiaan pengikut karena nilai-nilai ketauladanan lebih bersifat ideologis, dibandingkan pengaruh jabatan, paksaan, dan uang yang malah melahirkan konstituen yang pragmatis, oportunis, dan avonturir. Disebabkan tingginya nilai-nilai kebenaran (siddiq), kejujuran (amanah), kecerdasan (fathanah), dan pengajaran (tabligh) yang terkandung di dalamnya; “akhlakul karimah” bernilai inspiratif, karismatik dan memiliki keabadian efek terhadap pengikut. Akhlakul karimah merupakan fondasi dari prophetic leadership (kepemimpinan para nabi). Bandingkan dua pemimpin besar dunia berikut ini: Muhammadsaw dan Jenghis Khan. Bagaimana “cara” mereka mempengaruhi? Darimana “sumber” pengaruh atau kekuasaan mereka? Jenghis Khan. Siapa yang tidak kenal tokoh besar abad 13 masehi (1162-1227) yang aslinya bernama Temujin. Meng14

J.M. Burns. 1978. Leadership. Harper & Row: New York and London.

Jenghis Khan

BAB 9 Leadership: “The Power of Jamal and Jalal”

347

habiskan masa kecil sebagai anak miskin, ia kemudian berubah menjadi penguasa dunia. Pada akhir usia 65 tahun, luas kerajaannya dua kali Imperium Romawi dan empat kali wilayah taklukan Alexander the Great. Kekuasaannya terbentang dari Mongol sampai sebagian besar Asia. Bandingkan dengan Muhammadsaw. Beliau juga anak miskin abad 6 masehi (570-632), namun dalam 63 tahun usianya hanya menguasai sebilah jazirah Arab. Dari sisi penguasaan harta dan tanah, Muhammadsaw jelas kalah jauh sekali kalah dengan Jenghis Khan. Namun tidak seperti Jenghis Khan yang berperang untuk “gold and glory”, Muhammadsaw berjuang untuk membangun sebuah sistem keyakinan. Akhirnya, “Islam” menjadi sebuah ajaran yang bahkan pada abad modern ini dinyatakan sebagai agama paling pesat perkembangannya, di barat sekalipun.15 Sementara Jenghis Khan dan raja-raja lainnya berperang untuk tanah dan kekayaan, sehingga tidak meninggalkan apa-apa untuk dunia hari ini, kecuali puing-puing kebesaran.16 Seperti halnya Muhammadsaw yang mendapat mandat dari Tuhan, Jenghis Khan juga mengklaim penaklukannya sebagai restu dari “Khökh Tenger”, “Langit Biru”, “Langit Abadi” atau Tuhan. Meskipun sama-sama memiliki “visi langit”, Jenghis mewujudkannya melalui dua misi. Pertama, sebagaimana umumnya bangsa barbar, ia berjuang untuk menunjukkan kekuatan atau misi ke-‘aku’-an. Ia memang kuat. Kekuatannya digunakan untuk menguasai dunia. Padahal seperti kata pepatah, “dunia kita bukanlah seluruh dunia”. Misi lainnya adalah untuk membalas dendam kepada mereka yang berani mengkhianatinya. Secara sangat kejam ia memusnahkan semua musuh-musuhnya. Suatu ketika ia membantai 2,5 juta muslim di Kerajaan Khorazim (Khawarezmian Empire), sebuah wilayah yang terbentang dari Uzbekistan, Turkmenistan, sampai Iran dan Afghanistan sekarang. Sumber masalahnya adalah, Raja Khorazim pernah mengeksekusi 100 utusan dagang Mongol karena dianggapnya mata-mata Jenghis. Tidak menerima perlakuan itu, Jenghis menempuh perjalanan 3000 km untuk menuntaskan sakit hatinya. Tidak hanya untuk mengeksekusi raja dan pejabat-pejabat yang terlibat di dalamnya, tetapi seluruh penduduk sipil 15 16

UKBBCNEWS. Shocking Statistics: Islam, The Fastest Growing Religion In The West. July 29, 2011. J. Man. 2010. The Leadership Secret of Genghis Khan, hal. 185-187. Azkia Publisher: Tangerang.

348

SAID MUNIRUDDIN

yang ada di sana. Disebutkan, satu pasukan Mongol membantai sampai 400 penduduk Khorazim di lapangan terbuka. 17

Wilayah Taklukan Jenghis Khan

Hal yang sama terjadi di Xi Xia Cina, bangsa Tangut musnah sampai anak cucu karena serbuan Jenghis. Bangsa ini pernah maju dengan bahasa, tulisan, dan seni budayanya. Tapi dibuat oleh Jenghis hilang dari jejak sejarah. Masalahnya hampir sama, panglima kerajaan Xi Xia pernah membangkang kehendaknya. Tapi anehnya, seluruh rakyat Tangut menjadi sasaran kanibalisme dendamnya. 18 Disebut sebagai ‘Hitler’ abad 12, Jenghis membunuh tanpa kecuali. Tua, muda, laki, perempuan, sampai anak-anak dibantai tanpa kecuali. Ia berpolitik secara rasial. Perang demi perang hanya untuk menunjukkan eksistensi klan Mongol-nya. Meskipun ia sangat ahli, murah hati, peduli dan dedikatif tehadap bangsa dan orang-orang yang setia, namun kemampuan menghukum dan melakukan genosida (coercive) begitu dominan dalam warna kepemimpinannya. Seperti juga Muhammad saw, ia secara tidak langsung menciptakan agama baru. Tetapi bedanya, Jenghis membangun agama atas dasar nafsu dan kekuatan fisik: “agama 17 18

Ibid. Ibid, Hal. 200.

BAB 9 Leadership: “The Power of Jamal and Jalal”

349

kekerasan”. Sebuah ajaran yang berada di luar batas-batas kemanusiaan yang dilanjutkan oleh para penerusnya, termasuk Kubilai Khan cucunya, serta negara-negara adikuasa dunia lainnya pada dewasa ini. 19 Sekarang kita lihat Muhammadsaw. Anak dari klan Quraisy ini mengusung tema Islam: “penyerahan diri” kepada Tuhan dan “menebarkan damai” bagi umat manusia. Visi ilahiyah “La ilaha illa Allah”-nya membawa pesan kesatuan dunia di bawah Tuhan yang Rahman (Pemurah) dan Rahim (Penyayang). Ajarannya menolak kapitalisme, eksploitasi, arogansi dan penindasan yang kuat terhadap yang Islam: “Berserah Diri” dan “Damai” lemah. Ia mendedikasikan hidup untuk menyampaikan kepada dunia pesan-pesan tentang Keadilan dan Ihsan. Untuk mencapai tujuan ini, ia mengedepankan diplomasi sekaligus tidak segan-segan mengasah pedang jika terancam. Di Badar pertama, ia asah pedang dan susun barisan untuk menghadapi orang-orang musyrik yang hendak membungkam gerakan politik Islamnya. Namun dalam Futuh Makkah, pengampunan lebih ia utamakan kepada mereka yang berkhianat dan pernah menyiksanya. Musuh terbesarnya Abu Sufyan diampuni. Padahal ia membawa pulang dari Madinah sepasukan besar tentara bersenjata. Muhammad berpolitik untuk membawa pesan-pesan universal kemanusiaan, bukan untuk vested-interest sebuah partai politik atau klan Quraish-nya. Ia bangun sebuah agama kemanusiaan yang berbasis rasionalitas dan spiritualitas. Agama yang membawa manusia pada puncak literasi dan peradaban melalui pesan “Iqra”. Berbeda dengan the Great Warrior Jenghis Khan yang tidak meninggalkan peradaban, the

19

Kebrutalan zionisme Israel dan kampanye Perang US ke berbagai belahan dunia merupakan reinkarnasi budaya holocaust Jenghis Khan dan Adolf Hitler. Jumlah suku Indian yang mati ketika pendirian negara Amerika, sipil yang menjadi korban ketika perluasan negara ini ke Meksiko, serta nyawa yang melayang ketika invansi bersama sekutunya ke Irak dan Afghanistan diperkirakan melebihi rekor yang pernah dicapai Jenghis dan Hitler. Jumlah yang terbunuh mencapai 4.6 juta (Irak sejak 1990), 5.6 juta (Afghanistan sejak 2001), 2 juta (Palestina sejak 1936), 2.2 juta (Somalia sejak 1992), 0.1 juta (Syria sejak 2011), 0.1 juta (Libya sejak 2011), and hanya Tuhan yang tau berapa di Yaman, Mali, and Pakistan (Sumber: G. Polya. “10th Anniversary of US Iraq Invasion: 2.7 Million Iraqi Deaths”, countercurrent.org (20 Maret 2013).

350

SAID MUNIRUDDIN

Greatest Phophet Muhammadsaw meninggalkan alQur’an, literatur teragung dalam sejarah manusia.20 Dibanding Jenghis Khan dan pemimpin-pemimpin dunia lainnya, Muhammadsaw memiliki kepemimpinan yang lengkap. Pada dirinya berkumpul dua kekuasaan: “kekuasaan spiritual” atas umat, serta “kekuasaan politis” terhadap masyarakat dan negara. Seperti kata Cak Nur tentang efective leadership, “penegakan agama menjadi lebih mudah ketika memiliki kekuasaan kenegaraan”. Pada seorang “misionaris” yang bernama Muhammadsaw terdapat dua hal ini, Nabi sekaligus Presiden. Perpaduan dua kekuasaan yang jarang ada pada orang lain ini juga terdapat pada salah satu penerusnya Ali, seorang Imam yang juga Khalifah. “Nabi” dan “Imam” adalah “pemimpin spiritual” yang membawa pengaruh panjang pada generasi setelahnya, karena mereka mewariskan ilmu dan nilai. Di bawah pemimpin dunia yang spiritualis, semua daya lain seperti legitimasi (legitimate power), kemampuan menghukum (coercive power), memberi imbalan (reward power), kepakaran (expertise power); tunduk pada kehendak ilahiah. Ini yang membuat kharisma mereka abadi. Bahkan semakin hidup setelah mereka tiada. Oleh sebab itu, tidak benar jika “Islam” disebut sebagai “agama pedang” atau “agama perang”. Muhammadsaw dan sahabat-sahabatnya memang berperang. Tetapi dilakukan karena bahasa persuasifnya dilawan dengan kejahatan dan ancaman kematian. Muhammadsaw dan team-nya kumpulan laki-laki sejati. Mereka berani berdakwah dengan bahasabahasa penuh hikmah, juga tidak sedikitpun gentar terhadap ancaman. Betul mereka menggunakan pedang. Tapi pesan sesungguhnya adalah alQur’an, ayat-ayat suci yang sampai hari ini menjadi faktor utama yang membuat hati manusia luluh kepada Tuhan. Ayat-ayat yang menjadi penyebab statistik keyakinan terhadap Islam di Eropa dan Amerika terus meningkat pada hari-hari belakangan ini. Bangsa ini, tanpa kecuali kader patut mengambil pelajaran dari sumbersumber kekuasaan ini. Pertama, kita harus menjauhi ‘kanibalisme’ dalam berorganisasi, berbangsa dan bernegara. Perilaku ini tidak membangun peradaban dan tidak meninggalkan sesuatu bagi masa depan, selain memori buruk bagi kemanusiaan. Apa yang sudah dibangun oleh 20

J. Man. 2010. The Leadership Secret of Genghis Khan, hal. 185-187. Azkia Publisher: Tangerang.

BAB 9 Leadership: “The Power of Jamal and Jalal”

351

republik ini dari memerangi Aceh, Timtim dan Papua dalam berbagai operasi militernya? Tidak ada, selain catatan pelanggaran hak asasi kemanusiaan. Demikian juga dengan budaya premanisme yang mulai tumbuh dalam berbagai organisasi, termasuk HMI. Ini sesuatu yang tidak sehat. HMI harus lebih mendekatkan diri kepada Muhammad saw daripada preman-preman pasar. Sekuriti organisasi harus lebih ditingkatkan, supaya ‘preman’ dan ‘penumpang gelap’ yang disusupkan oleh musuh-musuh Islam tidak mendapat tempat. Jika HMI dibajak oleh orang-orang ‘sakit’, akan tumbuh budaya kekerasan dan penipuan. Sebagian kecil orang ‘sakit’ inilah yang terkadang menjadi imej organisasi. Padahal banyak sekali waliyullah yang lahir dari himpunan ini, tetapi tidak selalu ter-publish oleh media sebagai citra organisasi. Karena media pun banyak yang ‘sakit’. Sering kita baca bagaimana sejumlah media melakukan character assassination terhadap HMI, dengan selalu mengaitkan nama HMI pada seorang alumni yang sedang menghadapi dakwaan. Bukan hendak mengatakan bahwa anggota dan alumni HMI bebas dari kesalahan. Tetapi dalam berbagai kasus, terjadi kriminalisasi sistematis terhadap kader-kader Islam yang sedang tumbuh, yang dilakukan oleh kelompok-kelompok anti Islam. Dianggap akan sangat berbahaya jika Indonesia dikuasai oleh kader-kader Islam yang akademis dan memiliki kecerdasan politis. Maka usaha mematikan citra kader-kader muslim serta mendorong umat Islam percaya kepada mereka, menjadi salah satu pola gerakan kelompok laten kapitalis, zionis dan palangis.21 Kedua, dari semua sumber kekuasaan tersebut, hanya akhlakul karimah yang membuat pemiliknya menjadi “manusia sejati” (insan kamil). Silakan miliki semua kekuatan lain. Kita butuh uang, legitimasi, kepakaran, dan senjata untuk membangun pengaruh. Namun semua itu “Orang-orang Yahudi dan Nasrani (yang jahat) tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti ideologi mereka….” (QS. alBaqarah -2: 120). 21

352

SAID MUNIRUDDIN

harus menjadi “alat” (bukan tujuan) untuk membangun. Semua daya tersebut mesti digunakan untuk melawan arogansi dan eksploitasi musuh-musuh Islam serta untuk membangun masyarakat beradab -yang mencintai dan berani membela kebenaran. Penting untuk memiliki semua jenis kekuasaan. Tetapi jauh lebih penting jika semua kekuasaan itu eksis dalam akhlak terpuji. Hari ini, pemimpin seperti Sayyid Hasan Nasrallah dapat dilihat sebagai salah satu contoh pemimpin yang cukup lengkap. Ia hidup dijantung perjuangan melawan zionis. Tidak hanya ia “memimpin militer” dan berperang untuk ‘mendidik’ Israel; ia juga “ahli dzikir” dan “ulama intelektual”. Penting bagi para kader pejuang dan alumni HMI untuk memiliki kelengkapan kekuasaan. Di atas itu semua, akhlakul karimah menjadi inti power penggerak perubahan.

PEMIMPIN: “DILAHIRKAN” ATAU “DICIPTAKAN”? “Pemimpin itu Dilahirkan” (Leaders are Born). Menarik untuk ditanyakan, “Apakah kemampuan memimpin (mempengaruhi orang lain) sesuatu yang dibawa sejak lahir, atau yang dipelajari selama hidup?” Banyak yang percaya, leaders are born. Ada beberapa penjelasan bahwa dari segi (1) keturunan, (2) fisik, dan (2) watak; seseorang menjadi pemimpin merupakan bawaan lahir. Pertama, “Syarat menjadi raja adalah terlahir sebagai anak raja”. Sudah “nasib” seorang anak raja untuk kemudian hari menjadi raja, kecuali terjadi kudeta. Yang mengkudeta pun akan jadi raja, dan anaknya juga jadi raja. Tidak bisa dipungkiri, sampai hari ini model kepemimpinan diberbagai belahan dunia masih dibangun dengan sistim keturunan. Salah satu negara ‘adidaya Eropa’ Inggris, dan ‘adidaya Asia Tenggara’ Malaysia adalah contoh negara-negara maju yang mengadopsi sistem ini. Kepemimpinannya bersifat turun-temurun. Raja adalah orang berpengaruh (pemimpin), memiliki kekuasaan yang legitimate, punya kemampuan menghukum dan memberi

BAB 9 Leadership: “The Power of Jamal and Jalal”

353

imbalan, dan terkadang juga punya banyak keahlian. Sebagaimana halnya fenomena presiden di alam demokrasi, raja juga demikian; ada yang memiliki akhlaq mulia (berlaku adil dan ihsan), juga ada yang dhalim. Untuk menjadi raja, tentunya harus punya ayah seorang raja. Tidak hanya kerajaan, prinsip “pemimpin turun-temurun” juga dianut oleh sejumlah partai-partai besar pada abad modern ini. Di India, Partai Kongres Nasional yang hari ini dipimpin oleh Sonia Gandhi mempertahankan “trah” Gandhi sebagai pemimpin politik mereka. Demikian juga di Indonesia, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) masih menetapkan “darah” Sukarno sebagai ketua umumnya. Setelah Megawati, anak cucu Proklamator RI kelihatannya masih akan didudukkan sebagai pemimpin mereka. Banyak pandangan modern yang menolak “keturunan” sebagai standar penentuan leadership. Sebagian mengatakan, “merit system” (prestasi seseorang) lebih adil untuk dijadikan sebagai faktor penentu posisi kepemimpinan. Hal ini tidak salah. Namun ada sebagian lain justru menolak faktor “keturunan” karena mereka sendiri tidak punya ketokohan, tidak memiliki cerita kepahlawanan, tidak ada kharisma tentang diri, keluarga dan nenek moyang. Sehingga berusaha menghancurkan situs-situs kebesaran masa lalu lawan politiknya. Ini yang misalnya coba dilakukan oleh ekstrim wahabisme terhadap peninggalan-peninggalan Syarief Makkah yang pernah mereka kudeta, termasuk situs-situs Nabisaw, keluarga dan keturunannya; dengan dalih “bid’ah” dan “syirik”. Kedua, “wujud fisik” juga menjadi penentu kemampuan untuk mempengaruhi (kepemimpinan). Ada aura personal pada penampilan. Beberapa bangsa atau suku tertentu di dunia secara genetis memiliki “ketinggian” dan “kecantikan” di atas rata-rata ras lain. Berbagai lomba kecantikan seperti miss universe dan miss indonesia adalah bentuk pengakuan terhadap outer beauty. Meski ada pertanyaan-pertanyaan juri untuk menguji kecerdasan, namun mudah dipahami bahwa untuk dapat tampil di panggung, “kecantikan fisik” syarat paling utama. Demikian juga dengan iklan-iklan sebagian besar produk di televisi, wanita-wanita “cantik” dan laki-laki “ganteng” lebih dipilih sebagai alat untuk mempengaruhi pemirsa.

354

SAID MUNIRUDDIN

Warna kulit juga menjadi penentu kepemimpinan. Atas dasar ini, belum ada pemimpin tertinggi Katolik Roma (Pope, Paus) dari negro. Negara maju seperti Amerika sekalipun, harus menunggu 200 tahun untuk mengeliminasi ‘warna’. Pun ketika Barrack Hussein Obama terpilih, nada rasis cukup kental. Sampai kapanpun, manusia tetap menilai bawaan lahir sebagai kelayakan menjadi pemimpin. Indonesia juga punya sindrom serupa. Susilo Bambang Yudhoyono dua kali terpilih menjadi Presiden Indonesia. Disebut-sebut bahwa (terutama bagi ABG: ‘Anak Baru Gede’) salah satu faktor penyebab ia terpilih jadi presiden adalah karena “lebih tinggi” dan “lebih gagah” dari lawan-lawannya. Semua faktor genetik ini (tinggi, cantik, putih dan sebagainya) membuat orang berpengaruh. Sehingga muncul nasihat, “untuk memper-baik-i keturunan, kawinlah dengan orang yang cantik atau ganteng”. Dianggap ada unsur “baik” pada wujud fisik keturunan. Unsur yang membawa keberuntungan, mudah mendapat pengaruh. Masalah akhlak relatif. Banyak pemimpin yang fisiknya ‘menarik’ punya akhlak yang bagus. Disamping banyak juga yang cantik dan ganteng tapi akhlaknya rusak. Sama halnya dengan orang yang fisiknya ‘tidak begitu menarik’, ada yang akhlaknya baik, ada juga yang tidak. Ketiga, “watak” (sifat-sifat bawaan) juga menjadi faktor paling berpengaruh terhadap eksistensi seseorang. Banyak orang yang jadi pemimpin tanpa pernah mengikuti kursus-kursus kepemimpinan. Sebaliknya, banyak pakar leadership menjadi pemimpin yang buruk. Bawaan lahir sangat berpengaruh. ‘Sifat bawaan’ ini secara saintifik dibuktikan benar ada. Teori kromosom X dan Y, mitokondria deoxsiribonukleidacid (DNA) sudah menjadi kepercayaan ilmiah. Setiap orang mewariskan sesuatu kepada keturunannya melalui “zarrah”. Seseorang punya kemampuan untuk melahirkan “anak yang baik” ataupun “anak yang buruk” melalui gen. Secara genetis, orang tua menjadi penentu model dan karakter dasar kepemimpinan anakanaknya. DNA merupakan “blue print”, rangkuman eksistensi leluhur yang ada pada diri seseorang baik berupa sifat, watak, sampai jenis penyakit.

BAB 9 Leadership: “The Power of Jamal and Jalal”

355

Artikel “Anak Haram” di harian Serambi Indonesia menjelaskan tentang ini.22 Bahwa sifat, tabi’at, watak, atau bakat kepemimpinan seseorang merupakan bawaan lahir (genetis). Awalnya judul artikel tersebut menuai protes dari aktifis pejuang hakhak anak. Istilah “anak haram” tidak ada dalam Undang-Undang Perlindungan Anak. Agama juga tidak memiliki konsepsi seperti ini. Jadi kenapa kata-kata “anak haram” muncul? “Anak haram” adalah konstruksi sosiologis, sebutan masyarakat kita untuk anak yang lahir di luar nikah. Namun secara substantif dapat dibuktikan bahwa “anak haram” lebih dari itu. Melalui perspektif syari’at dan kajian genetis, “anak haram” dalam pengertian yang lain benar-benar eksis. Dalam makna yang lebih luas, “anak haram” adalah mereka yang lahir dari sebuah totalitas “sistem produksi”, baik sebagian atau keseluruhannya dilakukan secara “haram”. Islam itu kaffah. Sesuatu idealnya dinilai secara menyeluruh. Jika bicara sistem, harus dilihat secara utuh. Mulai dari input, process, dan output. Anak hasil zina adalah “output” yang lahir dari sebuah “process” yang haram, yakni tanpa nikah. Sementara ada banyak model anak lain yang lahir justru dari “input” yang haram, meskipun “process”-nya halal. “Output” dari “input” haram inilah yang banyak lahir di sekeliling kita, bahkan dalam keluarga kita. Boleh jadi itu anak kita, atau kita sendiri. Seorang ayah atau ibu yang bekerja dengan cara haram akan menghasilkan pendapatan haram. Kerja-kerja tersebut dapat berupa merampok, mencuri, menipu, korupsi, atau manipulasi. Semua ini kerjakerja kapitalisme, mengakumulasi kekayaan dengan cara-cara haram. Pendapatan yang berasal dari usaha yang benar dan beretika pun dapat menjadi harta kotor, ketika tidak dibersihkan dengan zakat dan pengeluaran sosial lainnya. Penghasilan haram dan kotor inilah yang kemudian menjadi rumah, pakaian, dan pangan. Jadi, dalam perspektif fiqh dan etika bisnis, keharaman makanan tidak hanya dari segi “dzat” makanan itu sendiri, tetapi juga dari “cara perolehan” dan “penggunaan”.

22

S. Muniruddin, “Anak Haram”, opini di harian Serambi Indonesia, Minggu:16 September 2012.

356

SAID MUNIRUDDIN

Makanan hasil manipulasi dan korupsi inilah yang mengisi perut kita. Makanan ini berubah jadi darah, daging dan tulang. Makanan haram ini juga yang membentuk “sperma”. Benih dari saripati makanan haram inilah yang jadi cikal bakal keturunan. Lahirlah “anak-anak haram”. Lalu mereka tumbuh menjadi pemimpin negara. Inilah pemimpin-pemimpin yang berasal dari benih haram. Mata rantai “anak haram” inilah yang kini mewarnai dan menguasai setiap sendi kehidupan bangsa. “Anak-anak haram” inilah yang kini sedang diperangi oleh berbagai gerakan anti korupsi di Indonesia. Menurut lembaga survey korupsi internasional Transperancy International (TI), sampai tahun 2012 misalnya, Indonesia masih sangat korup. Kita ada pada rangking 118 dari 174 negara. Peringkat 10 besar terbersih diduduki negara-negara Skandinavia, Eropa, Amerika dan Australia. Ini pertanda Indonesia termasuk negara yang masyarakatnya masih banyak makan haram. Dari sisi “dzat” makanan, negara-negara terbersih itu juga masih rutin makan haram (babi misalnya). Tetapi dari sisi keharaman “cara perolehan”, kita bahkan lebih kapitalis (korup) dari mereka. Ditambah dengan tajamnya laju population growth, jangan-jangan menjadi indikasi tingginya angka kelahiran “anak haram” di negeri kita. Sejumlah penelitian memperkuat analisa ini. Tahun 2012 misalnya, tingkat korupsi tertinggi lembaga negara dipegang oleh DPR, disusul kantor pajak, kepolisian, militer, partai politik, dan kejaksaan.23 Ini dapat menjadi kesimpulan bahwa kontribusi kelahiran “anak haram” paling banyak diberikan oleh lembaga-lembaga terhormat tersebut. Meski tidak dapat dipungkiri, korupsi ada di berbagai sektor dan lembaga publik dan privat lainnya, dari pusat sampai daerah. Maka, menjadi anak orang kaya di Indonesia, belum menjamin keselamatan. Karena pertanyaannya, darimana orang tua kita membawa pulang semua harta. Gaji kecil, kenapa rumah besar. Posisi sebagai staf biasa, tapi asetnya dimana-mana. Beruntunglah yang memiliki orang tua sederhana, walaupun pas-pasan, membawa pulang sesuatu dari sumber yang halal. Jangan sedih dengan kemiskinan orang tua. Karena boleh jadi, dalam kekurangan itulah mengalir darah yang bersih dan terbentuk genetik yang suci.

23

Penelitian Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS) pada Mei 2012 di 168 kabupaten/ kota di 33 provinsi.

BAB 9 Leadership: “The Power of Jamal and Jalal”

357

Memang setiap anak terlahir dalam keadaan “suci”, karena jiwanya tidak pernah membawa dosa warisan. Namun, peran orang tua dalam pembentukan wujud anak tetap ada. Seperti kata hadist, “Setiap anak terlahir dalam keadaan suci, orang tuanya lah yang membuat mereka jadi Yahudi dan Nasrani”.24 Wujud manusia merupakan gabungan dari “ruh” dan “materi”. Ruh itu sesuatu yang suci dari Tuhan. Sementara fisik berasal dari darah orang tua. Artinya, jiwa memang terlahir dalam keadaan bersih, namun tubuh kita bagian dari materi dunia. Boleh jadi kita ini anak dari saripati makanan yang halal lagi baik atau (“anak suci”). Atau bisa jadi produk dari orang tua yang korup, atau anak dari saripati makanan haram (“anak haram”). Inilah makna hadist; lahir dalam keadaan “suci”, tapi tumbuh dalam cangkang ‘yahudi’ dan ‘nasrani’. Itulah mengapa, ketika hendak berkeluarga, Rasul saw memberi 4 alat penilai: “Seorang wanita dinikahi karena empat perkara: karena “hartanya”, “keturunannya”, “kecantikannya”, dan “agamanya”. Maka pilihlah wanita yang mempunyai agama, niscaya kamu beruntung” (HR. Bukhari dari Jabir bin Abdillah). Dalam empat perkara itu, “harta” menjadi penekanan awal. Bukan “banyak” harta, namun lebih kepada “kebersihan” harta. Karena dari harta yang bersih lahir anak yang bersih. Faktor “anak siapa” (keturunan) juga muncul lebih awal dalam urutan pilihan yang disarankan Nabisaw, dibandingkan elemen “agama”. Padahal menurut logika awam, bukankah yang pertama harus dilihat adalah “agamanya”? Ternyata tidak. Karena awal seseorang menjadi baik atau buruk, bukan pada agama, melainkan genetik. Agama lebih kepada sesuatu yang diajarkan ketika sudah besar. Sementara genetik itu bawaan lahir, sebuah komponen dasar pembentuk watak. Meski unsur “keturunan” penting sekali, namun pilihan “se-agama” juga sesuatu yang dianjurkan. Karena hadist tersebut mengisyaratkan, “menyembah Tuhan yang sama” akan membawa “keberuntungan”. Begitu pentingnya aspek “keturunan”. Tidak heran banyak orang tua kita memiliki sebuah tradisi, jika bertemu seorang anak selalu bertanya,

24

Hadits diriwayatkan oleh Malik dalam Al-Muwaththa (No. 507); Ahmad bin Hambal dalam Musnadnya (No. 8739); Bukhari dalam Kitabul Jana`iz (No. 1358, 1359, 1385).

358

SAID MUNIRUDDIN

“Siapa ayah mu?”. Mengapa itu pertanyaannya? Seperti kata pepatah, “Ayah kencing berdiri, anak kencing berlari”. Atau, “Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”. Bagaimana ayah, begitulah anak. Memang pendidikan dapat merubah perilaku seseorang. Namun tidak bisa dibantah, jika genetik mewarisi sifat-sifat terbaik (atau terburuk) nenek moyang. Ada klan tertentu yang secara umum dikenal memiliki kesamaan watak. Ada sekelompok orang yang turun temurun dikenal sebagai pencuri, rakus dan licik. Ada ‘sakit bawaan’ yang susah disembuhkan, se-alim apapun mereka. Begitu juga dengan sejumlah orang, walaupun telah dibina siang malam, sifat jahatnya tetap dominan. Walaupun disekolahkan sampai ke jenjang doktor, watak korupnya tidak hilang. Dilatih sampai menjadi jenderal sekalipun, tabiat mengumpulkan harta haram tidak kunjung lekang. Sekuat apapun sistem yang dibangun, mereka masih mencari cara untuk mencuri. Diyakini ini “warisan genetic” yang buruk dari indatunya. Mungkin sudah menjadi hobi nenek moyangnya memakan makanan yang buruk, atau memperolehnya dengan cara-cara yang buruk. ”Warisan Genetik”

Maka jika ingin membuat perubahan, perbaikilah keturunan. Untuk menciptakan pemimpin yang unggul di masa depan, ubahlah generasi. Mulailah dari “rekayasa genetik”. Rubahlah darah. Rubahlah sperma. Bagaimana ini dapat dilakukan? Pertama, “sucikan makanan”. Hindari makan yang haram. Tidak hanya haram dari segi “dzat” yang dikandung, tetapi juga dari “cara perolehan”, “pengolahan”, dan “penggunaan” (halalan tayyiban).25 Totalitas kesucian makanan inilah yang menjadi penentu kesucian bibit keturunan. Pada ceramah singkat Ramadhan 1433 H di sebuah stasiun televisi swasta,

[1] “Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah (QS. anNahl -16: 114); [2] “Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya” (QS. alMaidah -5: 88); [3] “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu (QS. alBaqarah -2: 168). 25

BAB 9 Leadership: “The Power of Jamal and Jalal”

359

Mahfud MD yang saat itu menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi menceritakan: “Pernah suatu ketika, seorang pemuda bernama Sayyid Abu Sholeh, tanpa sengaja memakan sebuah apel yang hanyut di sungai. Baru setengah dia makan, teringat bahwa pohon tersebut ada pemiliknya. Disusurinya sungai tersebut untuk dicari si empunya kebun guna dimintai maaf. Ketika bertemu, si pemilik apel bersedia memaafkan, jika Sayyid Abu Sholeh mau menjadi tukang kebunnya. Selama 12 tahun sesuai persyaratan, si Sayyid bekerja. Tetapi kemudian, si pemilik kebun menambahkan syarat baru, akan dimaafkan jika bersedia menikahi anaknya yang buta, tuli dan bisu. Ingin darahnya suci dari setengah apel yang 12 tahun lalu dimakannya serta memperoleh maaf dari pemiliknya, Sayyid Abu sholeh kembali mengiya-kan. Ternyata anak perempuan yang bernama Sayyidah Ummul Khair Fathimah itu cantik sekali, tidak seperti yang digambarkan ayahnya. Apa yang dimaksud dengan ‘buta’ adalah tidak suka melihat yang dilarang, ‘tuli’ tidak suka mendengar hal-hal buruk, serta ‘bisu’ tidak berbicara kotor. Dari perkawinan kedua darah suci ini lahir ‘Hujjatul Islam’ Imam alGhazali.” Kisah yang diceritakan Mahfud MD, yang juga Koordinator Presidium Korps Alumni HMI (2012-2017) ini, sangat populer di kalangan fuqaha dan sufi. Pengikut Hanafi mengklaim cerita ini berhubungan dengan kelahiran Abu Hanifah. Ada yang mengatakan ini sebagai asal-usul alGhazali. Sementara lain meyakininya sebagai awal kemunculan seorang sufi pendiri mazbah isyraqi, Shihabuddin Suhrawardi. Lainnya menyebutkan sebagai kisah asal usul wali qutb Sayyid Abdul Qadir alJailani. Terserah siapa itu, satu pesan penting dari cerita ini, “Jika ingin hidup bahagia, memiliki keluarga serta nasab yang bersih, jauhilah makanan yang haram, terutama dari hasil korupsi”, sebut Mahfud. Nabi kita Sayyidina Muhammadsaw adalah manusia yang paling suci makanannya. Disebutkan dalam sebuah riwayat, anak beliau Fathimah lahir dari “benih makanan syurga”. Ini bukan cerita baru. Siti Maryam sendiri diabadikan dalam alQur’an sebagai salah satu manusia yang mendapat “hidangan dari Tuhan” ketika sedang bermunajat di mihrabnya. Dari saripati makanan syurga ini lahir dari maryam sesosok “manusia suci”, Ruhullah Isa as. Sebagaimana tersebut dalam ayat:

360

SAID MUNIRUDDIN

“Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakariya pemeliharanya. Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakariya berkata: "Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?" Maryam menjawab: "Makanan itu dari sisi Allah". Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.” [QS. Aali ‘Imran -3: 37]. “Hidangan” serupa juga pernah dikonsumsi Rasulsaw. Diriwayatkan, suatu ketika baginda Nabisaw sedang duduk disebuah tepi sungai dengan sahabat-sahabatnya. Tiba-tiba ia didatangi Jibril yang membawa pesan Tuhan yang menyuruhnya berpuasa selama 40 hari. Selama itu pula beliau tidak diperkenankan berkumpul dengan istrinya. Lalu ia mengutus salah satu muridnya Ammar bin Yasir untuk menemui Khadijah, menyampaikan pesan bahwa ia tidak akan pulang selama 40 hari dan akan menghabiskan waktunya beribadah di rumah Fatimah binti Asad, ibunda Ali bin Abi Thalib. Pada hari terakhir ibadah dan puasa, Beliau mendapat “sajian berbuka dari syurga” yang diantar sejumlah malaikat. Nabisaw hendak berbagi makanan tersebut kepada orang-orang, tetapi dilarang oleh Tuhan. Kata Jibril, makanan itu hanya dikhususkan baginya. Seusai memakannya, beliau diperintahkan Allahswt untuk menemui istrinya. Dengan penuh kerinduan Khadijah menyambut suami tercinta yang telah sekian lama berpisah dengannya. Dari saripati makanan suci inilah terbentuk nutfah,

BAB 9 Leadership: “The Power of Jamal and Jalal”

361

yang tersemai dalam rahim Khadijah. Dari benih inilah lahir seorang perempuan, yang syurga selalu merindukannya: Fathimah azZahra.26 Oleh karena itu, selain dijuluki “Sayyidah anNisa-i al’Alamin” (pemimpin wanita di alam semesta), “Sayyidah anNisa-i Ahlul Jannah” (pemimpin wanita di syurga), “azZahra” (yang bersinar), “alBatul” (yang melepaskan diri dari dunia dan mengabdikan diri hanya kepada Allah); “alMuhaddatsah” (wanita yang mampu berkomunikasi dengan ruh-ruh suci”); Fathimah juga digelari Rasul saw “Haura Insiyyah” (bidadari syurga dalam bentuk manusia). Ini karena wujudnya fisiknya berasal dari saripati makanan syurga. Bahkan diriwayatkan, Nabi saw berkata, “Setiap kali aku rindu akan harum semerbaknya syurga, maka aku cium bau harum putriku Fatimah, karena ia diciptakan dari makanan syurga”.27 Karena kesucian makanan Rasul ini maka anaknya Fathimah menjadi “manusia suci”, yang perkawinannya dengan Ali melahirkan “imamimam” terbaik umat manusia. Ibrahim as juga demikian. Beliau dan anak keturunannya menjadi para nabi dan pemimpin besar (imam) karena bagusnya genetik. Namun Ibrahim as: Ayah Para Nabi memiliki nenek moyang yang baik tidak selalu menjamin keturunan yang baik. Banyak keturunan Ibrahim as yang secara aqidah melenceng, seperti Yahudi. Mereka diberitakan dalam alQur’an disebut sebagai kelompok “pengkampanye riba” [QS. anNisa’- 4: 161]. Bahkan kapitalisme global pun dipopulerkan oleh banyak ekonom dan praktisi Yahudi. Dalam studi “Sejarah Pemikiran Ekonomi” kita temukan sejumlah penggagas kapitalisme berasal dari kelompok mereka. Pun demikian, dengan segala model kedhaliman, mereka masih menjadi penguasa “politik” dan “ekonomi” global. Ini karena potensi besar dalam diri mereka. Mungkin juga karena mereka keturunan Yahudi pengikut Musa as, yang pernah mendapat asupan menu manna wassalwa.28 I. Amini. 2003. Fathimah Az-Zahra, hal. 16, Penerj. A. Yahya. Penerbit Lentera: Jakarta; Riwayat ini dapat dibaca dalam Durrul Mansur, Mustadrak Shahihain, Dzakhairul Uqbah, dan Tarikh Bagdadi. 27 A. Azizi. 2006. Kisah Fathimah Az-Zahra, cet. III, hal. 122. Penerbit Qarina: Jakarta. 28 “Dan telah Kami teduhi atas kamu dengan awan dan telah Kami turunkan kepada kamu manna dan salwa. Makanlah dari yang baik-baik yang telah Kami anugerahkan kepada kamu. Dan tidaklah mereka yang menganiaya Kami, akan tetapi adalah mereka menganiaya diri mereka sendiri.” (QS. alBaqarah -2: 57). 26

362

SAID MUNIRUDDIN

Genetik makanan langit ini masih mengalir dalam darah mereka sampai hari ini. Meskipun berperilaku jahat dan diazab Tuhan berkali-kali, mentalitas Yahudi untuk menguasai dunia masih saja tinggi. “We are the choosen People”, kata mereka. Yahudi itu anak turunan Ya’qub, cucu Ibrahim dari garis Ishaq. Sementara dari garis Ismail, lahir Muhammadsaw, Fathimah dan anak turunannya bersama Ali. Jika anak cucu Ibrahim dari garis Ishaq (Yahudi) melahirkan banyak pemimpin yang menguasai “ekonomi global”, maka dari jalur Ismail (Quraish) muncul banyak imam yang merajai “spiritualitas Islam”.29 Khumaini, satu-satunya pemimpin dunia Islam abad modern yang berhasil memimpin revolusi Islam menurunkan Syah Reza Fahlevi dan mengusir Amerika serta Inggris dari Iran, adalah keturunan Muhammadsaw dari Fathimah dan Ali. Hasan Nasrallah; intelektual, panglima militer sekaligus pemimpin spiritual Hizbullah di Lebanon yang berhasil mengalahkan Israel dalam perang 33 hari tahun 2006, juga anak turunan manusia-manusia mulia ini. Umar bin Hafiz, salah satu ulama Hadramaut yang melahirkan banyak da’i dan majelis dzikir di Indonesia dewasa ini, juga turunan makhluk-makhluk agung itu. Ahlussunnah Waljama’ah sendiri punya fondasi yang kuat pada anak turunan Rasulsaw. Adalah Nu’man bin Tsabit -dikenal Imam Abu Hanifah, Imam pertama Sunni, selama dua tahun belajar dan memverifikasi ilmunya pada Ja’far asShadiq. Ja’far ini maha guru fiqh dan irfan. Beliau cucu ke-4 Rasulsaw dari garis Fathimah. Nasab lengkapnya; Ja’far bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali dan Fathimah binti Rasulullah saw. Tentang ketinggian ilmunya, Abu Hanifah pernah berkata, “Celaka Nu’man jika tidak dua tahun belajar dengan Ja’far Shadiq”. 30 Artinya, jika apa yang dipelajari Imam Hanafi tidak pernah dikonfirmasi kebenarannya kepada Ja’far Shadiq, maka mazhabnya bermasalah. Mazhab Abu Hanifah sendiri punya kemiripan dengan Mazhab Ja’fari, dimana “rasionalisme” sangat diapresiasi. Banyak pemimpin instan yang siang-malam muncul ke bumi. Namun pemimpin sejati lahir dari kesucian jiwa dan fisik. Muhammadsaw dan 29 30

Suzanna dan Muzaffar. 2010. Ahlul Bait dan Kesultanan Melayu. Washilah Enterprise: Malaysia. [1] A. Halim al-Jundi. Al-Imam ash-Shadiq, hal. 163. Majlisul ‘Ala: Kairo; [2] Ibnu Hajar dalam asSawaiq al-Muhriqah, penerbit Maktabah al-Qahirah, Kairo 1385 H.

BAB 9 Leadership: “The Power of Jamal and Jalal”

363

keturunannya merupakan contoh nyata dari janji Tuhan kepada Ibrahim, untuk menjadikan anak cucunya yang bertaqwa sebagai “imamimam” bagi manusia (QS. alBaqarah -2: 124). Ibrahim as itu manusia paling taat kepada Tuhan. Dia diuji berkali-kali. Beliau itu “pengusaha”, tetapi tidak berlaku riba’. Beliau juga “memimpin” tetapi tidak tiranik. Darahnya terbentuk dari makanan yang suci. Sehingga dari genetiknya dikemudian hari muncul manusiamanusia berpengaruh. Di Amerika, seorang calon pemimpin wajib ditelusuri “anak siapa”. Tes genetik dilakukan pada semua kandidat presidennya. Bagi mereka, negara punya kewajiban mengetahui rekam jejak calon pemimpin, termasuk siapa dan bagaimana nenek moyangnya. Bahkan, di negaranegara maju, binatang pun ada uji genetiknya. Kuda misalnya, di teliti asal-usulnya (nasab), lalu dibuat “sarakata” atau sertifikat silsilahnya. Tukang adu ayam sekalipun punya kebiasaan serupa. Memilih mana ayam petempur harus dengan menelisik nasabnya, terkadang ada surat keasliannya. Memang sama-sama kuda, ayam, dan sebagainya; namun ada kategori mana bibit unggul, mana bukan. Tidak hanya binatang, tumbuhan juga demikian. Jika benihnya palsu, maka pertumbuhan batangnya tidak akan baik, bahkan tidak menghasilkan buah sebagaimana diharapkan. Sertifikasi juga tradisi wajib dalam pengidentifikasian bendabenda penting seperti logam. Memang sama-sama logam. Tapi ada jenis “logam mulia” dan “logam biasa”. Tanpa sertifikat keaslian, kepemilikan emas menjadi tidak bermakna. Begitulah, nilai jual benda mati pun diwakili oleh selembar sertifikat. Isu sertifikasi kini semakin mengemuka. Organisasi dan bisnis juga mengejar selembar bukti “mutu” dari International Organization for Standardization (ISO). Kualitas guru dan dosen juga mulai disertifikasi. Akuntan, dokter, pengacara, dan berbagai profesi, “keaslian” mereka juga terletak pada “selembar kertas”. Kebutuhan “sertifikasi” juga tidak kalah pentingnya dalam penelusuran genetik manusia. Memang sama-sama manusia. Namun ada yang berasal

364

SAID MUNIRUDDIN

dari “bibit tertentu”, ada yang tidak. Ada bangsa, kaum atau suku tertentu di dunia ini yang sudah ratusan bahkan ribuan tahun memberi apreasiasi terhadap pencatatan keturunan. Memang di sisi Tuhan, yang mulia adalah yang bertaqwa (QS. alHujurat -49:13). Tapi tahukah kita, “taqwa” itu bukan martabatnya seseorang yang darah dan fisiknya tumbuh dari makanan haram. Sehingga dalam Islam, salah satu fungsi puasa adalah untuk membakar diri, menghilangkan lemak haram dari tubuh. Di akhir proses kelaparan fisik inilah, muncul jiwa taqwa. Bahkan Adam as diperintahkan untuk berpuasa selama 30 hari setelah ‘dilempar’ ke dunia akibat ‘mengkonsumsi’ secuil ‘makanan haram’. Selama 30 hari inilah diriwayatkan, saripati makanan buruk tersebut dibakar melalui puasa agar hilang dari tubuhnya. Inilah asal-usul puasa Ramadhan kita yang harus 30 hari itu. Hanya saja disebutkan, Adam as berpuasa total selama 30 hari dan baru berbuka pada hari ke-30. Kita diberikan rahmat oleh Tuhan dengan berbuka pada setiap penghujung hari.31 Sholat, dzikir, do’a, membaca alQur’an, dan ibadah lainnya juga demikian. Berfungsi untuk memberi perubahan positif pada molekulmolekul darah. Penelitian Dr. Masaru Emoto dari Universitas Yokohama Jepang dalam bukunya “The True Power of Water: Healing and Discovering Ourselves” menyebutkan, molekul-molekul fisik (seperti air) dapat berubah menjadi indah setelah dibaca kata-kata yang positif. Demikian juga jika dibaca kalimat-kalimat negatif, kristal air akan berubah buruk.32 Itulah fungsi ibadah dalam agama, disamping menyucikan jiwa, juga untuk merubah atom-atom di tubuh menjadi baik, sehingga mempengaruhi perilaku yang lebih baik. Oleh sebab itu, “potensi taqwa” diyakini terwariskan melalui “molekul genetik”. Kemudian melalui pendidikan kesadaran jiwa, nilai-nilai ini semakin berkembang. Maka jika ingin memperbaiki keturunan dan melahirkan pemimpinpemimpin besar, perbaikilah diri kita. Kita tidak menginginkan dari sulbi kita lahir anak cucu yang “busuk”. Kita punya peluang memperbaiki mata rantai DNA untuk generasi selanjutnya. Caranya, disamping dengan

31 32

A.J. Amuli. 2001. Rahasia-Rahasia Ibadah. Penerbit Cahaya: Bogor. M. Emoto. 2006. The True Power of Water: Healing and Discovering Ourselves. MQ Publishing: Bandung.

BAB 9 Leadership: “The Power of Jamal and Jalal”

365

“intensitas ibadah”, pastikan juga bahwa “semua yang masuk ke perut” adalah halal. Jika pun terlanjur memakan hasil korupsi dan manipulasi, “bertaubatlah”. Bagaimana cara bertaubat dari korupsi? Apakah cukup dengan memohon ampun kepada Allahswt, dan berjanji tidak mengulangi? Atau memadai dengan distribusi sebagian hasil korupsi kepada orang miskin? Atau selesai dengan naik haji dan beristighfar di depan Ka’bah? Imam Ali memberi petunjuk tata cara taubat dari dosa korupsi: “Jika engkau mengambil hak-hak orang lain, maka pertama harus kau kembalikan semua hak orang itu. Kemudian mohon maaf kepada orang yang haknya telah kau ambil. Pastikan ia mema’afkan mu. Jika tidak, engkau akan celaka. Setelah mereka mema’afkan, lalu berpuasalah. Bila perlu sampai kurus, untuk memastikan semua daging yang tumbuh dari makanan haram itu hilang dari tubuh mu. Lalu mohon ampunlah kepada Allah. Baru kemudian ada harapan Allah akan mengampuni mu”.33 Begitu pentingnya menjaga kejelasan sumber makanan. Ali sendiri sering menjilati sisa-sisa makanan dari jari-jari istrinya Fathimah. Karena kelihatan “lebai”, sahabatnya bertanya, “Kenapa kau lakukan itu Ali?”. Beliau menjawab, “Hanya untuk memastikan bahwa aku tau dari mana asal makanan yang masuk ke perutku”.34 Ali melakukan ini karena Rasulsaw pernah bersabda, “Siapa yang tubuhnya tumbuh dari yang haram, maka ia lebih layak menjadi umpan api neraka”. Allahswt pun mengingatkan, “Jaga dirimu dan keluargamu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu” [QS. atTahrim -66: 6]. Jika benar-benar mencintai keluarga, jangan beri mereka makanan dari pendapatan haram. Karena hal tersebut dapat menyebabkan mereka layak bersama kita, satu paket, diTujuan Syari’ah (Maqashid Syari’ah) S. F. al-Ha'iri. 2005. Tanyalah Aku Sebelum Kau Kehilangan Aku: Kata-Kata Mutira Imam Ali bin Abi Thalib. Pustaka Hidayah: Bandung. 34 H. Alhusaini. 2007. Imamul Muhtadin: Ali bin Abi Thalib. Pustaka Hidayah: Bandung. 33

366

SAID MUNIRUDDIN

bakar di neraka. Oleh sebab itu, mencari rizqi mesti bersesuaian dengan hukum dan etika ilahiyah. Pastikan pendapatan kita “bersih”, yaitu suci dari syubhat dan haram. Sebab, diantara maqashid syariah -“tujuan syariah” adalah: memelihara harta; memelihara keturunan; memelihara akal; memelihara jiwa; (5) memelihara agama. (1) (2) (3) (4)

Berawal dari kesucian harta dan makanan lahir pemimpin-pemimpin yang memiliki bawaan “zarrah suci”, yang suci akal dan jiwanya. Inilah bibit-bibit penjaga agama. Disebut alJili, insan kamil adalah “citra Tuhan” termasuk pada sisi kesempurnaan dzat (selain asma, sifat, dan af’al). 35 Dzat Tuhan tentu terlalu suci dan diluar nalar manusia. Namun kesempurnaan dzat manusia dapat ditelusuri dari kesucian material pembentuknya. Dari teori leaders are born, ada beberapa hal yang relevan bagi organisasi seperti HMI. Pertama, meskipun penerimaan anggotanya bersifat terbuka, organisasi perlu melacak dan merekrut “bibit-bibit unggul”. Genetik yang baik, jika diolah melalui proses training yang baik, akan menghasilkan kader-kader terbaik. Kedua, perlu doktrin-doktrin training yang lebih mendalam tentang proses pembentukan diri dan keturunan melalui kesucian makanan, pendapatan, atau harta perolehan. Perlu ketajaman doktrin-doktrin yang menanamkan kebencian terhadap perilaku korup (kapitalis). Menghindari perilaku korup tidak hanya membentuk “akhlakul karimah”, tapi juga membentuk “genetik” yang baik untuk generasi masa depan. Ketiga, intensitas ibadah, dzikir, do’a, munajat dan sholawat harus lebih ditingkatkan guna memperbaiki molekul-molekul fisik dan kesucian jiwa.

35

A.K. alJaili. 2009. Insan Kamil: Ikhtiar Memahami Kesejatian Manusia dengan Sang Khalik hingga Akhir Zaman, diterjemahkan oleh Misbah el-Majid dari “Insan Kaamil fi Ma’rifah al-Awahir wa al-Awail”. Pustaka Hikmah Perdana: Surabaya.

BAB 9 Leadership: “The Power of Jamal and Jalal”

367

“Pemimpin itu Diciptakan” (Leaders are Made). Meskipun dalam banyak kasus, “genetik” dan “pengalaman awal keluarga” memiliki peran signifikan dalam pembentukan kepribadian, karakter, intelektual, dan keahlian interpersonal seseorang dalam memimpin; pandangan lain berusaha membantah ini. Sejumlah ahli berpendapat, genetik tidak memiliki peran. Yang sepenuhnya menentukan adalah “proses”. Pengalaman, kerja keras, kesempatan, pendidikan, pelatihan, semuanya menjadi pembentuk seorang pemimpin.36 Penganut teori ini percaya, “siapapun dapat dilatih menjadi pemimpin”. Setiap manusia yang lahir merupakan material dasar untuk diasah menjadi leader. Hanya pengalaman hidup yang menjadikan seseorang menjadi pemimpin. Dalam pandangan ini, kepemimpinan dilihat sebagai sebuah ilmu dan seni yang dapat dipelajari. Pandangan ini diluruskan oleh sebuah pandangan yang lebih menyeluruh: “pemimpin itu dilahirkan, sekaligus diciptakan”. “Pemimpin itu diLahirkan, sekaligus Diciptakan” (Leaders are Born and Made). Perdebatan “are leaders born or made?” sampai hari ini terus berlanjut.37 Mana yang benar? Pandangan terakhir menyatakan, “keduanya benar”. Karena masing-masing punya argumen yang kuat dan contohcontoh. Namun “keduanya juga salah”, karena meyakini bahwa pemimpin muncul hanya karena faktor genetis, bertentangan dengan fakta pengembangan kepribadian manusia yang diperoleh melalui pengalaman dan pendidikan. Meyakini bahwa pemimpin muncul hanya karena faktor pengalaman dan

J.B Watson. 1924. Behaviourism, dalam “The Psychology Book” Bab: “Anyone, Regardless of Their Nature, can be Trained to be Anything”, hal. 66-71. DK: London, 2012. 37 W. Gentry, J.J. Deal, S. Stawiski, and M. Ruderman. 2012. Are Leaders Born or Made? Perspective from the Executive Suite. Center for Creative Leadership: Greensboro. 36

368

SAID MUNIRUDDIN

pendidikan, juga berseberangan dengan bukti bahwa genetik juga menentukan karakter seseorang. Mencari seseorang yang menjadi pemimpin karena hal berbeda; satu murni karena genetik, serta lainnya murni karena pengalaman hidup atau pendidikan, adalah pekerjaan tidak berujung. Pada akhirnya disadari, pemimpin adalah interaksi antara kedua ini: “perolehan lahir sekaligus pengayaan hidup”. Sebuah pandangan inklusif ini meyakini leaders are born and made: “pemimpin itu dilahirkan sekaligus diciptakan”. Sebagaimana terjelaskan berikut: Apakah seorang guru besar (profesor) dilahirkan atau dibentuk? Secara konsep persoalannya sama saja dan jawabannya pun sama, yaitu setiap guru besar dilahirkan sekaligus dibentuk. Tampaknya cukup jelas bahwa guru besar tersebut separuh “dilahirkan” karena (diantara faktor-faktor lainnya) terdapat komponen genetis yang mempengaruhi kecerdasan. Dan kecerdasan tentu saja memainkan peran bagi seseorang untuk menjadi seorang guru besar (Ya, paling tidak sedikit berperan!). Tetapi, setiap guru besar juga separuh “dibentuk”. Salah satu alasannya adalah bahwa para guru besar harus menguasai ilmu paling tinggi dari sebuah bidang ilmu. Bahkan dengan gen yang tepat sekalipun, seseorang tidak dapat menjadi guru besar tanpa pengalaman-pengalaman tertentu yang diperlukan. Menjadi seorang guru besar sebagian tergantung pada yang dimiliki seseorang sejak lahir dan sebagian lain tergantung pada cara bawaan lahir tersebut dibentuk melalui pengalaman. Hal serupa berlaku untuk kepemimpinan”.38 Sains punya penjelasan yang baik tentang “kepemimpinan” sebagai “watak bawaan lahir”, yang “dalam prosesnya perkembangannya menjadi lebih baik atau bahkan lebih buruk”. Berbagai studi menjelaskan, karakter psikologis memiliki stabilitas dalam jangka waktu yang lama. Sering kita jumpai kawan lama, setelah puluhan tahun tidak bertemu, kita temukan dia dengan watak dan karakter yang masih seperti dulu. Ini menginformasikan bahwa watak alami seseorang tetap adanya. Karakter psikologis ini memiliki kaitan dengan kepemimpinan. Ketertarikan dan ketidaktertarikan orang-orang untuk menjadikan seseorang sebagai pemimpin dipengaruhi oleh karakter bawaan ini. Namun, kualitas-kualitas karakter ini juga kita jumpai terjadi perubahan ke arah yang positif atau negatif, setelah orang tersebut hidup dalam 38

R.L. Hughes, R.C. Ginnet, dan G.J. Curphy. 2012. Leadership: Enhancing the Lessons of Experience, edisi 7, hal. 13-14, penerjemah P.I Izzati. Penerbit Salemba Humanika: Jakarta.

BAB 9 Leadership: “The Power of Jamal and Jalal”

369

lingkungan tertentu. Artinya watak lahir sudah ada, tetapi perjalanan hidup dapat menumbuhkan atau menghancurkannya. Penelitian lain juga mengindikasikan, banyak kemampuan kognitif dan sifat-sifat kepribadian seseorang, setidaknya sebagian, merupakan bawaan lahir. Bahkan sudah terbentuk atau dapat dibentuk sejak dalam kandungan (sering ibu hamil disarankan untuk membaca alQur’an atau mendengar musik-musik tertentu). Sehingga bakat atau karakter alami ini memberikan keuntungan, atau kerugian, bagi seorang pemimpin. Seperti yang telah kita bahas sebelumnya, orang yang gagah dan berbadan tinggi besar meningkatkan kecenderungan orang-orang untuk mengangkatnya sebagai pemimpin. Tetapi, tidak serta merta kelebihan fisik ini menjadikannya pemimpin. Interaksi dia dengan orang-orang juga hal lain yang mempengaruhi keterpilihannya sebagai leader39. Agama juga punya konsepsi tentang leaders are born and made. Dikenal dua istilah: (1) The leadership spirit -“jiwa” kepemimpinan; (2) The spirit of leadership -“semangat” kepemimpinan. Setiap manusia terlahir dengan “jiwa” kepemimpinan (the leadership spirit). Jiwa ini berasal dari Tuhan yang bersifat suci dan cenderung kepada kebenaran, kebaikan dan keindahan. Jiwa merupakan potensi inheren kemanusiaan paling hakiki. Dengan ini ia dapat menjadi manusia agung. Setiap orang terlahir dengan “potensi baik”, sebuah fitrah yang disebut jiwa taqwa (QS. asSyams -91: 8). Inilah “ruh kepemimpinan yang hakiki” (the leadership spirit). Namun, tidak semua “jiwa taqwa” ini terkelola secara benar. Banyak orang yang jiwanya terkubur dalam wujud bangkai fisik. Bahkan jiwa yang baik ini ditaklukkan oleh potensi bawaan lain yang cenderung “jahat”, yaitu jiwa fujur (QS. asSyams -91: 8). Sehingga ia tidak pernah tumbuh menjadi “manusia sempurna”. Oleh sebab itu, jiwa suci kepemimpinan (the leadership spirit) harus diasah dan beri ruang untuk tumbuh. Usaha untuk menumbuh kembangkan ini disebut the spirit of leadership. Ada proses untuk menyadarkan, 39

A. Tellegen, D.T. Lykken, T.J. Bouchard, K.J. Wilcox, N.L. Segal, dan S. Rich. 1988. “Personality Similarity in Twins Reared Apart and Together”, Journal of Personality and Social Psychology, Vol. 54, hal. 1031-1039.

370

SAID MUNIRUDDIN

menggali, dan membina potensi kepemimpinan. Semangat duniawi untuk menemukan jati diri inilah yang kemudian menjadikannya sebagai pemimpin. Jadi, dari perspektif agama, sains, dan sosial di atas terjelaskan bahwa spirit dan watak kepemimpinan seseorang berasal dari: (1) Dimensi jiwa (ruh); (2) Warisan genetik (DNA); kemudian “ruh” dan “genetik” ini tumbuh dan berkembang melalui; (3) Proses mujahadah selama hidup (pendidikan dan pengalaman). Perpaduan ketiganya ini tersirat pada ayat berikut:

“Dan ketika Ibrahim di uji oleh Tuhannya dengan beberapa Kalimat dan ia melewatinya. (Allah) berfirman, “Sungguh Aku akan menjadikan engkau sebagai imam bagi manusia.” (Ibrahim) berkata, “Dan juga anak turunanku?”. (Allah) berfirman, “Janjiku tidak meliputi orang-orang yang dhalim.” (QS. alBaqarah -2: 124) Ayat ini menjelaskan beberapa hal. Pertama, Ibrahim as diangkat Tuhan menjadi pemimpin (imam) karena “ruh kepemimpinan” (leadership spirit) serta “genetik” (DNA) yang ada dalam dirinya telah terkelola dengan baik. Beliau mampu berproses membangun diri menjadi pribadi yang tangguh. Kesadaran dan ketaatannya kepada Tuhan sangat tinggi, sehingga akhlaknya menjadi suci lahir dan batin. Disamping itu, sudah nasib Ibrahim as yang secara nasab juga anak turunan manusia-manusia yang tidak pernah menentang Tuhan. Ayah kandungnya bernama Tarikh adalah manusia tauhied. Sementara Azar yang dikenal sebagai pembuat berhala itu, bukan ayah kandungnya, melainkan pamannya yang kemudian menjadi ‘ayah’ tirinya. Kedua, Ibrahim as juga makhluk material yang mampu menjaga kesucian makanan, sehingga pada dirinya terbentuk “zarrah” unggul. Sehingga hukum alam (sunatullah) telah menjadikan dari genetiknya generasigenerasi unggul. Banyak dari keturunannya yang menjadi nabi dan imam-imam agama monoteis. Nabi Muhammadsaw sendiri darah Ibrahim as. Imam Ali kwh juga demikian. Namun ada juga diantara keturunan Ibrahim as yang dhalim, lalai, dan tidak memelihara diri sehingga tidak

BAB 9 Leadership: “The Power of Jamal and Jalal”

371

pernah tumbuh menjadi pemimpin yang baik. Kesimpulannya, “maksimalisasi hidup” yang mampu mengaktualkan dimensi “ruh” dan “genetik” untuk menjadi pemimpin sejati. Atas dasar teori leaders are born and made, ada beberapa hal yang relevan bagi organisasi perkaderan dan perjuangan seperti HMI. Karena diakui ada sifat-sifat “bawaan lahir yang buruk”, maka perkaderan harus didisain untuk dapat menyembuhkan ‘penyakit-penyakit’ bawaan ini. Pada saat yang sama juga mampu memperkuat “kelebihan-kelebihan lahir” dan mengembangkan “bakat-bakat alami”. Keteraturan ibadah (sholat, puasa dan lainnya), latihan-latihan kepemimpinan, dan proses mujahadah yang berterusan (amar ma’ruf nahi munkar) dapat membentuk keagungan akhlak, watak, dan amal.

APA YANG “MELAHIRKAN” (“MENCIPTAKAN”) PEMIMPIN? Sifat, Karakter atau Kemampuan apa yang Membuat Seseorang Jadi Pemimpin? Banyak sekali sifat, karakter, sikap, pengetahuan, atau keahlian yang dibutuhkan untuk menjadi seorang pemimpin. Semakin banyak hal-hal positif tentu semakin berkualitas seseorang sebagai pemimpin. Kita dapat saja membuat daftar panjang berisi ratusan sifat atau karakter yang harus dimiliki untuk menjadi pemimpin. Namun apakah semua pemimpin harus (atau dapat) memilikinya? Tidak semua orang memiliki semua kelebihan. Kenyataannya, sebagian orang hanya punya beberapa saja, tetapi telah membuat ia begitu “berpengaruh” dihadapan manusia. Atau bisa saja ratusan karakter tersebut terangkum dalam beberapa sifat saja. Seperti 99 sifat Tuhan, semua terangkum dalam dua: Rahman dan Rahim. Maka perlu diketahui, “sifat” apa saja yang “minimal” jika dimiliki oleh seseorang akan mendudukkan ia pada posisi berpengaruh. Untuk menjawab ini, kita akan belajar dari alam dengan mengkaji “tiga dunia binatang”. Siapa yang “memimpin” binatang di darat, udara, dan laut? Apa yang membuat mereka menjadi pemimpin di dunianya? Siapakah “Raja Binatang” di Darat? Ketika pertanyaan ini diajukan, hampir semua -tanpa keraguan sedikitpun- menjawab, “singa!”. Ketika

372

SAID MUNIRUDDIN

pertanyaan dilanjutkan, “Mengapa singa disebut raja (pemimpin) dunia binatang, padahal di hutan ada ribuan spesies binatang lainnya?”. Semua terdiam.

“Siapa Raja Binatang di Darat (Rimba)?”

Mungkin ada yang coba menjawab, “karena singa binatang paling kuat”. Ini terbantahkan oleh keberadaan gajah yang jauh lebih kuat dari singa. Gajah mampu mencabut pohon, sesuatu yang tidak mampu dilakukan singa. Walaupun demikian, gajah tidak disebut sebagai raja. Apakah singa disebut sebagai raja karena ketinggian badannya? Tidak mungkin. Karena ia jauh lebih pendek dari jerapah, tetapi jerapah tidak pernah diangkat jadi raja. Pun tidak mungkin singa menjadi raja karena berat tubuhnya. Karena lagi-lagi, gajah dapat 10 kali lebih berat dari seekor singa. Mungkin ada yang menyebut singa sebagai raja karena paling keras suaranya. Ini juga terbantahkan oleh banyak binatang lain seperti serigala, juga gajah, yang suaranya jauh lebih panjang dan nyaring, tetapi mereka semua tidak pernah diangkat sebagai raja. Apakah karena singa memiliki ketajaman gigi dan kuku? Juga tidak. Beberapa hewan seperti buaya, serigala dan beruang jauh lebih tajam gigi dan kukunya. Ada yang menyatakan singa merupakan binatang paling cerdas maka layak menjadi raja. Ini juga terbantahkan oleh keberadaan sejumlah hewan seperti monyet dan simpanse yang jauh lebih cerdas. Atau singa jadi raja karena kecepatannya? Cheetah lebih cepat, tetapi bukan raja. Ada yang

BAB 9 Leadership: “The Power of Jamal and Jalal”

373

berseloroh, karena singa paling panjang jenggotnya maka paling cocok didudukkan sebagai raja. Kenyataannya banyak bintang lain yang panjang jenggot dan tebal bulunya namun tidak pernah diangkat sebagai raja. Dari simulasi ini terbukti bahwa kita tidak harus menjadi “paling kuat” fisiknya, “paling besar” badannya, “paling tinggi” tubuhnya, “paling cepat” geraknya, atau “paling keras” suaranya untuk menjadi pemimpin. Jika mengikuti semua kriteria ini, maka belajar dari alam, gajah paling tepat menjadi raja karena hampir memiliki semuanya. Sementara singa bukan binatang yang memiliki kualifikasi-kualifikasi seperti itu. Namun singa tetap saja mendapat respect paling besar dari binatang lain, paling berpengaruh, paling disegani, dan dinyatakan sebagai “raja rimba”. Jadi apa yang sesungguhnya membuat singa menjadi raja? Sesuatu yang membuat singa menjadi pemimpin di dunianya adalah karena ia memiliki sikap yang tidak dimiliki oleh binatang lainnya. Sebuah sikap yang membuat ia berbeda dengan binatang lainnya. Ketika seekor singa melihat seekor gajah yang tinggi, besar, kuat, dan keras suara itu, tahukah apa yang sedang ia lihat? Singa sedang melihat “sepiring santapan siang”. Sedangkan ketika seekor gajah melihat singa yang kecil, ia justru melihat sesosok “pembunuh”. Singa yang otaknya kecil dikontrol oleh cara berfikirnya yang besar. Gajah yang otaknya besar dikontrol oleh cara berfikirnya yang kecil. Sehingga ukuran tubuhnya, beratnya, kekuatannya, menjadi korban cara berfikirnya. Pepatah mengatakan, “pikiranlah yang membuat anda jadi kecil.” You are what you think. Cara berfikir merupakan wujud dari mentalitas. Singa memiliki mentalitas yang besar.40 Inilah sesuatu yang unik yang membedakan “pemimpin” dengan “pengikut”. Pemimpin selalu berfikir berbeda. Mereka tidak pernah melihat sesuatu sebagai problem melainkan sebagai opportunity. Singa percaya bahwa ia adalah raja, selebihnya ia lihat sebagai sarapan baginya. Sekiranya anda ingin hidup melebihi dari apa yang anda dapatkan sekarang, maka rubahlah mentalitas atau sistem keyakinan

40

M. Munroe. 2005. Spirit of Leadership. Whitaker House: New Kensington, Pennsylvania.

374

SAID MUNIRUDDIN

(believe systems). Sistem ini akan membentuk cara pandang dan sikap anda. Pernah suatu masa, negro di Amerika diajarkan dan dipaksa untuk meyakini bahwa mereka adalah “manusia setengah monyet”. Mentalitas mereka dijaga agar tetap pada titik terendah. Ini penyebab posisi mereka tidak lebih dari seorang budak. Setelah Malcom X dan kawankawan kulit hitam lainnya memperjuangkan kesederajatan, mengajak kaumnya memiliki keyakinan baru, melihat secara berbeda, dan memaksa mereka keluar dari norma-norma yang diterapkan kulit putih, baru kemudian Amerika mampu menghargai kulit hitam. Inilah yang diajarkan Islam, menciptakan masyarakat tanpa kasta. Sebuah mentalitas yang pada suatu ketika pernah membuat jutaan masyarakat hindu sudra di India beralih ke Islam, juga merubah mayoritas masyarakat Indonesia menjadi Islam. Bangsa atau negara mana yang memimpin dunia hari ini? Cina, Amerika, Jerman, atau negara mana? Bagaimana kalau di Asia Tenggara, siapa pemimpinnya; Singapura? atau Malaysia? Mengapa mereka disebut sebagai bangsa atau negara yang memimpin dunia? Apakah karena memiliki angkatan perang yang besar? Orangnya tinggi-tingi? Cerdas? Menguasai ekonomi? Canggih teknologi? Mungkin benar sebagian mereka kuat di bidang itu. Tetapi ketika ditelusuri, akar jawabannya bukan itu. “Mentalitas”-lah yang membuat mereka berhasil memiliki semua itu. Mereka punya seperangkat “ideologi” atau “persepsi diri” sebagai sebuah bangsa besar. Doktrin ini ditanamkan kepada rakyatnya sedemikian rupa, sehingga menjadi keyakinan bersama sebagai bangsa terhebat di dunia. Ketika anda bertemu Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang akan berangkat ke luar negeri, cobalah bertanya, “Mau ngapain ke luar negeri?”. Mereka akan menjawab, “Mau cari kerja”. Sementara jika bertemu orang Cina yang mau masuk ke Indonesia, lalu ajukan pertanyaan yang sama, mereka akan menjawab, “Mau mencari bisnis”. Lihat! Ada dua mentalitas yang berbeda antara “mencari kerja” dengan “mencari bisnis”. Yang satu perspektifnya “penganggur”, satu lagi perspektif “usahawan”. Inilah persepsi tentang diri. Yang pertama melihat dirinya sebagai bangsa unemployed, lainnya sebagai entepreneur.

BAB 9 Leadership: “The Power of Jamal and Jalal”

375

Demikian halnya dengan Yahudi. Apa yang membuat mereka kelihatan powerful? Apakah jumlah mereka banyak sekali sehingga begitu menakutkan? Tidak. Mereka hanya 13,5 juta jiwa di seluruh dunia.41 Tetapi mereka memiliki “mentalitas” sebagai “penguasa dunia”. Mereka punya ideologi yang membuat mereka merasa sebagai orang paling hebat di muka bumi: “We are the chosen people”, kamilah bangsa terpilih. Berangkat dari keyakinan ini mereka menyatakan diri sebagai raja dunia. Pemimpin lahir ketika menemukan sebuah keyakinan baru. “Mentalitas” terbangun diatas “sistem keyakinan”. Muhammadsaw lahir menjadi pemimpin terbesar dalam sejarah umat manusia ketika ia menemukan sebuah sistem keyakinan baru. Ketika orang-orang percaya tuhan itu banyak dan beranak, ia justru berdiri tegak di keramaian dengan konsepsi “Satu Tuhan”-nya. Melalui believe system ini ia berubah menjadi manusia paling berani, tidak sedikitpun mundur dari tujuannya. Meskipun difitnah, dicaci, dilempar, dikucilkan, dianiaya, diancam bunuh, dan diperangi; ia tetap menceramahi mereka “La ilaha illa Allah”. Apakah Muhammadsaw menjadi pemimpin karena bertubuh kuat, besar, tinggi, nyaring suara, putih jubahnya, atau panjang jenggotnya? Tidak. Ia menjadi the most influential leader karena “mentalitas ilahiyah”-nya. Ia memiliki persepsi yang dalam tentang “siapa saya”, “mengapa saya ada disini”, dan “mengapa saya penting bagi kalian”. Semua ini menjadi kekuatan ideologis yang membuat ia memiliki pandangan yang kuat terhadap eksistensi diri dan perjuangannya. Sebab, jika kita tidak menemukan mengapa kita penting bagi umat manusia dan alam semesta, kita akan terkubur dalam aktifitas sehari-hari. Kita mesti memiliki kesadaran, bahwa kita lahir untuk melakukan sesuatu yang signifikan bagi dunia, bukan untuk rutinitas yang tidak berarti. Inilah syarat pertama yang melahirkan atau menciptakan seorang pemimpin: “sistem keyakinan” (mentalitas). Sebuah sistem yang menentukan wujud fikiran, pandangan, dan sikap seseorang. Dari sistem keyakinan ini lahir keberanian, kepercayaan diri, kesungguhan, kedisiplinan, keteguhan, dan seperangkat sikap terpuji lainnya. Di HMI, membangun mental merupakan “target afeksi” dari perkaderan tingkat dasar (LK-I). Seorang mahasiswa dididik untuk memiliki sistem 41

S.D. Pergola. 2012. “World Jewish Population 2012”, The American Jewish Year Book, hal. 212-283. Dordrecht: Springer.

376

SAID MUNIRUDDIN

keyakinan terbaik, yang menjadikan dia seperti sosok Ali yang ditraining Nabisaw menjadi “singa Tuhan”. Pertanyaannya, bagaimana cara mendidik seseorang menjadi asadullah (singa Allah)? Sebelumnya, pada Bab 4 “Tujuan HMI: Pendekatan Gnostik”, telah diuraikan, La ilaha illa Allah adalah akar dari keyakinan yang dibawa Muhammadsaw. Tauhied adalah sistem mentalitas yang “liberatif”, membebaskan manusia dari segala belenggu. Sistem keimanan inilah yang membuat seekor singa tidak pernah takut berhadapan dengan binatang manapun, sekuat dan sebesar apapun lawan mereka. Tauhied adalah nyali yang membuat kita tidak pernah rendah diri ketika bernegosiasi dengan bule-bule tinggi. Tauhied adalah alat kita untuk melihat dunia, sumber keberanian, akar ketaatan kepada Tuhan, dan energi untuk membangun kemuliaan bangsa ini. Jika Yahudi mengklaim dirinya sebagai bangsa terpilih, itu salah. Kita lah yang secara terang-terangan dinyatakan Allah -Tuhan pemilik alam semesta- sebagai “bangsa terpilih” (the Chosen People):

“Kamu adalah sebaik-baik umat [khaira ummatin] yang pernah di utus Tuhan ke muka bumi untuk menyuruh kepada yang baik dan mencegah yang munkar” (Qs. Ali Imran -3: 110). Artinya apa? Secara ideologis, Yahudi itu tidak ada apa-apanya di depan Tuhan dibandingkan kita. Kitalah umat yang “hari ini” dipercaya Tuhan untuk mendakwahi nilai-nilai kebenaran dan keadilan secara global. Kita dimandatkan menjadi ‘polisi dunia’ yang bertugas menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah yang munkar. Nilai-nilai ideologis ini harus dihidupkan dalam konstalasi perjuangan global. Karena suatu ketika dulu, nilai-nilai ideologis ini pernah membuat umat Islam menjadi orang-orang terbaik dalam ilmu pengetahuan, teknologi, politik, dan ekonomi. Maka, memiliki persepsi yang kuat tentang diri sangat penting. Dalam berbagai leadership training, saya sering memulai pelatihan dengan

BAB 9 Leadership: “The Power of Jamal and Jalal”

377

meminta peserta untuk memperkenalkan diri beserta latar belakang mereka. Suatu ketika disebuah pelatihan, seorang peserta yang kemudian teridentifikasi berasal dari latar keluarga ekonomi lemah, berdiri dan mulai memperkenalkan diri: “Perkenalkan, nama saya A. Saya berasal dari desa B, desa termiskin di Kabupaten ini. Saya terlahir dari seorang ayah dan ibu yang sangat miskin. Mereka sehari-hari bekerja mengambil upah dari para pemilik sawah. Hidup kami serba kekurangan. Dengan susah payah saya berusaha untuk terus sekolah sampai ke jenjang kuliah seperti sekarang. Saya ikut training ini untuk mengetahui bagaimana cara memimpin”. Ia terus memperkenalkan diri dengan nada dan bahasa yang inferior. Sikap rendah diri begitu terasa. Ternyata, hampir semua peserta memiliki mentalitas yang sama. Saya berkomentar, bahwa dari cara memperkenalkan diri, tidak ada satupun di ruangan ini yang akan jadi pemimpin. Karena syarat pertama menjadi leader adalah, memiliki “mentalitas positif” atau “persepsi yang kuat tentang diri”. Kita jarang menggali itu. Kita masih sering melihat diri dengan kacamata kemiskinan yang serba kekurangan. Kita masih menilai diri melalui nilai-nilai yang justru merendahkan diri di mata orang. Apakah kalian kira Muhammadsaw, Nabi kalian itu, orang kaya? Tidak. Beliau yatim dan miskin. Tetapi apakah beliau merasa rendah diri dengan keyatiman dan kemiskinannya? Tidak. Beliau manusia paling percaya diri dan sangat apresiatif dengan siapa dirinya. Bahkan ketika ditanya siapa dirinya, Muhammadsaw menjawab “Saya Utusan Tuhan!”. Sekilas cara Rasulsaw memperkenalkan diri cukup ‘sombong’. Tetapi bukankah tidak ada yang lebih dahsyat selain memperkenalkan diri sebagai “Utusan Tuhan”? Dengan demikian, apakah kita semua tidak boleh ‘sombong’ dengan menyebut diri sebagai “Wakil Tuhan” (Khalifah) yang diutus untuk memakmurkan bumi? Akhirnya, setelah sekian lama membahas tentang nilai-nilai atau pandangan ideologis (worldview atau aqidah), mereka mengulang cara memperkenalkan diri: “Bismillah. Perkenalkan, nama saya A. Saya berasa dari desa B, sebuah desa yang pernah dinyatakan sebagai desa termiskin tetapi tidak lama lagi secara perlahan insyaAllah akan saya buat menjadi desa termakmur yang pernah ada di dunia ini. Saya adalah anak dari seorang bapak bernama C dan ibu bernama D. Mereka berdua orang

378

SAID MUNIRUDDIN

desa paling gigih yang pernah saya kenal. Memang mereka selama hidupnya tidak pernah punya rekening di bank, dan selalu memperoleh pendapatan yang sangat sedikit dari kerja upahan di sawah. Tetapi tahukah teman-teman, “darah” dari pekerjaan yang halal itulah yang hari ini mengalir dalam tubuh saya, bukan darah haram seperti sejumlah orang tua yang hidup mewah dari harta haram hasil korupsi di kota-kota. Karena kesucian itulah saya hari ini masih berani berdiri tegak, sehat dan penuh percaya diri untuk menuntaskan studi diperguruan tinggi. Saya berada di ruangan training ini untuk menyambut masa depan bangsa yang gemilang, karena saya sebagaimana kita semua- sejak lahir telah dimandatkan Tuhan sebagai pemimpin yang bertanggungjawab untuk menegakkan adil dan ihsan di muka bumi. Insya Allah.” Mereka mulai memiliki “intelegensi” (IQ), “emosi” (EQ) dan “spiritualitas” baru (SQ) tentang dirinya. Mereka mulai menemukan sebuah identitas baru yang positif, yang membuat wajah bercahaya. Mereka mulai mengalami transformasi menjadi Bintang ‘Arasy. Sikap dan cara berfikir yang positif mulai berkembang dalam setiap aktifitas. Inilah believe system yang melahirkan mentalitas; seperangkat nilai, cara berfikir, sikap-sikap dan pengalaman yang menentukan eksistensi kita. Selama sistem keyakinan tidak tergali, selama itu pula kita akan hidup sebagai pecundang. Sekarang simaklah sebuah “persepsi diri” yang kuat yang pernah dilakukan “singa Allah” Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhah ketika seorang sahabat bertanya tentang dirinya:

“Believe System”

Suatu ketika Sha’sha’ah42 bertanya kepada Imam Ali, “Wahai Amirul Mukminin, kabarkan kepadaku apakah anda yang lebih mulia ataukah Adam?”. Imam menjawab, “Wahai Sha’sha’ah, adalah jelek seseorang menilai dirinya baik. Kalaulah Allah tidak berfirman, ‘Maka dengan nikmat Tuhanmu kabarkanlah’ tentu saya tidak akan menjawab. Wahai Sha’sha’ah, saya lebih mulia dari Adam, karena Allah telah membolehkan Adam segala sesuatu yang baik di syurga dan 42

Nama lengkapnya Sha’sha’ah bin Shauhan. Menurut penulis 6 kitab shahih dan musnad ahlussunnah, ia seorang tokoh, singa podium, ahli kalam dan perawi tsiqat. Biografinya pernah ditulis oleh Ibnu Abdul Barr dalam al-Isti’ab, ibnu sa’ad dalam al-Thabaqat al-Kubra, Ibnu Qutaibah dalam al-Ma’arif. Disebutkan, ia seorang yang alim, jujur, sangat berkomitmen dengan agama, dan sahabat dekat Imam Ali.

BAB 9 Leadership: “The Power of Jamal and Jalal”

melarangnya memakan satu biji saja (QS. alBaqarah -2: 35), tetapi ia melanggarnya dan memakannya. Sementara Tuhan tidak melarangku dari hal-hal yang baik dan memakan biji, tetapi aku berpaling darinya karena ketaatan.”

Sha’sha’ah bertanya lagi, “Anda yang lebih mulia atau Nuh?” Ali menjawab, “Saya lebih mulia dari Nuh, karena ketika Nuh menyeru kaumnya dan mereka menentangnya, dia mendoakan kejelekan dan tidak sabar seraya berkata, ‘Tuhanku janganlah engkau biarkan orang kafir seorang pun di muka bumi ini’ (QS. Nuh -71: 26). Sedangkan aku sepeninggal Rasulullah menghadapi penentangan kaumku. Mereka sering menzalimiku tetapi aku sabar dan tidak mendoakan kejelekan buat mereka.”

Sha’sha’ah kembali bertanya, “Anda lebih mulia ataukah Ibrahim?”. Ali menjawab, “Aku lebih mulia, karena Ibrahim berkata, ‘Tuhanku, perlihatkan kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang yang sudah mati. Allah berfirman, ‘Apakah engkau tidak percaya?’ Ibrahim menjawab, ‘Bukan, tetapi agar hatiku menjadi tenteram’ (QS. alBaqarah -2: 260). Tetapi aku berkata, ‘Kalaulah tirai tersingkap bagiku, tidaklah akan bertambah keyakinanku.”

Sha’sha’ah bertanya lagi, “Anda lebih mulia ataukan Musa?” Ali menjawab, “Saya lebih mulia dari Musa, karena ketika Allah menyuruhnya untuk menemui Fir’aun dan menyampaikan risalahnya dia berkata, ‘Tuhanku, sesungguhnya aku telah membunuh seorang diantara mereka, dan aku takut mereka akan membunuhku’ (QS. alQashash -28: 33). Sedangkan aku ketika disuruh oleh Rasulullah untuk membacakan surah alBara’ah kepada kaum musyrik Makkah, dan aku telah membunuh banyak tokoh mereka, dengan segera tanpa banyak pertimbangan aku berangkat sendiri tanpa rasa takut. Aku berdiri dihadapan mereka seraya menyeru dan membacakan beberapa ayat surah al-Bara’ah dan mereka mendengarkannya.”

379

380

SAID MUNIRUDDIN

Sha’sha’ah kembali bertanya, “Anda lebih mulia ataukah Isa?”. Ali menjawab, “Saya lebih mulia, karena Maryam puteri Imran ketika akan melahirkan Isa di Baitul Muqaddas dia mendengar suara, ‘Hai Maryam, keluarlah dari tempat ini. Ini adalah tempat ibadah bukan tempat melahirkan. Dia keluar, ‘maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksanya (bersandar) pada pangkal pohon kurma’ (QS. Maryam 19: 23). Sedangkan ibuku Fatimah binti Asad memohon kepada Tuhan untuk memudahkan kelahirannya, maka terbelahlah dinding Baitullah dan terdengar suara, ‘Wahai Fatimah, masuklah!’ Diapun masuk dan dinding itu kembali seperti semula dan dia melahirkanku di dalamnya.43

Dan pada kesempatan lain, ketika seorang Yahudi bertanya, “Ali, siapa lebih hebat antara engkau dan Muhammad?” Ali menjawab, “Celaka engkau, aku tidak lebih dari budaknya budak Muhammad”. Jawaban yang disampaikan Imam Ali bukan sebuah kesombongan. Memang begitulah terkadang ia coba membongkar alam pikiran yang bertanya. Kalau pun Ali terlihat sombong, itupun menurut Umar bin Khattab sesuatu yang kita “harus menerimanya”. Orang yang membaca kitab peperangan seperti karya al-Waqidi dan kitab sejarah karya alBaladzari, niscaya akan mengetahui bagaimana kedudukan ‘Ali di sisi rasulsaw. Abu Bakar al-Anbari (885-940M) meriwayatkan di dalam kitabnya al-Amali, Ali duduk di sisi Umar di mesjid, sementara di samping mereka banyak orang yang hadir. Pada saat Ali berdiri dan meninggalkan majlis, salah seorang dari mereka yang hadir mengatakan bahwa Ali itu “sombong”. Umar berkata, “Orang sepertinya berhak untuk sombong. Kalau bukan karena pedangnya, tidak akan tegak berdiri pilarpilar agama. Dia adalah orang yang paling mengetahui di antara umat ini, dan paling mempunyai kedudukan”.44

S.M. al-Musawi. 2009. Mazhab Pecinta Keluarga Nabi: Kajian al-Quran dan Sunnah, hal. 358-359. MPress: Bandung. 44 Dalam “Dialog Yohanes dengan Ulama Mazhab Yang Empat”, dalam Munadzarah fi al-Imamah karya Abdullah Hasan. 43

BAB 9 Leadership: “The Power of Jamal and Jalal”

381

Begitu pentingnya sistem keyakinan, mentalitas, atau persepsi diri yang kuat sekaligus rendah hati. Ibarat seekor singa yang terlihat santai, lembut dan anggun; tetapi di dalam jiwanya terdapat keberanian yang luar biasa. Singa tidak seperti anjing yang suka menggonggong untuk menakuti. Singa itu pendiam. Namun sekali mengaum membuat binatang lain kecut nyali. “Persepsi Diri”

Itulah “mentalitas”, alQuran menyebutnya sebagai syarat utama menjadi pemimpin. Seperti terekam dalam lobby Yusuf as untuk menjadi Menteri Perekonomian dan Keuangan Mesir:

“Berkata Yusuf, jadikanlah aku bendaharawan negara, karena aku adalah orang yang pandai menjaga dan berpengetahuan” (QS. Yusuf -12: 55). Kalimat “jadikanlah aku” adalah pernyataan “keberanian” (saja’ah). Maka penting untuk memiliki orang-orang yang memiliki “mentalitas ilahiyah” (ideologis, bertauhied, berani, mengenal diri, atau berfikir positif) untuk dipilih sebagai pemimpin. Pada ayat ini Allahswt menjelaskan bahwa “berani” menjadi faktor yang melahirkan atau menciptakan seorang pemimpin, disamping ayat tersebut juga menegaskan skill dan knowledge sebagai syarat lainnya, “karena aku pandai menjaga dan berpengetahuan”’. Pada dasarnya ini juga mentalitas berani yang amanah. Mengapa pemimpin harus seorang pemberani bukan pengecut? Karena kepemimpinan menentukan pengikut. Bayangkan jika pemimpin seorang yang nyalinya ciut. Dia yang seharusnya berada di depan untuk mengarahkan bangsanya ke medan juang, justru bersembunyi di belakang dan takut menghadapi kematian. Jika pemimpinnya tidak benar, bawahannya juga akan lebih berani untuk tidak benar. Untuk memiliki bangsa yang besar kita harus memiliki pemimpin yang besar. Karena kepemimpinan dapat mentransformasi pengikut yang lemah menjadi pasukan yang mematikan.

382

SAID MUNIRUDDIN

Pepatah mengatakan, “Sekumpulan biri-biri yang dipimpin singa akan selalu mengalahkan sekumpulan singa yang dipimpin biri-biri”. Misalnya, meskipun jumlahnya sedikit, pasukan Muhammad saw selalu memenangkan perang karena dipimpin oleh para singa. Namun hari ini, populasi umat Islam mencapai 1,5 milyar atau 23 persen dari penduduk dunia. Tetapi seperti “buih” di lautan. Maka penting untuk kita pertanyakan, siapa yang sedang memimpin republik, provinsi, kabupaten, dan organisasi kita? Dari bangsa ‘kambing’ atau bangsa ‘singa’? Ketika presiden, menteri, gubernur, bupati, anggota DPR, hakim, jaksa, polisi, dan birokrasi hampir semuanya tunduk pada kekuatan setan, takut menegakkan kebenaran, hidup dengan menjilat dan korupsi; maka kita menjadi tau mereka ini dari ‘bangsa’ binatang apa. Sekalipun dipimpin oleh militer yang berbadan tinggi besar, bersuara lantang, tetapi bermental kambing dihadapan kebenaran. Dibawah kepemimpinan kambing, bangsa besar seperti Indonesia menjadi “warga dunia ketiga”. Tetapi ketika suatu kaum dipimpin oleh singa, sepasukan kecil myrmidons dapat berubah menjadi kawanan singa yang mampu menaklukkan semua bangsa. Kisah epik Yunani Illiad karya Homerus yang diangkat Wolfgang Petersen dalam “The Troy” (2004) menggambarkan hal ini. Di geladak kapal pada detik-detik menjelang pendaratan di pantai musuh, dengan spirit kesatria Achilles sang pemimpin (diperankan Brad Pitt) berteriak lantang kepada pasukannya: “Myrmidons, my brothers of the sword. I’d rather fight beside you than any army of thousands. Let no man forget how menacing we are, we are lions! Do you know what’s there, waiting, beyond that beach? Immortality! Take it! It’s yours! (“Mirmidon, saudara pedangku. Aku lebih memilih berperang di samping kalian daripada bersama ribuan pasukan pengecut lain. Buat tak seorang pun melupakan betapa perkasanya kita. Kita adalah singa! Tahukan kalian apa yang ada di balik pantai itu [sambil menunjuk ke arah ribuan musuh yang sedang menunggu dengan senjata terhunus]? Keabadian! Ambil itu, milik kalian!”.) Hanya dalam sesaat, sepasukan kecil yang bersenjata sederhana berhasil menaklukkan pantai Troya yang dikawal ribuan invanteri dan pasukan berkuda.

BAB 9 Leadership: “The Power of Jamal and Jalal”

383

Seorang jenderal muslim bernama Tariq bin Ziyad ketika mendarat di pantai selatan Spanyol tahun 711 masehi dalam ekpedisi ke Eropa memiliki spirit serupa. Segera setelah mendarat, tanpa ragu-ragu ia membakar kapal-kapalnya. Lalu kepada 7000 pengikutnya ia berteriak, “Di belakang kalian adalah laut, silakan mundur dan berenanglah untuk kematian. Sementara di depan kalian adalah musuh, pegang erat-erat pedang kalian, karena sebentar lagi kita akan melihat kejayaan Islam. Aku memilih untuk bertempur dan menang, daripada tenggelam di kedalaman lautan. Siapa yang bersama ku?”. Sejarah dilukis oleh para pemberani. Banyak bendera dan logo kebangsaan mengambil “singa” sebagai simbol mereka. Singa adalah simbol leadership; wujud “keberanian” dan “kemenangan”. Membangun karakter bangsa adalah membangun mentalitas singa. Yaitu keimanan yang kuat terhadap diri dan Tuhan. Siapakah “Raja Binatang” di Udara? Untuk pertanyaan ini, semua akan menjawab “rajawali”, “elang”, atau apapun dari spesies eagles ini. Mengapa mesti elang atau rajawali yang secara spontan diakui sebagai ‘jenderal tertinggi’ angkatan udaranya binatang? Kebanyakan orang tidak memiliki cukup alasan untuk menjelaskan ini. Hanya secara insting menjawab elang atau “Siapa Raja Binatang di Udara?” rajawali. Tahukah kita, bahwa rajawali adalah satu-satunya jenis burung yang mampu terbang pada ketinggian 3-5 mil di udara. Ini setara dengan ketinggian lintasan sebuah jet atau pesawat terbang. Tidak ada binatang lain yang mampu terbang pada ketinggian ini kecuali rajawali. 45 Artinya apa? Tidak ada satupun binatang di dunia ini yang memiliki “pandangan” lebih luas dan lebih tajam tentang dunia kecuali rajawali. 45

M. Munroe. 2003. The Principles and Power of Vision. Whitaker House: New Kensington, Pennsylvania.

384

SAID MUNIRUDDIN

Bahkan dari jarak seperti itu rajawali mampu melihat seekor anak ayam sedang berjalan di kerendahan bumi. Inilah yang disebut “visi”: kemampuan “melihat” (tepatnya “memandang”) sesuatu yang tidak terlihat oleh orang lain. Ada perbedaan antara “melihat” dengan “memandang”. Penglihatan adalah fungsi mata, sementara pandangan merupakan fungsi hati. Seseorang yang memiliki pandangan yang tinggi adalah orang yang “visioner”. Ia memiliki kapasitas untuk melihat sesuatu melebihi kemampuan mata untuk melihat. Ia tidak hanya menatap, tetapi memiliki pandangan. Pemahamannya tentang sesuatu melampaui sekat ruang dan waktu. Dalam bahasa agama, mereka ini disebut sebagai orang yang berilmu, berpengetahuan, cerdas, atau arif (ma’rifat). Oleh sebab itu, “visi” atau “pengetahuan” menjadi syarat utama lainnya untuk mendudukkan seseorang pada posisi pemimpin. Al-Qur’an menyebutkan, selain karena bagus mentalnya, Yusuf as layak menjadi pemimpin karena ia “berpengetahuan”. Bahkan pengetahuannya tidak terbatas pada yang sekarang. Ia juga sangat futuristic, diberi izin oleh Allahswt untuk “mengetahui” berbagai kejadian dimasa depan: “Berkata Yusuf, jadikanlah aku bendaharawan negara, karena aku adalah orang yang pandai menjaga dan berpengetahuan” (QS. Yusuf -12: 55). Menjadi “pemimpin” berarti menjadi orang yang “pandai menjaga dan berpengetahuan” (a visionery and trustworthy leader). Visi merupakan pengetahuan ideal tentang masa depan. Melalui visi terbentuk fokusfokus tindakan dan tergambar jalan-jalan yang harus ditempuh. Dengan visi pengikut dimotivasi, serta derap langkah mereka disatukan. Tidak dapat dibayangkan bagaimana nasib sebuah bangsa jika dipimpin oleh orang-orang bodoh (jahil). Atas dasar inilah alQur’an menyuruh kita untuk memilih orang berilmu atas orang kaya dalam hal posisi kepemimpinan. Seperti terekam dalam kisah Thalut yang terpilih menjadi pemimpin karena keilmuannya, padahal ia tidak punya harta yang banyak:

BAB 9 Leadership: “The Power of Jamal and Jalal”

385

“Nabi mereka (Daud as) mengatakan kepada mereka, ‘Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu’. Mereka menjawab, ‘Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak’. Nabi (mereka) berkata, ‘Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa. Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui”(QS. alBaqarah -2: 247). Tidak dapat dibayangkan jika suatu kaum dipimpin oleh orang kaya yg jahil, punya banyak uang, namun tidak tau harus melangkah kemana. Ia memiliki modal kapital yang besar, tetapi tidak memiliki gambaran ideal tentang masa depan bangsanya. Akhirnya kekuasaan kembali menjadi alat pengumpul kapital bagi diri dan kelompoknya. Hal ini yang banyak dipraktikkan dalam beragam model demokrasi. Pemilihan umum (Pemilu) menjadi sebuah sistem yang didisain untuk mempengaruhi rakyat guna meloloskan orang-orang bermodal yang tidak bermoral untuk menjadi pemimpin. Perkaderan untuk organisasi seperti HMI adalah “proses membangun visi hidup dan perjuangan”. Ini berawal dari keharusan untuk menjawab sebuah pertanyaan: “Untuk apa kita diciptakan?”. Visi lahir dari kemampuan menjawab ini. Apakah kita diciptakan Tuhan hanya untuk masuk kelas mendengar dosen bicara setiap hari? Pergi ke kantor dan teken absen setiap hari? Minum kopi di warung setiap pagi dan petang hari?

386

SAID MUNIRUDDIN

Mondar mandir di jalanan yang macet sepanjang minggu? Ambil gaji tiap tanggal satu? Bikin rumah dan beli mobil baru? Kawin, beranak, tua, lalu mati? Untuk apa kita hidup? Untuk ambisi pribadi atau untuk apa? Selama kita tidak mampu menjawab secara benar “Untuk apa saya hidup”, selama itu pula kita akan ‘terkubur’ dalam rutinitas yang berujung kematian. Selama jawaban ini belum tergali, selama itu pula kita akan jadi pengikut, menjadi ‘lembu’ yang dicocok hidung, yang tidak memiliki kemerdekaan untuk bergerak kecuali ke arah mana akan ditarik. Selama tidak mengetahui hakikat hidup, selama itu pula kita menjadi bangsa konsumtif, bangsa peniru, bangsa pecundang. Maka “visi” merupakan konsepsi ideologis tentang “masa depan” (tujuan hidup). Di dalamnya terkandung nilai-nilai yang ingin diwujudkan. Muhammadsaw misalnya, ketika suku-suku terpecah dan masing-masing sibuk menyembah ratusan patung yang mereka pahat sendiri, Nabi kita ini justru mengkampanyekan, “Hanya ada satu ummah di bawah satu Tuhan”. Visi monoteisme-nya menghancurkan semua nilai-nilai sektarianisme dan politeisme yang sudah begitu mapan. Pada visi seperti ini terusung nilai-nilai tauhied, kebebasan, keadilan, ihsan serta tanggungjawab ilahiah dan kemanusian. Pada “visi yang islami” terdapat peta perjuangan personal dan sosial untuk meraih kebahagiaan dibawah ridha Tuhan. Itu visi Muhammadsaw 1400 tahun lalu. Bagaimana sekarang? Visi apa yang kita punya pada hari-hari seperti ini? Untuk visi seperti apa kita harus terus menjalani hidup? Untuk visi semacam apa kita harus berani mati? Untuk menjadi pemimpin dunia modern, tentu kita harus memiliki ma’rifat. Punya seperangkat “pandangan yang arif” tentang bagaimana seharusnya keadaan “pribadi” dan “masyarakat”. Dan untuk visi itulah kita hidup dan mati. Seperti telah kita bahas secara filosofis dan gnostik pada bab-bab sebelumnya, formulasi tujuan HMI (pasal 4 AD-HMI) merupakan salah satu dari visi ilahiah dan kemanusiaan itu. Tidak berlebihan untuk dikatakan, bahwa tujuan HMI sama persis dengan visi Muhammadsaw: hidup dan mati untuk mengkaderkan individu-individu yang berakhlakul karimah, serta berjuang untuk mewujudkan masyarakat bertauhied, adil dan makmur.

BAB 9 Leadership: “The Power of Jamal and Jalal”

387

Siapakah “Raja Binatang” di Laut? Berbeda dengan singa dan rajawali yang secara mudah dinyatakan sebagai pemimpin di darat dan udara, pertanyaan “siapa raja di laut” tidak banyak yang dapat menjawabnya. Kecuali jika ditanyakan kepada nelayan dan pemancing. Suatu ketika saya berada di Pantai Alue Naga Banda Aceh. Disana saya bertanya kepada sekumpulan nelayan, “Apakah ikan paus dapat dinobatkan sebagai pemimpin binatang di laut?”. Sesaat Setelah berfikir (meskipun kelihatannya belum pernah melihat paus), masyarakat nelayan ini menjawab, “tidak”. Meskipun badannya besar sekali, paus tidak tepat disebut raja laut. “Mereka terlalu gemuk, lamban dan terlihat malas”, kata mereka sambil tertawa. Kalau demikian, “apakah hiu yang buas, cepat dan tajam dapat dinyatakan sebagai raja binatang laut?”, lanjut saya. Mereka kembali meyakinkan saya, bahwa hiu lebih tepat disebut sebagai “preman” laut, ketimbang sebagai “pemimpin” dalam arti yang positif.

“Siapa Raja Binatang di Laut?”

Lalu siapa “pemimpin” dunia ikan? Mereka secara sadar menyebut “lumba-lumba”. Kenapa mereka lebih memilih lumba-lumba sebagai pemimpin? Padahal lumba-lumba bukan hewan air terganas, bukan hewan air terbesar, juga bukan hewan air terkuat. Berikut beberapa

388

SAID MUNIRUDDIN

literatur yang sangat bermiripan dengan argumen-argumen yang diberikan oleh nelayan ini.46 Pertama, lumba-lumba adalah binatang air yang sangat “ramah”. Lumbalumba adalah sosok ikan yang melambangkan “persahabatan”, Meskipun mereka bergigi tajam, tidak ada kesan angker pada raut muka hewan ini. Wajahnya sangat ramah, lucu, imut-imut, dan membuat manusia cepat akrab dan menyukai mamalia yang satu ini. Kedua, lumba-lumba merupakan ikan yang paling “sosial”. Sama seperti manusia, keterikatan merupakan hal yang penting bagi lumba-lumba. Mereka hidup dalam kelompok berdekatan yang disebut pods, dan menjaga lumba-lumba yang sakit atau mengalami kecelakaan. Lumbalumba membentuk pertemanan antara satu dengan yang lain. Golongan betinanya berikatan sangat kuat dengan anak-anaknya. Sering terlihat lumba-lumba muda berenang bersama ibu mereka. Ketiga, lumba-lumba memiliki sifat “penolong”. Lumba-lumba suka menolong manusia yang tersesat atau terombang ambing di tengah laut. Biasanya lumba-lumba menolong dan membimbing manusia menuju perairan. Sering terdengar ada nelayan yang tersesat di lautan, kemudian diselamatkan oleh lumba-lumba. Mereka sering mengiringi kapal yang sedang berlayar. Keempat, lumba-lumba memiliki “kekebalan tubuh” (makna lain dari “spirit hidup”) yang luar biasa. Meski hewan ini mengalami luka yang lebar, ia tidak mengalami pendarahan yang menyebabkan kematian. Walaupun tubuhnya termakan hiu sebesar bola voly, lumba-lumba tetap bisa hidup dan mengobati dirinya sendiri. Selama proses penyembuhan, tubuh lumbalumba tidak menunjukkan gejala infeksi, juga tidak menunjukkan reaksi sakit. Mereka tetap berlaku normal meski mengalami luka berat. Padahal, pada umumnya hewan, luka yang terbuka akan mempengaruhi perilaku dan pola makan selama beberapa minggu bahkan berujung

46

M. Zasloff. 2011. "The Remarkable (and Mysterious) Healing Process of the Bottle Nose Dolphin." Journal of Investigative Dermatology, Vol. 131, hal. 2503–2505.

BAB 9 Leadership: “The Power of Jamal and Jalal”

389

kematian. Sementara lumba-lumba, dalam hitungan minggu mereka bisa mengganti jaringan baru dengan sempurna. Kelima, lumba-lumba “tidak pernah istirahat”. Mereka benar-benar pejuang tangguh dan penuh determinasi. Lumba-lumba beristirahat hanya dengan mengaktifkan setengah dari otak mereka, dan matanya terbuka sebelah. Kedua sisi otak lumba-lumba bekerja secara terpisah. Selama 8 jam, kedua sisi otak itu sadar. Kemudian sisi yang kiri akan tidur selama 8 jam. Setelah sisi itu terbangun, sisi yang kanan akan tidur selama 8 jam. Dengan demikian lumba-lumba dapat tidur selama 8 jam tanpa harus berhenti secara fisik dan terus berenang. Keenam, lumba-lumba sangat “murah hati” dan selalu diikuti oleh ikanikan lain. Muntah lumba-lumba menjadi makanan bagi hewan dan ikan laut lainnya. Sehingga, lumba-lumba selalu memiliki banyak pengikut. Dari semua gambaran tersebut, apakah lumba-lumba dapat disebut sebagai makhluk laut yang “lemah”? Jika dipahami dalam konteks “perseteruan fisik” dengan hiu dan ikan-ikan ganas lainnya, tentu lumbalumba tidak mampu memenangkannya. Namun jika dipahami karakternya, ia termasuk sedikit dari binatang yang secara fisik mampu bertahan dari serangan dan luka, serta secara emosional sangat stabil. Ia bahkan tidak pernah menampakkan rasa sakit kepada mereka yang ada disekelilingnya. Ia justru “tersenyum” dengan rasa sakit itu. Ia memiliki ketabahan tingkat tinggi serta kepedulian yang luar biasa. Lumba-lumba mempengaruhi makhluk lain bukan dengan konfrontasi, melainkan dengan “kepedulian”. Sekilas lumba-lumba terlihat binatang yang lemah. Ternyata, ia tidak punya semangat musiman apalagi konsep istirahat dari perjuangan. Terlihat lembut tetapi tidak pernah menyerah untuk membahagiakan mereka yang ada disekelilingnya. Kehadirannya ibarat bunga mawar yang mengungkapkan tentang cinta. Inilah karakter nabi kita Muhammadsaw, yang diriwayatkan sangat “tangguh”, “selalu tersenyum”, memiliki “simpati” sekaligus “empati”. Semua karakter ini dalam al-Qur’an digambarkan sebagai manusia yang memiliki “rasa kemanusiaan”, “belas kasih”, dan sikap “penyayang” yang

390

SAID MUNIRUDDIN

sangat tinggi kepada ummatnya. Sebuah sikap yang menobatkan ia sebagai pemimpin sejati.

“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (kebaikan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. atTaubah -9: 128). Ini juga yang menjadi karakter salah satu kader mudanya Ali bin Abi Thalib yang selalu bersamanya sejak kecil, dalam suka dan duka:

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka…” (QS. alFath -48: 29). Disamping memiliki “mentalitas singa” yang “berani dan keras”, “ma’rifat elang” yang “tajam pengetahuannya”; Nabi Muhammadsaw dan Imam Alikwh juga kaya sifat “kasih sayang” lumba-lumba. Sebenarnya lebih tepat mengatakan bahwa singa, elang, dan lumba-lumbalah yang mewarisi sifat-sifat mereka. Tiga binatang ini termasuk makhluk yang mendapat ‘percikan’ karakter nur muhammad sehingga menjadikan mereka sebagai pemimpin di masing dunianya. Kesimpulannya, ada tiga hal yang jika dimiliki dapat melahirkan atau menciptakan seorang pemimpin: (1) Berani atau “mentalitas tauhied”; (2) Visioner, berpengetahuan, atau “ma’rifat” -; (3) Rasa kemanusian, kasih sayang, atau “rahman dan rahim”.

BAB 9 Leadership: “The Power of Jamal and Jalal”

391

Inilah tiga karakter utama kepemimpinan Muhammadsaw. Siapa yang membantah keberanian, ketegasan, rasa percaya diri, dan ketangguhan beliau dalam menghadapi sebuah bangsa yang hampir seluruhnya menentang bahkan mencari cara untuk membunuhnya? Juga siapa yang meragukan ketinggian visi al-Qur’an yang dibawanya? Pun siapa yang meragukan ketinggian akhlak, sifat kasih sayang beliau kepada para pencinta maupun yang membencinya. Seorang kader mesti mewarisi tiga karakter kepemimpinan Nabisaw ini. Perpaduan utuh sifat-sifat inilah yang kita sebut sebagai “akhlakul karimah”. Dari tiga mentalitas ini kemudian lahir sifat-sifat seperti: amanah (dapat dipercaya), fathanah (cerdas), tabligh (penyampaian/ retorika), siddiq (benar), serta akhlak-akhlak mahmudah lainnya. Semua kemuliaan sifat ini membentuk “citra” seseorang dan membangun “kepercayaan publik”, tidak hanya untuk hari ini, bahkan berabad-abad lamanya.

TIPOLOGI KEPEMIMPINAN Tipologi Kepemimpinan. Setiap orang memiliki gaya tersendiri dalam memimpin. Boleh jadi gaya tersebut bagian dari wataknya, atau sengaja dimunculkan karena harus menghadapi situasi dan model pengikut tertentu. Meskipun seseorang dapat saja memiliki banyak pendekatan dalam memimpin, namun sering terlihat gaya tertentu yang dominan digunakan dalam merencanakan, mengarahkan, mengimplementasi, dan memotivasi orang. Berikut beberapa tipologi (gaya) kepemimpinan yang umum ditemukan ketika seseorang memimpin. Pertama, “birokratis vs kharismatis” (bureaucratic vs charismatic).47 Kepemimpinan yang birokratis memiliki gaya terstruktur dan mengikuti prosedur dalam mencapai tujuan. Hampir tidak ada ruang untuk eksplorasi atau menemukan 47

M. Weber. 1905. The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism: and Other Writings. Penguin Group: New York.

392

SAID MUNIRUDDIN

cara-cara baru dalam memecahkan masalah. Gerakan pemimpin yang birokratis cenderung lambat karena harus bertindak sesuai aturanaturan teknis keorganisasian. Pemimpin seperti ini juga memaksakan pengikutnya untuk memastikan bahwa semua langkah telah dilakukan sebelum mereka melakukan pekerjaan lainnya. Hampir tidak ada ruang untuk inovasi. Pekerjaan dilakukan sesuai dengan “petunjuk di buku”. Mencoba melakukan sesuatu secara cepat malah memunculkan frustasi karena terhalang oleh aturan-aturan hukum. Pemerintah, perbankan, rumah sakit, universitas, dan organisasiorganisasi yang dibiayai dengan dana publik; cenderung dipimpin oleh orang-orang seperti ini. Karena kualitas dan keamanan aset kelembagaan ditentukan oleh kepatuhan terhadap detil aturan birokrasi. Aturan-aturan tentu baik. Karena dalam filosofi birokrasi, “aturan”-lah yang sesungguhnya disebut sebagai “pemimpin”, bukan orang. Kita semua ikut aturan, bukan orang. Namun jika aturan terlalu kaku akan menyulitkan organisasi untuk bereaksi terhadap perubahan dan situasi kondisional. HMI dengan segala AD/ART, pedoman dan aturan organisasi, sedikit tidaknya berupaya memuliakan aturan sebagai leader; menjalankan roda organisasi secara birokratis, rapi, taat asas, terkontrol dan terorganisir. Peran ini dominan harus dimainkan oleh bidang-bidang seperti pemberdayaan aparatur organisasi. Dengan demikian resources dan mekanisme organisasi dapat terjaga. Sementara itu, pemimpin bergaya kharismatik -bermiripan dengan gaya transformatif- senantiasa berusaha menyuntikkan dosis antusiasme yang tinggi terhadap pengikutnya. “Personalitas” dirinya yang menjadi “standar” atau “nilai”. Ia sangat energik dalam memotivasi orang lain. Sering ia lebih percaya pada dirinya sendiri daripada orang lain. Ketergantungan pengikut kepadanya sangat tinggi. Hal ini dapat menghancurkan kelompok jika tiba-tiba saja ia memutuskan untuk pergi. Karena dimata pengikut, sukses ditentukan oleh kehadiran sang pemimpin.

BAB 9 Leadership: “The Power of Jamal and Jalal”

393

Oleh sebab itu, komitmen jangka panjang dan tanggung jawab seorang pemimpin menjadi besar sekali. Pemimpin seperti ini punya pengaruh besar untuk menstimulir pengikutnya. Namun pengikut yang terbiasa dalam alam kharismatik akan sulit menerima kehadiran pemimpinpemimpin baru. Kharisma Cak Nur dengan berbagai produk ideologi dan intelektual sedikit tidaknya telah menempatkan beliau sebagai ‘satusatunya’ manusia sempurna di HMI. Ketiadaan beliau seolah-olah menjadi awal kemunduran organisasi. Padahal, masa depan bangsa dan HMI, baru saja dimulai. Apa yang telah dihasilkan selama 60 tahun ini hanya sebuah langkah kecil terhadap perjuangan panjang kita untuk masa depan. Akan muncul banyak pemimpin dan intelektual dari rahim HMI pada hari-hari mendatang. Kedua, “berorientasi kepada orang vs. orientasi kepada tugas” (people oriented vs. task oriented).48 Pemimpin yang berorientasi kepada orang berfokus pada pengorganisasian dan pengembangan manusia yang ada dalam kelompoknya. Pemimpin seperti ini cenderung partisipatif, berusaha membangun tim yang baik dan kolaborasi yang kreatif. Boleh jadi pemimpin seperti ini berhasil memberdayakan dan membesarkan orangorang, namun dapat berujung pada kegagalan mencapai tujuan organisasi. Sementara pada sisi yang lain, pemimpin yang berorientasi kepada tugas cenderung berfokus pada ketuntasan pekerjaan. Sehingga disebut juga dengan goals-oriented leadership. Yang penting baginya adalah ketercapaian program, aktifitas dan tujuan organisasi. Pada kondisi ini, orang-orang cenderung tidak mendapat perhatian yang cukup. Pemimpin seperti ini sering bersifat autokratik dan berfokus pada fungsi kontrol. Ia memaksa pengikutnya untuk menyelesaikan tugas, dan menyebabkan orang-orang tidak nyaman lalu keluar dari timnya. Oleh sebab itu, keterpaduan antara dua gaya ini (people-oriented and task-oriented) akan lebih berhasil guna. Namun semuanya tergantung 48

F.E. Fiedler. 1967. A Theory of Leadership Effectiveness. McGraw-Hill: Harper and Row Publishers Inc,.: New York.

394

SAID MUNIRUDDIN

pada model organisasi dan tujuan yang hendak dicapai. Bagi HMI yang bertujuan “terbinanya insan”, perhatian pada sisi kemanusiaan tentu harus dominan. Namun tentunya tidak melupakan target keorganisasian yang telah dirumuskan dalam aturan dan rapat-rapat himpunan. Artinya, keseimbangan antara people dan task harus menjadi perhatian dalam proses perkaderan dan perjuangan. Ketiga, “transaksional vs. transformational” (transactional vs. transformational).49 Yang namanya transaksi, para pengikut akan mendapatkan imbalan atas pekerjaan atau kepatuhan mereka. Atau sebaliknya, hukuman atas kegagalan. Ibarat politisi dengan konstituennya, baik pemimpin maupun pengikut masing-masing punya kepentingan. Pemimpin berusaha mengontrol, mengevaluasi, dan mengoreksi anggotanya agar produktifitas tercapai. Karena pemimpin memiliki kekuatan untuk memberi (reward) atau menghukum (punishment), maka pengikut patuh terhadap mereka. Karena berkarakter “boss”, tipologi ini juga dikenal dengan executive leadership. Dengan berbagai fungsi manajerial yang harus diterapkan, mereka lebih cocok disebut manajer daripada pemimpin. Sedangkan kepemimpinan lainnya bergaya transformatif. Berusaha mempengaruhi pengikut melalui visi. Antusiasme pemimpin transformatif sangat kuat. Oleh karenanya disebut juga visionary leadership atau change-oriented leadership. Pemimpin seperti ini hanya memiliki the big picture kemana pengikutnya akan menuju, serta kemampuan untuk mengkomunikasikan mimpi-mimpi serta memotivasi mereka untuk meraihnya. Pemimpin seperti ini tidak otoriter, karena memiliki kemampuan untuk mendelegasikan tanggungjawab. Terkadang

49

J.M. Burns. 1978. Leadership. Harper and Row Publishers Inc..: New York.

BAB 9 Leadership: “The Power of Jamal and Jalal”

395

ia terlalu melayani, sehingga disebut servant leadership.50 Karena patuh pada nilai-nilai, gaya seperti ini dinamakan juga ideological leadership. Baik tipe transaksional maupun transformational, keduanya diperlukan bagi sebuah organisasi. Gaya transaksional efektif untuk memastikan sebuah rutinitas terlaksana dengan baik. Sementara karakter transformational berguna dalam menggali ide-ide yang menambah nilai bagi organisasi. Seorang pemimpin transformatif sekalipun, akan mencapai kesuksesannya jika didukung oleh orang-orang yang mampu mentransform visinya pada detil pekerjaan. Seorang eksekutif di HMI cabang harus punya karakter “ideologis transaksional”. Dimana ia memiliki “power” untuk memberi reward serta punishment bagi anggota yang melanggar konstitusi. Sementara seorang instruktur perkaderan, corak “ideologis transformational” akan lebih efektif. Tugasnya mengkomunikasikan, mengarahkan, dan memotivasi kader kepada wujud insan kamil yang menjadi cita-cita himpunan. Keempat, “teoritis vs. orientasi aksi” (leadership theorist vs. action-oriented).51 Pemimpin yang bergaya teoritis cenderung menggunakan berbagai analisa untuk memecahkan sebuah masalah. Ia menggunakan sejumlah model, memberikan pandangan dan penjelasan bagi pengikutnya. Ia suka membandingkan situasi serta terlibat dalam perdebatan intelektual dalam merumuskan langkah dan tujuan. Prinsip-prinsip utama yang disampaikannya akan sangat berguna ketika organisasi berhadapan dengan hal-hal teknis yang terlalu kaku. Namun menjadi tidak efektif ketika orang-orang merasa sudah banyak tau, atau organisasi telah larut dalam perdebatan teoritis. Sedangkan kepemimpinan yang berorientasi aksi pada kondisi tertentu dinilai lebih tepat. Karena mereka cenderung beraksi, memproduksi hasil, memimpin dari depan, memberi contoh, serta melakukan apa yang diucapkan. Namun selalu beraksi tanpa kemampuan membangun konsep dan argumen atas apa yang “penting” dan “tidak penting” juga

R.K. Greenleaf. 1977. Servant Leadership: A Journey Into the Nature of Legitimate Power and Greatness. Paulist Press: New Jersey. 51 I.B. Myers, P.B. Myers. 1995. Gifts Differing: Understanding Personality Type. Davies-Black Publishing: Mountain View. 50

396

SAID MUNIRUDDIN

tidak bagus. Kombinasi keduanya (teoritis dan aksional) dipercaya akan menghasilkan sesuatu yang lebih besar. Tetapi harus dilihat juga, kapan harus berteori dan kapan harus beraksi. Sebagai organisasi kaum intelektual, kader dan alumni HMI tentu harus mampu membangun dan mengkomunikasikan ide-ide solutif untuk pembangunan bangsa. HMI harus sangat teoritis dan konsepsional. Namun sebagai pejuang; langkah konkrit, keterlibatan langsung, serta produk-produk inovatif dalam berbagai bidang akademik, bisnis, dan politik juga harus ditunjukkan. Jangan menjadi pemimpin-pemimpin NATO, “No Action Talk Only”. Karena perubahan dimulai dari kejelasan visi, yang diterjemahkan dalam berbagai ide praktis dan aksi. Kelima, gaya kepemimpinan lainnya adalah “paternalistik52, autokratik, delegatif, dan demokratis”53 (paternalictic, autocratic, laissez-faire, and democratic). Tabel berikut menjelaskan perbedaan keempat gaya (tingkah laku) kepemimpinan yang cukup populer ini. Tabel 9.3: Gaya Kepemimpinan berdasarkan Tingkah Laku.

52 53

GAYA KEPEMIMPI NAN

Mental Dasar

Contoh Bahasa

Dampak dalam Pemberdayaan Masyarakat

PATERNALISTIK (“Telling”)

Berperan seperti figur seorang ayah. Saya lebih tau dan lebih mampu menyelesaikan semuanya. Kalian semua percaya sajalah. Saya adalah orang tua yang ingin melindungi kalian. Orang tua lebih berhak memimpin.

“Lakukan seperti yang saya lakukan”. “ Lihat kesini, seperti inilah harus dilakukan”

(+) Selalu ingin melindungi pengikutnya, yang dianggap sebagai anak-anaknya. (-) Terjadi proses menina bobokkan, tidak mau didahului, dan senang bila masyarakat terus tergantung.

OTORITER/ AUTOKRATIK (“Dominating”)

Saya yg paling berkuasa dan yang paling berhak mengeluarkan pendapat. Menerima pendapat = kalah

“Anda atau saya yang memimpin?”, “Lakukan apa yang saya perintahkan”, “Lakukan

(+) Tegas. (-) Terjadi proses pembodohan dan dehumanisasi.

G. Hofstede. 1997. Culture and Organizations: Software of the Mind. McGraw-Hill: New York. K. Lewin, R. Lippit. and R.K. White. 1939. “Patterns of Aggressive Behavior in Experimentally Created Social Climates. Journal of Social Psychology, Vol. 10, hal. 271-301.

BAB 9 Leadership: “The Power of Jamal and Jalal”

397

sekarang juga”

LAISSEZ FAIRE (“Delegative”)

Memberikan kebebasan penuh kepada pengikutpengikutnya untuk membuat berbagai keputusan.

“Buat keputusan kalian sendiri untuk mencapai tujuan”. “Kalian lebih tau apa yang harus dilakukan”.

(+) Pengikut sangat merasakan kemerdekaannya. (-) Pengikut bisa bebas melakukan apa saja yang mereka inginkan.

DEMOKRATIK (“Participative”)

Menampung pendapat orang, dan bersikap lebih sebagai koordinator dan penyedia informasi ketimbang sebagai pengambil keputusan. Mendahulukan pendapat yg lain (populis).

“Bagaimana menurut saudara?”, “Bagaimana pendapat yg lain?”, “Mari kita lihat apa yang masyarakat inginkan”

(+) Memberi ruang terbuka bagi pengikut untuk berpartisipasi. (-) Tidak mau memaksakan. Menerima pada kehendak mayoritas, walaupun belum tentu benar.

Empat Khalifah, Empat Gaya. Empat gaya kepemimpinan di atas mudah dilacak pada kepribadian setiap orang. Bahkan kepemimpinan politik awal Islam merefleksikan empat gaya ini. “Paternalistik” adalah perilaku yang dominan dilekatkan pada Abubakar. Meskipun Islam tidak menempatkan “tua” sebagai syarat menjadi pemimpin, namun terpilihnya beliau sebagai khalifah dalam musyawarah terbatas di balairung Bani Saqifah sering disebut-sebut karena faktor “lebih tua”. Karena dianggap lebih berusia, maka beberapa kaum muslimin yang hadir disana sepakat memilih beliau.54 Walaupun kemudian ayah Abubakar sendiri Abu Qahafah berseloroh, “Kalau alasannya karena tua, mengapa tidak aku saja yang jadi khalifah”.55 Gaya paternalistik (ke-bapak-an) dinilai cukup efektif untuk mengayomi dan menyatukan. Namun ahli leadership mengatakan, iklim senioritas sering menciptakan ketergantungan dan tidak memberdayakan. Meskipun mampu membangun kebersamaan, namun pemimpin yang dominan dengan tipologi paternal cenderung ingin selalu didengar, tidak senang jika dibantah, juga cenderung memaksa. 54 55

Ibnu Qutaibah dalam Imamah wa al-Siyasah, hal. 12. Cetakan Mathba’ah al-Ummah, Mesir. Ibnu Abi al-Hadid dalam Syarh Nahj al-Balaghah , juz. 1, hal. 222.

398

SAID MUNIRUDDIN

“Otoriter” merupakan tipe kepemimpinan yang dominan melekat pada Umar, dibandingkan khalifah lainnya. Caranya mengatur dan berinteraksi dengan masyarakat sering diriwayatkan penuh tensi dan luapan emosi. Digambarkan suka meluruskan telunjuk jari orang sholat dengan pedang. Jika ada orang-orang yang menghina agama maka tidak segan-segan meminta izin Nabisaw untuk menebas leher mereka. Bahkan ketika saw Rasul wafat, beliau mengancam akan membunuh orang-orang, “Siapa yang mengatakan Nabi sudah wafat akan kutebas lehernya dengan pedang ini”. Tensinya baru mereda setelah ditenangkan Abubakar dengan dibacakan ayat:

“Muhammad hanyalah seorang Rasul. Sebelumnya telah berlalu Rasul-Rasul. Apabila ia wafat atau terbunuh apakah kamu akan berbalik murtad? Tetapi barang siapa berbalik murtad, sedikit pun tiada ia merugikan Allah. Allah memberikan pahala kepada orangorang yang bersyukur” (QS. Ali Imran -3 : 144). Gaya temperamental ini ampuh untuk menekan, memaksakan suatu hukum, dan efektif untuk mengeksekusi sesuatu secara cepat tanpa perlu banyak pertimbangan. Namun pola ini tidak efektif untuk membangun kesadaran bersama, serta dapat mematikan kreatifitas. Militer dibangun dengan gaya ini. “Delegatif” menjadi dominasi sifat pada tipe kepemimpinan Usman. Ia bahkan diriwayatkan terlalu laissez-faire (membiarkan), seperti menyerahkan stempel pemerintahan kepada aparaturnya. Karena terlalu percaya kepada bawahan yang tentunya memiliki beragam motif

BAB 9 Leadership: “The Power of Jamal and Jalal”

399

kekuasaan dan kepentingan, ia kemudian kehilangan kontrol atas pemerintahannya.56 Mereka yang terlalu dipercayai adalah Bani Umayyah yang jauh-jauh hari telah diwanti-wanti dua khalifah sebelumnya (Umar dan Abubakar) untuk tidak diberikan kekuasaan atas kaum muslim. Bani Umayyah termasuk kelompok anti terhadap revolusi spiritual yang pimpin Rasulsaw. Petinggi-petinggi Bani Umayyah seperti Abu Sofyan termasuk yang paling belakangan masuk Islam, yaitu ketika futh makkah. Bahkan keislaman mereka dinilai sebuah kepura-puraan untuk mencari selamat dari pedang pasukan Islam. Karena itu, Bani Umayyah disebut oleh sejumlah ahli tafsir sebagai “Pohon Kayu Terkutuk” yang tersebut dalam al-Quran.57 Kelompok merekalah yang nantinya menyusun strategi membantai banyak Keluarga Nabisaw, termasuk meracun Hasan dan memerangi Husen. Sebagian mereka dulu pernah di usir Rasul saw dari Madinah, seperti Hakam bin ‘abil ‘Ash dan anaknya Marwan. Tetapi kemudian Usman mendelegasikan pemerintahan kepada mereka, termasuk Mua’wiyah sebagai gubernur Damaskus dan Yordania, dan Walid bin ‘Uqbah sebagai gubernur Kufah. Akhirnya, sejarah mencatat bagaimana mereka menggunakan kekuasaan untuk menimbun harta. Kejadian ini menimbulkan demotivasi terhadap yang lain. Akhirnya timbul protes dan gejolak dari rakyat. Mereka yang pernah dipercayai Usman akhirnya juga ikut merongrong kekhalifahan. Meskipun Ali dan anak-anaknya berusaha melindungi khalifah ketiga ini, namun gejolak revolusi tetap berakhir dengan terbunuhnya Usman. 58 “Demokratis” merupakan tipologi kepemimpinan yang secara dominan melekat kepada Ali. Beliau dinilai sebagai demokrat tulen. Ia terkenal cerdas dan selalu hadir dalam memberikan pandangan agama, politik dan hukum kepada masyarakat dan pemerintahan. Beliau cenderung tidak memaksakan kehendaknya. Ia memainkan peran sebagai advisor Ibid. Juz 3, hal. 12. “Dan (ingatlah), ketika Kami wahyukan kepadamu: “Sesungguhnya (ilmu) Tuhanmu meliputi segala manusia”. Dan Kami tidak menjadikan mimpi yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia dan (begitu pula) pohon kayu yang terkutuk dalam Al Qur’an. Dan Kami menakut-nakuti mereka, tetapi yang demikian itu hanyalah menambah besar kedurhakaan mereka” (QS. alIsra -17: 60). 58 Al-Mas’udi, Murawwiju al-Dzahab, juz 1, hal. 435. 56 57

400

SAID MUNIRUDDIN

bagi kaumnya. Sebagai Imam, ia memberi guidance, dan pilihan sering diputuskan oleh masyarakatnya. Salah satu sikap demokratisnya terlihat ketika ia tidak menjadi khalifah pada Pemilu pertama paska Nabisaw. Sejumlah literatur Islam meriwayatkan, Ali merupakan orang yang sepatutnya menggantikan Nabisaw. Hal ini tersebut dalam khutbah terakhir Nabisaw di Ghadir Khum sepulang dari Haji Wada’. Rasulsaw mengarahkan kaum muslim untuk menjadikan Ali sebagai “maula”, wali atau pemimpin sepeninggalnya. “Man kuntu maulahu fa hadza Aliyyu maulahu”.59 Tetapi suksesi politik memilih Abubakar sebagai khalifah pertama. Sebagai figur demokrat, Ali punya sikap tegas. Diriwayatkan, selama enam bulan ia abstain dari pemerintahan.60 Namun situasi dan pressure politik setelahnya mengharuskan beliau untuk ikut memberi andil, aktif menjaga kesatuan umat. Baru setelah itu beliau terlibat, menjadi adviser dalam kerja-kerja membesarkan Islam. Sebagai demokrat, ia punya sikap tegas sekaligus lunak, yang disesuaikan dengan kepentingan umat. Meskipun tipologi demokratis ini dianggap paling baik, namun Ali sendiri cukup mendapat masalah dengan ini. Dalam perang Shiffin [1] Jalaluddin as-Suyuthi dalam al-Durr al-Mantsur, juz 2, hal. 298; [2] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari dalam al-Wilayah; [3] al-Hafizh Abu Abdullah al-Muhaimili dalam Amali; [4] al-Hafizh Abubakar al-Syairazi dalam Ma Unzila min al-Quran fi Ali as; [5] al-Hafizh Abu Said al-Sajastani dalam al-Wilayah; [6] al-Hafizh Ibnu Mardawaih dalam al-Ayatu al-Karimah; [7] al-Hafizh Ibnu Abi Hatim dalam al-Ghadir; [8] al-Hafizh Abu alQasim al-Haskani dalam Syawahid al-Tanzil; [9] Abu al-Fatah alNathnazi dalam al-Khasha’ish al-‘Uluwiyyah; [10] Mu’inuddin al-Maibadi dalam Syarh al-Diwan; [11] al-Qadhi al-Syaukani dalam Fathu al-Qadir, juz 3, hal. 57; [12] Jamaluddin al-Syairazi dalam alArba’in; [13] Badruddin al-Hanafi dalam Umdatu al-Qari fi Syarhi Shahih al-Bukhari, juz 8, hal. 584; [14] Imam al-Tsa’labi dalam Kasyfu al-Bayan; [15] al-Imam Fakhrurrazi dalam Tafsir al-Kabir, juz. 3, hal. 636; [16] al-Hafizh Abu Na’im dalam Ma Nuzila min al-Quran fi Ali; [17] Syaikh al Islam alHumawaini dalam Fara’id al-Samthin; [18] Nizhamuddin al-Naisaburi dalam kitab tafsirnya, juz 6, hal. 170; [19] Syihabuddin al-Alusi al-Baghdadi dalam Ruh al-Ma’ani, juz 2, hal. 348; [20] Nuruddin alMaliki dalam al-Fushul al-Muhimmah, hal. 27; [21] al-Wahidi dalam al-Asbab al-Nuzul, hal. 150; [22] Muhammad bin Thalhah dalam Mathalib al-Su’al; [23] Mir Sayyid Ali al-Hamdani dalam al-Mawaddah al-Qurba Bab Mawaddah kelima; [24] al-Qunduzi dalam Yanabi al-Mawaddah, bab 39; dan lainnya (dalam S.M. al-Musawi. 2009. Mazhab Pecinta Keluarga Nabi: Kajian alQuran dan Sunnah, hal. 472486, MPress, Bandung). 60 [1] Bukhari dalam Shahih-nya, juz 3, hal. 37, Bab Ghazawat Khaibar; [2] Muslim dalam Shahih-nya, juz 5, hal. 154, bab Qaul al-Nabi saw ‘La Naritsu; [3] Muslim bin Qutaibah dalam al-Imamah wa alSiyasah, hal. 14; [4] Mas’udi dalam Murawwij al-Dzahab, juz 1, hal. 414; [5] Ibnu A’tsam al-Kufi dalam al-Futuh; [6] Abu Nasr Humaidi dalam al-Jam Bayna al-Shahihain; [7] Ahmad bin Yahya al-Baghdadi (al-Baladzari) dalam Ansab al-Asyraf, juz 1, hal. 586; [8] Ibnu Khadzbah dalam al-Ghadr; [9] Ibnu Abi Rabbah dalam al-’Aqd al-Farid, juz 2, hal. 205; [10] Muhammad bin jarir Thabari dalam Tarikh-nya, juz 3, hal. 303; [10] Ibnu Abil hadid dalam Syarh Nahj al-Balaghah, juz 2, hal. 56; [11] Abu Walid Muhibuddin bin Syahnah al-Hanafi dalam Raudhah al-Manazhir fi Akhbar al-Awail wa al-Awakhir; [12] Umar Ridha dalam A’lam al-Nisa, juz 4, hal. 114; [13] Abdul Fattah Abdul Maqsud dalam alSaqifah wa al-Khilafah, hal. 14, Maktabah Gharib, Kairo (dalam Ibid). 59

BAB 9 Leadership: “The Power of Jamal and Jalal”

401

misalnya, ketika pasukannya hampir mengalahkan Muawiyah, tiba-tiba Amru bin ‘Ash mengangkat al-Qur’an diujung tombaknya sebagai tanda ajakan damai. Ali mengetahui ini hanya siasat musuhnya. Namun sebagian besar pasukannya telah terpedaya. Mereka percaya bahwa jika Kitab Suci sudah diujung tombak, maka perang harus dihentikan. Meskipun Ali memerintahkan mereka untuk terus berperang, namun para pengikutnya yang sudah cukup lelah bertempur memilih berhenti. Ketika perintahnya diabaikan, Ali tidak dapat berbuat banyak, selain mengikuti kehendak mayoritas pasukan. Demikian pula ketika proses tahkim terpilihnya Muawiyah sebagai khalifah setelahnya, untuk menjaga kedamaian, suara mayoritas terpaksa harus ia ikuti.61 Begitu pula pada masa Usman, Ali berulang kali menasehatinya untuk merubah kebijakan politik yang membahayakannya. Sebagian dilaksanakan Usman seperti mengganti gubernur Kufah yang pemabuk (Walid bin ‘Uqbah). Namun sejumlah pandangan lain tidak mampu dilaksanakan Usman sehingga menimbulkan kekacauan pemerintahan.62 Keempat gaya kepemimpinan ini (paternalistik, autokratik, laissez-faire, dan demokratik) punya sisi positif dan negatif. Efektifitasnya tergantung situasi dan kondisi. Namun dari semua tipologi yang ada, masyarakat modern kelihatannya cenderung memilih untuk dipimpin oleh sosok “demokratis”. Gaya ini dianggap paling ideal karena “nilai-nilai partisipatif” yang dipunyainya merupakan sesuatu yang dibutuhkan untuk pemberdayaan kemanusiaan. Pada tipe pemimpin seperti ini terdapat puncak continuum keseimbangan antara “ketegasan” dan “kelembutan”. Disamping memiliki hak untuk mengontrol, juga memberikan otonomi yang luas bagi pengikutnya. Idealnya, seorang pemimpin memiliki semua gaya dan dipraktikkan secara seimbang sesuai kebutuhan. Wujud paling sempurna perpaduan semua tipologi leadership tersebut dapat ditemukan pada diri Muhammadsaw. Muhammadsaw, Perpaduan Berbagai Tipologi Kepemimpinan: Kakek dari “Hasan yang Lembut” (Jamal) dan “Husen yang Tegas” (Jalal). Pada diri Muhammadsaw secara sempurna ditemukan harmonisasi seluruh gaya kepemimpinan. Ia paternalistik, autokratik, delegatif, dan demokratis. Ia transaksional sekaligus transformational. Ia konseptual juga aksional. Ia berorientasi kepada orang sekaligus kepada 61 62

A. Audah. 2007. Ali bin Abi Thalib sampai kepada Hasan dan Husain. Litera Antar Nusa: Jakarta. Ibnu Abi al-Hadid dalam Syarh Nahj al-Balaghah, juz 2, hal. 151-152.

402

SAID MUNIRUDDIN

tugas. Ia birokratis juga kharismatis. Pada sejarah hidupnya dapat ditemukan berbagai aktualisasi gaya ini, yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang sedang dihadapinya. Gambar 9.1: Tipologi Kepemimpinan: Jamaliyah dan Jalaliyah

@ Said Muniruddin 2013

Oleh sebab itu, Muhammadsaw merupakan tajalli Tuhan, aktualisasi sempurnan berbagai tipologi kepemimpinan. Ia yin, feminin (jamal) sekaligus yang, maskulin (jalal). Jika merujuk pada beberapa figur nabi besar (ulil azmi), “Jalal” merupakan karakternya Musa as. Ia tegas dan keras dalam mendidik pengikutnya. Hukum-hukum Taurat terkenal dengan sifat keras. Sementara “jamal”, adalah karakternya Isa as. Ia hadir untuk melembutkan ketegangan yang menguasai hukum-hukum sebelumnya. Sehingga alMasikh ini terkenal dengan sifat kasih sayang dan tolerannya.

BAB 9 Leadership: “The Power of Jamal and Jalal”

403

Pada Muhammadsaw, kedua karakter kepemimpinan ini terpadu. Dan pada dua cucu kesayangannya, kedua sifat ini terlihat nyata. Sehingga Muhammadsaw disebut Jaddal Husaini (“Kakek dari Dua Husain”): Kakek dari Hasan yang “lembut” (jamal) dan Husen yang “tegas” (jalal). Hasan Husén63 Hasan ngön Husén, cuco di Nabi Aneuk bak Siti Fatimah Zuhra Syahid di Husén teuma dalam prang Syahid di Hasan inong dituba Laila Majnun nyang tuba Hasan Keunöng rayuan tipè bak raja Katém pôh lakoë hai putéh licén Ulôn meukawén dudoë ngön gata Lheuëh dipôh lakoë dudoë han ditém Cut Laila cukén beungèh keuraja Inong brôk piké lahé ngön batén Raja pih zalém peungarôh jiba. Artinya: //”Hasan dan Husen cucunya Nabi/Anak dari siti Fatimah azZahra/Syahidnya Husen dalam perang/ Syahidnya Hasan karena diracun istrinya/Laila Majnun yang meracuni Hasan//Karena terkena rayuan sang raja [Mu’awiyah]/Jika engkau mau membunuh istrimu/ akan kukawini engkau nantinya/Setelah dia membunuh suaminya, raja pun mengingkari janji /Laila pun marah kepada sang raja/Inilah contoh istri yang rusak pikirannya lahir dan batin/Raja pun zalim dengan pengaruh yang dimilikinya”//. Hasan dan Husen dua kakak beradik, cucu Nabisaw dari Fatimah. Hasan lahir pada 15 Ramadhan 3 Hijrah. Sedangkan Husen lahir pada 3 Sya’ban 4 Hijrah. Mereka berdua mewarisi sifat-sifat kakeknya Rasulsaw. Diriwayatkan, pada waktu sakit terakhir, Rasulullahsaw dikunjungi oleh Fatimah dengan ditemani Hasan dan Husein. Lalu Fatimah berkata kepada ayahnya, “Ya Rasulullah ini adalah kedua putramu, berilah warisan kepada keduanya.” Rasulullah berkata: “Adapun Hasan mewarisi kedermawanan dan kewibawaanku, adapun Husen mewarisi keberanian dan keluhuranku”.64

63 64

Lagu “Hasan Husen” oleh Rafli Kandee. Hadist diriwayatkan oleh Ibnu Mandah, Thabrani, Abu Nu’aim dan Ibnu Asakir.

404

SAID MUNIRUDDIN

Dua tipologi kepemimpinan pemuda ini, Hasan yang “dermawan dan berwibawa” (tipologi jamaliyah) dan Husen yang “pemberani dan luhur” (tipologi jalaliyah), merupakan “warisan” (genetik) dari kakeknya. Meskipun dermawan, Hasan juga berwibawa. Sedangkan Husen, disamping pemberani, jiwanya juga luhur. Harmonisasi dua karakter ini merupakan tipologi “Bintang ‘Arasy”, manusia sempurna. Refleksi keagungan dua nilai “keberanian” dan “kesucian” ini terefleksi dalam “merah” dan “putih” bendera kebangsaan kita. Tidak hanya mewarisi sifat “merah-putih” Nabisaw, dua kader muda ini bahkan menyerupai Nabi sampai ke bentuk fisik. Abubakar sendiri suatu ketika melihat Hasan dan Husen lalu berkata kepada Ali, “Mereka lebih mirip Nabi daripada engkau”. Ali hanya tersenyum. Diriwayatkan, Hasan paling mirip Rasulullahsaw antara dada sampai kepalanya; sedangkan Husen paling mirip dengan Rasulullahsaw antara leher sampai bagian tengah badannya. Kepada orang-orang Nabisaw sering mengatakan, “Barangsiapa mencintai keduanya (Hasan dan Husein) berarti ia mencintai aku. Barangsiapa membenci keduanya berarti ia membenci aku”.65 Sudah menjadi tradisi bangsa manapun untuk memperingati “hari pahlawan”. Bahkan menjadikan tokoh-tokoh mereka sebagai nama dan simbol-simbol kemasyarakatan dan kenegaraan. Di Aceh, begitu hormatnya mereka kepada dua cucu kesayangan Bagindasaw ini. Bahkan bulan pertama dalam penanggalan lokal diberi nama “Asan-Usen” atau “Sausen”.66 ‘Pukul-pukul diri’ dalam tari Saman dan Seudati juga bentuk ekspresi duka masyarakat Aceh kepada kesyahidan dua pemuda ternama ini.67 Peringatan Asyura pada setiap 10 Muharram untuk mengenang kesyahidan Husen juga diperingati di berbagai tempat di Indonesia. Di Aceh di kenal “Khanduri Asyura”, di Padang disebut “Hoyak Tabuik” atau “Hoyak Husain”. Sementara di Bengkulu dinamai “Tabot”. Tidak dapat disimpulkan bahwa masyarakat yang melaksanaHadist diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Nama-nama Bulan dalam penanggalan Aceh adalah: (1) Sausen -Muharram, (2) Safa -Safar, (3) Mulod -Rabiul Awwal, (4) Adoe Mulod -Rabiul Akhir, (5) Bungong Kayee -Jumadil Awwal, (6) Boh Kayee Jumadil Akhir (7) Apam -Rajab, (8) Khanduri Bu -Syakban, (9) Puasa -Ramadhan, (10) Uroe Raya Syawwal (11) Beurapet -Dzulqaidah, (12) Haji -Dzulhijjah. 67 H.M. Saad. “Syiah Aceh”, opini di harian Serambi Indonesia, Minggu: 22 Februari 2009. 65 66

BAB 9 Leadership: “The Power of Jamal and Jalal”

405

kan tradisi ini sebagai Syi’ah. Karena memuliakan Keluarga Nabisaw menjadi kewajiban seluruh umat Islam.68 Hasan dan Husen bukan sembarang manusia. Mereka ini dua tokoh pemuda kecintaan Nabisaw yang begitu konsisten meneruskan perjuangan Islam. Mereka memiliki peran sentral dalam sejarah awal Islam dan paska empat khalifah pertama. Mereka punya pendekatan leadership yang berbeda dalam menghadapi kondisi politik zamannya. Hasan, disamping juga seorang petempur ulung, ia memiliki tipologi kepemimpinan yang lebih mengedepankan “damai”. Ketika ia masih kecil, Rasulsaw mengatakan: “Sesungguhnya putraku ini [Hasan] adalah seorang sayyid [pemimpin]. Allah akan mendamaikan dengannya dua kelompok yang besar dari kaum muslim”.69 “Hasan”

Hal ini benar-benar terjadi. Ketika Ali wafat, penduduk Kufah datang membaiat Hasan sebagai khalifah. Sementara di Syam, penduduk diorganisir untuk membaiat Mu’awiyah. Maka pertikaian tidak terhindari. Ancaman peperangan kembali muncul. Hasan masih teringat bagaimana di Shiffin umat Islam saling adu pedang. Yang tersisa dari itu semua hanya janda, yatim piatu, kehancuran, dan kebinasaan. Mu’awiyah menyadari bahwa pendukung Hasan cukup militan. Mayoritas umat terlihat lebih memilih dari keluarga Rasul saw untuk memimpin mereka. Mu’awiyah yang terkenal licik dan cerdik kemudian menawarkan surat perjanjian kepada Hasan untuk membiarkan dia memimpin terlebih dahulu, setelah kematiannya barulah kepemimpinan umat akan kembali diserahkan kepada Hasan jika masih hidup. Hasan yang berkarakter “jamaliah” setuju dengan perjanjian yang menjadi solusi pertumpahan darah. Namun Mu’awiyah tetaplah Mu’awiyah. Beliau ini contoh sempurna dari “politisi busuk” yang memakai “wajah Islam”, yang selalu muncul di setiap zaman. Tentang kelicikannya, suatu ketika Imam Ali berkata

“Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upah pun atas seruanku kecuali kecintaan kepada Keluargaku.” (QS. asSyuraa -42: 23). 69 Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, jilid 7, hadits nomor 3746. Juga jilid 6, hadits nomor 3629. 68

406

SAID MUNIRUDDIN

kepadanya, “Jika aku mau, aku bisa lebih licik dari engkau, dan mampu kumenangkan perang dengan mudah. Tetapi itu tidak kulakukan karena perilaku seperti itu tidak pernah direstui Allah dan Rasul-Nya”. Bagi Ali, kemenangan bukan pada pencapaian tujuan personal dan kekuasaan, melainkan pada keterwujudan nilai-nilai kesucian. Itulah ketauladanan yang dipelajari dari Nabinya. Tidak hanya memperoleh jabatan kekhalifahan, Mu’awiyah bahkan kemudian menyusun strategi pembunuhan Hasan, dengan meracuninya. Ini terjadi pada 7 Safar tahun 50 Hijrah. Dia kemudian mempersiapkan anaknya Yazid yang terkenal fasiq, suka mabuk, judi, dan perempuan sebagai khalifah penggantinya. Kemunafikan dan kedhaliman ini yang kemudian menggerakkan Husen dan pengikutnya untuk kembali menegaskan prinsip-prinsip tauhied, kebenaran dan keadilan yang pernah diperjuangkan kakeknya. Tentang Husen Rasulsaw menyebut: “Husen adalah bagian dariku dan aku bagian dari Husen, Allah mencintai mereka yang mencintai husen, Husen adalah cucu diantara cucu yang lain”.70 Selain secara “genetik”, salah makna “Husen adalah bagian dariku dan aku bagian dari Husen” adalah “Husain” “kesamaan karakter kepemimpinan” serta “kesamaan misi” yang diemban, yaitu penegakan keadilan dan ihsan. Perbedaannya hanya pada jenis musuh. Jika kakeknya Rasul saw menghabiskan usia untuk melawan kafir dan musyrik, Husen menghabiskan umur menentang penguasa-penguasa Islam yang fasik dan korup. Meskipun syahid ditangan musuh pada 10 Muharram 61 Hijrah, namun Husen diakui oleh para sejarawan sebagai pemenang pertempuran. Mengapa? Karena “nilai-nilai” yang diperjuangkannya terus hidup selama ribuan tahun. Ia menjadi inspirasi penegakan nilai-nilai bagi generasi setelahnya. Sementara musuhnya, meski berhasil mem-

70

[1] Imam Ahmad dalam Musnad-nya, juz.4 , hal. 172 dengan sanadnya dari Ya’la bin Marrah alTsaqafi; [2] Shahih Sunan at-Tirmidzi, karya Syaikh al-Albani [3/539] No. 3775 - Maktabah al-Ma'arif - Riyadh, Cet. I dari terbitan yang baru tahun 1420 H/2000 M; [3] Shahih Sunan Ibn Majah karya Syaikh al-Albani [1/64-65] No. 118-143 - Maktabah al-Ma'arif - Riyadh, Cet. I dari terbitan yang baru tahun 1417 H/1997 M.

BAB 9 Leadership: “The Power of Jamal and Jalal”

407

bunuhnya, menjadi cacian sejarah karena kekotoran perilaku dan kedhaliman terhadap rakyat dan keluarga Nabisaw. Berbeda dengan abangnya Hasan yang cenderung memilih pendekatan “damai” dalam kepemimpinannya, Husen merupakan tipikal leader yang hidup pada masa dimana ia harus menghidupkan orientasi “keras dan tegas” terhadap kemunafikan. Walaupun ia juga terkenal dengan sifat penyayang, namun situasi mengharuskannya untuk lebih menghidupkan nilai-nilai jalaliyah dalam leadership-nya. Ia berada pada posisi harus menggunakan ‘tangan’ (pengaruh, kekuasaan, dan pedangnya) untuk melawan kemungkaran. Tipologi jamal dan jalal yang dimiliki dua penghulu syuhada ini merupakan warisan kakeknya. Sikap lembut Hasan dan perilaku keras Husen menjadi karakter yang harus dimiliki seorang kader pemimpin dalam menghadapi situasi dan pengikut. Setiap kader Islam, yang pada hakikatnya juga ‘bagian’, ‘cucu’, ‘pewaris’, dan ‘penerus’ Nabi saw; harus punya dua sikap ini.

KESIMPULAN Sungguh telah ada pada diri Muhammad saw dan Keluarga Sucinya suri tauladan leadership bagi umat manusia.71 Semua karakter seorang pemimpin agung yang dilukiskan dalam buku-buku manajemen dan kepemimpinan dapat ditemukan dalam jiwa dan perilaku mereka. Tetapi masih banyak dari kita yang gagal memahami eksistensi dan esensi mereka. Menyedihkan sekali karena kita masih menghabiskan hari-hari dengan mengagungkan sejumlah pemimpin komunis dan sekuler di berbagai belahan dunia. Masih banyak yang melihat Muhammad saw dan Keluarganya sebatas “nama-nama” yang pernah lalu lalang dimasa silam. Padahal mereka ini sekelompok manusia yang nilai intelektualitas dan spiritualitasnya, jalal dan jamalnya, melampaui ruang dan waktu. Muhammadsaw dan Keluarganya adalah “Bintang’ Arasy” yang kualitas leadership-nya menerobos batas-batas alam semesta. Mereka adalah orang-orang yang mendapat laqab “pemimpin” (sayyid):

71

"Sungguh telah ada pada diri Rasulullah suri tauladan yang baik bagimu. Yaitu bagi orang yang mengharap Allah dan hari akhir serta banyak berdzikir kepada Allah” (Q.S. alAhzab -33: 21).

408

SAID MUNIRUDDIN

(1) Sayyidul Mursalin -“Pemimpin para Rasul” (Muhammad alMustafa); (2) Amirul mukminin -“Pemimpin orang-orang yang Beriman” (Ali alMurtadha); (3) Sayyidatun nisa-il ‘alamin -“Pemimpin atas wanita di seluruh alam semesta” (Fatimah azZahra); (4) dan (5) Sayyidusy syabab ahlul jannah -“Dua Pemimpin Pemuda di Syurga” (Hasan alMujtaba dan Husen asySyahid). Nabisaw dan Ahlul Baitnya merupakan sekumpulan universal leaders yang dikirim Tuhan untuk “mempengaruhi” manusia agar hidup maksimal di bumi dan kembali dengan selamat ke akhirat. Mereka alQuran dan asSunnah berjalan, “contoh hidup” dari Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) yang dirumuskan Cak Nur dkk untuk HMI. Merekalah “cahaya”, “Bintang” pada lambang HMI, simbol kejayaan muslim se-dunia. Menempuh “jalan kepemimpinan” seperti mereka adalah menempuh “jalan yang lurus”. Mengambil orang-orang seperti mereka sebagai pemimpin mengarahkan kita kepada “nikmat” Tuhan. Sedangkan mengikuti orang-orang bejat, sama dengan menjatuhkan diri ke jurang “murka” dan “siksa”.72 Kiranya kader HMI dapat menjadi pemimpinpemimpin yang “berakhlakul karimah” seperti yang dicontohkan mereka, untuk membangun masa depan Indonesia. Amin ya rabbal ‘alamin.***** Shollu ‘ala Muhammadin wa Aaleh, Billahit taufiq walhidayah.

72

[1] Makna dari surah alFatihah; [2] “Wahai manusia, sesungguhnya Aku meninggalkan dua hal (alTsaqalain), yang jika kalian berpegang teguh kepada keduanya, kalian tidak akan tersesat selamalamanya sepeninggalku, yaitu Kitabullah dan ‘Idrati Ahli Baiti (alQuran dan Ahlul Baitku). Keduanya tidak akan berpisah hingga dikembalikan kepadaku di telaga (al-Haudh)”, Shahih Muslim, juz, 2, hal. 237, juz 7, hal. 122; Sahih al-Tirmidzi, juz 2, hal. 219, 220 dan 307; al-Nasai, Kasha’ish, hal. 30, Musnad Ahmad bin Hambal, juz 3, hal. 13 dan 17, juz 4, hal. 26 dan 59, hal. 182 dan 189; dan lainnya. Catatan S.M. al-Musawi dalam Mazhab Pecinta Keluarga Nabi: Kajian alQuran dan Sunnah, hal. 158, MPress, Bandung, 2009, lebih dari 66 kitab telah menukilkan hadist ini.

l.a.m.p.i.r.a.n

410

SAID MUNIRUDDIN

Dzikir “H-M-I” Oleh: Said Muniruddin

@ Said Muniruddin 2013

LAMPIRAN: “Doa agar Berakhlak Mulia”

Do’a Agar Berakhlak Mulia (Doa dari Imam Ali Zainal Abidin)

411

412

SAID MUNIRUDDIN

“Doa agar Berakhlak Mulia”

413

414

SAID MUNIRUDDIN

“Doa agar Berakhlak Mulia”

415

416

SAID MUNIRUDDIN

“Doa agar Berakhlak Mulia”

417

418

SAID MUNIRUDDIN

“Doa agar Berakhlak Mulia”

419

420

SAID MUNIRUDDIN

“Doa agar Berakhlak Mulia”

421

“Ya Allah, sampaikanlah shalawat kepada Muhammad dan Keluarganya, sampaikan imanku pada iman yang paling sempurna, jadikan keyakinanku keyakinan yang paling utama. Angkatlah niatku ke niat yang paling paripurna, angkat juga amalku ke amal yang paling paripurna. Ya Allah, sempurnakan dengan anugerah-Mu niatku, luruskan dengan apa yang ada di sisi-Mu keyakinanku, perbaikilah dengan kekuasaan-Mu apa yang rusak dalam diriku. Ya Allah, sampaikanlah shalawat kepada Muhammad dan Keluarganya, lepaskan aku dari urusan yang mengalihkan perhatianku, sibukkan aku dengan apa yang pada hari akhirat Engkau akan tuntut aku. Penuhi hari-hariku dengan tujuan Engkau menciptakanku, cukupkanlah aku dan perluas bagiku rezeki-Mu. Janganlah mencobaiku dengan kepongahan, muliakan aku dan janganlah mengujiku dengan ketakaburan. Jadikan aku orang yang beribadah kepada Mu. Jangan rusakkan ibadahku dengan kebanggaan diri. Alihkan melalui tanganku kebaikan sesama manusia dan jangan hapuskan ganjarannya dengan sumpah serapah. Anugerahkan kepadaku kemulian akhlak, dan lindungi aku dari kesombongan. Ya Allah, sampaikanlah shalawat kepada Muhammad dan Keluarganya, janganlah Engkau angkat aku satu derajat di hadapan manusia, tanpa Engkau turunkan

422

SAID MUNIRUDDIN

juga semisal itu dalam diriku. Jangan Engkau datangkan kepadaku kemegahan lahir tanpa Engkau berikan kerendahan batin. Ya Allah, sampaikanlah shalawat kepada Muhammad dan Keluarganya, bahagiakan aku dengan petunjuk yang lurus yang tidak pernah aku gantikan dengan yang lainnya. Jalan yang benar yang tidak akan pernah aku tinggalkan dengan selainnya. Niat yang tulus yang tidak pernah aku ragukan. Panjangkan usiaku jika usiaku dipersembahkan untuk mentaati-Mu. Jika umurku hanya jadi padang buruan setan, ambillah sekarang juga sebelum didatangkan kemurkaanMu, sebelum dijatuhkan kemarahan-Mu. Ya Allah, janganlah Engkau tinggalkan dalam diriku satu cacat yang mempermalukanku kecuali Engkau betulkan, satu aib yang menyalahkanku kecuali Engkau baguskan, satu kekurangan dalam kemuliaanku kecuali Engkau sempurnakan. Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan Keluarganya, ubahlah bagiku kebencian pendendam menjadi kecintaan. Kebencian orang jahat menjadi kasih sayang. Prasangka orang saleh menjadi kepercayaan. Permusuhan orang terdekat menjadi kesetiaan. Kedurhakaan keluarga menjadi kebaktian. Pengkhianatan karib-kerabat menjadi pertolongan. Cinta para perayu menjadi cinta sejati. Penolakan handai-tolan menjadi keindahan pergaulan. Ketakutan pada orang zalim menjadi manisnya rasa aman. Ya Allah, sampaikanlah shalawat kepada Muhammad dan Keluarganya, berikan kepadaku tangan yang menentang orang yang menzalimiku. Lidah yang membantah orang yang memusuhiku. Kemenangan terhadap orang yang melawanku. Karuniakan kepadaku kecerdikan untuk menipu orang yang memperdayakanku. Kemampuan untuk menentang orang yang menindasku. Penolakan untuk membenarkan orang yang menghinaku. Keselamatan menghadapi orang yang mengancamku. Bimbinglah aku untuk mentaati orang yang mengajarkan kebenaran kepadaku. Dan mengikuti orang yang memberikan petunjuk padaku. Ya Allah, sampaikanlah shalawat kepada Muhammad dan Keluarganya, bimbinglah daku untuk melawan orang yang mengkhianatiku dengan ketulusan. Membalas orang yang mengabaikanku dengan kebajikan. Memberi orang yang bakhil kepadaku dengan pengorbanan. Menyambut orang yang memusuhiku dengan hubungan kasih sayang. Menentang orang yang menggunjingku dengan pujian. Berterima kasih atas kebaikan dan menutup mata dari keburukan. Ya Allah, sampaikanlah shalawat kepada Muhammad dan Keluarganya, hiasi kepribadianku dengan hiasan orang-orang saleh. Berilah aku busana kaum muttaqin dengan menyebarkan keadilan, menahan kemarahan, meredam kebencian, mempersatukan perpecahan, mendamaikan pertengkaran, menyiarkan kebaikan, menyembunyikan keburukan. Memelihara kelemah lembutan, memiliki kerendah-hatian, berperilaku yang baik, memegang teguh pendirian, menyenangkan dalam pergaulan, bersegera melakukan kebaikan, meninggalkan kecaman. Memberi kepada yang berhak, berbicara yang benar walaupun berat. Menganggap sedikit kebaikan walaupun banyak dalam ucapan dan perbuatan. Menganggap banyak keburukan walaupun sedikit dalam ucapan dan perbuatan. Sempurnakan semuanya, dengan kebiasaan taat, dan selalu berjamaah, dengan meninggalkan ahli bid’ah, dan penggunaan pendapat yang dibuat-buat.

“Doa agar Berakhlak Mulia”

423

Ya Allah, sampaikanlah shalawat kepada Muhammad dan Keluarganya, jadikan rezeki-Mu yang paling luas bagiku dalam masa tuaku. Kekuatanku yang paling perkasa pada waktu lelahku, janganlah mengujiku dengan kemalasan dalam beribadah kepada-Mu. Dengan kebutaan melihat jalan-Mu, dengan melakukan apa yang bertentangan dengan cinta-Mu. Dengan bergabung bersama orang berpisah dengan-Mu, dengan berpisah dari orang yang bergabung dengan-Mu. Ya Allah, sampaikanlah shalawat kepada Muhammad dan Keluarganya, jadikan aku meloncat kepada-Mu dalam kemalangan, bermohon kepada-Mu dalam keperluan, merendah kepada-Mu dalam kemiskinan. Jangan menguji aku dengan memohon pertolongan kepada selain-Mu ketika aku berada dalam kesusahan. Dengan merendah-rendah kepada selain-Mu ketika aku berada dalam kefakiran. Dengan mengemis-ngemis kepada selain-Mu ketika aku sedang ketakutan, sehingga Engkau menjauhiku tidak memberiku, dan berpaling dariku. Duhai Yang Paling Pengasih dari semua Yang Mengasihi. Ya Allah, sampaikanlah shalawat kepada Muhammad dan Keluarganya, ubahlah semua bisikan setan ke dalam hatiku yang berupa angan-angan, keraguan, kedengkian; menjadi ingatan akan kebesaran-Mu, renungan akan kekuasaan-Mu. Gantikan semua yang diucapkan lidahku berupa kekejian, kekotoran, kecaman atas kehormatan, kesaksian palsu, pergunjingan mukmin yang tidak hadir, dan ejekan kepada mukmin yang hadir dan sebagainya menjadi kata-kata pujian kepada-Mu, ungkapan sanjungan atas-Mu, pernyataan pujian kehadirat-Mu, terima kasih atas nikmat-Mu, pengakuan atas kebaikan-Mu, dan penyebutan pada anugerah-Mu. Ya Allah, sampaikanlah shalawat kepada Muhammad dan Keluarganya. Sungguh, jangan biarkan aku dizalimi padahal Engkau berkuasa untuk membelaku. Sungguh jangan biarkan aku menzalimi padahal Engkau sanggup menahanku. Sungguh jangan biarkan aku tersesat padahal Engkau dapat memberikan petunjuk kepadaku. Sungguh jangan biarkan aku miskin padahal Engkau dapat meluaskan kekayaanku. Sungguh jangan biarkan aku berbuat buruk padahal dari hadirat-Mu berasal kekuatanku. Ya Allah, kepada maghfirah-Mu aku datang, kepada ampunan-Mu aku menuju. Aku rindukan maaf-Mu, aku percaya akan karunia-Mu. Tidak ada dalam diriku yang membuatku berhak atas maghfirah-Mu. Tidak ada amalku yang membuatku pantas menerima maaf-Mu, tidak ada yang dapat aku miliki setelah aku menghakimi diriku kecuali kemurahan-Mu. Maka Ya Allah, curahkan-lah shalawat-Mu kepada Muhammad dan keluarganya. Limpahi aku anugerah-Mu. Ya Allah, jadikan ucapanku pedoman, ilhamkan kepadaku ketaqwaan, bawalah aku kepada yang paling suci, gerakkan aku kepada yang paling kau ridhai. Ya Allah pada jalan mulia tuntunlah aku, pada agama-Mu hidupkan dan matikan aku. Ya Allah, sampaikanlah shalawat kepada Muhammad dan Keluarganya, bahagiakan aku dengan keselamatan, jadikan aku di antara para pengikut petunjuk, para panutan kebenaran, dan hamba-hamba pengamal kesalehan. Karuniakan kepadaku kebahagian pada hari kembali, dan keselamatan dari intaian jahannam.

424

SAID MUNIRUDDIN

Ya Allah, sampaikanlah shalawat kepada Muhammad dan Keluarganya, ambillah dari diriku apa saja yang mensucikannya, tinggalkanlah pada diriku apa saja untuk memperbaikinya, diriku pasti binasa jika Engkau tidak melindunginya. Ya Allah Engkau bekalku dalam pedihku, Engkau bantuanku dalam susah-Ku, Engkau lindunganku dalam dukaku. Engkau imbalan untuk yang hilang. Engkau perbaikan untuk yang rusak, dan perubahan untuk apa saja yang Engkau tolak, maka karuniakan kepadaku keselamatan sebelum bencana, kekayaan sebelum meminta, dan petunjuk sebelum tersesat, lepaskan aku dari beban malu pada hamba-hamba-Mu. Berikan kepadaku keamanan pada hari pembalasan, anugerahkan kepadaku sebaik-baik tuntunan. Ya Allah, sampaikanlah shalawat kepada Muhammad dan Keluarganya, tolakkan keburukan dariku dengan karunia-Mu, berikan makan kepadaku dengan karunia-Mu. Luruskan aku dengan kemurahan-Mu, sembuhkan aku dengan anugerah-Mu, lindungi aku dengan perlindungan-Mu. Penuhi aku dengan keridhaan-mu, ketika situasi membingungkan bimbinglah aku kepada yang paling benar, ketika keadaan meragukan bawalah aku kepada yang paling suci, ketika kepercayaan bertentangan tunjuki aku kepada yang paling Kau ridhai. Ya Allah, sampaikanlah shalawat kepada Muhammad dan Keluarganya, mahkotai aku dengan kecukupan tempatkan aku dengan sebaik-baiknya perwalian, berikan kepadaku kebenaran petunjuk, jangan cobai aku dengan kemewahan, berikan daku sebaik-baik kemudahan, jangan susah payahkan hidupku, jangan tolak mentahkan doaku karena aku tidak mempersekutukan-mu, dan tidak berdoa kepada siapapun untuk menandingi-Mu. Ya Allah, sampaikanlah shalawat kepada Muhammad dan Keluarganya, cegahlah aku dari hidup berlebihan. Lindungi rezekiku dari kehancuran, limpahi semua yang kumiliki dengan keberkahan. Tuntunlah aku dengan jalan pertunjuk untuk menginfakkan hartaku dalam kebajikan. Ya Allah, sampaikanlah shalawat kepada Muhammad dan Keluarganya, lepaskan aku dari beratnya penghidupan, berikan kepadaku rezki tanpa perhitungan, sehingga aku tidak meninggalkan ibadah kepada-Mu karena kesibukan pencarian, dan tidak menanggung beban buruknya penghasilan. Ya Allah dengan kekuasaan-Mu beri aku apa yang kucari dengan kemulian-Mu. Lindungi aku dari apa yang kutakuti. Ya Allah, sampaikanlah shalawat kepada Muhammad dan Keluarganya, perlihara mukaku dengan kesenangan. Jangan hinakan kehormatanku dengan kemiskinan, sehingga kucari rezki dari rezki penerima rezki-Mu. Dan mengemis kepada sejahat-jahatnya makhluk-Mu, maka jatuhlah aku pada fitnah, dengan memuji orang yang memberiku, padahal Engkau, bukan mereka yang dapat memberi dan tidak. Ya Allah, sampaikanlah shalawat kepada Muhammad dan Keluarganya, karuniakan kepadaku ibadah yang benar, kezuhudan yang tulus, ilmu yang diamalkan, dan kesalehan yang tidak berlebihan. Ya Allah tutuplah hidupku dengan ampunan-Mu, penuhi harapanku dengan kasih-Mu, mudahkan untuk mencapai ridha-Mu jalanku, indahkan dalam segala keadaan amalku. Ya Allah, sampaikanlah shalawat kepada Muhammad dan Keluarganya. Sadarkan aku untuk berzikir kepada-Mu pada saat-saat lengah. Gerakkan aku untuk

“Doa agar Berakhlak Mulia”

425

mentaati-Mu pada hari-hari alpa, bukakan jalan pada kecintaan-Mu dengan mudah. Sempurnakan bagiku kebaikan dunia dan akhirat. Ya Allah, sampaikanlah shalawat kepada Muhammad dan Keluarganya, shalawat yang lebih utama dari shalawat yang Kau berikan kepada siapapun makhluk-Mu sebelumnya, dan shalawat yang akan kau berikan kepada siapapun sesudahnya. Berikan kepada kami di dunia kebaikan di akhirat kebaikan dan jagalah kami dari siksa neraka.”

Terj. M.T.A.Yahya. 2006. Puasa dan Amalan Menggapai Laylatul Qadar, hal. 606-631. Penerbit Lentera: Jakarta.

426

SAID MUNIRUDDIN

Daftar Bacaan Al-Quran dan al-Hadist. A. Audah. 2007. Ali bin Abi Thalib sampai kepada Hasan dan Husain. Litera Antar Nusa: Jakarta. A. Azizi, 2006. Kisah Fathimah az-Zahra, cetakan-3. Penerbit Qarina: Jakarta. _____________. 2006. The Tasbih of Fatima Zahra, Islamic Unitarian Service: Ontario, Canada. A. Baswedan. 2013. “Memenangkan Masa Depan Bangsa”, disampaikan dalam Dialog Publik dan Pelantikan MN KAHMI Periode 2012-2017, Plenary Hall JCC Jakarta: 5 Februari 2013. A. Deedat. 1987. Islam, Judaism and Christianity, a Lecture in Geneve. A. Halim Al-Jundi. Al-Imam ash-Shadiq, Majlisul ‘Ala: Kairo. A. Mustofa. 2012. Mengarungi ‘Arsy Allah. PADMA Press: Surabaya. A. Schimmel. 1975. Mystical Dimensions of Islam. The University of North Carolina Press: Chapel Hill. A. Sitompul. 1995. Historiografi HMI Tahun 1947-1993. Intermasa: Jakarta. _____________. 2008. Menyatu dengan Ummat, Menyatu dengan Bangsa: Pemikiran Keislaman-Keindonesiaan HMI (1947-1997). Misaka Ghaliza: Jakarta. _____________. 2008. Sejarah Perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam (1947-1975), cetakan-II. CV Misaka Ghaliza: Jakarta. A. Syari’ati. 1970. Religion vs. Religion, diterjemahkan dari bahasa Persia ke bahasa Inggris oleh Laleh Bakhtiar. Abjad: Albuquerque. _____________. 1979. “The Ideal Society: The Umma” dalam kumpulan kuliah on the Sociology of Islam. Berkeley: Mizan Press. _____________. 1989. Ideologi Kaum Intelektual: Suatu Wawasan Islam, hal. 89. Penerbit Mizan: Bandung. _____________. 1994. Man and Islam, terjemahan Amin Rais “Tugas Cendekiawan Muslim”. PT Raja Grafika Persada: Jakarta. A. Tafsir. 1992. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Remaja Rosdakarya: Bandung. A. Tellegen, D.T. Lykken, T.J. Bouchard, K.J. Wilcox, N.L. Segal, dan S. Rich. 1988. “Personality Similarity in Twins Reared Apart and Together”, Journal of Personality and Social Psychology, Vol. 54, hal. 1031-1039. A. Azra. 2008. “Mengabdi Republik Memberdayakan Umat: Apresiasi atas Kiprah Keislaman dan Kiprah Keindonesiaan HMI” pengantar dalam A. Sitompul,

428

SAID MUNIRUDDIN

Menyatu dengan Ummat, Menyatu dengan Bangsa: Pemikiran KeislamanKeindonesiaan HMI (1947-1997). Misaka Ghaliza: Jakarta. A.A. Tarigan. 2003. Islam Universal: Kontekstualisasi NDP HMI dalam Kehidupan Beragama di Indonesia, hal. 133-138, Cita Pustaka Media: Bandung. A.D. Ranuwihardjo. “Misi HMI: Mencetak Hamba-Hamba Allah, Paripurna KaderKader Bangsa”, artikel pada Harian Pelita, Jakarta: 5 Februari 1988, dikutip dalam HMI Mengayuh diantara Cita dan Kritik, A. Sitompul (ed.), Misaka Galiza: Jakarta. 2008. _____________. 2000. Menuju Pejuang Paripurna, Aspek Ideologi dari Islam menuju Terbinanya Insan Pejuang Paripurna: Leadership, Strategi dan taktik dalam Perjuangan Politik, (ed. Anjas Taher), KAHMI Wilayah Maluku Utara: Ternate. A.G. Agustian. 2001. Emotional Spiritual Quotient (ESQ), ed. 1. Penerbit Arga: Jakarta. A.J. Amuli. 2001. Rahasia-Rahasia Ibadah. Penerbit Cahaya: Bogor. A.K. Ibnu Ibrahim alJaili. 2009. Insan Kamil: Ikhtiar Memahami Kesejatian Manusia dengan Sang Khalik hingga Akhir Zaman, diterjemahkan oleh Misbah el-Majid dari “Insan Kaamil fi Ma’rifah al-Awahir wa al-Awail”, Cetakan ke-III. Pustaka A.M. Ordoni. 1987. Fatima the Gracious, Anssarian Publications: Teheran. A.S. Hornby. 2005. Oxford Advanced Learner's Dictionary, 7th ed. Oxford University Press: Oxford. A.T. Charlie. “Dinamika Kaligrafi Islam Nusantara”, Tabloid GENTA ANDALAS, edisi khusus Musabaqah Tilawatil Quran Mahasiswa Nasional (MTQ-MN) XIII, Universitas Andalas, No. 3, 26 Juni 2013. Al-Ghazali. 2008. Minhajul ‘Abidin, diterjemahkan oleh Abdullah bin Nuh. Khatulistiwa Press: Jakarta. Almaany Dictionary. 2013. The Meaning of “Ridha“. B. Dumaine. 1993. “The New Non-Manager Managers”, Fortune, 22 February, hal. 80-84. Bakornal LPL. 2010. Draft NDP Perubahan. Bakornas LPL: Jakarta. C.

Afrianandra. “Pemimpin itu Seperti Apa ya?”, artikel di [emailprotected], mailing list dosen Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, 25 Maret 2013.

C. Rodrigues. 2001. “Fayol’s 14 Principles of Management Then and Now: A Framework for Managing Today’s Organization Effectively”, Management Decision, Vol. 39, hal. 880-889. C.F. Roach dan O.Behling. 1984. “Fuctionalism: Basis for an Alternate Approach to the Study of Leadership,” dalam Leaders and Managers: International Perspectives on Managerial Behavior and Leaderhip, ed. J.G. Hunt, D.M. Hosking, C.A. Schriesheim, and R. Steward. Pergamon: Elmsford, New York. C. Williams. 2005. Management, 3rd Ed. South-Western Cengage Learning: Mason. Cambridge Dictionaries Online: http://dictionary.cambridge.org D. Goleman, R. Boyatzis, dan A. McKee. 2002. Primal Leadership. Harvard Business School Press: Boston.

Daftar Bacaan

429

D.L. Cooperrider, and D. Whitney. 2000. Collaborating for Change: Appreciative Inquiry. Berrett-Koehler Publishers: San Fransisco. D.P. Campbel. 1991. Campbel Leadership Index Manual. National Computer System: Minneapolis. D.R Hansen and M.M.Mowen. 2005. Management Accounting. Thomson Learning: Mason. D.W. Bray, R.J. Campbell, and D.L. Grant. 1993. Formative Years in Business: A Long-Term AT&T Study of Managerial Lives. Wiley: New York. F. Rahman. 1979. Islam. Terj. A. Muhammad. Pustaka: Bandung. F.E. Fiedler. 1967. A Theory of Leadership Effectiveness. McGraw Hill: New York. G. Hofstede. 1997. Culture and Organizations: Software of the Mind. McGraw-Hill: New York. G. Polya. “10th Anniversary of US Iraq Invasion: 2.7 Million Iraqi Deaths”, countercurrent.org (20 Maret 2013). Hamka. 1977. Tasauf Moderen. Yayasan Nurul Islam. H. Alhusaini. 2007. Imamul Muhtadin: Ali bin Abi Thalib. Pustaka Hidayah: Bandung. H. Fayol. 1949. General and Industrial Management, Pittman & Sons: London. H. Macmillan and M. Tampoe. 2000. Strategic Management: Process, Content and Implementation. Oxford University Press: London. H. Mintzberg. 1980. The Nature of Managerial Work. Harper and Row: New York. _____________. 1994. “Rounding Out the Manager’s Job”, Sloan Management Review, Vol. 36, hal. 80-84. H. Tiro. 1978. “The Drama of Achehnese History”, dalam Catatan Qahar Muzakar: Mengenang Dua Tahun Meninggalnya Hasan Tiro. Berita on-line ‘TheAtjehPost.com’, Minggu, 03 Juni 2012. I. Amini. 2003. Fathimah Az-Zahra. Penerj. A. Yahya. Penerbit Lentera: Jakarta. I.B. Myers, P.B. Myers. 1995. Gifts Differing: Understanding Personality Type. Davies-Black Publishing: Mountain View. Ibn Hisham. 2009. “Sirah Nabawiyyah Ibnu Hisham”, Jilid 1, terjemahan as-sirah an-nabawiyah li ibni Hisyam. Penerbit Darul Falah: Bekasi. J. Al-Suyuti. 1997, Musnad Fatimah Al-Zahra, Trans. A.R. Siddiq (Hadith No. 240, 241, 242, 243, 245, 246, 247, 248, 249, 250, 251, 252, 253, 254, 255, 256). Pustaka FirdausL: Jakarta. J. Man. 2010. The Leadership Secret of Genghis Khan. Azkia Publisher: Tangerang. J. Perkins. 2005. Confessions of an Economic Hit Man. Plume: New York. J. Rakhmat. 1994. “Konsep-Konsep Anthropologis”, dalam Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Budy Munawar Ranchman (ed.), Paramadina: Jakarta. _____________. 2000. Tafsir Sufi Al-Fatihah. PT Remaja Rosdakarya: Bandung. J. Schramm. 2004. “Perceptions on Ethics”, HR Magazine, November 2004. J.L. Michon. 2008. Introduction to Traditional Islam: Foudations, Arts, and Spirituality. World Wisdom: Indiana.

430

SAID MUNIRUDDIN

J.M. Burns. 1978. Leadership. Harper and Row Publishers Inc..: New York. J.M. Folk, R.H. Garrison, and E.W. Noreen. 2002. Introduction to Managerial Accounting. Mc-Graw Hill: New York. K. Armstrong, 2001. Sejarah Tuhan. Jakarta: Mizan. K. Lewin, R. Lippit. and R.K. White. 1939. “Patterns of Aggressive Behavior in Experimentally Created Social Climates. Journal of Social Psychology, Vol. 10, hal. 271-301. Khoemaini. 2004. Insan Ilahiyah: Menjadi Manusia Sempurna dengan Sifat-Sifat Ketuhanan, Puncak Penyingkapan Hijab-Hijab Duniawi. Pustaka Zahra: Jakarta. _____________. 2007. Hakikat dan Rahasia Sholat: Mikraj Rohani, Tuntunan Sholat Ahli Ma’rifat. Penerbit Misbah: Jakarta. L. Bakhtiar. 2008. Mengenal Ajaran Kaum Sufi: dari Maqam-Maqam hingga Karya Besar Dunia Sufi, Penerj. Purwanto. Penerbit Marja: Ujungberung. L. Marcoes Natsir. “Cak Nur dan Amanah yang Tertinggal”. Majalah Madina, Edisi 6, 2008. L.T. Hosmer. 1995. “Trust: The Connecting Link between Organizational Theory and Philosophical Ethics”, Academy of Management Review, Vol. 20, hal. 379403. M. Emoto. 2006. The True Power of Water: Healing and Discovering Ourselves. MQ Publishing: Bandung. M. Fells. 2000. “Fayol stands the Test of Time”, Journal of Management History, Vol. 6, hal. 345-360. M. Foucault. 1969. The Archeology of Knowledge. Routledge: London and New York. M. Jackson. 2007. “Workplace Cheating Rampant, Half of Employees Surveyed Admit They Take Unethical Actions”, Peoria Journal Star, 5 April 2007. M. Martin. 2007. The Cambridge Companion to Atheism. Cambridge University Press: Cambridge, UK. M. Munroe. 2005. Spirit of Leadership. Whitaker House: New Kensington, Pennsylvania. M. Muthahhari. 2001. Neraca Kebenaran dan Kebatilan: Menjelajah Alam Pikiran Islam, terjemahan N.H. Alydrus. Penerbit Cahaya: Bogor. _____________. 2002. Karakter Agung Ali bin Abi Thalib. Pustaka Zahra: Jakarta. _____________. 2003. Perfect Man, Trans. Aladdin Pazargadi, Ed. Shah Tariq Kamal. Foreign Department of Boyad Be'that. _____________. 2005. Konsep Pendidikan Islami, terjemahan M. Bahruddin. Iqra’ Kurnia Gemilang: Depok. M. Quthb. 1993. Sistem Pendidikan Islam, terjemahan Salman Harun. Bandung: Al-Ma’arif. M. Reyshahri. 1996. Mizan alHikmah, 1st ed. Dar al-Hadist: Qom. M. Weber. 1905. The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism: and Other Writings. Penguin Group: New York.

Daftar Bacaan

431

M. Yunus. 2005. Creating World without Property, terjemahan R.R. Moediarta “Menciptakan Dunia tanpa Kemiskinan”. Gramedia: Jakarta. _____________. 2008. Bank Kaum Miskin, Kisah Yunus dan Grameen Bank Memerangi Kemiskinan. Marjin Kiri: Depok. M. Zasloff. 2011. "The Remarkable (and Mysterious) Healing Process of the Bottle Nose Dolphin." Journal of Investigative Dermatology, Vol. 131, hal. 2503–2505. M.A. Al-Abrasyi. 2003. Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan Islam, terjemahan A.Z. Al-Kaff. Pusaka Setia: Bandung. M.A. Al-Razi. 1993. Tartib Mukhtar al-Shihah. Dar al-Fikr: Beirut. M.B. Majlisi. 2000. Biharul Anwar, The Open School: Chicago. M.D. Kurniawan. 2013. “Orang-Orang yang Sudah Selesai dengan Dirinya”, catatan fb: 11 November 2013. M.D. Mumford, S.J. Zaccaro, F.D. Harding, T.O. Jacobs, dan E.A. Fleishman. 2000. “Leadership Skills for a Changing World,” Leadership Quarterly, Vol. 11, No. 1, hal. 11-35. M.F. Rakhmat. 2011. Tasawuf for Beginners. Simbiosa Rekatama Media: Bandung. M.H. Hart. 1978. The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History. Hart Publishing Company: New York. M.M. Hanafi. 2003. Manajemen. UPP YKPN: Yogyakarta. M.M. Qaem. 2006. The Gospel of Ali, Penghargaan Islam atas Yesus. Penerbit Citra: Jakarta. M.T.A.Yahya. 2006. Puasa dan Amalan Menggapai Laylatul Qadar. Penerbit Lentera: Jakarta. M.T.M. Yazdi. 1994. Filsafat Tauhid. Arasy: Bandung. _____________. 2012. Iman Semesta: Merancang Piramida Keyakinan, cet. 2. Nur alHuda: Jakarta. Majalah Insan Cita, PB HMI, 1997. N. Madjid. 1971. Pengantar Pengurus Besar untuk NDP HMI, PB HMI: Jakarta. _____________. 1992. Islam, Doktrin dan Peradaban. Paramadina: Jakarta. _____________. 1996. Pintu-Pintu Menuju Tuhan. Paramadina: Jakarta. N. Umar. “Mengapa Rasa Seni itu Penting”, Bagian 1, 2 dan 3, dalam Republika Online (ROL), 08 Juni 2012. O.M. Al-Syaibani. 1979. Falsafah Pendidikan Islam, terjemahan H. Langgulung. Bulan Bintang: Jakarta. Oxford Dictionaries Online: http://oxforddictionaries.com P. Drucker. 1998. “Management’s New Paradigms”, Forbes, 5 October, hal. 152. P.D. Hutchcroft. 1998. Booty Capitalism, 1st Ed. Cornell University Press: New York. P. Graham. 1995. Mary Parker Follet –Prophet of Management: A Celebration of Writings from the 1920s. Harvard Business School Press: Boston. PB HMI. 1971. Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI. PB HMI: Jakarta.

432

SAID MUNIRUDDIN

_____________. 1971. “Tujuan HMI”, dalam Hasil-Hasil Kongres HMI X di Palembang. PB HMI: Jakarta. _____________. 1971. “Tafsir Tujuan HMI”, dalam Hasil-Hasil Keputusan Kongres HMI X di Palembang. PB HMI: Jakarta. _____________. 2000. Hasil Lokakarya Rekonstruksi Pedoman Perkaderan HMI: Konvergensi Paradigma Islam dalam upaya Rekayasa Peradaban Kader menuju Harmonisasi Iman, Ilmu dan Amal, hal. 23. PB HMI: Jakarta. _____________. 2010. Hasil-Hasil Keputusan Kongres HMI XXVII di Bogor. PB HMI: Jakarta. Q. Shihab. 2013. “Makna Idul Fitri: Ceramah 1 Idul Fitri 1434 H”. MetroTV, 8 Agustus 2013. R. Stagner. 1969. “Corporate Decision Making”, Journal of Applied Psychology, Vol. 53, hal. 1-13; R.C. Ginnet. 1996. “Team Effectiveness Leadership Model: Identifying Leverage Points for Change,” Proceedings of the 1996 National Leadership Institute Conference. National Leadership Institute: College Park, MD. R.K. Greenleaf. 1977. Servant Leadership: A Journey Into the Nature of Legitimate Power and Greatness. Paulist Press: New Jersey. R.K. Merton. 1957. Social Theory and Social Structure. Free Press: New York. R.L. Hughes, R.C. Ginnet, dan G.J. Curphy. 2012. Leadership: Enhancing the Lessons of Experience, edisi 7, hal. 13-14, penerjemah P.I Izzati. Penerbit Salemba Humanika: Jakarta. R.L. Katz. 1974. “Skills of an effective Administrator”, Harvard Business Review, September-October, hal. 90-102. R.T. Hogan, G.J. Curphy, dan J. Hogan. 1994. “What Do We Know about Personality: Leadership and Effectiveness?” American Psychologist, Vol. 49, hal. 493504. S. Abbas. 2008. Manajemen Perguruan Tinggi. Canadian International Development Agency, DEPAG RI, McGill University Montreal Canada, IAIN Ar-Raniry: Banda Aceh. S. Atkinson, dan S. Tomley (ed). 2012. The Psychology Book. DK: London. S. F. al-Hai’ri. 1998. Tanyalah Aku sebelum Kau Kehilangan Aku. Pustaka Hidayah: Bandung. S. Mohsen Miri. 2004. Sang Manusia Sempurna: Antara Filsafat Islam dan Hindu, cetakan I. Penerbit Teraju: Jakarta. S. Muhammad. 1994. Air Percikan. HMI Cabang Banda Aceh: Banda Aceh. S. Muniruddin. 2009. Kitab LK-I HMI. BPL HMI Cabang Banda Aceh: Banda Aceh. _____________. 2010. Kitab LK-III HMI. BADKO HMI Aceh: Banda Aceh. _____________. 2010. Kitab Senior Course (SC) HMI. BPL HMI Cabang Banda Aceh: Banda Aceh. _____________. 2010. Laporan Pelaksanaan International Leadership Basic Training. HMI Cabang Banda Aceh: Banda Aceh. _____________. 2010. Modul Latihan Kepemimpinan Manajemen Mahasiswa (LKMM), Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala: Banda Aceh.

Daftar Bacaan

433

_____________. 2011. Bintang ‘Arsy: Visualisasi Skematis NDP HMI. BADKO HMI Aceh: Banda Aceh. _____________, “Anak Haram”, opini di harian Serambi Indonesia, Minggu: 16 September 2012. S. Suhrawardi. 2003. “Altar-Altar Cahaya”, diterjemahkan dari The shape of Light (Hayakal al-Nur) oleh Zaimul Am. Serambi Ilmu Semesta: Jakarta. S. Suranovic. 2011. “Is Greed the Problem with Capitalism?”, Liberty, 19 April 2011. S. Tebba. 2004. Orientasi Sufistik Cak Nur: Komitmen Moral Seorang Guru Bangsa. Paramadina: Jakarta. S.A. Ali. 2003. The Spirit of Islam: A History of Evolution and Ideals of Islam with a Life of the Prophet. Kessinger Publishing: Montana. S.A. Ashraf. 1994. Horizon Baru Pendidikan Islam, terjemahan Sori Siregar. Firdaus: Jakarta. S.A. Al-Jailani. 2012. “Menjadi Kekasih Allah”, hal. 188, cet. XII, diterjemahkan oleh M. Ahmad dari judul asli al-Fathur Rabbani wal Faidlur Rahmani. Citra Media: Yogyakarta. S.A. Schuette. 2008. Fighting Corruption from Aceh to Papua: 10 Stories on Corruption Eradication in Indonesia. Partnership for Governance Reform in Indonesia: Jakarta. S.D. Pergola. 2012. “World Jewish Population 2012”, The American Jewish Year Book. Dordrecht: Springer. S. I. Shadiqin. 2008. Tasawuf Aceh. Bandar Publishing: Banda Aceh. S.J. Carrol, and D.A. Gillen. 1987. “Are the Classical Management Functions Useful in Describing Managerial Work?” Academy of Management Review, January, hal. 48. S.M. Al-Musawi. 2009. Mazhab Pecinta Keluarga Nabi: Kajian alQuran dan Sunnah. MPress: Bandung. S.M. Jafari Askari. 2007. Gold Profile of Imam Ali. Pustaka Iman: Depok. S.P Robbins, and M. Coulter. 2009. Management, 10th Ed. Pearson Prentice Hall: New Jersey. S.M.N. Al-Attas. 1990. Konsep Pendidikan Islam, terjemahan Haidar Bagir. Mizan: Bandung. S. Lapadi. 1378. “Rouhaniyat va Siyasat az Didgah Imam Khomeini ra”, Rasoul Saadatmand, Qom, Tasnim, cetakan pertama, dapat diakses melalui IRIB Indonesia, “Pemikiran Imam Khomeini ra: Ulama dan Politik (Bagian 1-6)”. http://indonesian.irib.ir/c/journal/view_article_content?groupId=10330&ar ticleId=5241159&version=1.1, di akses pada 8 April 2013. Suzanna dan Muzaffar. 2010. Ahlul Bait dan Kesultanan Melayu. Washilah Enterprise: Malaysia. T.L. Friedman. 2005. The World is Flat: A Brief History of the Twenty-First Century, 1st ed,. Farrar, Straus and Giroux: New York. Risalah Amman. The Amman Message: http://www.ammanmessage.com/ Transparency International. 2012. Corruption Perceptions Index 2012. International Secretariat: Berlin.

434

SAID MUNIRUDDIN

UKBBCNEWS. Shocking Statistics: Islam, The Fastest Growing Religion In The West. July 29, 2011. UNDP. 2013. Human Development Report 2013: The Raise of the South, Human Progress in a Diverse World. Human Development Report Office: New York. V. Tanja. 1982. HMI, Sejarah dan Kedudukannya di Tengah Gerakan-Gerakan Muslim Pembaharu Indonesia. Sinar Harapan: Jakarta. W. Eichler. 1966. Fundamental Values and Basic Demands of Democratic Socialism. FriedrichEbert Foudation: Bonn. W. Gentry, J.J. Deal, S. Stawiski, and M. Ruderman. 2012. Are Leaders Born or Made? Perspective from the Executive Suite. Center for Creative Leadership: Greensboro. W. Ury. 2007. The Power of a Positive No: How to Say No and still get to Yes. Bantam Books: New York. W.G. Bennis. 1959. “Leadership Theory and Administrative Behavior: The Problem of Authority,” Administrative Science Quarterly, Vol. 4, hal. 259-260. Y.T Al-Jibouri. 2003. Konsep Tuhan Menurut Islam, cetakan 1. Penerbit Lentera: Jakarta. Z. Sartika. 2011. ‘HMI’ adalah Allah, Handout Perkaderan. HMI Cabang Banda Aceh: Banda Aceh.

Indeks A. Sitompul, 20, 21, 25, 26, 27, 33, 34, 36, 62, 181, 186 A.D. Ranuwiharjo, 20, 21, 158, 290, 303 Abdul Karim ibnu Ibrahim alJaili, 217 Abdul Muthalib, 225, 236 Abdul Qadir alJailani, 67 absurdisme, 134 Abubakar, 244, 250, 251, 343, 397, 398, 399, 400, 404 Achmad Tirto Sudiro, 28 Adam, 58, 74, 75, 101, 135, 153, 155, 215, 225, 257, 364, 378 adil, 3, 4, 7, 18, 33, 35, 40, 41, 43, 45, 47, 48, 49, 54, 56, 57, 58, 62, 63, 65, 73, 107, 110, 126, 144, 145, 153, 157, 175, 184, 188, 189, 190, 191, 197, 211, 214, 250, 259, 261, 262, 263, 267, 268, 271, 272, 280, 282, 289, 294, 303, 304, 307, 310, 320, 322, 345, 353, 378, 386 Advanced Training, 20, 273 Advesity Quotient (AQ), 103 agama, 2, 8, 10, 27, 34, 35, 40, 64, 71, 74, 84, 86, 88, 95, 105, 109, 117, 123, 126, 128, 131, 132, 135, 136, 137, 138, 140, 141, 143, 145, 146, 147, 148, 149, 150, 151, 154, 156, 157, 159, 162, 163, 170, 185, 204, 205, 207, 208, 243, 249, 255, 267, 268, 269, 271, 276, 277, 282, 286, 295, 297, 298, 299, 301,

302, 304, 305, 311, 318, 321, 326, 328, 336, 339, 347, 348, 349, 350, 357, 364, 366, 370, 378, 380, 384, 398, 399 agama universal, 140 Ahlul Bait, 216, 231, 243, 251, 252, 258, 288, 362 Ahmad bin Hambal, 208, 223, 224, 226, 251, 252, 258, 357, 408 Ahmad Deedat, 81, 138, 282 Ahmad Tirtosudiro, 20, 237 akademis, 18, 31, 34, 35, 40, 41, 42, 43, 47, 48, 51, 69, 107, 126, 132, 182, 184, 261, 263, 274, 275, 302, 351 akademisi, 5, 13, 19, 20, 47, 173, 174, 250 akal, 15, 76, 79, 80, 81, 83, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 115, 127, 143, 146, 157, 162, 172, 182, 188, 217, 245, 247, 332, 366 akhlak, 23, 54, 75, 94, 100, 108, 111, 113, 117, 118, 126, 142, 143, 144, 145, 146, 147, 150, 155, 156, 163, 167, 168, 169, 170, 175, 176, 178, 179, 180, 181, 189, 195, 196, 204, 209, 210, 213, 216, 218, 284, 285, 345, 352, 354, 371, 391 akhlak madzmumah, 75 akhlak zahir, 111, 345 akhlakul karimah, 23, 44, 52, 108, 109, 111, 117, 203, 332, 345, 346, 351, 352, 366, 391

436

SAID MUNIRUDDIN

akidah, 23, 87, 109, 126, 128, 129, 130, 133, 134, 142, 143, 144, 145, 148, 150, 151, 155, 158, 161, 164, 165, 169, 170, 175, 178, 179, 180, 181, 184, 189, 209, 280 aktifis, 10, 20, 119, 175, 177, 203, 238, 286, 355

Alumni HMI, 30, 258, 359 amanah, 57, 63, 69, 74, 108, 119, 121, 290, 329, 339, 346, 381, 391 amar ma’ruf nahi munkar, 9, 45, 57, 148, 179, 189, 238, 371 amirul mukminin, 222, 242

akumulasi kekayaan, 5

Amru bin ‘Ash, 249, 401

alam, 2, 3, 4, 12, 13, 15, 64, 73, 83, 84, 88, 89, 90, 97, 112, 115, 117, 129, 132, 133, 135, 139, 140, 141, 142, 143, 144, 158, 161, 162, 164, 167, 172, 178, 180, 183, 188, 189, 196, 198, 201, 209, 210, 215, 217, 218, 243, 252, 259, 262, 265, 266, 267, 278, 296, 319, 321, 327, 331, 353, 361, 370, 371, 373, 375, 376, 380, 393, 407, 408

anak haram, 355, 356, 357

alhamdulillah, 322, 323, 325, 327, 328, 330, 332 Ali, 3, 5, 10, 12, 20, 21, 57, 63, 64, 65, 77, 87, 90, 96, 99, 140, 145, 151, 154, 185, 202, 206, 209, 214, 218, 219, 220, 221, 222, 223, 224, 225, 226, 227, 228, 229, 230, 231, 232, 233, 234, 235, 236, 237, 238, 239, 240, 241, 242, 243, 244, 245, 246, 247, 248, 249, 250, 251, 252, 257, 294, 297, 298, 300, 306, 325, 343, 350, 360, 361, 362, 365, 370, 376, 378, 379, 380, 390, 398, 399, 400, 401, 404, 405, 408 Allahu akbar, 322, 323, 325, 329, 332 alQur’an, 43, 44, 50, 53, 83, 84, 85, 86, 88, 97, 106, 122, 126, 137, 141, 142, 148, 154, 155, 158, 161, 162, 163, 171, 172, 175, 178, 181, 184, 187, 189, 207, 208, 210, 211, 213, 219, 224, 237, 247, 257, 259, 275, 319, 350, 359, 361, 364, 369, 384

analisis teks tujuan, 23 anatomi tujuan HMI, 41 anggaran, 5, 272, 341 anggota HMI, 28, 107, 218 annas, 44, 53, 54, 105, 187 antropologi, 133, 178 Appreciative Inquiry, 328 Arab, 2, 59, 60, 61, 81, 114, 129, 141, 154, 174, 203, 215, 222, 223, 232, 248, 249, 250, 271, 283, 305, 323, 347 arief, 76 arogansi, 7, 349, 352 arRiyadhah, 76 Asia, 1, 174, 264, 279, 285, 347, 352, 374 Asma Tuhan, 116, 215 Asmaul Husna, 12, 213, 346 attakamul ruhani, 76 awliya, 116 ayat, 4, 6, 8, 9, 18, 59, 76, 86, 88, 89, 90, 112, 114, 115, 131, 137, 140, 142, 145, 152, 153, 168, 178, 214, 216, 225, 231, 247, 250, 256, 259, 275, 290, 350, 359, 370, 379, 381, 398 Ayyub as, 222 azas, 22, 30

Indeks

B.J. Habibie, 31 Badan Eksekutif Mahasiswa, 17 Badan Koordinasi (BADKO), 19 Bal’am, 5, 345 Banda Aceh, 12, 17, 21, 63, 66, 124, 170, 178, 181, 187, 190, 192, 196, 265, 266, 273, 335, 338, 387 Bangsa, 1, 20, 27, 33, 34, 36, 61, 62, 77, 181, 186, 248, 263, 280, 281, 282, 301, 302, 332, 348, 350, 374 Basic Training, 20, 21, 46, 266 basmallah, 182, 209, 210, 247 basyar, 44, 50, 53, 73, 105, 112, 123, 125, 187 bawaan lahir, 352, 354, 355, 357, 368, 369, 371 becoming, 15, 75, 123 being, 75 bekerja, 10, 15, 32, 37, 48, 49, 79, 104, 120, 123, 126, 149, 222, 266, 276, 286, 303, 309, 314, 315, 332, 336, 337, 342, 344, 355, 359, 377, 389 Belanda, 27, 28, 34, 35, 81, 110, 120, 192, 193, 229, 237, 262, 302, 345 believe system, 375, 378 beramal, 10, 49, 52, 67, 276 beriman, 6, 9, 10, 14, 40, 49, 51, 52, 57, 77, 86, 93, 100, 105, 110, 112, 123, 131, 147, 152, 154, 156, 157, 188, 196, 197, 216, 222, 226, 228, 230, 251, 254, 256, 276, 281, 290, 305, 308, 309, 358 Berkhitmad, 102 bernafaskan Islam, 48

437

berorganisasi, 41, 55, 66, 78, 102, 103, 104, 123, 205, 213, 218, 268, 318, 350 berserah diri, 57, 126, 137, 138, 139, 142, 144, 146, 150, 156, 161 bertanggungjawab, 11, 18, 35, 40, 41, 47, 48, 51, 54, 64, 119, 144, 184, 244, 259, 261, 263, 280, 290, 336, 339, 345, 378 bid’ah, 132, 147, 169, 182, 254, 353 bintang, 10, 31, 50, 82, 97, 115, 116, 124, 125, 139, 164, 216, 231, 259, 373 Bintang ‘Arasy, 10, 21, 50, 63, 76, 116, 118, 119, 121, 123, 175, 178, 183, 187, 192, 206, 207, 211, 213, 258, 259, 261, 273, 287, 307, 378, 404 birokrat, 5, 10, 20, 30, 119, 238, 310 Bismillahirrahmanirrahim, 208, 209, 210, 319 bodoh, 2, 4, 7, 10, 61, 74, 91, 118, 132, 280, 287, 384 booty capitalism, 5 boros, 4 Brunai Darussalam, 1, 8 Budha, 71, 137, 141, 153 burhani, 84, 92 cahaya, 6, 8, 9, 10, 50, 76, 91, 94, 105, 115, 122, 123, 124, 201, 206, 211, 213, 215, 257, 259, 291, 408 Causa Prima, 82 cendikiawan, 107, 119 cerdas, 4, 7, 8, 12, 14, 15, 39, 40, 43, 108, 111, 180, 204, 245, 345, 346, 372, 384, 391, 399 Cina, 1, 271, 284, 348, 374

438

SAID MUNIRUDDIN

cita-cita HMI, 22, 31, 214, 263

eksploitasi, 4, 64, 349, 352

Consentrasi Gabungan Mahasiswa Indonesia (CGMI), 29

ekstrim, 10, 112, 147, 155, 254, 353

controlling, 313, 314, 315, 319, 341

elang, 383, 390

Cut Nyak Dhien, 120, 192, 193, 194

emotional quotient, 13, 102

daya saing, 4

Endang Saifuddin Anshari, 177

delegatif, 398

enlightened intellectuals, 11

demografis, 2, 3

epistimologi, 51, 82, 90, 132, 180, 188

demokratis, 1, 56, 63, 396, 399, 400, 401 Denmark, 1 Dewan Perwakilan Mahasiswa, 17 dhahir-batin, 183 dhalim, 2, 3, 144, 151, 157, 188, 289, 353, 370

esoterik, 23, 324 esoteris, 72, 142, 143, 145, 146, 147, 149, 168, 324, 328, 332 evolusi tujuan HMI, 41 fana, 73, 92, 112, 113 fathanah, 108, 346, 391

dhulumat, 8

Fathimah binti Asad, 224

dikuasai, 2, 4, 185, 279, 351

fathu makkah, 235, 236

diperbudak, 4, 195

Fatimah, 231, 322, 323, 324, 325, 330, 331, 332, 343, 360, 361, 380, 403, 408

directing, 313, 341 disiplin, 4, 126, 148, 221, 306, 344 DNA, 354, 364, 370

Filipina, 5, 8

doktriner amali, 148

filosofis, 22, 23, 39, 50, 65, 71, 79, 82, 83, 84, 92, 126, 127, 133, 149, 176, 178, 183, 186, 189, 205, 210, 222, 332, 386

doktriner imani, 148

filosofis-gnostik, 22

dzikir, 58, 76, 94, 95, 106, 147, 167, 219, 302, 303, 322, 324, 325, 327, 331, 333, 352, 362, 364, 366

filsafat materialisme, 133

doktrin HMI, 22, 124

dzikir al-Zahra, 322, 331 efektif, 4, 206, 264, 279, 286, 289, 290, 304, 320, 338, 343, 344, 395, 397, 398 efisien, 4, 312 ego, 12, 104 ekonomis, 4

filsafat tauhied, 78, 79 filsuf, 71, 80, 90, 91, 94, 119, 132, 214, 215, 217, 332 Finlandia, 1 fiqh, 86, 87, 88, 92, 109, 164, 166, 168, 169, 170, 171, 172, 173, 174, 176, 183, 184, 185, 283, 355, 362 fiqih muamalah, 171 Fir’aun, 5, 97, 202, 344, 379

Indeks

fitrah, 5, 35, 74, 81, 82, 85, 106, 116, 144, 187, 196, 203, 217, 280, 327, 369 fungsi-fungsi klasik, 313, 315 fungsi-fungsi manajemen, 315, 320, 325, 330, 331 fungsi-fungsi manajemen taslim, 331

439

299, 301, 302, 318, 321, 351, 355, 365, 401 hakikat, 9, 13, 14, 23, 77, 82, 105, 154, 156, 157, 178, 186, 187, 188, 198, 214, 215, 217, 221, 259, 308, 386 hakikat tujuan, 23 hakim, 5, 221, 318, 382

furu’uddin, 163

hamlumminannas, 119

gairah, 99, 108

Hamzah al-Fansury, 250

gelap, 6, 8, 9, 50, 73, 82, 86, 115, 122, 351

hanief, 10, 11, 43, 76, 98, 187

genetik, 225, 354, 356, 357, 358, 361, 363, 364, 366, 367, 368, 370, 371, 404, 406

Hasan, 20, 25, 67, 183, 194, 228, 231, 241, 244, 245, 257, 352, 362, 380, 399, 401, 403, 404, 405, 406, 407, 408

geografis, 2, 3, 141, 268, 271

Hasyim, 225, 236, 248

Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), 19

hati, 6, 14, 15, 53, 54, 67, 68, 71, 76, 78, 81, 86, 90, 92, 93, 94, 101, 102, 103, 104, 105, 107, 112, 113, 118, 127, 131, 144, 146, 147, 156, 157, 170, 187, 200, 205, 217, 218, 220, 246, 258, 277, 283, 291, 326, 327, 337, 344, 346, 348, 350, 381, 384, 389

Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), 18, 19 gerakan sosial, 12, 104, 175 global leaders, 264, 266 gnosis, 22, 71, 72 gnostik, 22, 23, 50, 68, 126, 183, 332, 386

hedonisme, 14, 134, 280

Gospel, Gold, and Glory, 5

hikmah, 81, 89, 90, 103, 116, 152, 175, 215, 243, 244, 247, 258, 350

Habibie, 302 habibullah, 113, 256 hablumminallah, 105, 119 hadist, 4, 64, 83, 85, 86, 90, 100, 113, 142, 143, 153, 155, 161, 162, 168, 208, 215, 234, 247, 250, 253, 258, 323, 339, 357, 408 hak, 1, 3, 5, 33, 55, 60, 61, 63, 64, 65, 66, 106, 114, 131, 135, 140, 144, 153, 154, 156, 157, 173, 188, 205, 250, 291, 297, 298,

Henri Fayol, 313, 315

Himpunan Jurusan, 17 Hindu, 71, 125, 137, 141, 153 Hitler, 178, 202, 348, 349 HMI-wati, 20 hudhuri, 100, 188 hukum alam, 140 hukum kausalitas, 82 humanisme, 187, 202, 203, 280

440

SAID MUNIRUDDIN

Husein, 25, 183, 202, 231, 301, 399, 401, 403, 404, 405, 406, 407, 408 Husni Mubarak, 5 ibadah formal, 94, 98, 105, 145, 150, 196, 329 ibadah mahdhah, 23, 105, 126, 146, 164, 172 ibadah muamalah, 23, 126, 146, 147, 164, 172, 176 Ibnu ‘Arabi, 50, 121, 204, 205, 214 Ibnu Sina, 218 Ibrahim as, 82, 97, 98, 136, 225, 291, 297, 361, 363, 370 idealisme, 5, 32, 33, 187 ideolog, 13, 119, 134, 175, 177, 184, 185 ideologi, 10, 14, 17, 22, 23, 43, 61, 63, 126, 128, 129, 130, 131, 132, 133, 134, 135, 136, 147, 150, 151, 158, 159, 160, 161, 163, 164, 165, 166, 171, 174, 175, 176, 177, 178, 180, 181, 183, 185, 186, 187, 189, 202, 203, 204, 205, 208, 209, 210, 211, 213, 237, 272, 289, 303, 304, 305, 307, 310, 318, 332, 351, 374, 375, 393 idol destroyer, 81 ihsan, 3, 4, 7, 8, 45, 59, 62, 108, 109, 110, 111, 116, 144, 145, 146, 148, 175, 180, 181, 188, 189, 191, 192, 195, 197, 198, 205, 206, 208, 211, 214, 219, 238, 259, 268, 269, 280, 281, 289, 304, 345, 353, 378, 386, 406 Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), 17, 19 ikhlas, 48, 58, 76, 85, 99, 100, 114, 138, 144, 145, 146, 188, 189, 191, 192, 195, 196, 201, 206,

211, 219, 253, 254, 255, 259, 268, 276, 304, 345 ilah, 96, 97, 206 ilahiyah, 11, 15, 24, 43, 65, 69, 70, 75, 133, 173, 185, 195, 198, 211, 213, 215, 217, 220, 259, 281, 286, 304, 322, 346, 349, 366, 375, 381 ilmu, 8, 12, 14, 33, 35, 39, 40, 42, 48, 49, 50, 51, 53, 54, 57, 63, 70, 72, 76, 82, 86, 89, 92, 93, 94, 103, 106, 107, 108, 109, 112, 113, 115, 116, 119, 123, 126, 128, 129, 130, 132, 144, 155, 172, 173, 174, 176, 178, 180, 181, 185, 188, 189, 191, 198, 205, 211, 213, 243, 244, 246, 247, 248, 249, 250, 251, 258, 282, 283, 286, 290, 296, 299, 302, 303, 304, 306, 308, 310, 321, 332, 350, 367, 368, 376, 385, 399 imam, 10, 98, 126, 166, 168, 170, 171, 173, 174, 184, 185, 201, 218, 283, 292, 293, 298, 300, 308, 331, 340, 361, 362, 363, 370 Imam Syafi’i, 252, 257 imamul muhtadin, 241 imamul muttaqin, 250 iman, 8, 27, 35, 50, 51, 53, 54, 70, 76, 87, 93, 95, 96, 102, 103, 105, 106, 108, 109, 110, 112, 113, 116, 123, 126, 143, 150, 154, 155, 161, 162, 163, 165, 176, 178, 180, 181, 187, 188, 189, 196, 198, 205, 211, 213, 223, 231, 256, 259, 289, 303, 304, 307, 308, 332 Iman, ilmu dan amal, 51 imanen, 84 independensi, 11, 22, 45, 66, 333

Indeks

individu, 5, 34, 35, 37, 44, 59, 63, 64, 65, 133, 135, 147, 163, 174, 188, 190, 196, 204, 205, 240, 275, 313, 316, 318, 328, 345, 386 individualism, 5 Indonesia, 1, 2, 3, 5, 8, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 25, 27, 28, 29, 30, 31, 33, 34, 35, 36, 48, 53, 67, 80, 81, 91, 93, 173, 174, 175, 178, 183, 207, 214, 231, 247, 258, 261, 262, 263, 264, 266, 268, 269, 271, 272, 279, 280, 281, 282, 285, 291, 302, 307, 318, 333, 344, 345, 351, 353, 354, 355, 356, 362, 374, 382, 404, 408 inlanders, 8, 302 inovasi, 4, 54, 169, 172, 209, 265, 274, 282, 302, 392 insan, 10, 12, 15, 18, 23, 32, 33, 34, 35, 41, 42, 43, 44, 45, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 69, 70, 73, 76, 105, 107, 112, 113, 116, 121, 123, 124, 125, 148, 174, 180, 181, 183, 184, 185, 187, 188, 195, 198, 201, 202, 203, 204, 205, 206, 208, 211, 213, 214, 217, 238, 253, 259, 261, 263, 265, 266, 268, 272, 273, 282, 287, 307, 351, 366, 394, 395 insan cita, 10, 23, 32, 34, 35, 43, 45, 47, 49, 50, 52, 54, 73, 180, 181, 185, 204, 213, 259, 268, 273, 287 insan Ilahiyah, 49 insan kamil, 10, 12, 23, 49, 50, 73, 76, 112, 113, 121, 123, 124, 125, 148, 181, 187, 188, 198, 201, 202, 203, 204, 205, 206, 208, 211, 213, 214, 217, 253, 259, 272, 287, 307, 351, 366, 395 insan pejuang paripurna, 10, 174, 208, 238, 259 intelektual, 10, 12, 13, 16, 31, 32, 34, 35, 44, 49, 50, 52, 53, 59, 63,

441

70, 72, 79, 80, 81, 82, 89, 91, 92, 108, 116, 119, 125, 126, 132, 162, 168, 170, 171, 173, 174, 175, 176, 184, 185, 186, 187, 197, 201, 202, 204, 208, 209, 210, 213, 215, 221, 237, 250, 253, 255, 265, 268, 281, 282, 288, 291, 302, 331, 352, 362, 367, 393, 395, 396 Intermediate Training, 20, 46 Internasionalisme, 262 IQ, 13, 78, 79, 80, 92, 378 irfan, 23, 26, 67, 71, 72, 76, 77, 83, 92, 94, 100, 109, 124, 188, 250, 284, 324, 332, 362 Isa as, 60, 97, 136, 137, 138, 140, 147, 152, 154, 202, 228, 304, 359, 380, 402 Iskandar Dzulkarnain, 250 Islam, 2, 3, 7, 8, 9, 12, 14, 15, 17, 18, 19, 20, 21, 23, 25, 26, 27, 28, 30, 31, 34, 35, 40, 41, 43, 44, 47, 48, 49, 51, 52, 53, 56, 58, 59, 62, 68, 69, 71, 73, 74, 80, 81, 84, 85, 86, 87, 88, 90, 91, 93, 95, 99, 106, 108, 109, 110, 113, 123, 124, 125, 126, 128, 130, 132, 133, 134, 136, 137, 138, 139, 140, 141, 142, 143, 145, 146, 147, 148, 149, 150, 155, 157, 158, 159, 160, 161, 162, 163, 164, 165, 166, 168, 169, 170, 171, 172, 173, 174, 175, 176, 177, 178, 179, 181, 183, 184, 185, 186, 187, 188, 189, 190, 196, 198, 201, 202, 203, 204, 205, 206, 207, 208, 210, 211, 213, 214, 215, 216, 218, 219, 221, 225, 226, 227, 228, 231, 233, 234, 235, 236, 237, 238, 240, 241, 243, 244, 247, 248, 249, 253, 254, 255, 258, 259, 261, 262, 263, 264, 265, 268, 271, 272, 273, 274, 275, 277, 278, 281, 283, 285, 287, 289, 290, 291, 292, 294, 295, 296, 297,

442

SAID MUNIRUDDIN

298, 299, 300, 301, 303, 304, 305, 306, 307, 308, 311, 318, 319, 324, 325, 331, 333, 346, 347, 349, 350, 351, 352, 355, 359, 362, 364, 374, 376, 382, 383, 397, 399, 400, 405, 406, 407 Islam universal, 141 islami, 3, 71, 126, 146, 164, 171, 174, 184, 279, 282, 285, 302, 321, 386 islamisasi media, 278 ISO, 363 Ja’far Shadiq, 183, 362 jabariyah, 183

jiwa fujur, 369 Ka’bah, 2, 139, 224, 225, 235, 249, 365 kader, 10, 18, 19, 20, 24, 31, 32, 34, 35, 37, 43, 44, 45, 46, 47, 50, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 67, 70, 73, 80, 82, 85, 86, 87, 93, 96, 103, 105, 106, 107, 108, 109, 111, 112, 116, 124, 126, 132, 149, 173, 174, 181, 182, 183, 184, 185, 186, 190, 196, 197, 201, 206, 207, 208, 209, 210, 211, 218, 221, 224, 234, 237, 252, 255, 258, 266, 269, 272, 273, 274, 277, 285, 288, 303, 307, 333, 350, 351, 352, 366, 390, 391, 395, 396, 404, 407, 408

jabatan, 5, 14, 57, 289, 290, 324, 344, 346, 406

kader umat, 10, 55, 258

jahil, 3, 75, 79, 288, 384, 385 Jalal, 116, 208, 335, 401, 402

kafir, 3, 6, 10, 75, 131, 151, 154, 155, 157, 169, 226, 227, 228, 233, 240, 248, 291, 295, 379, 390, 406

jalaliyah, 146, 404, 407

kaligrafi, 247, 248

Jamal, 116, 197, 208, 239, 335, 401

kalimah tauhied, 94, 95, 97

jamaliyah, 146, 404

kalimatun sawa, 156, 175

Jenghis Khan, 346, 347, 349, 350

Kampus, 1, 11, 12, 13, 16, 17

Jepang, 1, 110, 248, 364

Kapitalisme, 4, 5, 134, 135, 171, 321

jaksa, 5, 382

Jibril, 136, 221, 229, 360 jihad, 9, 45, 57, 67, 85, 107, 109, 140, 148, 163, 172, 179, 183, 188, 189, 197, 265, 295 jiwa, 1, 11, 12, 22, 26, 31, 66, 72, 74, 76, 78, 85, 87, 94, 95, 96, 98, 99, 100, 102, 103, 105, 106, 107, 108, 113, 115, 116, 121, 132, 133, 134, 157, 166, 167, 182, 188, 194, 195, 196, 197, 217, 227, 229, 238, 242, 247, 254, 263, 272, 276, 279, 281, 295, 299, 304, 309, 321, 324, 326, 328, 357, 362, 364, 366, 369, 370, 375, 407

Kaffah, 146, 301

kapitalistik-materialistik, 5 karakter, 8, 30, 42, 43, 52, 55, 61, 71, 179, 186, 196, 205, 217, 218, 224, 278, 279, 324, 338, 345, 354, 367, 368, 369, 371, 383, 389, 390, 391, 395, 403, 404, 406, 407 Karakter, 11, 12, 221, 368, 371 Karl Marx, 135, 218 karomah, 113 kasyaf, 72, 113

Indeks

keadilan, 2, 3, 7, 8, 9, 10, 18, 31, 45, 55, 57, 59, 62, 64, 65, 143, 148, 163, 164, 173, 174, 179, 181, 187, 188, 189, 192, 195, 197, 201, 206, 208, 219, 231, 238, 240, 241, 264, 268, 269, 280, 289, 294, 301, 318, 376, 386, 406 kebahagiaan, 9, 39, 40, 57, 67, 72, 99, 133, 134, 143, 148, 162, 174, 188, 197, 210, 237, 275, 326, 337, 386 kebangsaan, 8, 29, 185, 186, 262, 265, 268, 269, 289, 383, 404 ke-bangsa-an, 31 kebatilan, 4, 6, 7, 8, 11, 146, 148, 325, 329 keberanian, 3, 48, 54, 55, 79, 81, 95, 96, 97, 108, 228, 231, 233, 238, 240, 267, 282, 288, 329, 375, 376, 381, 383, 391, 403, 404 keberanian mental, 3, 96, 97 keburukan, 4, 6, 95, 146, 282, 327 ke-Islam-an, 43, 99, 108, 145, 165, 171, 179, 184, 255 kejahatan, 4, 5, 6, 107, 116, 146, 157, 197, 234, 276, 278, 280, 291, 321, 350 kekasih Tuhan, 118 kekuasaan, 5, 9, 17, 31, 63, 64, 76, 83, 90, 97, 114, 115, 131, 154, 169, 170, 202, 203, 220, 222, 235, 255, 277, 289, 290, 301, 303, 304, 320, 332, 336, 337, 340, 344, 346, 350, 351, 352, 385, 399, 406, 407 kemajuan, 2, 3, 4, 7, 8, 10, 32, 48, 49, 73, 85, 91, 102, 104, 134, 145, 148, 170, 172, 198, 231, 250, 262, 307, 315, 331 kemakmuran, 2, 60

443

kemanusiaan, 4, 20, 175, 178, 180, 187, 188, 189, 204, 205, 238 kemasyarakatan, 3, 31, 130, 163, 172, 173, 175, 179, 269, 271, 282, 283, 304, 322, 326, 404 kemiskinan, 27, 222, 267, 356, 377 kemuliaan, 4, 8, 83, 114, 115, 116, 166, 187, 194, 195, 202, 204, 221, 239, 376, 391 kenabian, 10, 32, 79, 108, 119, 120, 121, 133, 154, 161, 178, 187, 214, 219, 226, 230, 258 kepedulian, 3, 389 kepemimpinan, 16, 24, 32, 63, 104, 108, 163, 172, 179, 190, 280, 290, 291, 297, 310, 317, 335, 338, 339, 343, 346, 350, 352, 353, 354, 355, 367, 368, 369, 370, 371, 381, 382, 384, 391, 394, 395, 396, 397, 398, 399, 401, 402, 403, 404, 405, 406, 407, 408 kerajaan, 1, 62, 83, 163, 170, 231, 348, 353 kesadaran personal, 9, 103 kesalehan individual, 49, 54, 70, 346 kesalehan sosial, 45, 49, 54, 70 Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), 18, 19 Keserakahan, 5 ketidakadilan, 4, 195 keummatan, 8, 185, 262, 268, 269, 289 khaira ummatin, 10, 376 Khalid bin Walid, 227, 236 khalifah, 15, 40, 49, 69, 73, 74, 119, 124, 125, 166, 187, 215, 220, 222, 223, 244, 246, 250, 251, 298, 339, 397, 398, 399, 400, 401, 405, 406

444

SAID MUNIRUDDIN

khalifah, 119

La Ilaha illa Allah, 84, 94

kharismatis, 391, 402

laduni, 113, 243, 246

Khatijah, 120, 231

Lafran Pane, 25, 26, 183, 186, 237

khawarij, 169, 241

Latihan Kader, 20, 46

khilafah, 2, 62, 163

leaders are born, 352, 366, 368, 369, 371

Khumaini, 291, 362 khusyu, 100, 101, 117, 324 khutbah Jum’at, 8 KKN, 31 Komisariat, 46, 57, 265, 272 komunis, 1, 27, 28, 29, 30, 208, 237, 278, 407 komunisme, 5, 22, 188, 289 Konghucu, 141 Kongres HMI, 19, 26, 33, 34, 35, 41, 47, 48, 57, 108, 177, 261 konsep, 4, 10, 23, 37, 43, 50, 51, 52, 58, 59, 61, 62, 64, 65, 71, 77, 80, 86, 106, 109, 133, 141, 142, 149, 161, 168, 185, 187, 188, 209, 210, 213, 214, 221, 222, 254, 264, 272, 286, 317, 326, 368, 389, 395

leaders are born and made, 367 leaders are made, 367 leadership, 12, 24, 45, 54, 55, 56, 103, 104, 224, 290, 304, 344, 345, 346, 350, 353, 354, 369, 370, 376, 383, 393, 394, 395, 397, 401, 405, 407 liberal, 1, 63, 165, 175, 188, 190, 203 liberalisme, 5, 135, 171, 188, 203, 264, 289, 345 Liberalisme, 134, 135 lingkungan, 13, 32, 54, 64, 94, 104, 135, 174, 184, 188, 198, 273, 286, 337, 369 logical framework, 274

konsepsi diri, 287

lokal, 2, 5, 20, 262, 263, 264, 265, 267, 268, 271, 277, 280, 284, 302, 318, 404

konsistensi perjuangan, 57

Louis XVI, 5

kontrol, 4, 116, 135, 278, 307, 329, 393, 399

LSM, 5, 57

korporasi, 2, 264 korupsi, 2, 4, 7, 39, 40, 64, 107, 110, 146, 148, 188, 197, 318, 355, 356, 359, 365, 378, 382 koruptif, 5, 30, 98, 101, 264, 322 Kristen, 18, 19, 81, 138, 282 kritis, 4, 31, 42, 48, 49, 89, 97, 98, 106, 108, 186, 207, 258, 282, 284, 285 kufr, 75

lumba-lumba, 387, 388, 389, 390 ma’rifatullah, 15, 73, 92, 116, 124, 125, 188 mahasiswa, 10, 11, 13, 14, 16, 17, 18, 19, 21, 23, 25, 27, 29, 34, 35, 40, 42, 72, 104, 119, 123, 134, 255, 266, 303, 310, 337, 375 makanan haram, 356, 357, 364, 365 Makkah, 60, 234, 235, 237, 248, 249, 306, 349, 353, 379

Indeks

Malaysia, 1, 8, 21, 29, 282, 352, 362, 374 manajemen, 17, 24, 32, 55, 56, 106, 173, 272, 309, 310, 311, 312, 313, 314, 315, 316, 317, 318, 319, 320, 321, 322, 324, 325, 326, 327, 328, 329, 330, 331, 332, 333, 340, 407

445

Melayu, 81, 362 memanfaatkan, 4, 90, 117, 153, 221 menerangi, 10, 116, 123, 124, 213 mengatur, 4, 63, 65, 115, 147, 158, 173, 295, 298, 343, 344, 398

manajer, 59, 295, 310, 311, 312, 313, 314, 315, 317, 318, 320, 325, 326, 330, 331, 340, 341, 342, 343, 344, 394

menguasai, 4, 28, 62, 87, 90, 92, 107, 139, 143, 144, 243, 263, 266, 279, 282, 283, 284, 298, 301, 302, 303, 305, 306, 307, 332, 345, 347, 356, 362, 368, 402

MANIPOL-USDEK NASAKOM, 28

menindas, 5, 173

mantiq, 80

mental building, 95

manusia ideal, 23, 49, 202, 213, 287

mentalitas, 3, 10, 11, 14, 51, 182, 229, 234, 282, 362, 373, 374, 375, 376, 377, 378, 381, 383, 390, 391

manusia sejati, 11, 73, 121, 181, 201, 204, 287, 351 manusia sempurna, 10, 12, 15, 112, 121, 198, 202, 203, 204, 205, 210, 213, 214, 215, 217, 221, 222, 223, 241, 287, 325, 369, 393, 404

menyempurna, 24, 50, 204, 214, 217 Mesir, 5, 71, 177, 226, 228, 234, 249, 252, 290, 381, 397

manusia suci, 132, 216, 241, 254, 359, 361

militer, 5, 30, 219, 221, 344, 352, 356, 362, 382

manusia-manusia berkualitas, 8, 47

misi, 10, 22, 32, 47, 48, 79, 80, 91, 188, 191, 247, 262, 263, 265, 268, 271, 272, 289, 311, 317, 329, 347, 406

maqom, 77, 78, 87, 92, 94, 98, 105, 108, 111, 112, 113, 114, 115, 117, 189 Marcos, 5 Marxisme, 134, 135

misi HMI, 27, 33, 34, 36, 268, 272 misionaris, 27, 81, 350

masyarakat dunia, 263, 272

miskin, 2, 4, 60, 61, 91, 105, 106, 121, 188, 203, 216, 220, 221, 222, 223, 242, 243, 267, 277, 321, 345, 347, 365, 377

masyarakat universal, 262, 271

mission HMI, 268

materialisme, 65, 132, 133, 134, 187, 195, 264, 280, 287

monotheist, 80

masyarakat cita, 32, 35, 43, 57, 58, 59, 62, 63, 73, 274, 282

mau’izhah, 81 mazhab akidah, 165, 181 mazhab cinta, 185

Mu’awiyah, 202, 220, 403, 405, 406 Mu’tazilah, 165, 183, 225 muamalah, 73, 106, 107, 109, 110, 111, 142, 148, 150, 167, 171,

446

SAID MUNIRUDDIN

172, 174, 179, 184, 189, 219, 268 Muhammad Yunus, 13, 173, 267 Muhammadiyah, 17, 19, 117, 175, 182, 183, 184 Muhammadsaw, 24, 59, 60, 61, 85, 120, 122, 136, 137, 140, 141, 142, 147, 151, 152, 153, 154, 155, 203, 211, 214, 215, 216, 217, 218, 221, 222, 224, 225, 226, 227, 228, 234, 241, 253, 254, 255, 256, 257, 267, 291, 292, 297, 298, 301, 304, 310, 323, 330, 340, 343, 346, 347, 348, 349, 350, 351, 359, 362, 370, 375, 376, 377, 382, 386, 389, 390, 391, 401, 402, 403, 407 mujadalah, 81 mujahadah, 76, 370, 371 mujahid, 9 Mulla Shadra, 124 multi-inteligence, 13 Musa as, 9, 60, 112, 136, 138, 140, 147, 153, 154, 219, 226, 256, 291, 297, 361, 379, 402 muslem-intelektual-profesional, 52 Mussolini, 5 musyahadah, 113 nabi, 9, 10, 11, 80, 81, 85, 116, 119, 129, 132, 133, 136, 137, 138, 139, 140, 143, 147, 151, 152, 153, 154, 156, 162, 203, 214, 215, 222, 225, 226, 252, 269, 276, 291, 292, 297, 298, 301, 304, 306, 308, 346, 361, 370, 389, 402 Nahjul Balaghah, 219, 250, 291 nasional, 5, 17, 18, 20, 33, 37, 170, 173, 184, 263, 264, 271, 277, 279, 280, 282, 284, 286, 318

nasionalisme, 21, 262 Nasrani, 151, 156, 157, 247, 351, 357 negara, 1, 2, 3, 4, 5, 7, 8, 11, 15, 16, 19, 27, 31, 34, 35, 45, 62, 63, 64, 66, 81, 128, 129, 135, 158, 159, 164, 165, 172, 174, 179, 188, 190, 203, 238, 261, 262, 264, 267, 271, 278, 279, 280, 281, 286, 290, 292, 293, 294, 296, 297, 298, 299, 303, 317, 344, 349, 350, 352, 356, 363, 374, 381, 384 negara Islam, 2, 62, 164, 174, 293 negarawan, 10, 215 nihilisme, 134 nilai, 3, 7, 8, 22, 23, 24, 31, 32, 40, 42, 43, 44, 48, 56, 61, 62, 63, 65, 66, 68, 69, 71, 87, 100, 106, 107, 108, 109, 111, 113, 119, 121, 126, 128, 129, 130, 134, 142, 145, 146, 148, 155, 158, 161, 162, 163, 164, 165, 167, 171, 173, 174, 175, 176, 177, 178, 179, 180, 181, 184, 185, 188, 189, 190, 191, 192, 194, 195, 196, 197, 198, 199, 201, 202, 203, 204, 205, 206, 207, 208, 209, 210, 211, 213, 214, 215, 219, 220, 222, 231, 237, 238, 249, 252, 253, 254, 258, 259, 262, 263, 266, 267, 268, 269, 271, 272, 273, 274, 276, 279, 280, 281, 282, 287, 288, 297, 303, 304, 308, 309, 310, 317, 318, 319, 320, 321, 322, 326, 329, 330, 332, 333, 345, 346, 350, 363, 364, 376, 377, 378, 386, 392, 395, 401, 404, 406, 407 Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDPHMI), 23, 43, 44, 56, 63, 116, 121, 127, 128, 134, 175, 176, 181, 187, 205, 207, 210, 321, 408 Norwegia, 1

Indeks

NU, 117, 182, 183, 184 Nuh as, 117, 137, 140, 154, 225, 256, 258, 379 nur, 8, 116, 390 Nur Muhammad, 215 Nurkholish Madjid, 93, 177, 207 Nuruddin ar-Raniry, 250 ontologi, 51, 82, 132, 133, 178, 188, 318

447

178, 180, 183, 186, 202, 203, 207, 208, 209, 210, 250, 310, 322, 353, 367, 368, 375, 377, 383, 384, 386, 395, 399, 401 pandangan dunia, 23, 128, 131, 132, 133, 143, 150, 151, 163, 178, 179, 202, 318, 332 Pandangan Dunia Ilahi, 132 Pandangan Dunia Materialisme, 132

opressors, 8

pasrah, 48, 67, 99, 137, 138, 140, 142, 143, 144, 145, 147, 148, 150, 175, 196, 282

Orde Baru, 16, 27, 30, 264, 344

paternalistik, 397

organisasi, 8, 9, 16, 17, 18, 19, 20, 22, 23, 24, 26, 27, 28, 29, 30, 32, 33, 34, 35, 36, 40, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 55, 56, 69, 72, 76, 87, 104, 110, 121, 129, 149, 158, 165, 166, 174, 175, 176, 177, 179, 180, 181, 182, 183, 184, 186, 190, 209, 218, 252, 255, 261, 265, 268, 269, 272, 286, 303, 304, 305, 307, 311, 312, 313, 314, 315, 316, 317, 320, 328, 329, 332, 341, 343, 351, 366, 371, 382, 385, 392, 393, 394, 395, 396

patrimonialistic capitalism, 5

operasionalisasi tujuan, 23, 24

organisasi kader, 47 organisasi kemahasiswaan intra kampus, 17 organisasi mahasiswa, 17, 18, 35 organized, 8 organizing, 313, 315, 319, 341 otoriter, 1, 30, 173, 394 otoriter, 398 pamrih, 26, 188

PB HMI, 21, 28, 33, 35, 41, 44, 47, 48, 49, 52, 56, 57, 63, 107, 108, 116, 177, 181, 190, 205, 207, 255, 261, 321 pedagang, 5, 59, 100 pejuang paripurna, 32, 218 pelita, 10, 124, 213, 215, 259 pembangunan, 5, 8, 22, 28, 30, 31, 33, 48, 72, 111, 179, 253, 303, 396 pemberani, 224, 233, 237, 238, 381, 383, 404 pemerintah, 5, 63, 280, 301, 302, 392 pemerintahan, 1, 2, 3, 5, 28, 29, 30, 31, 47, 57, 63, 130, 197, 223, 250, 269, 286, 294, 297, 298, 301, 303, 304, 318, 326, 385, 398, 399, 400, 401 pemikiran praktis, 130, 131, 158, 162, 163, 179

Pancasila, 18, 21, 29, 30, 174, 280

pemikiran teoritis, 129, 130, 131, 158, 161, 166

pandangan, 24, 56, 59, 81, 128, 130, 131, 132, 133, 136, 143, 144, 148, 151, 158, 161, 162, 164,

pemimpin, 2, 3, 7, 12, 19, 30, 33, 35, 49, 56, 64, 103, 104, 173, 174, 185, 188, 197, 215, 220, 221,

448

SAID MUNIRUDDIN

222, 242, 247, 264, 267, 280, 289, 290, 300, 304, 310, 325, 326, 331, 335, 336, 337, 338, 339, 340, 341, 342, 343, 344, 345, 346, 350, 352, 353, 354, 356, 358, 361, 362, 363, 364, 366, 367, 368, 369, 370, 371, 372, 373, 375, 377, 378, 381, 382, 384, 385, 386, 387, 390, 392, 393, 394, 395, 396, 397, 400, 401, 405, 407, 408 pemimpin, 3, 7, 33, 63, 103, 267, 335, 338, 339, 340, 341, 352, 367, 371, 373, 375, 392, 393, 394, 395, 408 pencipta, 18, 34, 35, 40, 41, 42, 43, 47, 48, 51, 69, 96, 128, 162, 184, 261, 263, 266, 274, 275

282, 303, 319, 321, 330, 345, 371, 376, 384 penguasa, 2, 5, 30, 114, 202, 220, 221, 222, 252, 279, 294, 304, 323, 345, 347, 361, 375, 406 pengurus Besar HMI, 25 penjajah, 4, 111, 173, 237, 293, 302 penuhanan materi, 5 penyakit jiwa, 94 penyayang, 144, 153, 389, 390, 407 peradaban, 8, 15, 23, 31, 35, 91, 111, 121, 145, 172, 173, 174, 175, 180, 188, 197, 198, 205, 248, 271, 349, 350 Perancis, 5, 135, 278, 284, 313

pendeta, 5, 81, 138, 282

Perang Badar, 226

pendidikan, 11, 13, 14, 15, 27, 30, 35, 51, 64, 65, 106, 126, 174, 184, 185, 249, 267, 269, 271, 284, 286, 327, 345, 358, 360, 364, 367, 368, 370

Perang Hunain, 235

pengabdi, 18, 34, 35, 40, 41, 42, 43, 47, 48, 51, 69, 184, 261, 263, 274, 275 pengabdian, 11, 19, 35, 42, 43, 47, 49, 51, 57, 61, 73, 76, 102, 103, 104, 105, 119, 189, 196, 204, 271, 278, 286, 302, 307, 310, 333

Perang Khandaq, 232 Perang Khaybar, 233 perang Naharwan, 240 Perang Uhud, 227 perbaikan, 4, 8, 14, 48, 57, 64, 118, 181, 249, 287, 288, 289, 321 Perencanaan dan Perjuangan Hidup, 275 perfect man, 121, 287

pengaruh, 17, 55, 82, 116, 121, 130, 169, 196, 198, 202, 277, 304, 339, 340, 341, 343, 344, 345, 346, 350, 351, 354, 393, 403, 407

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), 19

pengetahuan, 3, 8, 10, 14, 23, 24, 33, 48, 51, 53, 58, 72, 76, 79, 80, 82, 87, 91, 92, 93, 98, 100, 111, 113, 123, 124, 126, 128, 131, 132, 143, 146, 148, 149, 150, 168, 169, 171, 172, 176, 180, 187, 188, 191, 197, 198, 207, 209, 210, 224, 249, 250, 251,

Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), 18, 19

perguruan tinggi, 11, 12, 14, 16, 17, 19, 21, 29, 173

perjuangan, 4, 5, 7, 8, 9, 19, 22, 23, 32, 33, 43, 44, 45, 48, 49, 51, 53, 56, 57, 58, 61, 68, 73, 75, 76, 107, 109, 118, 124, 174, 175, 177, 178, 179, 180, 185, 189,

Indeks

190, 191, 196, 197, 203, 208, 209, 211, 218, 229, 231, 232, 237, 238, 242, 253, 254, 255, 258, 259, 262, 263, 264, 268, 271, 272, 273, 277, 278, 281, 283, 286, 287, 288, 289, 291, 298, 303, 304, 305, 306, 307, 308, 327, 328, 333, 340, 343, 352, 371, 376, 385, 386, 389, 393, 394, 405 perjuangan politik, 289, 291 perkaderan, 19, 20, 23, 32, 43, 44, 47, 52, 61, 68, 103, 124, 149, 182, 208, 209, 218, 265, 268, 333, 371, 375, 394, 395 perlawanan, 8, 97, 195, 202, 229 pers, 5, 269 perubahan, 3, 4, 16, 22, 31, 33, 36, 37, 55, 56, 119, 120, 142, 148, 175, 197, 207, 210, 249, 261, 262, 263, 269, 277, 278, 281, 283, 284, 288, 289, 315, 316, 335, 341, 345, 352, 358, 364, 368, 392, 396

449

353, 356, 361, 376, 396, 397, 399, 400, 401, 405 politisi, 5, 10, 20, 30, 119, 215, 238, 280, 310, 394, 405 polytheist, 80 potensi, 2, 5, 11, 13, 14, 15, 16, 47, 48, 53, 54, 74, 75, 76, 89, 104, 119, 143, 157, 172, 178, 188, 217, 276, 281, 287, 290, 307, 361, 364, 369 potensi baik, 369 power, 231, 277, 289, 290, 304, 318, 337, 340, 344, 345, 346, 350, 352, 395 pragmatis, 11, 40, 134, 346 pragmatisme, 14, 134 prinsip-prinsip, 3, 31, 48, 59, 62, 106, 129, 130, 142, 143, 162, 163, 167, 169, 174, 176, 178, 190, 203, 209, 268, 290, 298, 299, 305, 317, 318, 320, 321, 406

Peta Hidup Bintang ‘Arasy, 273

produktifitas, 4, 72, 134, 394

PKI, 21, 28, 29 planning, 313, 314, 315, 341

profesional, 10, 15, 20, 31, 49, 53, 54, 70, 72, 109, 111, 126, 173, 174, 184, 218, 281, 286, 288

pluralisme, 149

profesionalisme, 11

pluralitas, 149, 157, 170, 171, 185, 271

protes, 5, 30, 148, 355, 399

polisi, 5, 318, 376, 382 political knowledge, 303 politik, 1, 5, 8, 16, 18, 20, 22, 29, 30, 34, 47, 57, 61, 62, 63, 106, 109, 110, 111, 120, 126, 128, 129, 130, 135, 147, 163, 169, 171, 172, 173, 174, 175, 184, 185, 186, 202, 204, 205, 219, 250, 255, 265, 268, 269, 271, 279, 282, 286, 288, 289, 291, 292, 293, 294, 295, 296, 297, 298, 299, 301, 302, 303, 304, 305, 306, 307, 308, 315, 345, 349,

pseudo-sufi, 72, 77, 125 puasa, 85, 105, 106, 110, 146, 163, 167, 172, 179, 188, 256, 292, 296, 360, 364, 371 qadariyah, 183 Qarun, 5, 345 Quraish, 162, 226, 227, 229, 232, 248, 349, 362 Rabi’ah Adawiyah, 68 rahim, 349, 371

450

SAID MUNIRUDDIN

rahman, 72, 210, 214, 247, 349, 371 rahmatallil ‘alamin, 115 rajawali, 383, 387 rakus, 5, 30, 60, 96, 358 rakyat, 3, 4, 18, 27, 33, 34, 35, 59, 63, 66, 175, 242, 262, 282, 290, 292, 293, 294, 297, 298, 299, 302, 318, 344, 348, 385, 399, 407 rasa peduli, 3 rasionalis-mistis, 183 rasionalitas, 10, 14, 22, 51, 55, 80, 87, 91, 183, 247, 282, 349 rasional-tekstual, 23, 39, 43, 71 Rasulsaw,

86, 87, 99, 101, 106, 116, 118, 168, 216, 218, 221, 224, 226, 228, 231, 232, 234, 235, 240, 243, 251, 253, 257, 287, 357, 360, 361, 362, 365, 377, 398, 399, 400, 403, 405, 406

reformasi, 21, 27, 31 republik, 1, 34, 62, 163, 174, 351, 382 resources, 9, 197, 313, 332, 342, 392 revolusi fisik, 28, 237, 291 Reza Pahlavi, 5 riba’, 5, 94, 363 ridha Allahswt, 37, 40, 43, 66, 68, 96, 308, 333 riya, 26, 94, 97, 100, 117, 144, 188 role model, 206, 211, 253, 255, 287 ruh, 23, 40, 75, 132, 133, 134, 148, 154, 166, 195, 215, 257, 268, 317, 357, 361, 369, 370, 371 ruhani, 65, 76, 95, 115, 324 Rusia, 1, 5

sabar, 103 sadar, 7, 8, 11, 13, 15, 48, 49, 106, 116, 118, 121, 196, 198, 207, 265, 278, 290, 293, 297, 301, 302, 320, 387, 389 Safiyuddin Hilli, 220 Sakib Machmud, 177 Salman al-Farisi, 221 sayyid, 202, 405, 407 Sayyid al-Razi, 219 sayyidatun nisa-il 'alamin, 331 sayyidul muslimin, 250 sejahtera, 1 sejarah, 7, 9, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 33, 81, 89, 121, 170, 188, 199, 206, 208, 218, 222, 226, 237, 250, 258, 259, 281, 283, 288, 291, 293, 300, 304, 317, 331, 346, 348, 350, 375, 380, 399, 402, 405, 407 sejarah HMI, 25 sekularisme, 135 sekuler, 27, 281, 310, 345, 407 Senior Course, 20 sertifikasi, 363 Shihabuddin Suhrawardi, 359 Sholat, 65, 73, 83, 94, 96, 98, 99, 100, 101, 105, 109, 364 sholawat, 106, 155, 167, 183, 253, 254, 255, 256, 257, 259, 333, 366 Siddharta Gautama, 141, 153 siddiq, 108, 346, 391 Siffin, 239 singa, 149, 220, 221, 224, 228, 231, 280, 371, 372, 373, 376, 378, 381, 382, 383, 387, 390

Indeks

Singa Allah, 229, 230, 238 Singapura, 1, 374

451

229, 234, 249, 251, 252, 258, 323, 380, 400, 408

sirah nabawiyah, 287

sunnatullah, 90, 139, 144, 170, 183, 186, 187, 275

sistem keyakinan, 117, 143, 347, 373, 375, 378, 381

sunni, 91, 169

siyasah, 303, 306

Sunni, 2, 87, 161, 163, 166, 183, 184, 225, 323, 362

social leadership, 104

Swedia, 1

sosialis, 1, 27, 29, 136, 171, 177

syahadah, 84, 98

sosialisme, 5, 136, 171, 178, 188, 264

Syahrir, 177

Sosialisme, 28, 134, 135, 171

syari’ah, 2, 109, 142, 147, 150, 162, 164, 178

spiritualitas, 10, 14, 22, 23, 35, 44, 53, 61, 68, 140, 145, 282, 287, 303, 325, 332, 349, 362, 378

syariat, 23, 140, 145, 146, 147, 148, 150, 164, 179, 181, 210, 292

strategi, 4, 22, 28, 32, 55, 56, 107, 185, 197, 243, 264, 267, 272, 278, 279, 290, 293, 302, 303, 304, 305, 306, 307, 308, 314, 341, 342, 343, 399, 406

Syi’ah, 91, 117, 161, 162, 163, 165, 166, 183, 184, 323, 405 syirik, 4, 5, 7, 26, 65, 67, 121, 154, 169, 180, 187, 188, 197, 264, 289, 327, 353

strategi dan taktik, 305, 307

syuhudi, 84, 100, 113

Subhanallah, 322, 323, 325, 326, 327, 329, 332

syukur, 58, 76, 85, 90, 105, 144, 146, 188, 189, 196, 221, 222, 228, 247, 253, 254, 255, 327

sufi, 50, 67, 68, 71, 76, 91, 103, 119, 125, 147, 181, 183, 199, 204, 214, 215, 217, 220, 221, 282, 359

tabligh, 108, 346, 391 tafsir tujuan HMI, 33, 35, 44, 48, 49, 107, 108, 204

sufistik, 23, 26, 50, 71, 72, 76, 102, 114, 146, 147, 167, 168, 205

tahajud, 106, 252

Suharto, 5, 16, 29, 30, 344

tahalli, 104, 105, 106, 107, 108, 111, 112, 114, 117, 217

Sukarno, 16, 28, 29, 30, 218, 353 Sulaiman as, 222

tahalli, 77

suluk, 77, 103, 167

tajalli, 12, 73, 98, 111, 112, 113, 117, 217, 402

sumber power, 344

Tajalli, 73, 77, 112, 113, 325

sumberdaya alam, 2, 8

takfiri, 10, 175

sumberdaya insani, 3

Takhalli, 77, 78

sunnah, 44, 117, 142, 161, 162, 166, 170, 210, 224, 225, 226,

taktik, 4, 21, 22, 55, 56, 107, 158, 185, 197, 243, 267, 290, 303, 304, 305, 306, 307, 308

452

SAID MUNIRUDDIN

taktis, 10, 24, 164, 272, 303, 304 taqarrub, 73, 112, 113, 144, 196 taqlid, 51, 76, 87, 91, 94 taqwa, 4, 15, 57, 58, 85, 105, 144, 188, 189, 196, 364, 369

the prophet of ethical management, 331 the voice of justice, 11 theoritical-oriented, 13 thuma’ninah, 100

Taqwa, 4, 327

tirani, 5, 180

tarikat, 77, 167, 182, 243, 331

transenden, 14, 71, 82, 84, 116, 221, 249

Tariqah, 117 tasawuf, 23, 50, 71, 76, 77, 83, 87, 102, 109, 112, 166, 167, 168, 169, 181, 204, 219, 284, 332 tasbih, 167, 322, 323, 324, 331, 332, 333 Tasbih Fatimah, 208, 309, 322, 323, 324, 331, 332 tauhied, 23, 24, 41, 51, 54, 63, 79, 87, 93, 94, 95, 98, 102, 109, 112, 133, 136, 140, 143, 147, 162, 168, 171, 175, 187, 188, 189, 190, 191, 192, 196, 197, 206, 208, 211, 219, 229, 232, 238, 259, 268, 269, 281, 304, 327, 328, 345, 370, 386, 390, 406 tauhied ‘amali, 102 tauhied praktis, 102 tauhied qalbi, 93 tauhied qalbi, 92 tauhied teoritis, 79, 87, 93 tazkiyatun nafs, 76, 92 teknis, 10, 48, 50, 72, 86, 130, 145, 164, 179, 204, 312, 342, 343, 392, 395 teknologis, 10, 304 teleologi, 133, 178 teosofi, 82 terorganisir, 7, 10, 27, 102, 104, 107, 267, 305, 338, 392

transformasi diri, 55, 56, 76 transformasi sosial, 14, 56 transformatif, 392, 394, 395 tridharma, 11 Tuhan, 2, 4, 6, 7, 9, 10, 11, 12, 15, 24, 26, 35, 36, 40, 45, 50, 51, 57, 58, 59, 60, 63, 64, 65, 67, 68, 69, 70, 72, 73, 74, 75, 77, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 89, 90, 91, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 100, 101, 102, 103, 105, 106, 107, 109, 110, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 123, 124, 125, 126, 129, 130, 131, 132, 133, 134, 135, 136, 137, 138, 139, 140, 141, 142, 143, 144, 145, 146, 148, 149, 150, 152, 153, 154, 155, 156, 157, 158, 161, 162, 165, 167, 168, 172, 178, 179, 183, 185, 186, 187, 189, 190, 195, 196, 197, 198, 201, 202, 205, 209, 210, 211, 213, 214, 215, 216, 217, 218, 220, 221, 224, 225, 228, 229, 230, 231, 242, 243, 246, 247, 253, 254, 256, 258, 259, 263, 275, 276, 280, 282, 284, 288, 304, 309, 319, 322, 324, 325, 327, 328, 329, 331, 333, 339, 346, 347, 349, 350, 357, 359, 360, 362, 363, 364, 366, 369, 370, 371, 375, 376, 377, 378, 379, 380, 383, 385, 386, 402, 408 tuhan eksternal, 96, 196

Indeks

tuhan internal, 96, 196 tujuan hidup, 39, 40, 70, 134, 161, 307, 386 tujuan HMI, 22, 23, 24, 32, 34, 35, 36, 37, 39, 40, 43, 47, 50, 53, 68, 69, 71, 73, 76, 83, 124, 184, 204, 205, 213, 261, 262, 308, 332, 386 ubudiyah, 105, 109, 111, 119, 171 ulama, 10, 26, 77, 79, 80, 81, 87, 94, 107, 119, 147, 154, 156, 161, 162, 166, 168, 171, 173, 225, 243, 247, 250, 252, 258, 291, 292, 293, 294, 295, 296, 297, 298, 299, 300, 301, 310, 323, 331, 339, 345, 352, 362 Ulul albab, 89 Umar, 111, 173, 233, 244, 245, 246, 249, 251, 325, 336, 343, 362, 380, 398, 399, 400 Umar bin Abdul Aziz, 251 ummat, 8, 10, 40, 58, 63, 87, 91, 166, 171, 186, 204, 222, 282, 301, 308, 397

307, 308, 341, 344, 347, 384, 385, 386, 391, 394, 396 visi keummatan, 59 visioner, 3, 289, 384 visioning, 24, 277 wahdatul wujud, 112, 169 wali, 67, 113, 121, 215, 247, 297, 298, 359, 400 watak, 5, 11, 15, 240, 352, 354, 355, 357, 358, 368, 369, 370, 371 Willi Eichler, 177 worldview, 23, 128, 129, 130, 131, 132, 143, 148, 151, 158, 161, 162, 164, 178, 180, 189, 208, 332, 377 wujud mumkin, 79 Wujud Wajib, 79, 82, 188 Yahudi, 138, 141, 151, 154, 156, 157, 226, 233, 234, 240, 247, 351, 357, 361, 362, 375, 376, 380 Yasin, 247, 256

universal brotherhood, 155, 264

Yazid, 202, 406

Universitas Islam Indonesia (UII), 25

Yehuda, 138, 141

Universitas Syiah Kuala, 17, 265, 335, 338 ushuluddin, 86, 109, 129, 130, 161, 163, 178 Usman, 250, 251, 343, 398, 399, 401

453

Yugoslavia, 5 zakat, 85, 106, 110, 140, 145, 146, 163, 164, 167, 179, 188, 256, 355 zarrah, 354, 366, 370 zionisme, 5, 279, 289, 349

uswatun hasanah, 216

Zoroaster, 141

visi, 3, 22, 32, 59, 62, 136, 174, 261, 264, 265, 267, 268, 272, 280,

zuhud, 71, 104, 144, 251 Zulfaqar, 229, 230, 231

Bintang 'Arasy_2017.pdf - PDFCOFFEE.COM (2025)
Top Articles
Latest Posts
Recommended Articles
Article information

Author: Frankie Dare

Last Updated:

Views: 6592

Rating: 4.2 / 5 (73 voted)

Reviews: 80% of readers found this page helpful

Author information

Name: Frankie Dare

Birthday: 2000-01-27

Address: Suite 313 45115 Caridad Freeway, Port Barabaraville, MS 66713

Phone: +3769542039359

Job: Sales Manager

Hobby: Baton twirling, Stand-up comedy, Leather crafting, Rugby, tabletop games, Jigsaw puzzles, Air sports

Introduction: My name is Frankie Dare, I am a funny, beautiful, proud, fair, pleasant, cheerful, enthusiastic person who loves writing and wants to share my knowledge and understanding with you.